Part 19: Ke Rumah Jessi

3072 Words
"Ada tugas kerja kelompok prakarya," ucap sang ketua kelas memberitahukan kepada Abra dan Jessi saat waktu jam pelajaran yang terakhir sudah berakhir. Ketua kelas bernama Yuli itu menghampiri Abra dan Jessi yang sedang berberes dibangkunya. "Tugasnya gimana?" tanya Jessi pada Yuli. "Tugasnya itu buat kerajinan dari bahan bekas." "Berapa orang?" tanya Abra. "Oh ya, karena semua murid disini sudah mendapatkan kelompok berjumlah 4 orang jadi tinggal lo berdua aja enaknya gimana? Mau kelompok dengan dua orang atau tinggal pilih masuk ke kelompok mana." Yuli mengeluarkan kertas dari saku celananya yang berisikan daftar kelompok mata pelajaran prakarya dan harus dicatat lalu akan diserahkan kepada guru mata pelajaran tersebut. "Kita berdua aja," jawab Jessi dengan rasa bersemangatnya. "Gimana sama lo?" tanya Yuli pada Abra dan harus ada kesepakatan bersama. Abra mengangguk saja dan melirik Jessi sekilas. "Oke kalau gitu gue catat." Lantas Yuli mencatat nama mereka berdua dan satu-satunya kelompok yang hanya berdua saja. "Makasih ya Yul," ucap Jessi sambil tersenyum ramah. "Sama-sama guys." Yuli langsung keluar kelas dengan berlari. "Kenapa tidak gabung sama yang lain?" tanya Abra heran pada Jessi. "Enakan berdua aja, percuma banyak anggota kelompok nanti yang ngerjain ya yang rajin dan lainnya cuman numpang nama doang." Jessi memasang muka kesal sebentar kalau memikirkan soal kelompok karena Jessi berulang kali mengerjakan sendirian setiap ada kelompok dan juga jika dikerjakan di rumahnya, banyak teman-temannya yang menguras makanannya tapi malas mengerjakan tugasnya. Bukannya Jessi tidak ikhlas berbagi makanan tapi namanya juga tujuan datang ke rumahnya mengerjakan tugas kelompok harusnya tugas yang diutamakan terlebih dahulu. Kali ini Jessi bersyukur bisa mendapatkan teman baru di kelasnya sekaligus sebangku dengan murid yang pintar dan rajin. "Eh iya, Balder sama siapa dong?" Jessi tiba-tiba memikirkan Balder yang sepertinya belum mendapatkan kelompok. "Bilang aja ke ketua kelas," ucap Abra. "Tapi dia rajin gak kalau ngerjain sesuatu gitu?" Abra menggeleng sebagai jawaban dan memang nyatanya temannya itu sering malas mengerjakan tugas sekolah. Pikiran temannya itu hanya untuk kerja, kerja dan bekerja. "Oh ya sudah, kita berdua aja kalau gitu." Jessi tersenyum simpul sambil mengedipkan sebelah matanya ketika bertemu pandangan dengan Abra. Abra keheranan karena setahu yang ia lihat, selama ini Jessi lebih akrab dengan Abra dan ada seorang cewek yang sekelas dengan Abra. Di kelas pun hanya beberapa saja yang saling sapa dan Jessi lebih memilih kemana-mana sendiri dibanding ada tugas bersama teman sekelasnya. "Lo paham gak materinya?" tanya Jessi pada Abra yang tengah membaca materi tugas kelompok yang diberikan oleh guru mata pelajaran prakarya baru saja dikirim oleh Yuli di grub kelas mereka. Abra mengangguk tanpa menoleh ke Jessi. "Cepet pahamnya ya lo, bagi otak lo dong." "Belajar." "Males hehe." Jessi terkekeh pelan. 'Dia tidak ada perubahan sama sekali, sama seperti Jessi kecil yang males belajar dan lebih suka main doang'--Abra menghela napasnya pelan dan tidak kaget lagi terhadap sikapnya Jessi sebagai memang sudah dari kecil kelakuannya begitu. "Lo gak cuekin gue lagi kan?" tanya Jessi bersuara hati-hati pada Abra yang sudah selesai membaca materi tugas kelompok tersebut. Abra menoleh perlahan ke Jessi dan Jessi tersenyum lebar lalu laki-laki itu membuang mukanya ke samping. Seketika senyuman lebar Jessi luntur dan digantikan dengan tatapan kebingungan. "Kenapa gak lo jawab?" 'Bingung harus menjawab apa, sebenernya gak ada tujuan ketemu Jessi secepat ini tapi takdir mempertemukan kita kembali bahkan menjadi teman sekelas. Gue sampai linglung dan gak nyangka makanya gue mau-mau aja diajak duduk sebangku sama Jessi. Andai waktu pertama kemarin mrnolak pasti gak bakal terus dekat begini dan semuanya telah terlanjur. Gue pengen menghindar tapi semesta tidak mendukung keputusan gue dan selalu ada saja kejadian yang membuat gue terus deket sama dia. Menjauh dari dia pun, gue gak bisa karena gue rindu banget sama dia dan setelah beberapa tahun lamanya kita berpisah akhirnya dipertemukan lagi walau cuman gue doang yang tau'---Batin Abra. "Abra malah bengong ih." Jessi menggoyangkan bahu laki-laki itu dan Abra pun tersadar daru lamunannya. "Apa?" "Haduh, gue ulangi lagi deh. Sekarang lo gak cuekin gue lagi kan?" "Emang kenapa?" "Gak enak tau dicuekin." Jessi memasang mukanya yang sedih dan terbayang dirinya selalu diabaikan oleh Abra. "Kalau gue minta lo buat gak jadi cewek cerewet, bisa gak?" Sekarang Abra membalikkan pertanyaan dari Jessi untuk gadis itu sendiri. "Emm susah sih." Jessi menggaruk rambutnya yang tidak gatal dan membayangkan dirinya sendiri menjadi cewek pendiam. Itu sungguh sulit dilakukannya karena Jessi sendiri adalah tipe orang yang tidak bisa diam meski orang-orang yang belum mengenalinya selalu menganggap dirinya adalah gadis pendiam karena wajahnya yang terlihat kalem. "Sekarang paham kan apa yang gue rasain ketika lo nyuruh gue buat gak jadi cuek?" "Maksudnya begini, lo kalau diajak bicara itu jawab bukan diam mulu kan gue nunggu jawaban dari lo kalau lo jawab, gue gak bakal secerewet itu." Jessi mencebikkan bibirnya. Teman-teman sekelasnya satu per satu keluar dari kelas dan tersisa beberapa murid saja di dalam kelas termasuk. Abra mengangguk sembari menggendong tas ranselnya dipunggungnya. "Berarti kita berteman." Jessi mengulurkan tangannya di hadapan Abra. Abra membalas jabatan tangan dari Jessi, kalau tidak begitu pasti Jessi akan mengomelinya lagi. "Kelompoknya kapan?" "Minggu." "Lusa berarti, oke siap!" Jessi memberi hormat pada Abra dan Abra mulai beranjak pergi dari kelasnya. Jessi buru-buru menyusulnya dan ingin berjalan barengan menuju depan gerbang sekolah. "Jessi!" Panggil teman Jessi yang kelasnya berada di sebelah Jessi siapa lagi kalau bukan Anya dan Dipta. Abra menghentikan langkahnya sejenak mendengar Jessi yang menyuruhnya berhenti melangkah. Sedangkan Jessi menarik tangan Anya dan Dipta sehingga mereka sekarang saling berhadapan. Dipta menatap tak suka pada Abra sedangkan Abra bersikap biasa saja. "Kalian kan belum kenalan, jadi ini murid baru resmi jadi temen kita juga." "Kenapa harus dia Jes? Dia itu acuh orangnya, sama lo aja diabaikan apalagi sama kita." Dipta langsung menyahut ucapan Jessi. "Enggak, kalau kalian ajak dia ngobrol waktu lagi santai-santainya aja dan kalau dia sibuk, jangan diganggu sih. Dia cuek tapi baik kok," balas Jessi menjelaskan tentang Abra kepada mereka. Abra tersenyum tipis sebentar saja seraya mengangguki ucapan Jessi. "Oh gitu, gue paham. Dia orang introvert. Salam kenal ya, gue Anya." Anya dan Abra saling berjabat tangan. "Giliran Dipta." Jessi menatap Dipta yang berdiri di depan Abra. Dipta terpaksa ikut berjabat tangan Abra dan itu hanya sekilas saja dilakukannya. "Lo pulang bareng gue apa sendiri, Jes?" tanya Dipta yang berusaha berdiri di sebelah Jessi sehingga Abra yang tak memiliki tempat berjalan Akhirnya memilih mengalah dan di belakang Jessi bersama Anya yang sibuk pada ponselnya. "Di jemput." "Ouh gitu." "Dipta stay pakai sepeda apa gak capek?" tanya Jessi heran pada Dipta sebab jarak rumah Dipta ke sekolah juga lumayan jauh. "Enggak, Jes. Karena sudah terbiasa." Abra memperhatikan mereka berdua yang tengah asyik mengobrol. Ia jadi teringat masa kecilnya bermain bersama mereka, melihat Dipta bersama Jessi bukan merasa cemburu melainkan rasa kerinduannya kenangannya bersama mereka sewaktu masa kecil. Ia juga tidak merasa marah ditatap tak suka oleh Dipta karena ia tau, Dipta sangat teliti menjaga Jessi dari siapapun justru Abra bersyukur Jessi bisa mendapatkan teman yang sangat menjaganya. Disisi lain Abra tau dan bisa menebak kalau Dipta menyukai Jessi tapi ia tak mengurusi perasaan orang dan menjalani hidup seperti air yang mengalir. "Tambah tinggi aja deh lo tapi masih tinggian Abra." Jessi menoleh ke samping lalu ke belakang dirasa Abra tidak ada di sampingnya. "Malah di belakang, untung gak hilang hehe." Jessi terkekeh pelan. "Gak mungkin hilang, dia cowok dan sudah besar," ucap Dipta. Anya menyimak saja obrolan mereka karena dirinya memikiki kesibukan lain. "Guys, gue pulang dulu ya." Pamit Vanya yang berbelok ke arah lain. "Hati-hati." Jessi melambaikan tangannya ke arah Vanya karena mereka berpisah di pertigaan antara gedung dan tempat parkiran. "Gue juga ya." Pamit Dipta sambil tangannya mengusap puncuk rambutnya Jessi. Entah mengapa Abra tak sanggup melihat mereka dekat terus-menerus dan memilih memalingkan wajahnya ke arah lain. 'Kok d**a gue sesak ya padahal mereka cuman berteman, asal Jessi gak suka balik aja bagi gue sudah aman'--ucap Abra. Dipta menatap Abra sinis lalu pergi berlalu begitu saja. "Jaga Jessi." Itu saja pesan yang disampaikan oleh Dipta pada Abra. "Hati-hati!" teriak Jessi dengan semangat melambaikan tangannya ke arah Dipta. Kini hanya tinggal mereka berdua saja, Abra langsung menggandeng tangan Jessi saat melewati gerbang sekolah karena banyak murid yang mengendarai motor dan ada juga yang ugal-ugalan. Walau sudah menyeberang, Abra tak melepaskan genggamannya dan merasa nyaman saja menggenggam tangannya Jessi. Jessi sendiri merasa senang dan tersenyum malu dilihat beberapa murid di sekitar mereka. Sudah banyak rumor bertebaran tentang kedekatan Abra dan Jessi tersebar dimana-mana. Jessi merasa tak masalah ada berita itu di sekolah justru malah senang karena siswa yang menggodanya semakin berkurang. "Duduk!" Titah Abra sembari mengarahkan bahu Jessi, memaksa gadis itu duduk setiba di halte dan membiarkan dirinya sendiri berdiri karena menganggap dirinya lebih kuat dari Jessi. Jessi harus diutamakan. "Tapi lo gak ikut duduk?" "Biar buat orang lain, gue gak capek." "Gue juga gak capek." Jessi yang akan bertemu, pundaknya diturunkan oleh Abra sehingga kembali duduk di tempatnya. "Duduk saja!" "Tapi gue gak capek dan pengen berdiri, iya deh." Jessi mendengus sebal mendapat tatapan tajam dari Abra yang menyuruhnya untuk tetap duduk. "Di jemput jam berapa?" "Bentar lagi sampai sih." "Oke." Sudah menunggu lama hampir setengah jam, mobil jemputan Jessi tak kunjung datang dan bus sekolah kini telah berhenti terparkir di depan halte bus. Orang-orang yang menunggu kedatangan bus mulai naik satu per satu. "Gak naik lo?" tanya Jessi bingung pada Abra yang masih setia berdiri di depannya. "Lo pulang duluan baru gue." "Tapi kan busnya cuman sekali lewat disini." "Tidak usah mikirin gue, yang terpenting lo pulang duluan." Abra duduk di samping Jessi dirasa halte bus ini sudah sepi. "Tapi--" "Diamlah." Akhirnya Jessi terdiam dan tersenyum menatap laki-laki itu yang peduli padanya. "Terkadang gue bingung sama sikap lo, cuek dan peduli beda tipis." "Gue sudah bilang kan tadi, gak usah buang-buang waktu buat mikirin gue. Apa masih kurang jelas?" "Iya ya gue kan cuman merasa terheran-heran hehe lagian sifat lo ini membingungkan dan gak bisa terbaca juga." Jessi dengan beraninya menarik dagu Abra dan mengarahkannya kepadanya. Abra memegang tangan Jessi yang memegang dagunya. "Kurang ajar." "Hehe emang wle."Jessi menjulurkan lidahnya dan memasang wajah ledekan. Abra berdecak kesal lalu beranjak berdiri dari tempat duduknya. "Mau kemana?" tanya Jessi panik dan ikutan berdiri. Ia melihat Abra mulai melangkah pergi dari sini. "Pulang lah." "Lo tega ya ninggalin gue?" tanya Jessi dengan suaranya sedikit berteriak. Abra menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang sejenak. "Tega," jawab Abra santai. "Jahat banget ya lo!" Jessi menghentakkan kedua kakinya dan kedua tangannya terkepal disisi tubuhnya. Abra menghela napasnya melihat tingkah Jessi saat ini yang mudah sekali ditipu. Kemudian Abra menghampiri Jessi lagi dan berdiri di depan gadis itu yang sepertinya akan menangis. "Jahat!" Rengek Jessi seperti anak kecil sambil memukuli d**a bidang Abra. "Nangis apa pulang?" Abra menangkap kedua tangan Jessi dan menggenggamnya supaya tidak lagi memukulinya. "Pulang," jawab Jessi. Abra membalikkan tubuhnya dan mulai melangkahkan kakinya pergi dari tempat ini. "Tungguin!" Jessi berjalan cepat agar bisa menyusul langkah kakinya Abra yang lebar. "Lambat." Cibir Abra. "Apa kata lo? Gue lambat?" Suara Jessi kembali berteriak dan tak terima diledek 'lambat' oleh Abra. "Ini makan." Abra melepaskan salah satu tali tasnya dan membuka tasnya untuk mengambil sesuatu lalu diberikan kepada Jessi. "Lolipop!" Jessi memekik kegirangan saat menerima pemberian dari Abra. "Gue bukain, bisa patah kalau lo yang bukain sendiri." Abra meraih lolipop ditangan Jessi lalu membuka bungkus plastik yang membungkus permen tersebut. "Aaa suka." Jessi mulia menjilati permen berbentuk lingkaran dan penuh banyak warna. Seketika Jessi melupakan cibiran dari Abra tadi dan fokus pada makanannya. Abra merasa seperti membawa bocah SD jalan-jalan sekaran dan ia menggandeng tangan Jessi karena gadis itu tidak terlalu fokus pada jalannya. "Kita mau kemana?" "Pulang." "Jalan kaki?" Abra diam saja dan malas menjawab pertanyaan dari Jessi. "Lo sudah telfon sopir lo?" Abra baru teringat kalau Jessi belum menghubungi sopir pribadinya. "Hp gue mati. Kalau hidup ya gue pesen taksi dari tadi." "Kenapa baru bilang?" "Baru inget hehe." Jessi tertawa kecil dan wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalahnya mengatakan hal tadi. "Oh ya, kan bisa pesan taksi pakai hp lo." "Hp gue baru aja mati. Gue tadi hidupin terus mati dan kalau hp gue bisa digunakan pastinya gue pesenin lo taksi." Abra tadi juga merasakan kesulitan karena sinyalnya tiba-tiba menghilang sendiri dan ponselnya juga mati mendadak. "Jadi kita pulangnya jalan kaki terus dong? Kan capek." "Nurut aja!" Abra menatap tajam ke arah Jessi dan Jessi malah menatap tajam balik ke arahnya. Di tengah perjalanan tiba-tiba pikirannya melayang kejadian beberapa jam yang lalu dimana dalam keadaan tubuh tidak mengenakan baju seragam dan memeluk Jessi. Abra menelan salivanya pelan dan pikirannya malah tak karuan jika dibayangkan lagi. 'Ah sial, kenapa gue malah mikirin kejadian tadi'--teriak Abra dalam hatinya. Padahal kejadian itu sudah mulai terlupakan tapi malah teringat kembali. Antara senang dan malu jikalau ada orang yang melihat mereka sedang berpelukan tadi di UKS dalam posisi tiduran. "Abra jangan diremes dong tangan gue." Rengek Jessi yang merasa tangan kanannya diremes kuat oleh Abra. Abra langsung melepaskan tangannya yang meremas tangan Jessi bukan memegangnya. "Sorry, gue gak sengaja." "Emang lo lagi mikirin apa sih? Wajah lo juga tegang banget." Jessi memincingkan matanya curiga menatap Abra "Gak gue gak lagi mikirin apa-apa." Abra menggelengkan kepalanya dan berusaha bersikap biasa saja. "Beneran?" tanya Jessi lagi. "Beneran. Diam deh!" Abra berjalan mendahuluinya dan Jessi mencak-mencak lagi di tempatnya berdiri melihat Abra yang suka sekali meninggalkannya. Sampailah sudah di tempat yang dituju oleh Abra. "Apa ini?" "Becak," jawab Abra. "Ya gue tau kalau becak, maksud lo kesini kita naik becak gitu?" Dahi Jessi berkerut menatap Abra yang memesan satu becak di antara banyak becak berjejer di depan sebuah mall. "Enggak, naik odong-odong." Abra kesal dan gereget karena Jessi terus banyak bertanya kepadanya. Abra menyuruh Jessi naik terlebih dahulu barulah ganti dirinya yang kini duduk di samping Jessi. "Iya sih, naik becak kayak naik odong-odong bedanya kalau becak pindah-pindah berbagai tempat kalau odong-odong kan stuck-nya cuman di tempat satu doang." "Bisa pindah tempat, kalau odong-odongnya gak ada yang numpangi dan tempatnya itu sepi," balas Abra. "Ah entahlah, gue males mikir." Jessi pun memilih menghabiskan permen lolipopnya daripada berdebat dengan Abra. "Cuman gitu doang gak perlu mikir terlalu berlebih," ujar Abra. "Nyenyenye." Di tengah perjalanan, Jessi merasa aneh karena jalan yang dilewati tidak menuju rumahnya lalu ia melirik Abra yang sangat santai menikmati jalanan di sekitarnya. "Kok jalannya gak menuju rumah gue?" tanya Jessi pada Abra. "Ke rumah gue dulu dan gue nanti yang nganter sampai rumah lo." "Ih ngapain gitu kan jadinya bolak-balik." "Gak papa, asal lo gak pulang dalam keadaan sendirian." "Kan sama aja, kita searah." "Searah gimana, lo belok kiri sedangkan rumah gue masih lurus terus. Sudahlah nurut aja apa kata gue, jalanan juga ramai dan kita pakai becak jadi gak enak ke bapaknya." Jessi mendengus sebal tapi tak lama tersenyum lebar kembali. "Ciee yang khawatirin gue." Jessi melingkarkan tangannya ke lengan Abra dan meletakkan kepalanya ke bahu laki-laki itu. "Ngapain sih?!" Abra menahan dahi gadis itu supaya tidak menempel ke bahunya tapi percuma, Jessi bersikeras ingin menempelkan kepalanya ke bahu Abra. "Hadeh malah numpang, bahu gue bukan bantalan ya." "Bodo amat." Jessi telah menghabiskan permennya dan kini waktunya menempel ke laki-laki itu. Jessi sangat merasa nyaman dengan posisi ini dan aroma maskulin yang menempel ditubuh Abra sangat menenangkan sekali. Abra pun pasrah pada posisinya ini dan tak bisa juga kasar ke gadis itu. Wajahnya yang imut dan menggemaskan seperti anak bayi itu sangat disayangkan kalau dikasari.. Setiba di tempat perbatasan antara kota dan kabupaten lantas mereka berdua turun dari becak. Jessi tetap melingkarkan tangannya ke lengan Abra dan Abra mau tak mau menerimanya. "Jalan-jalan," gumam Jessi. Walau mereka berjalan, tak jauh pula jarak rumahnya Abra dengan perbatasan meski harus masuk ke beberapa gang. "Sampai." Jessi bernapas lega dan terasa sekali pada kakinya. Abra menyuruh Jessi duduk di luar saja karena ia langsung mengambil motornya dari belakang rumahnya. ... "Lo langsung pulang ya?" tanya Jessi yang tak rela berpisah dengan Abra. Abra dan Jessi telah sampai di tempat kediamannya Jessi. "Heem." Abra mengenakan kembali helmnya. "Jangan dulu!" Cegah Jessi dan memegangi tangan Abra sehingga Abra tak jadi mengenakan helmnya. "Kenapa emang?" tanya Abra bingung. "Mampir ke rumah gue dulu." "Enggak ah, gue mau langsung pulang." Abra menggelengkan kepalanya. "Ih jangan gitu, gak boleh nolak! Harus mau!" Jessi mengambil helmnya Abra dan Jessi berjalan mundur secara perlahan sambil membawa kabur helmnya Abra. "Jessi! Mana helm gue! Astaga ini cewek meresahkan." Abra terpaksa turun dari motornya dan ikut masuk ke dalam rumahnya Jessi. Abra berhenti melangkah ketika sudah masuk ke dalam rumahnya Jessi dan matanya mulai menelisik sekitarnya. Perubahan rumah Jessi yang dulu dengan sekarang sangat jauh berbeda sekali. Rumah yang sekarang Jessi tempat ini lebih besar dari sebelumnya dan lebih mewah juga. "Sejak kapan lo pindah ke rumah ini?" Reflek Abra menanyakan hal itu pada Jessi. "Gue pernah cerita tentang kepindahan rumah gue ya?" "Iya pernah kayaknya," jawab Abra yang terpaksa juga harus berbohong agar tak dicurigai oleh Jessi. "Emm pasti tau dari berita deh, kang wartawan suka kepo soalnya sama kehidupan bokap awal-awal jaya-jayanya dulu." "Emang lo sudah pindah berapa lama?" tanya Abra penasaran. "Sebelum adek gue meninggal tepatnya sih." Abra pun mengangguk dan ia melirik helmnya yang berada di dalam pelukan Jessi. Segera ia rebut kembali tapi Jessi sudah menyadarinya duluan dan membawanya lari ke dalam. Abra mendengus sebal dan kini duduk di sofa ruang tamu sambil menunggu Jessi kembali. Seorang pembantu rumah ini datang ke ruang tamu sambil membawakan makanan lalu datanglah lagi pembantu yang lain membawa minuman dan diletakkan di atas meja depannya. "Silakan dimakan, Mas." "Iya, Bu." "Panggil bibi saja Mas, kalau manggil ibu ke ibunya Jessi aja." Dua pembantu itu saling pandang dan terkekeh pelan sehabis menggoda Abra. Abra memaksakan bibirnya tersenyum meski dalam hati rasanya malu sekali digoda oleh dua bibi cantik tadi. "Gak majikannya gak pembantunya sama aja ternyata." Tak lama akhirnya Jessi kembali dan ikut duduk di sebelah Abra. Abra terus saja melirik helmnya yang didekap erat oleh Jessi. "Mana helm gue Jes?" "Ntar dulu deh, nikmati makananya gih!" Suruh Jessi pada Abra. "Enggak, gue cuman pengen helm gue balik." Tolak Abra. "Iya ya nanti gue bakal kasih tapi sekarang temenin gue makan sore" "Makan sore? Maksudnya makan siang?" " Gue makan empat kali sehari dan bisa lebih juga." "Perut karet." "Kok karet sih? Mana bisa perut gue ngelilit sesuatu dahlah gue bingung banget." Abra menjitak dahinya Jessi karena saking geregetnya pada gadis itu. "Haduh, sakit." Jessi mengusap dahinya yang memerah akibat jitakan yang diberikan oleh Abra. Abra berdecak kesal lalu menarik tangan gadis itu supaya duduk didekatnya dan tangannya mengusap dahi Jessi dengan lembut. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD