Part 18: Hot Boy

3032 Words
"Kenapa lo malah lepas baju?" tanya Jessi yang berusaha bersikap santai meski merasakan sedikit gugup pada dirinya. Abra baru saja melepaskan baju seragamnya lagi dan napasnya juga memburu. "Gerah." "Kan ada AC." "Lo gak lihat ada tulisan AC-nya sedang dalam tahap perbaikan." Abra menunjuk letak AC dimana AC-nya sepertinya baru saja diambil dan disana juga ada tulisan 'AC sedang dalam tahap perbaikan'. "Baru tau." Jessi tersenyum tipis lalu mengambio kursi plastik yang berada di dekat brangkar UKS tersebut. "Kenapa lo duduk di kursi? Duduk disini aja, lebih enak." Abra masih duduk di atas brangkar sebelahnya Jessi dan tangannya menepuk tempat sampingnya. "Enggak papa, disini saja." Jessi menggelengkan kepalanya dan tak berani menatap terlalu lama ke arah Abra. Abra menatap heran pada Jessi yang tingkahnya mendadak berubah menjadi canggung. "Btw, lo tadi waktu istirahat beneran sudah minum obat sakit kepala?" tanya Abra yang baru ingat tadi Jessi sempat mengeluh sakit di kepalanya. "Oh sudah." "Masih pusing?" "Emm enggak sih, gak terlalu." Jessi menggelengkan kepalanya dan malu-malu kucing diberi perhatian oleh Abra. Abra tersenyum melihat Jessi yang kini menundukkan wajahnya, ia juga melihat wajah Jessi yang memerah seperti kepiting rebus dan tingkahnya itu sangat menggemaskan dimatanya. "Terus lo gak balik masuk ke kelas?" "Emangnya lo gak balik?" "Percuma, ketinggalan pelajaran. Gue balik nunggu jam pelajaran berganti." "Gue kira lo bakal buru-buru balik ke kelas secara lo kan murid baik dan pintar. Tadi belajarnya aja fokus banget, emm sekarang kok banyak bicaranya? Tadi gue di kelas ngomong kayak sama hantu." Jessi baru sadar juga kalau Abra banyak bicaranya disini padahal sebelumnya laki-laki itu sangat cuek padanya. "Bicara tau situasi dan kondisi. Lo gak lihat kah tadi gue fokus belajar segitunya dan lo dengan kurang ajarnya gangguin gue yang lagi belajar." "Kurang ajar ya gue tadi?" Jessi seketika merasa bersalah telah mengganggu laki-laki itu yang sedang fokus belajar. Abra mengangguk. "Tapi kan kalau lo bilang dari awal, bicara nanti saja dulu ya gue bakal paham." "Harusnya lo punya rasa pengertian, lo bukan anak kecil lagi." Abra beranjak berdiri dan melangkahkan kakinya menuju tempat air minum yang dekat dengan kotak obat. Jessi sedikit terkejut dan memberikan jalan kepada Abra. Jessi tidak terlalu memperhatikan Abra karena Abra masih tidak juga mengenakan pakaiannya kembali dan kini laki-laki itu tampak tengah mencari air minum di ruang kesehatan ini. "Gue minta maaf, gue gak bisa ngertiin orang." "Minta maaf lo gue terima asal lo cariin gue air minum disini, gue haus." Abra hanya mengetahui letak gelas kaca bersih. "Kayaknya disana botol mineralnya." Jessi bergegas mencari botol air mineral di sebuah lemari bagian bawah dan benar disitulah tempat beberapa botol air mineralnya. Selanjutnya Jessi menghampiri Abra dan meraih air gelas ditangan lelaki itu lalu diletakkan di atas meja. Ia menuangkan air mineral dari botol tersebut ke dalam gelas kaca yang ditemukan oleh Abra sendiri. "Tangan lo geter banget." Komentar Abra saat melihat kedua tangan Jessi yang bergetar. "Karena berat hehe." Jessi menyengir walau bukan itu saja alasannya kedua tangannya bergetar melainkan posisi tubuh Abra yang berdiri di belakangnya dan itu membuat bulu kuduknya berdiri alias merinding ketakutan. "Gak bilang." Abra mendengus kemudian kedua tangannya dari arah belakangnya Jessi kini tepat memegang kedua tangan Jessi. Tubuh Jessi lagi-lagi menegang, ia merasakan hembusan napas Abra mengenai lehernya dan semakin membuat tubuhnya bergetar. Sedangkan Abra sendiri yang tidak tahan dengan rasa hausnya segera menuangkan gelas berukuran besar itu dengan air mineral dari botol tersebut. 'Ya Tuhan, jantungku berdebar kenceng banget. Gue takur bjirr'---Jessi memekik di dalam hatinya dan kedua matanya terpenjam begitu kuat. "Lo kenapa?" Abra baru saja selesai menuangkan air mineral ke dalam gelasnya dan tak sengaia mengetahui Jessi yang malah memejamkan kedua matanya. "Eh sudah kah?" Mata Jessi kembali terbuka dan hampir saja tubuhnya ambruk kalau tidak dipegangi oleh Abra. "Aaa!" teriak Jessi dan menjauh dari Abra. "Lo kenapa sih teriak-teriak dari tadi? Kalau ada yang denger teriakan lo terutama guru, disangkanya gue murid gak bener." Abra meraih gelas yang sudah berisikan air tersebut dan meneguknya hingga tandas. "Gue kaget doang." Jessi memeras roknya, menimalisir rasa gugupnya yang mulai muncul lagi seperti tadi. "Padahal lo yang bikin kaget gue." "Iya deh gue salah." Lirih Jessi sembari menundukkan wajahnya. "Lo masih sakit kah?" tanya Abra mengetahui sikap Jessi yang tak seperti biasanya. Abra meletakkan kembali gelas yang sudah kosong di atas meja nakas dekat dengan kotak obat. "Enggak, gue sudah bilang kan tadi kalau gue baik-baik saja." Jessi tersenyum lebar hingga matanya menyipit sambil menggelengkan kepalanya pelan. "Jangan berbohong, istirahatlah disana. Tidur yang nyenyak supaya rasa pusing lo berkurang." "Gue beneran gak papa kok." Abra pun menatap gadis itu tajam karena sangat keras kepala sekali dan hal itu membuatnya kesal. "Balik gih ke kelas kalau gak sakit!" Perintah Abra pada Jessi. "Enggak, gue mau disini." Jessi memang suka malas mengikuti pelajaran dan selalu semangat menemani seseorang di UKS. Itulah alasan Jessi memaksa Abra agar ikut ke ruang kesehatan. "Kalau lo mau disini, sana berbaringlah." "Emm harus kah?" "Iya harus atau kalau enggak, gue lapor ke guru kalau lo sengaja bolos disini." Ancam Abra. "Eh jangan dong!" Jessi menangkupkan kedua tangannya di depan d**a dan sorot matanya penuh memohon supaya tidak dilaporkan kepada guru kalau dirinya ini sengaja membolos di ruang kesehatan sekarang. "Ya sudah, sana!" Abra menunjuk ke arah brangkar dengan dagunya. Jessi pun berbaring di atas brangkar tersebut setelah melepaskan sepatunya tapi... "Eh lo kok ikut naik disini?!" Jessi memekik terkejut melihat Abra yang ikutan akan berbaring di brangkar yang sama dengannya. "Jagain lo lah." "Emmh tapi kan masih ada tempat lain." "Emang kenapa kalau disini? Lagian brangkarnya luas dan cukup buat berdua." "Ya tapi kan." Jessi tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia sangat deg-degkan sekarang ditambah melihat tubuh seksinya Abra yang menggoda sekali dimatanya. 'Argh kenapa sih hari ini sangat menggila sekali?'---Jessi berteriak di dalam hatinya, benar-benar tak kuat lama-lama menatap lelaki itu karena matanya selalu tertuju pada perut Abra yang sangat menggoda imannya. Jessi memilih tidur dengan posisi membelakangi Abra sedangkan Abra masih dalam posisi duduk dengan menyenderkan dindingnya ke dinding. "Kalau lo, gak tidur berarti?" tanya Jessi tanpa menatap lelaki itu. "Enggak, lo aja yang tidur." "Lo sudah gak cuekin gue lagi kan?" "Hmm." "Beneran, gak cuekin gue lagi?" "Mau cuek apa enggak, terserah gue." Jessi mencebikkan bibirnya dan merasa sebal mendengar jawaban yang diberikan oleh Abra. "Tidurlah!" Suruh Abra dan melirik gadis itu sekilas. Jessi tidak menjawab dan gadis itu perlahan memejamkan kedua matanya. Abra melihat pemberitahuan di ponselnya ternyata Balder mengatakan kalau tubuhnya pulih cepat, lusa dirinya akan pulang dan meminta dirinya yang menjemputnya daripada keluarganya. Abra berdecak kesal, temannya itu selalu merepotkannya. Selesai fokus pada ponselnya, Abra memeriksa Jessi lagi dan menggoyangkan tubuh gadis itu untuk memastikan apakah sudah tertidur terlelap atau belum. Abra terkejut melihat Jessi yang malah menggerakkan badannya dan menghadap ke arahnya. Tidak hanya itu saja, Jessi malah memeluknya dari samping begitu erat dan bergumam dengan suaranya yang tidak jelas. "Eh?" Abra panik dan tubuhnya tak bisa digerakkan karena sepenuhnya Jessi menindihnya dari samping. Ia hanya bisa menggerakkan tangan kanannya saja karena kakinya Jessi menumpang di atas kedua kakinya Abra. Ketika Abra ingin membenarkan posisi tubuh Jessi, Jessi malah bergerak dan makin mengeratkan pelukannya. "Ini salah gue, harusnya gue gak ikut terbaring disini." Abra meruntukki dirinya dan tidak menyangka juga Jessi sebrutal ini posisi tidurnya. Perlahan-lahan Abra mulai mengantuk dan tidak sadar dirinya ikut tertidur dengan posisi tubuhny memeluk Jessi. Mereka berdua tidur dalam posisi tubuhnya saling berpelukan. ... Jessi merenggangkan tubuhnya sambil bergumam, ia merasakan tubuhnya seperti ditindih sesuatu yang berat dan perlahan Jessi membuka kedua matanya. Betapa syoknya melihat posisi Abra yang setengah tubuhnya itu menindih tibugnya dan wajah Abra berada di dekat kepalanya. Jika Jessi menoleh, otomatis bibir mereka nanti bisa bersentuhan sehingga Jessi sebisa mungkin tidak menolehkan kepalanya ke samping. "Astaga kenapa dia juga ikutan tiduran disini malah ditindih begini, pantesan gue ngerasa sesak banget." Jessi merasa engap sekali dan berusaha terbebas dari pelukan Abra. "Argh mana dia gak pake baju pula." Jessi antara mau dan tidak mau dipeluk Abra dalam posisi begini namun pikirannya tak karuan. "Tapi wajahnya ganteng banget kalau tidur gini ya, lebih ke damai." Jessi membelai wajah Abra lalu tangannya menaikkan dagu Abra sehingga mulut Abra bisa tertutup kembali. Jessi juga melihat luka Abra yang mengering diujung bibirnya itu. Sebelumnya Jessi dengan kehati-hatiannya menolehkan wajahnya demi menatap jelas wajahnya Abra ketika sedang tertidur terlelap. "Aduh aduh." Jessi memekik merasakan Abra bergerak dan mempererat pelukannya. Kini Jessi tak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya karena tangan kirinya juga ikut masuk ke dalam pelukan lelaki itu. "Gimana ini, kok malah jadi makin nempel." Jessi kebingungan tapi disisi lain tidak tega untuk membangunkan Abra yang sangat pulas tidurnya. Beberapa menit kemudian, Abra kembali menggerakkan tubuhnya dan kali ini posisi Abra berganti tercengang. Tapi tangannya mengenai keningnya Jessi sehingga Jessi memekik kesakitan. "Aw sakit!" Jessi memegangi keningnya yang terkena tangannya Abra seperti dipukul rasanya. "Hmm." Abra bergumam dan perlahan membuka matanya mendengar suara rintihan orang yang sedang kesakitan. Abra pun menoleh ke asal suara tersebut dan seketika matanya membulat melihat Jessi ada di sampingnya. "Aaa!" teriak Abra dan langsung memposisikan tubuhnya duduk. Jessi terlonjak kaget mendengar suara Abra yang berteriak dan juga sama-sama kagetnya. "Ck, gue kaget denger suara lo itu bikin merinding." Suara Abra yang termasuk kategori suara deep itu sangat terdengar mengerikan jikalau berteriak menurut Jessi. "Habisnya lo ngapain tiduran di sebelah gue?" Abra kebingunan sambil memakai baju seragamnya lagi. "Lo lupa ya kalau lo sendiri yang nyuruh gue tidur disini karena lo ngiranya gue masih sakit kepala." "Oh iya gue baru ingat." Abra merapikan bajunya sambil menatap cermin besar yang menempel dipintu lemari. "Tubuh gue pegal-pegal gegara lo tindih nih." Raut wajah Jessi kesal walau kedua tangannya bergerak melipat selimut yang bentuknya jauh dari kata rapih begitu juga dengan kasur brangkarnya. Abra hanya diam saja dan fokus pada penampilannya sendiri. "Kan gak ada rasa bersalahnya sama sekali deh lo." Jessi makin kesal dan gereget melihat tingkah Abra yang seolah-olah apa yang barusan terjadi. "Gue gak sengaja ketiduran." Selesai merapikan seragamnya, Abra membalikkan tubuhnya ke belakang dan menatap datar ke Jessi. Memang seperti itulah tatapan setiap hari yang Jessi dapatkan dari Abra. "Lo tau kan posisi kita tadi kayak gimana?" Jessi juga baru selesai merapikan kasur brangkarnya dan kini berganti merapikan seragamnya yang tampak berantakkan. "Tau." Abra mengangguk dan dia duduk di samping meja nakas setelah meneguk air mineral karena dirasa tenggorokannya kering. "Kenapa lo santai banget? Lo gak mikir gitu kalau semisal tadi ada yang tau, kita tidur bareng di brangkar UKS." Rasanya berat mengatakan 'tidur bareng' tapi mau gimana lagi memang kenyataan. Bukan maksudnya bilang tidur bareng itu ke hal dewasa tapi hanya tiduran saja dan tidak lebih dari sekedar tidur. "Ya mikirlah tapi mau gimana lagi emang gak sengaja kita sama-sama tidur disana. Semoga saja tidak ada yang lihat." Abra juga sebenernya takut kalau tadi ada yang melihat "Untung pakaian gue masih utuh." Gumam Jessi saat bercermin sambil memeluk tubuhnya sendiri. "Lo yang bilang gue murid baik, lo malah raguin gue. Seburuk itukah gue dipikiran lo?" Abra beranjak berdiri dan menggelengkan kepalanya menatap Jessi yang posisinya membelakanginya. "Bu-bukan maksudnya begitu, ta-tapi--" Belum sempat melanjutkan ucapannya, Jessi melihat Abra melenggang pergi begitu saja meninggalkannya sendirian di ruang kesehatan. "Dia marah kah? Duh salah gue ini." Jessi menepuk bibirnya yang mengatakan kalimat yang tanpa sadar menyakiti hati lelaki itu. ... Abra keluar dari ruangan kesehatan dan melihat suasana sekolah siang ini ramai menandakan sekarang waktunya istirahat kedua. Ia tak sadar selama ini di ruangan kesehatan dan ia mulai melangkahkan kakinya balik ke kelasnya lagi. Abra juga masih kepikiran dengan apa yang diucapkan oleh Jessi yang meragukannya. Ia tentu merasa marah tapi entah mengapa Abra malah tak tega bersikap seperti ini kepada Jessi. Dibenaknya mengatakan, wajar saja seorang perempuan merasa khawatir jika sesuatu yang berharga pada tubuhnya diambil oleh lelaki yang belum menjadi suaminya. Abra melihat wastafel yang tak jauh dari ruangan kesehatan sekolahannya dan segera membasuh mukanya karena ia baru bangun tidur sehingga mukanya masih muka bantal namanya. Selesai membasuh mukanya, ia mendengar suara pintu terbuka dari arah ruangan kesehatan dan tatapan mereka bertemu kembali. Abra membalikkan badannya dan akan melangkahkan kakinya. "Abra! Berhenti!" Suara Jessi seperti remote pada tubuhnya sehingga kedua kakinya langsung berhenti melangkah secara otomatis. Abra membalikkan tubuhnya kembali ke belakang dan sekarang Jessi sudah ada di depannya. "Maaf, maafin gue." Jessi meraih tangannya dan menjabat tangannya. Tatapannya mengartikan betapa merasa bersalahnya soal kejadian tadi. Abra menghela napasnya dan melepaskan tangan Jessi yang mengenggamnya. "Maafin gue." Jessi meraih lagi tangannya Abra. 'Apa yang terjadi pada diri gue? Gue bener-bener gak bisa marah sama dia dan melihat tatapannya sekarang jadi ingat Jessi kecil'--batin Abra. "Gue mau tanya," ujar Abra. "Tanya apa?" tanya Jessi bingung. "Alasan lo terus deketin gue, kenapa?" Jessi bingung menjawab apa sekarang sebab memang dorongan pada dirinya sendiri yang menginginkan dekat dengan lelaki itu seperti ada magnet di antaranya dengan Abra. "Gue gak tau." Abra mengernyitkan dahinya, "Kok tidak tau?" "Gue ngerasa kita itu kayak sudah kenal dekat padahal baru saja bertemu." Deg' Abra kaget mendengar penuturan dari Jessi yang memang ada benarnya juga. Mereka sudah mengenal dekat sedari lama bahkan sangat dekat sekali. 'Gue Felix, Jes'--Ingin rasanya Abra mengatakan hal itu tapi tak bisa untuk saat ini. "Setiap gue lihat lo terlalu lama begini, gue kayak lihat temen masa kecil gue yang menghilang entah kemana tapi gue berharap dia masih hidup." "Masih hidup." Sahut Abra tanpa sadar. "Maksud gue, berpikirlah positif kalau dia masih hidup," ucap Abra saat merasa Jessi memincingkan matanya kala menatapnya. "Iya, gue selalu berdoa kalau dia itu masih hidup. Gue kangen banget, padahal kita sudah berjanji untuk bersama terus sampai besar nanti. Nyatanya dia pergi ninggalin gue sendirian." "Lo gak sendirian." "Gue ngerasa gue kesepian gak ada dia di samping gue." "Kan lo punya temen yang lain." " Iya punga tapi Felix adalah teman pertama yang membuat gue nyaman banget dan gue menganggap dia itu orang spesial yang dikirim oleh Tuhan buat gue." "Yakin lah dia baik-baik saja sekarang." "Iya, gue selalu yakin kalau dia baik-baik saja dan bisa bertemu kembali." "Baguslah." "Nanti gue bakal kenalin ke lo deh." 'Itu gue, orang yang lo maksud'---Abra hanya bisa menjawab dalam hatinya. "Jadi, sampai sekarang lo masih mengharapkan dia ada di dunia dna bakal bertemu kembali?" tanya Abra. "Iya, sampai kapan pun gue gak pernah lupain dia juga dan gue berharapnya dia juga begitu ke gue. Gue masih yakin banget kalau dia masih hidup dan kita bisa bertemu kembali. Gue kangen banget sama dia." "Yakin gak bakal lupain dia?" "Yakin." Jessi mengangguk sambil tersenyum. Abra membaca kedua mata Jessi yang menjawab pertanyaannya dengan segenap rasa tulusnya. Gadis itu sangat mengharapkan dia kembali dan masih hidup di dunia ini. Sungguh hatinya merasa senang dan menghangat mendengar penurutan Jessi tersebut. Ia tidak menyangka kalau Jessi masih setia menunggunya sampai sekarang dan berjanji tidak akan pernah melupakannya meski memiliki teman baru sekarang. Abra langsung menarik Jessi masuk ke dalam dekapannya dan memeluk gadis itu sangat erat sekali. 'Gue juga kangen banget sama lo, sama kenangan kita waktu semasa kecil juga' Jessi mengangkat tangannya dan kebingungan mendapat pelukan erat yang menghangatkan ini dari Abra. Jessi pun membalas pelukan dari Abra dan lengkungan senyuman indah terpahat sempurna diwajahnya. ... Mereka berdua kembali masuk ke dalam kelas dan sempat mendapat sorakan dari teman-teman sekelasnya. "Buset lo baru balik." Erma berkacak pinggang menatap mereka bergantian. Abra dan Jessi sudah duduk dibangkunya. "Gue ketiduran di UKS dan gue sendiri takut sendirian jadinya Abra jagain gue di sana." "Enak bener lo jawabannya." "Kan gue tadi sudah bilang kalau lagi pusing ini kepala." Jessi mendengus sebal. "Eh iya lupa ding, ya sudah gue balik ke bangku lagi." Pamit Erma disertai kekehannya. Jessi pun menoleh, menatap Abra yang tengah menata buku-buku di atas mejanya. "Lo gak cuekin gue lagi kan?" tanya Jessi penuh harap pada Abra. Abra melirik sekilas ke arah gadis itu dan tetap fokus membaca buku mata pelajaran sekarang. "Hadeh, pinter banget menghindar." Jessi langsung paham, melihat Abra yang tiba-tiba belajar supaya tidak merespon ucapannya. "Gue emang belajar, gue suka belajar. Lo pernah lihat gue kebingungan ketika diberi pertanyaan oleh guru?" Abra menoleh, menatap Jessi yang merasa kesal kepadanya dan menganggapnya bersikap acuh. "Enggak pernah." "Maka belajarlah supaya lo tidak kebingungan ketika diberi pertanyaan oleh guru." "Pusing gue kalau lama-lama baca gue. Makanya dong kalau punya otak pintar itu dibagi ke gue, jangan dimiliki sendiri." Abra memutar kedua matanya malas karena ucapan Jessi mulai tidak jelas dan sulit dicerna. "Tapi lo beneran kan? Gak cuekin gue lagi." Jessi sangat berhati-hati mengatakannya. "Emang kenapa kalau gue gak cuekin lo?" tanya Abra heran. "Ya gak masalah sih, ya biar enak aja gitu gue gak dianggap bicara sama hantu." Jessi mengusap lehernya. "Muka lo 11 12 sama hantu jadi gak usah takut." "Ck,. Lo ngatain gue hantu?" Jessi menatap tajam ke Abra dan menepuk keras bahu laki-laki itu karena saking kesalnya dirinya dibilang hantu. "Sudahlah, belajar sekarang." "Gak mau." Jessi menggelengkan kepalanya cepat dan raut wajahnya juga masih tampak kesal. Abra tak memaksa gadis itu untuk belajar dan ia saat ini fokus membaca buku pelajaran sekarang. Buku Jessi masih dalam keadaan tertutup, Jessi malah fokus memperhatikan mimik wajah Abra yang tengah fokus belajar. Jessi sampai meletakkan kepalanya di atas buku dengan posisi kepalanya menyamping sehingga bisa melihat Abra yang duduk di sampingnya tengah sibuk belajar. "Oh ya, temen lo kapan pulangnya?" tanya Jessi penasaran. "Kenapa lo nanyain dia?" Pertanyaan Jessi membuyarkan kefokusannya pada belajarnya dan Abra menatap Jessi tajam. "Kan cuman tanya doang, kenapa lo marah?" tanya Jessi heran "Ngapain gue marah, lagian gue cuman mau bilang kalau Balder pantes masuk rumah sakit karena dia sendiri nakal dan biar tau juga rasanya sakit tubuhnya akibat dari perbuatannya sendiri." "Bener juga sih, cuman gue kasian sama dia." "Gak usah dikasihani." Suara Abra malah meninggi dan membuat beberapa murid di kelas terkaget-kaget mendengar suara Abra. "Kok lo gitu sih." Jessi merasa aneh pada Abra yang tiba-tiba emosi. "Sorry, gue kelepasan." Abra tak fokus lagi pada belajarnya lalu menutup bukunya. Pikiran Abra malah kacau, tadi hanya reflek saja suaranya meninggi karena Jessi membahas laki-laki lain selain dirinya. "Gak papa, guenya aja yang kurang pengertian dan malah gangguin lo yang lagi sibuk." Abra menoleh, menatap gadis itu yang mencari kesibukan sendiri supaya tidak mengganggunya lagi yaitu dengan memainkan ponselnya. Tanpa sadar, Abra melengkungkan senyumannya sejenak. ... ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD