4. Kamu yang Harus Pergi

1262 Words
Hari ini aku memutuskan kembali ke rumah Mas Reksa untuk mengambil barang-barang. Semalam aku pergi tanpa membawa apapun. Aku tidak sempat mengemas pakaian serta barang pribadi lainnya. Hatiku terlampau sakit setelah menyaksikan pergumulan antara Mas Reksa dan Devia. "Bapak ikut, Ke," ujar Bapak saat melihatku keluar kamar. Beliau sendiri tampak sudah rapi dengan celana kain dan kaos kerah berwarna abu. "Bapak enggak kerja?" tanyaku dengan dahi berkerut, "Bapak kerja saja. Enggak apa-apa, Kemala, pergi sendiri. 'Kan cuma mau ambil barang dan enggak banyak juga." "Bapak sudah ijin sama teman dan atasan akan datang agak telat. Bapak sudah bilang ada keperluan penting dan mendesak," balas Bapak tenang. "Sebenarnya enggak apa-apa, Kemala, pergi sendiri, Pak," tuturku sekali lagi, merasa tidak enak merepotkan sebab Bapak harus bekerja. "Iya. Tapi bapak mau ikut sebab ada perlu sama Reksa." "Bapak ada perlu sama Mas Reksa?" tanyaku sedikit heran. Perlu apa beliau sama laki-laki itu? "Iya," sahut beliau. "Perlu apa?" Aku bertanya ingin tahu. "Ada saja .... Pokoknya perlu." Bapak enggan untuk menjawab. "Bapak enggak berniat untuk berbuat kasar sama Mas Reksa 'kan?" selidikku khawatir. Aku bukan mengkhawatirkan Mas Reksa. Jujur saja jika Bapak memang berniat membuatnya babak belur, aku sangat mendukung. Akan tetapi, aku justru khawatir sama Bapak. Bisa-bisa beliau dituduh main hakim sendiri dan berurusan dengan pihak berwajib. "Ya enggak, Ke. Bapak bukan orang seperti itu. Menyelesaikan masalah tidak perlu grasa grusu dan anarkis. Cukup bermain tenang dan cerdas." "Lalu Bapak ada perlu apa sama Mas Reksa?" "Nanti saja kamu lihat sendiri." Bapak tersenyum penuh makna, begitu misterius, membuat dahiku semakin mengernyit. Aku baru menyadari beliau menggenggam sebuah map yang kemudian dimasukkan ke dalam ransel yang beliau bawa. "Bapak bawa apa?" tanyaku tidak dapat menahan rasa ingin tahu. "Ini hadiah untuk Reksa," balasnya masih dengan senyum misterius. "Hadiah?" "Ya." Bapak mengangguk. "Hadiah apa?" "Nanti juga kamu akan tahu. Ayo, berangkat." Meskipun sangat penasaran, aku harus menyimpan rasa ingin tahuku dan patuh ketika Bapak mengajak berangkat. Kami menuju rumah Mas Reksa dengan menggunakan sepeda motor bebek milik Bapak. Bapak dan Ayah Hermawan sudah saling mengenal sejak SMP. Ayah Hermawan merupakan kakak senior Bapak. Perkenalan mereka berlanjut hingga kuliah. Menurut cerita Bapak, keduanya sangat akrab meskipun berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda kasta. Ayah Hermawan merupakan anak orang berada, sementara Bapak merupakan anak orang sederhana. Akan tetapi, Ayah Hermawan memang pribadi yang humble dan tidak pilih teman. Ia tidak sombong dengan statusnya dan ringan tangan dalam membantu siapa pun yang kesulitan. Saat kuliah, tidak jarang Ayah Hermawan membantu Bapak menalangi biaya semester atau biaya lainnya jika kiriman telat datang. Atas dasar inilah, Bapak tidak kuasa untuk menolak ketika Ayah Hermawan meminta tolong agar aku menjadi pengantin pengganti untuk Mas Reksa. Beliau merasa berutang budi dan mengira Mas Reksa memiliki warisan sifat mulia dari ayahnya. Namun, ternyata yang ada sifatnya justru bertolak belakang. Kurang lebih pukul delapan pagi, kami sampai di rumah Mas Reksa. Rumah itu tampak lengang. Sepertinya tidak ada orang di dalam. Mungkin Mas Reksa dan Devia sedang di rumah sakit menjaga Ibu Melisa. "Kamu tidak memberitahu kalau kita akan datang?" tanya Bapak sambil menatap pintu yang tertutup rapat. "Enggak, Pak," balasku pelan. "Apa kita pulang saja dulu. Nanti ke sini lagi." "Iya." Aku mengangguk, setuju dengan usul Bapak. Akan tetapi, baru saja kami hendak berbalik badan untuk meninggalkan rumah itu, mobil Fortuner milik Mas Reksa memasuki pekarangan. Dari pintu kemudi, turun Mas Reksa yang disusul Devia dari pintu sebelahnya. "Hai, Ke. Akhirnya kamu pulang juga." Dengan raut kantuk, Mas Reksa tersenyum jumawa sambil melangkah ke arahku. "Aku tahu kamu pasti akan pulang," ucapnya lagi dengan penuh percaya diri. Aku terkekeh ringan. "Kelihatannya kamu senang sekali aku pulang, Mas?" tanyaku dengan nada mengejek. Pasti dia dan Devia kewalahan menjaga Ibu di rumah sakit. Selama ini, semua kebutuhan Ibu, aku yang menangani. "Tentu saja, Ke. Walau bagaimanapun, kamu istriku juga. Kita sudah bersama selama lima tahun. Aku juga mencintaimu sebagaimana aku mencintai Devia." Seketika rasanya aku ingin muntah mendengar ucapannya. Lima tahun pernikahan kami, tidak sekalipun dia berkata cinta. Baru kali ini dia mengatakannya dan aku yakin itu tidak tulus. Pasti itu hanya modusnya agar aku tidak pergi dan tetap merawat Ibu. "Oh, ya? Kamu mencintaimu, Mas?" tanyaku sinis. "Tentu saja, Ke." "Apa bukan karena kamu kewalahan mengurus Ibu? Jadi kamu senang aku kembali agar bisa disuruh-suruh merawat Ibu?" Laki-laki itu tampak sedikit tersentak, lalu sikapnya jadi salah tingkah, "Bicara apa kamu, Ke? Tentu saja bukan karena itu," sahutnya kemudian, tetapi dengan gugup. "Omong-omong, bagaimana rasanya bergadang mengurus Ibu, Mas?" tanyaku kembali sinis. "Kamu bertanya apa, Ke?" "Bertanya pengalamanmu saja, Mas. Bagaimana rasanya mengurus Ibu. 'Kan biasanya aku yang mengurus Ibu. Kamu selalu di rumah dan ena-ena sama istrimu yang itu." Aku melirik pada Devia yang berdiri di sampingnya sambil menahan rasa sakit. Setiap ingat kejadian semalam, hatiku masih terasa tercabik-cabik. "Sudahlah, Ke. Jangan diungkit lagi hal itu. Aku juga sudah memaafkanmu karena semalam pergi dari rumah dan meninggalkan Ibu sendiri di rumah sakit. Tapi jangan diulangi lagi lain kali," ucapnya sama sekali tidak merasa bersalah, justru seolah aku yang paling bersalah karena pergi dari rumah ini. "Tidak perlu memaafkan, Mas. Sebab aku tidak pernah meminta maaf untuk itu," ucapku mengingatkan. "Walaupun kamu tidak meminta maaf, aku sudah memaafkanmu, Ke," balasnya sok lembut dan bijak. "Dan aku juga tidak bilang kalau aku mau pulang." "Tanpa kamu bilang pun, aku tahu bahwa kamu akan pulang. Kamu sudah datang ke sini, untuk apa lagi kalau bukan untuk pulang? Iya 'kan?" "Kamu salah, Mas. Aku ke sini untuk ...." "Aku tahu kamu sudah memikirkan semuanya baik-baik tadi malam. Kita bisa memulai semuanya lagi dari awal. Kamu juga pasti tidak akan bisa hidup tanpa aku. Siapa yang akan menafkahimu kalau bukan aku. Sebentar lagi Maisa juga akan sekolah, dia butuh biaya yang besar." Aku tertawa sumbang. Apakah dia pikir pernikahan ini hanya masalah uang? Dia pikir uangnya segalanya bagiku sehingga aku harus kembali dan memaafkan semua salahnya? Lalu melupakan rasa sakit akibat perbuatannya? Dia bawa-bawa biaya sekolah Maisa. Padahal, berpisah atau tidaknya kami, dia masih wajib memberi nafkah untuk Maisa. "Benar apa kata Mas Reksa, Ke." Devia ikut bersuara. "Kembalilah. Kita bisa memiliki Mas Reksa bersama-sama. Aku tidak akan egois untuk memiliki Mas Reksa sendiri. Kita bisa berjalan bersama, saling melengkapi dan berbagi," lanjutnya. Aku menghela napas dalam, sebenarnya malas rasanya untuk meladeni. "Enggak apa-apa, Dev. Kamu miliki saja Mas Reksa sendiri. Egois juga enggak apa-apa. Sebagaimana kamu egois tetap ingin memilikinya, padahal sudah meninggalkannya di hari pernikahan kalian. Ambil saja dia, aku sudah enggak minat," balasku ringan, "lagi pula, kedatanganku ke sini bukan untuk kembali pada Mas Reksa, melainkan sebalik." "Maksudnya, kamu tetap ingin bercerai, Ke?" Mas Reksa bertanya dengan suara meninggi. Rautnya tampak emosi mendengar penuturanku. "Iya!" balasku yakin. "Heh!" Laki-laki itu tertawa sinis, "Silakan saja. Tapi aku ingatkan sekali lagi, tidak ada nafkah, tidak ada gono gini. Sebab semua yang aku miliki ini merupakan pemberian orang tuaku. Jadi ini bukan harta bersama," ucapnya jumawa. "Ya, aku tahu, Mas." "Ya, sudah kalau memang begitu kemauanmu! Semoga kamu tidak akan pernah menyesal. Silakan pergi! Ambil barang-barang pribadimu. Tapi jangan ambil satu pun yang bukan milikmu." "Bukan Kemala yang harus pergi dari rumah ini. Tapi kamu, Reksa." Tiba-tiba Bapak yang sedari tadi hanya diam, angkat bicara. "Saya?" Mas Reksa menunjuk d**a sendiri. Ia bertanya tidak percaya. Jangankan Mas Reksa, aku pun merasa bingung dengan ucapan Bapak. "Ya!" sahut Bapak tegas. "Apa maksud, Bapak? Kenapa saya harus pergi dari rumah saya sendiri?" "Mulai sekarang, rumah ini dan apa yang diberikan ayahmu, bukan milikmu lagi, melainkan milik Kemala." Bapak kemudian menyerahkan map yang tadi beliau bawa. "Silakan kamu baca," ucapnya sambil tersenyum tipis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD