Part 20: Sebuah senyuman

3129 Words
"Nah ini ruang makan rumah gue, lo tunggu disini." Jessi menarik kursi meja makannya dan juga menarik tangan Abra agar duduk di kursi yang telah ia siapkan untuk laki-laki itu duduk. "Lo mau kemana?" tanya Abra seraya duduk di kursi itu dan matanya juga memperhatikan sekitar ruang makan rumahnya Jessi yang begitu luas sekali. "Ke kamar dulu, mau ganti baju. Risih soalnya dan bentar lagi para pembantu datang mau masakin gue." "Jangan lama-lama!" Suruh Abra pada Jessi. "Ciee yang takut ditinggal." Goda Jessi sambil menaik turunkan alisnya dan tersenyum lebar. "Apanya yang takut ditinggal sama lo, gue gak enak lama-lama disini sendirian." Abra hanya cemas kalau dirinya disangka pencuri atau hal lain karena berada disini sendirian apalagi ruangannya yang begitu luas serta sepi sekali suasananya. "Kan bentar lagi pembantu gue datang, denger gak suara ketukan sepatu sendal?" Jessi terkekeh pelan melihat ekspresi Abra yang tak menginginkan dirinya pergi dari sini padahal Jessi hanya sebentar saja. "Denger," jawab Abra dan menolehkan kepalanya ke arah asal suara orang yang tengah berjalan ke ruangan ini. "Itu pembantu rumah gue mau kesini, ya sudah gue pergi dulu." Pamit Jessi yang berlari pergi menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Abra merasa tak nyaman saja sendirian di ruang makan dan matanya celingukan ke kanan dan ke kiri berharap para pembantu segera ke ruangan ini. "Kata Nona Jessi, kita masak bla bla bla..." Terdengar suara para pembantu rumah Jessi yang tengah mengobrol dan Abra sedikit merasa lega juga karena tidak sendirian di ruang makan ini. Abra menoleh ke samping kanannya dan terlihat 3 orang berseragam pembantu berwarna hitam putih itu melangkah ke ruang makan sambil mengobrol tentang menu apa yang akan dimasak di sore hari ini sesuai permintaan Jessi. Ketiga pembantu itu berbeda dengan dua pembantu tadi sewaktu dirinya masih di ruang tamu. "Eh ada orang." Salah satu dari mereka menyadari ada seseorang yang duduk di meja makan "Eh iya bener, ada orang." "Itu teh temennya Nona Jessi." Salah satu di antara mereka juga ada yang sudah diberitahukan oleh Jessi bahwa seseorang yang ada si ruang meja makan itu adalah temannya. Abra reflek beranjak berdiri dan membungkukan tubuhnya sebentar. "Waduh gantengnya temennya Nona Jessi, tapi saya baru tau kalau Nona Jessi punya temen seganteng ini." "Iya, saya temennya Jessi, Bi." Abra tersenyum tipis saja sebagai bentuk memperkenalkan dirinya kepada mereka bertiga. "Namanya siapa, Nak ganteng?" tanya Indah, salah satu di antara mereka yang umurnya lebih tua dan sekaligus ketua koki di rumah ini. Sedangkan dua wanita yang lain bernama Ami dan Bubu yang usianya masih muda. Mereka bertiga bertugas dibagian dapur saja dan semuanya sudah berpengalaman di bidang memasak. "Nama saya Abra." "Oh Abra, temen baru nona Jessi kah?" tanya Indah penasaran pada Abra. "Iya, Bi. Saya murid baru juga." Abra mengangguk. "Wah murid baru juga rupanya, ya sudah silakan duduk lagi. Kita bertiga mau masak dulu." "Iya Bi," jawab Abra singkat dan kembali duduk dikursinya. Ia melihat mereka bertiga yang melangkah ke arah dapur kotor yang tak jauh dari ruang dapur utama, tempat para pembantu bekerja sedangkan dapur bersih ada di depannya sana dan digunakan untuk tuan rumah yang ingin memasak sendiri. Tak beberapa lama, Jessi kembali turun ke bawah dan gadis itu mengenakan piyama bermotif kelinci yang sedang memakan wortelnya. "Abra!" Jessi cekikikan berjalan cepat menghampiri Abra yang masih duduk disana. Abra melihat penampilan Jessi yang sangat amat lucu sekali, berdiri di sampingnya dan ia juga melihat Jessi mengenakan sandal yang khusus digunakan di dalam rumah. "Lo habis mandi juga kah?" tebak Abra melihat rambut Jessi yang basah seperti sehabis keramas. "Hehe iya. Gak kuat panasnya tadi selama perjalanan jadi mandi deh." Jessi menarik kursi di sebelahnya Abra lalu duduk. "Bawa apa? Terus helm gue dimana?" tanya Abra yang merasa tadi Jessi membawa helmnya ke kamar tapi kembali lagi kesini Jessi tidak membawa helmnya melainkan membawa sebuah kotak berukuran sedang yang kini barang itu diletakkan di atas meja. "Nail polish, bagus kan? Emm kalau helm lo, gue taruh di tempat aman hehe." Jessi mengeluarkan isi kotak kutek yang dibawanya berserta penghapus kutek yang biasa disebut aseton. Jessi tersenyum lebar menatap banyak kutek yang dimilikinya beragam varian warna. "Tempat aman mana?" "Tempat khusus buat helm lah, sudah tenang aja. Aman kok." Jessi menatap Abra sambil tangannya meraih salah satu kutek favoritnya karena warnanya yang paling cocok dengan kukunya. Abra melirik apa yang sedang dilakukan gadis itu sekarang. "Lo lagi warnain kuku?" "Iya kan sudah gue bilang tadi, masak lupa sih? Bagus banget lho." Jessi menunjukkan kuku jarinya yang telah diberi warna cantik. "Bagus." Abra mengangguk saja. "Terus orang tua lo dimana?" tanya Abra merasa heran karena tidak menemukan keberadaan orang tuanya Jessi di rumah. "Bokap lagi kerja kalau nyokap mungkin lagi di rumah temennya tapi biasanya kerja juga," jawab Jessi begitu santai. "Lo gak takut apa di rumah sendirian? Rumah sebesar ini pula." "Enggak, ngapain takut kan rumah-rumah gue. Kalau ada hantu ya gue tinggal cerewetin aja nanti pada kabur." "Aneh lo." cibir Abra. "Hehe emang." Jessi tertawa renyah. "Arumi pulang!" Seseorang baru tiba di rumah Jessi sambil berteriak dan berjalan dengan penuh hentakkan kakinya. "Arumi jangan teriak-teriak, ck jadi kecoret." Jessi menggerutu tatkala kuteknya mengarah keluar dari kukunya sehingga mengenai kulit didekat kukunya. Arumi tertawa kecil dan merasa senang bisa berhasil menjahili kakaknya. Ia merasa ada orang lain di ruang makan pun menoleh, menatap ke seseorang yang nampak asing dimatanya. "Wah kakak sama siapa tuh? Ganteng banget." Arumi memekik kegirangan dan lagi-lagi Jessi kecoret saat akan memberi kutek pada kukunya yang lain. "Arumi! Dibilang jangan teriak-teriak!" Jessi mengeluarkan suara teriakkannya karena tidak tahan dengan tingkah Arumi yang terus saja mengagetkannya. Sampai Abra yang duduk di sebelahnya itu terkejut mendengar suara Jessi yang menggelegar. "Ada apa Non?" Seorang pembantu keluar dari ruangan dapur kotor dan melihat keadaan sekitar karena mendengar suara teriakan yang mengagetkannya. "Tidak ada apa-apa bi," jawab Jessi dengan napasnya yang memburu dan sudah tak ingin lagi mewarnai kuteknya. Pembantu itu mengangguk paham dan kembali lagi ke ruang dapur tuk melanjutkan memasaknya. "Hehe maafin Arumi dong kak, kan Arumi heboh doang." Arumi merasa bersalah tapi wajahnya tetep terlihat tengil sehingga Jessi mengabaikannya. "Alah kakak ini." "Pergi deh lo! Lihat ini kutek gue jadi jelek!" "Iya ya gue pergi." Arumi mendengus sebal lalu ia melirik ke arah Abra yang juga menatapnya dan Arumi melambaikan tangannya ke arah laki-laki itu. Jessi yang merasa Abra dan Arumi saling pandang lantas menutupi wajah Abra dengan telapak tangannya. "Ngapain tetap disini? Pergi lo, jangan lihatin Abra!" "Oh namanya Abra, ganteng kak." Arumi sengaja membuat Jessi semakin marah. Jessi melototi adeknya yang tidak kunjung segera pergi lalu Arumi melangkah gontai menuju kamarnya yang terletak di lantai 2 juga. "Astaga lo remes wajah gue." Abra menarik tangan Jessi yang malah meremas wajahnya sebagai tempat pelampiasan emosi gadis itu. "Eh sorry hehe." Jessi langsung tersadar dan ekspresinya berubah seketika. Gadis itu menyengir sambil membelai pipi Abra yang memerah dan ada bekas cap jari-jari tangannya. "Gak papa, lanjutin aja kegiatan lo itu." "Udah gak mood gue gegara adek gue tadi gangguin dan merusak ide gue. Jadi bingung deh gue." Jessi membereskan kutek-kuteknya dan dimasukkan kembali ke dalam kotak. Hati Abra terenyuh melihat muka Jessi yang sedih serta sekarang dalam suasana hati yang tidak baik. "Sini gue bantu." Abra meraih kotak itu dan menyuruh Jessi duduk agak menghadapnya. "Emang lo bisa?" "Bisa." "Awas aja kalau jelek hasilnya." Jessi mencebikkan bibirnya dan tak percaya kalau Abra bisa memberi kutek dikukunya. "Cukup kasih lo tutor dari youtube, gue nanti ngikutin." "Beneran nih?" Jessi mencari tutorial memberi kutek pada kuku dan tentu ia memilih yang paling bagus menurutnya. "Hmm." Abra berdehem saja, ia melakukan ini demi mengembalikan suasana hati gadis itu supaya tidak memasang muka musamnya. Setelah menemukan yang cocok menurut Jessi sendiri, ia memberikan ponselnya kepada Abra dan Abra menontonnya dengan seksama sambil mengangguk samar beberapa kali. Sesuai menonton tutorial dari youtube, barulah Abra meraih tangan Jessi begitu pelan dan mulai memberi kutek pada kuku gadis itu yang baru saja dibersihkan. Jessi mengamati Abra yang sangat fokus sekali dan serius memberikan warna pada kuku-kukunya. Gadis itu tersenyum lebar melihat hasil separuh dari Abra yang sudah tampak bagus sekali walau rasanya cemas dan panik kalau hasilnya tidak sesuai dengan ekspetasinya. "Woww bagus banget." "Diam!" Jessi menutup mulutnya dengan tangannya yang lain saat mendengar Abra yang menyuruhnya untuk diam dan tidak menggerakkan tubuhnya. Lumayan lama menunggu hasilnya bertepatan makanan Jessi sudah datang di meja satu per satu, akhirnya Abra telah menyelesaikannya dan hasilnya sangat menakjubkan sekali. "Wah kok lo bisa buat sebagus ini? Kuku gue jadi cantik dan lucu. Aaa makasih." Jessi reflek memeluk Abra. "Eh jangan gini nanti kuku lo bisa berantakkan dan kuku lo itu belum sepenuhnya kering." Abra langsung menahan tangan Jessi dan menyuruh gadis itu untuk tak banyak bergerak untuk beberapa saat saja. Ketiga pembantu yang mengantarkan makanan Jessi itu tampak saling berbisik-bisik melihat kedekatan Jessi dengan Abra dan ikut senang melihat mereka. "Heh kalian malah gosip disini." Jessi menatap tajam ke mereka yang tertangkap basah sedang bergosip ria. "Hehe maaf nona, kita ke belakang dulu." "Iya udah gih sana!" Jessi mengusir mereka bukan maksud dirinya mengkasari mereka, Jessi hanya menegur para pembantu itu agar tidak ikutan pada masalahnya. Abra melihat makanan yang telah dihidangkan di depannya dan begitu banyak sekali makanan seafood di depannya. Sungguh menggugah seleranya dan matanya berbinar saat menemukan makanan favoritnya ialah ikan salmon. Jessi mengetahui kalau Abra paling menyukai ikan itu dan ia pun meraih ikan salmon lalu diletakkan disebuah piring berukuran kecil. "Lo juga ikut makan." Jessi meletakkan piring kecil yang terdapat ikan salmon itu di depan Abra. Abra menelan salivanya begitu pelan melihat makanan favoritnya tepat di depan matanya. Tanpa berkata apapun segera ia habiskan makanan itu tanpa tersisa. "Buset dah, suka banget ya sama ikan salmon?" Jessi sampai melongo melihat Abra yang baru saja menghabiskan ikan salmonnya berserta bumbunya. "Gue suka banget." Abra tak sadar dirinya tersenyum lebar ke arah Jessi. Seketika Jessi tertegun saat Abra menatapnya, selain dirinya terpana oleh senyuman Abra ada hal yang membuat jantung Jessi berdebar tak karuan ialah terbayang wajah Felix kecil dan senyuman dua laki-laki berbeda umur itu tidak ada perbedaannya. "Felix," ucap Jessi tak sadar. Abra hanya masih mengunyah makanan itu memelankan kunyahannya mendengar suara Jessi yang sangat jelas sekali menyebutkan nama aslinya. 'Apa dia keingat gue dulu?'--pikir Abra yang kebingungan. Jessi mengerjapkan kedua matanya dan mengucek matanya. Ia mengusap dadanya yang berdebar tak karuan dan Jessi merenung memikirkan sosok teman masa kecilnya yang entah dimana sekarang keberadaannya. "Jessi." Panggil Abra setelah selesai mengunyah makanan di dalam mulutnya. "Sorry gue tiba-tiba ngelamun." Jessi menggaruk rambutnya yang tidak gatal dan tersenyum lebar sebentar. "Berdoa dulu sebelum makan," ujar Abra. "Haha iya." Jessi mengangguk dan sebelum memakan makanannya, dirinya berdoa dulu. "Jadinya lo gak makan ikan salmon, gue tadi habisin itu soalnya." "Gak papa, jangan lupa makan pakai nasi juga." "Iya, gue makan sama nasi pakai lauk yang lain sedangkan kalau makan ikan salmon selalu tanpa nasi." "Dari kapan lo suka ikan salmon?" tanya Jessi penasaran. "Dari kecil, gue suka makan makanan seafood tapi lebih suka ikan salmon." "Wah sultan dari kecil." Abra bingung mau merespon apa sebab semenjak tinggal bersama Seno, dirinya tak pernah memakan makanan mahal seperti hidupnya bersama orang tuanya kandungnya yang selalu menyediakan makanan yang mewah dan harganya selangit. Tapi Abra tetap bersyukur masih bisa makan walau sempat merasa kaget dengan kehidupan yang dijalaninya jauh dati kata mewah setelah kabur dari rumahnya. Abra lebih senang mendapatkan kasih sayang dari Seno yang selalu melakukan apapun demi bertahan hidup dan menyekolahkannya. Hidup sederhana dan dipenuhi kasih sayang adalah keinginan Abra sedari dulu. "Lha kok diam." "Fokus makan gih!" Abra mengalihkan topik pembicaraan karena takutnya bisa salah ucap. "Oh oke." Jessi mengangguk dan melanjutkan memakan makanannya. Walau sebenernya tak rela menghentikan obrolannya tadi. Setelah selesai makan, Jessi mengajak Abra ke taman rumahnya yang terletak di belakang rumah. Disana banyak sekali tanaman bunga dan dua pohon mangga. "Sejuk." Gumam Abra merasakan hawa menyejukkan di tempat ini. "Enak kan tempatnya? Bisa buat healing kalau jenuh di dalam ruangan terlalu lama." Jessi tersenyum lebar menoleh, menatap Abra yang kini tengah memejamkan kedua matanya. "Enak aja." Abra membuka kembali matanya dan menoleh, membalas tatapan Jessi. "Btw, gue suka sama kutek buatan lo ini. Bagus banget gilak!" Jessi masih kegirangan dan senang sekali melihat kuku-kukunya yang diwarnai oleh Abra. "Syukurlah kalau lo seneng." Abra tersenyum simpul dan ikut lega saja mengetahui Jessi menyukai hasil karyanya dikukunya. "Lo kok jenius banget sih, bisa ngerjain yang biasa dilakukan sama cewek padahal cuman sekali doang lo nonton tutornya. Keren parah." Jessi tak bosan-bosan memandangi kukunya. "Mudah," balas Abra dengan santainya. "Gue aja berkali-kali nontonnya baru bisa deh, gue selemot itu." "Emang." Abra menyetujui ucapan Jessi. "Jahat banget lo ih!" Jessi menepuk bahu Abra karena tak terima dibilang lemot. "Lo yang bilang sendiri dan gue cuman mengiyakan saja." "Iya sih, tapi kenapa lo mengiyakan gitu lho." Jessi tetap menyalahkan Abra dan Abra mengangguk saja. Mengalah supaya gadis itu tidak mengamuk lagi. "Terus mana tas gue? Gue mau pulang." Abra menatap jam yang melingkar dipergelangan tangannya. "Bisa gak sih lo tinggal disini?" "Maksud lo?" Abra mengernyitkan dahinya, tak paham apa yang dimaksud oleh Jessi. "Haha enggak bukan apa-apa, gue cuman bicara asal. Hmm tas lo ada di tempat helm, gue anter ngambilnya." Jessi beranjak berdiri begitu juga dengan Abra. Mereka berdua melangkah menuju sebuah ruangan, tempat yang biasa untuk meletakkan helm-helm milik keluarga Jessi. Setelah masuk ke dalam ruangan yang dimaksud Jessi, ruangan yang lumayan luas dengan pencahayaan yang minim dan disini lah tempat penyimpanan helm keluarga Jessi serta milik beberapa pegawai yang bekerja di rumah Jessi. "Ini helm lo." Jessi menunjuk helm milik Abra yang diletakkan di antara helm milik keluarganya. Abra langsung meraihnya kemudian mereka keluar dari ruangan tersebut. "Gue pulang dulu." Pamit Abra pada Jessi. "Iya, hati-hati." "Thank's." "Untuk apa?" "Untuk makanannya." "Oh iya ya, alah santai aja. Gue juga makasih karena lo bantuin pakai kutek hehe jadi kuku gue ini cantik deh. Nanti gue posting di IG eh ya lo punya sosmed?" tanga Jessi seraya menjetikkan jarinya. "Sosmed? Emm enggak punya, kenapa?" "Astaga jaman sekarang lo gak punya? Pasti bohong nih." Jsssi yang berdecak dan tidak percaya terhadap jawaban Abra. "Beneran gue gak tau segala hal tentang sosmed dan yang tau itu temen gue si Balder. Gue jarang main hp sih." "Hadeh pantesan, kapan-kapan gue ajarin main sosmed deh." "Enggak usah, paling juga jarang dibuka." "Lumayan nanti jadi seleb, pasti kalau lo buat langsung banyak yang mengikuti lo. Gue bantu yang ngurus sosmednya." Jessi tersenyum simpul. "Tapi gue gak suka." "Gue maksa hehe." "Hadeh terserah deh." Abra menggelengkan kepalanya pelan dan pasrah saja apa yang gadis itu lakukan. Ketika Abra sudah keluar dari perkarangan rumah Jessi berserta dengan motor kesayangannya bertepatan dengan itu sebuah mobil milik mamanya telah tiba di depan latar rumahnya. "Habis dari mana Ma?" tanya Jessi yang kebetulan belum kembali masuk ke dalam dan masih berdiri di latar rumahnya. "Habis ikut arisan sama temen-temen mama terus mama mampir ke kantornya papa dan terakhir jenguk pegawai mama yang lagi sakit." Amanda memang memiliki supermarket yang sudah banyak cabangnya dan akhi-akhir ini dirinya sangat disibukkan mengurusi cabang baru supermarket miliknya. "Banyak sekali kegiatan mama seharian ini." Mereka berjalan beriringan memasuki rumahnya. "Iya, tapi besok mama di rumah aja kok dan free kalau butuh mama, mama bisanya besok, gak masalah kan?" Bagaimanapun kesibukkannya sekarang, Amanda tetap memperhatikan anak-anaknya dan tak ingin anaknya kekurangan kasih sayang darinya karena sibuk bekerja. "Enggak Ma, Mama istirahat saja di kamar. Lagian Jessi mau nonton film di ruang bioskop." "Sendirian?" "Iya sih, mungkin sama Arumi kalau tuh bocah gak sibuk." "Oh gitu dan mama lihat tadi ada orang berkendara motor pakai seragam yang sama sepertimu keluar dari gerbang. Temanmu kah?" Amanda masih teringat kejadian beberapa menit yang lalu. "Iya Ma, dia temen baru Jessi sekaligus murid baru juga.". "Wah ada teman baru nih." Amanda mencolek dagu Jessi sehingga Jessi tersipu malu digoda oleh mamanya. "Cuman temen Ma." "Iya tau cuman temen." Amanda merangkul Jessi dan keduanya menaiki lift rumah menuju lantai dua. "Tapi Mama gak lihat jelas muka temen aku kan?" "Enggak, Nak. Justru mama pengen lihat nih, suruh lagi mampir ke rumah dan kenalin ke mama." Amanda tersenyum lebar sembari membuka pintu kamarnya. Setelah kamarnya terbuka, Jessi langsung melompat ke kasur dan tidur rebahan seperti di kamarnya sendiri sedangkan jika tau papanya pasti akan kena omelan karena papanya jauh lebih cerewetnya dibanding dengan mamanya yang selalu lemah lembut. "Kayaknya nanti deh waktu kelompok, ah iya nantinya kita kelompok Ma di hari minggu." "Banyak orang kah kelompoknya?" "Cuman dua orang, Ma." "Kok sedikit?" "Males kalau banyak-banyak, belum tentu semua ikut mengerjakan." "Kamu ini." Amanda mencubit pipinya Jessi dengan lembut. ... Felix tidak membantu ayahnya hari ini karena ayahnya yang menyuruhnya untuk tetap di rumah karena ditugaskan menjaga jemuran. Sore menjelang malam ini cuacanya begitu buruk sekali dan angin bertiup kencang. Sebelum hujan turun, Felix bergegas membereskan jemuran pakaiannya ke dalam lalu Felix pergi ke kamar mandi tuk membersihkan badannya. Selesai dengan kegiatannya, Felix memilih tidur rebahan di atas sofa dan menunggu ayahnya pulang. Bayangan wajahnya Jessi dari kecil hingga remaja terputar dipikirannya. Senyuman lebar terukir dibibirnya tanpa sadar. "Sangat susah sekali untuk tidak memikirkannya setiap hari." Felix merasa salah tingkah sendiri dan memeluk erat gulingnya yang dibawa dari kamarnya. "Aaa kan jadi inget gue peluk dia di UKS tadi, mana gue gak pakai baju." Felix menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tok tok tok Terdengar suara ketukan pintu dari luar rumahnya. "Siapa sih yang datang di jam segini?" Felix sebenernya merasa malas beranjak dari tempat yang yang telah membuatnya nyaman. Tapi mau tidak mau dirinya beranjak berdiri dan membuka pintu rumahnya. "Bang Abra." "Ada apa?" tanya Felix alias Abra itu dengan keningnya yang berkerut melihat sosok gadis berusia 15 tahunan itu datang ke rumahnya. Siapa lagi kalau bukan adiknya Balder yaitu Belia. "Emm gue datang mau kasih makanan. Gue yang masak sendiri buat abang Abra." Belia tersenyum lebar ke arah Abra namun Abra bersikap biasa saja. "Makasih tapi lain kali gak usah repot-repot ya." Felix menahan rasa risihnya sebab di depannya adalah adik dari temannya walau ada rasa tak suka karena Belia berusaha mendekatinya. "Gak papa." Belia berharap dipersilahkan masuk ke dalam rumah dan ingin berbincang lebih lama dengan lelaki itu sebab alasan lain datang kemarin bukan cuman mengantarkan makanan melainkan ingin mengajak Abra keluar. Tapi sepertinya tidak mungkin dilihat raut muka Abra yang seperti menyuruhnya segera pergi dari sini. Abra mengangguk saja dan tangannya yang lain masih memegangi tuas pintu. Memang sengaja membuka pintu hanya sebadan saja. "Ya sudah kalau gitu gue pulang dulu." "Heem hati-hati." Belia membalikkan tubuhnya dan raut wajahnya berubah seketika. Merasa kesal sekali selalu merasa kesulitan mendekati Abra, lelaki yang sudah diincarnya dari dulu. Abra yang merasa gadis itu sudah tidak ada dari pandangannya lalu masuk kembali ke dalam rumah dan tak lupa menutup pintu rumahnya. "Gue masih kenyang, biar buat bapak aja." ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD