"Sekarang kamu dan Maisa tidur. Besok kita temui keluarga tidak tahu diri itu."
Selesai mengucapkan kalimatnya, Bapak kembali masuk ke kamarnya dengan gusar. Tinggal aku dan Ibu, serta Maisa yang terlelap di ruang tengah.
"Kamu pegang Maisa, ibu akan merapikan kamar kamu agar kalian segera beristirahat." Ibu menyerahkan Maisa padaku, lalu melangkah gontai menuju kamar yang aku tempati sebelum menikah.
Aku menatap wajah Maisa yang terlelap di pangkuanku. Gadis mungil tidak berdosa itu akan kehilangan sosok papanya dalam usia yang masih belia, tiga tahun. Namun, tidak apa-apa. Toh, selama ini pun dia tidak begitu akrab dengan Mas Reksa. Laki-laki itu sangat jarang mendekatkan diri dengan putrinya. Ia hampir seharian bekerja di toko, pulang sore dan seringkali saat malam pergi lagi. Tentu saja, sebab ternyata di luar dia punya keluarga yang lain. Mungkin saja dia pun punya buah cinta bersama perempuan itu.
Ah! Terlalu menyakitkan kalau diingat.
Memang sudah benar aku memilih berpisah saja dari pada terus menggenggam luka. Aku tidak mau, rasa sakit dan perih atas luka itu akan menggerogoti dan menghancurkan jiwaku secara perlahan. Lebih baik lepaskan, daripada bertahan dalam kesakitan. Itu sama saja dengan zolim pada diri sendiri. Jika Mas Reksa mengatakan dia berhak bahagia, maka aku pun sama.
Aku tidak perlu bertahan dengan anak sebagai alasan. Lebih baik berpisah sekarang daripada Maisa harus tahu perbuatan Mas Reksa, laki-laki yang seharusnya menjadi cinta pertamanya justru menyimpan dusta bertahun-tahun lamanya.
Mungkin kelak dia akan dibully teman-temannya sebab tidak punya papa. Akan tetapi, kukira tidak lebih baik jika ada yang berceloteh bahwa papanya punya istri dua. Bahkan mungkin itu akan membuatnya terluka lebih dalam.
Masalah nafkah, aku yakin akan ada jalannya. Aku punya ijazah dan keahlian yang bisa kuberdayakan. Jika memang terpaksa, bekerja apa saja akan aku lakoni, yang penting halal.
Setiap mahluk di dunia ini sudah dijamin rezekinya oleh Sang Pencipta. Tidak perlu takut kelaparan, asal mau berusaha. Bahkan anak burung gagak yang ditinggalkan induknya pun diberi rezeki dengan cara tersendiri.
"Kamarnya sudah siap, Ke. Kamu lekaslah tidur." Ucapan Ibu menyadarkanku dari lamunan.
"Iya, Bu." Aku mengangguk, lalu beranjak menggendong Maisa. Aku membaringkan gadis mungil itu di tempat tidurku yang tidak terlalu besar dan tidak seempuk tempat tidur di rumah Mas Reksa. Tidak apa-apa, yang penting tidak ada luka di dalamnya.
"Tidur yang nyenyak, ya, Sayang. Sekarang mama akan selalu di samping Maisa, selalu menjaga Maisa," ucapku pelan sambil mengecup lembut keningnya.
"Mama tidak akan pergi-pergi lagi. Mama sayang, Maisa."
Aku memeluk tubuh kecil itu erat sambil menahan air mata yang kembali hendak menyeruak.
Astaghfirullahal'azim.
Seberapa pun aku mencoba untuk kuat dan tidak menangis, semua yang terjadi ini memang teramat menyakitkan.
Aku melepaskan pelukan pada Maisa, lalu beringsut sedikit menjauh. Aku membiarkan diri menuruti keinginan hati untuk menangis.
Sembari meringkuk, aku menutup mulut, membiarkan tangis itu teredam dalam genggaman. Air mata ini bukan untuk menangisi Mas Reksa, tetapi untuk membasuh luka yang tercipta. Selagi ia mau mengalir, maka biarkan saja. Kelak, ketika luka itu sembuh, aku yakin air mata itu pun akan enggan untuk keluar. Lalu secara alami menukar dirinya dengan tawa.
Entah berapa lama aku menangis, aku tidak tahu pasti. Yang jelas hingga mataku mengantuk dan terlelap dengan sendirinya.
Tidak tahu pukul berapa, aku terjaga ketika ponselku berbunyi. Benda pipih itu masih tersimpan di dalam tas yang tergeletak begitu saja di lantai. Segera aku beranjak, mengambilnya agar tidak berisik lebih lama. Aku tidak mau Maisa terganggu karenanya.
Panggilan seluler, nama ibu mertua terpampang pada layar. Aku baru ingat kalau tadi meninggalkan beliau sendiri di rumah sakit. Melihat namanya pada layar, serta merta hatiku teriris kembali. Bagaimana bisa dia begitu tega bersekongkol dengan Mas Reksa, menipuku selama lima tahun ini.
Kurang apa aku mengabdikan diri padanya, juga pada suaminya.
Kuperlakukan dia selayaknya ibu sendiri, melayani semua kebutuhannya dari hal sekecil apapun.
"Halo, Assalamualaikum, Bu." Aku memberi salam sebagai pembuka pembicaraan.
"Waalaikumsalam. Ke, kamu kemana? Kenapa ibu bangun kamu enggak ada? Ibu mau ke kamar mandi." Terdengar suaranya dari seberang.
Aku menahan napas beberapa jenak sebelum menjawab tanyanya. Sebegitu aku melayaninya selama ini, mengantarnya ke kamar mandi jika beliau sadar untuk buang air. Mengenakan dan menggantikannya popok jika sedang drop. Sebab tidak jarang beliau pipis tanpa sadar.
"Saya pulang, Bu. Sekarang di rumah orang tua saya," jawabku mencoba kalem. Menurutkan hati, ingin rasanya kumaki juga beliau seperti tadi memaki putranya. Akan tetapi, benakku masih bisa berpikir bahwa tidak elok berlaku kasar pada orang tua.
"Kenapa pulang? Ibu sendiri di sini. Siapa yang menjaga ibu?" tanyanya beruntun. Suaranya meninggi, terdengar agak emosi.
"Itu bukan urusan saya lagi, Bu," sahutku masih tetap kalem.
"Apa maksudnya bukan urusan kamu lagi?" tanyanya masih terdengar emosi.
"Iya. Mulai saat ini saya bukan menantu Ibu lagi."
"Apa maksud kamu, Kemala?"
"Saya dan Mas Reksa akan bercerai."
"Bercerai bagaimana?"
"Berpisah. Saya sendiri, dan Mas Reksa bersama Devia."
"Maksud kamu?" Kali ini suara beliau tidak lagi tinggi, melainkan terdengar gugup dan terbata.
"Tidak usah berpura-pura, Bu. Saya sudah tahu semuanya, bahwa Mas Reksa dan Devia sudah menikah lima tahun lalu, hanya jeda satu bulan setelah kami menikah. Dan saya juga sudah tahu, bahwa Ibu juga merestui pernikahan itu."
"Ke ...."
"Saat saya begadang menjaga Ibu di rumah sakit, mereka enak-enak b******u, bertumpah keringat di kamar saya."
"Ke .... Ibu ...."
"Demi menutupi malu keluarga Ibu, saya mengubur mimpi saya untuk mengembangkan karir, memilih menikah setamat kuliah dan berbakti pada keluarga yang ternyata mengkhianati saya."
"Ke .... Dengarkan ibu dulu ...."
"Sekarang Ibu telepon anak dan menantu kesayangan Ibu itu, minta mereka yang menjaga Ibu."
"Tapi, Ke ...."
"Bukankah menyenangkan, kalian bisa berkumpul bertiga tanpa perlu sembunyi-sembunyi dari saya lagi. Apakah tidak lelah sembunyi-sembunyi selama lima tahun?"
"Ke ...."
"Maaf, Bu. Saya ngantuk. Saya mau tidur. Maklum, seminggu ini selalu begadang menjaga Ibu. Assalamualaikum."
Aku menutup panggilan begitu saja. Masih terdengar beliau memanggilku, tetapi tidak kugubris. Aku pun tidak ingin mendengar penjelasan beliau lebih panjang, khawatir justru terpancing emosi.
Tidak habis pikir, bagaimana Mas Reksa bisa tenang-tenang saja dan tidak langsung mengunjungi ibunya di rumah sakit. Padahal ia tahu tadi aku hendak pulang ke rumah orang tuaku.
Apa dia pikir aku akan ke sukarela kembali ke rumah sakit menjaga ibunya sementara dia asyik bercinta?
Hah! Konyol!
Selang beberapa lama, ponsel yang tadi sudah ku-setting diam, berkedip menandakan ada panggilan masuk. Sekarang nama Mas Reksa yang terpampang. Aku tersenyum sinis. Sepertinya Ibu sudah menghubungi anaknya itu dan mengadu aku tidak mau menjaganya.
"Halo, Assalamualaikum." Aku memberi salam dengan suara yang dibuat setenang mungkin, terselip nada sedikit mengejek sebab aku tahu pasti dia sedang bingung siapa yang akan menjaga ibunya.
"Kemala, kamu meninggalkan Ibu sendiri di rumah sakit?" Tidak menjawab salamku, ia langsung bicara penuh emosi.
"Iya," sahutku tegas.
"Tega kamu!"
"Ya, begitulah."
"Sekarang kamu kembali ke rumah sakit dan jaga Ibu!"
"Enggak mau! Aku ngantuk."
"Berani kamu membantah suamimu!"
"Apa Mas masih suamiku?"
"Aku tidak pernah menceraikanmu!"
"Oh, ya?"
"Dengarkan perkataan suamimu, Kemala!"
"Dengarkan aku juga, Mas Reksa! Suruh saja istri tercintamu yang cantik jelita itu yang menjaga Ibu. Bukankah dia menantu kesayangan ibumu? Jangan hanya pandai melayanimu saja, ajari juga dia melayani ibumu!"
"Kemala!"
"Jangan membentakku! Aku bukan siapa-siapamu lagi. Besok aku akan mengajukan gugatan cerai jika kamu tidak mau menjatuhkan talak!"