Tiiinnn … Mas Bram menekan klakson. Sekali. Beberapa detik berlalu, namun tak juga ada tanda-tanda, bahwa pintu pagar besi tinggi bercat hitam di depan kami itu akan terbuka. Padahal, biasanya, kami tak perlu menunggu lama. Bahkan, kadang, belum sampai membunyikan klakson sekalipun, pintu itu sudah langsung terbuka dan seorang laki-laki yang telah berumur, keluar atau minimal melongokkan kepalanya di sana untuk melihat siapa gerangan yang datang. Ya, Pak Dirman—tukang kebun—yang sudah bekerja pada keluarga Mas Bram sedari dia masih jejaka itu memang tergolong masih tajam pendengarannya di usianya yang sudah lansia. Aku dan Mas Bram saling berpandangan. Lalu, tanpa dikomando atau bersepakat terlebih dahulu, kami berdua mengembus napas berat dalam waktu yang berbarengan.