Part 21: Faisal

3030 Words
"Faisal, dipanggil Daddy Nak." Seorang wanita mengenakan dress berwarna merah itu menghampiri putranya yang tengah asyik sendiri dengan ponselnya di kamarnya. "Ngapain sih?" Sosok laki-laki remaja berusia 16 tahun itu berdecak kesal karena merasa terganggu saat kamarnya didatangi ibunya yang telah berpakaian rapi sambil membawa pakaiannya. "Nak, kamu harus belajar tentang bisnis sama daddy dan teman-temannya daddy. Bukan malah main game terus di dalam kamar, turun gih! Sudah ditunggu dari tadi sama daddy." Wanita itu ialah Luna Amara, istri kedua Asher Abraham. Sengaja membawakan pakaian putranya sendiri ke kamar Faisal sebab nantinya Faisal bisa marah besar kalau para pembantu masuk ke dalam kamarnya. "Bisnis apaan sih My, males aku itu ikutan mikirin kerjaan gak jelas." "Itu masa depanmu juga sayang, ayolah berdiri." Luna menarik tangan Faisal yang masih rebahan di dalam kamat dan mengenakan piyama. "Mommy, disini kita liburan bukan bekerja. Pusing kepalaku mikirin hal-hal gak penting dalam hidupku." Faisal mengibaskan tangannya dan mendorong bahu mommynya supaya menjauh darinya. "Siapa bilang yang gak penting? Ini penting demi masa depanmu yang nanti menjadi penerus perusahaan Daddy." "Kan bisa nanti belajarnya waktu aku udah lulus, aku masih sekolah dan aku inginnya main, main dan main." "Iya, mommy paham tapi belajar awal lebih bagus lagian tidak setiap hari kamu disuruh belajar tentang bisnis." "Gak mau My!" Suara Faisal makin meninggi dan tangannya melempar guling serta bantal ke arah asal. "Faisal jangan gitu dong, mommy temenin juga ya." Luna masih berusaha membujuk putranya yang jelas-jelas menolak ajakannya. Wanita itu meraih barang-barang yang dilempar asal oleh Faisal dan menaruh ditempatnya. "Jangan paksa aku My, aku makin membenci mommy." Faisal menatap tajam ke mommynya. "Jangan, Nak. Jangan benci mommy, mommy hanya punya kamu." "Iya karena daddy punya istri pertama juga, kenapa tidak anaknya yang pertama itu aja My yang jadi penerusnya. Aku males." "Sekarang hanya ada kamu seorang, Nak. Mommy tidak bisa meminta daddy untuk memilih anak pertamanya karena mommy tidak punya hak sama sekali." "Mommy mengincar harta saja, mommy tidak pernah mikirin anaknya sendiri dan mommy sangat egois sekali. Aku malu my diperkenalkan sebagai anak dari istri kedua daddy di publik, aku malu sekali." Napas Faisal memburu dan wajahnya menunjukkan betapa murkanya dirinya sekarang. Teringat dirinya yang diperkenalkan di publik sebagai anak kedua membuatnya malu dan enggan lagi mengikuti kegiatan pekerja daddynya. "Bukan begitu, mommy hanya ingin masa depan anak mommy itu cerah dan kamu harus bisa menata masa depanmu sendiri. Jangan buang-buang waktu untuk game saja sekarang persaingan bisnis juga banyak. Dengerin momny nak turutin kata-kata mommy ini agar kamu tidak menyesal nantinya." "Ngapain aku khawatir sih my, masa depanku sudah ditentukan sama daddy. Aku punya rumah, mobil, apartemen sendiri dan masih banyak lagi. Aku gak kurang apapun, ngapain khawatirin soal masa depan? Nantinya kerja juga bakalan mudah, untuk sekarang buat main-main aja dulu." "Kamu harusnya punya rasa khawatir, lihatlah nilai-nilaimu di sekolah selalu berada di bawah. Belajar pun tidak pernah dilakukan dan selalu malas melakukan kegiatan yang bermanfaat." "Emang aku gak punya bakat, sudahlah my. Aku males." Luna heran pada putranya, mengapa putranya tak bisa seperti Felix padahal dirinya sendiri seorang guru dan Asher juga orang yang jenius sekali. Faisal hanya terus ingin main saja dan tak pernah belajar. Padahal Faisal diberi fasilitas belajar tambahan dan kegiatan yang lain itu pun Faisal sering tidak mengikutinya. Ditambah Luna terus menerus di suruh oleh Asher supaya bisa mendidik Faisal dengan benar tapi sangat sulit sekali karena anaknya sendiri yang tak mau diatur dan selalu ingin hidup bebas. "Faisal, jangan begitu dong, ayolah turuti permintaan mommy ini." Luna terus memohon kepada putranya tapi enggan didengar oleh Faisal. Malah Faisal memasang earphone ditelinganya supaya tidal mendengar suara mommynya. Luna akhirnya menyerah dan ia ke ruang tamu dimana suaminya berada dan tengah berbincang dengan seorang tamu rekan bisnisnya. "Mas, maaf. Aku menyerah membujuk Faisal yang tak mau datang ke ruang tamu dan tidak ingin belajar tentang bisnis." Bisik Luna didekat telinga suaminya. Asher menghembuskan napasnya kasar dan beranjak pergi dari ruang tamu sambil menarim tangan Luna. Sebelum itu Asher berpamitan kepada rekan bisnisnya. "Kamu ibunya dan harusnya bisa membujuknya!" Asher emosi dan membentak Luna di dalam kamar. "Sulit, Mas. Dia hanya ingin bermain dan tak ingin belajar. Belajar tentang materi sekolahnya saja tidak pernah dilakukan apalagi belajar tentang bisnis. Mana mau dia." "Dia nanti jadi penerusku, Luna. Dia harus serba bisa nantinya, argh kenapa sih sama anak itu yang tak ada gunanya sama sekali. Main terus main terus." Asher makin pening memikirkan putranya yang sama sekali tak ada minta dibidangnya padahal nantinya putranya itu menjadi penerusnya. "Mas jangan hina anak kita, dia masih muda dan percayalah nanti dia akan berubah." Luna merasa sedih karena Faisal selalu diremehkan dan Luna sendiri percaya kalau putranya bisa pintar suatu saat nanti. "Emang kenyataannya, capek aku itu Lun kalau anak susah dididik. Kamu sama dia itu sama aja, lihat lah bisnis bajumu itu yang rugi ratusan juga karena mudah sekali ditipu sama orang." "Mas kenapa juga sangkut pautkan hal itu sih, jelas aku bukan dibidang itu dan aku hanyalah guru TK. Bukan bidangku masuk di dalam perbisnisan. Aku gak bisa tapi mas selalu memaksaku." Decak Luna kesal lalu pergi keluar dari kamarnya dan memilih menenangkan dirinya di tempat lain. "Argh sial-sial!" Setelah selesai membahas bisnis bersama rekannya. Asher mendapat pesan dari seseorang dan memberitahukan hal penting. 'Kondisi ibu Naura perlahan membaik, hanya saja ingatannya masih belum sepenuhnya pulih' Asher memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya setelah membaca pesan dari seseorang. "Mengapa tidak mati saja wanita itu, menyusahkan sekali." Asher makin kesal saja jika teringat kejadian beberapa tahun yang lalu dimana Naura membatalkan perceraian secara sepihak padahal Asher sendiri baru saja menikahi Naura secara resmi. Awalnya mereka tinggal dalam satu rumah, nyatanya Naura sering menyiksa Luna karena penyakit kejiwaannya itu sering kambuh tiba-tiba. Tentu Asher tak terima karena wanita yang ia cintai disiksa terus menerus oleh Naura dan Asher merencanakan beribu cara agar Naura meninggal atau sekarat. Tapi percuma, lagi-lagi Naura selamat dari celakanya karena orang tuanya (orang tua Asher) selalu menyelamatkan Naura dari maut. Terakhir Naura mengalami kecelakaan parah hingga wanita itu mengalami koma hampir satu tahun dan sekarang mendapat kabar kalau kondisi Naura sudah pulih namun mengalami hilang ingatan. Tentu berita tentang Naura tidak pernah muncul dipublik sebab Asher menyembunyikan semua tentang Naura secara rapih. .... "Besok kita pulang ke Indonesia." "Kenapa cepat amat sih Dad? Aku masih ingin liburan disini." Faisal menyahut ucapan Asher dan tidak terima mendengar kalau besok waktunya balik ke negara asal. "Hari senin kamu harus masuk sekolah, sudah seminggu kamu tidak sekolah." Asher menatap tajam ke arah putranya. "Males aku sekolah, enak ngegame dan tiduran di rumah." Faisal menghela napasnya kesal. "Faisal gak boleh bilang begitu." Tegur Luna pada putranya. "Nilai-nilaimu buruk semua, daddy akan membatasi uang sakumu." "Lho Dad kok mendadak sih? Janganlah, aku butuh uang banyak." "Uang yang daddy kasih ke kamu juga percuma, kamu mengemis ke Dipta sama saja kamu merendahkan martabat daddy." "Pasti Jessi kan yang ngadu ke daddy soal ini, cih cewek itu bener-bener." "Stop bicara kasar ke anak-anaknya teman daddy. Mereka lebih baik dari kamu yang hanya beban saja selama ini." Asher menggebrak meja makannya dan Faisal makin emosi mendengar daddynya membandingkannya dengan anak-anak dari teman daddynya sendiri. "Bandingin terus, gak usah anggap aku anakmu!" Faisal beranjak berdiri dan ikut menggebrak meja makannya. "Faisal jangan kurang ajar ya kamu, berani membalas ucapan daddy dan tatapanmu itu!" Ashet juga berdiri dan jari telunjuknya mengarah ke Faisal. "Capek aku itu nuruti semua keinginanmu, kenapa harus aku sih? Masih ada kan anakmu yang lain." "Gak usah membahas anak itu, dia sudah tidak ada dan lenyap." "Mungkin karena daddy sendiri yang membuatnya lenyap, aku bakalan lenyap dari bumi. Malas aku dad, disuruh ini itu." Napas Faisal memburu dan kedua tangannya terkepal disisi kanan kiri tubuhnya. "Faisal jangan begitu, Nak. Kamu harus tetap ada disini, mommy tidak akan mengekangmu lagi." Luna lemah mendengar ucapan putranya lalu ia mendekati Faisal dan merangkulnya. "Mommy juga suka mengekang aku, aku pusing Mom. Aku hanya ingin main doang, lagian sudah kaya ngapain sih berambisi makin kaya." "Kamu tidak tau menahu dunia kerja seperti apa, salah sedikit resikonya besar Nak! Kamu belum paham apapun, andaikan kamu ikut belajar soal bisnis sama daddy pasti kamu tidak bicara seenaknya seperti ini." Suara Asher makin meninggi mendengar ucapan putranya yang meremehkan dunia kerja. "Sayangnya mommy tenang dulu ya, jangan emosi dan redakan emosimu ini." Luna mengusap kepala Faisal dengan lembut. "Kata daddy sendiri pernah bilang kalau kita gak bakalan miskin selama tujuh turunan kan? Ngapain sih harus dipikirin, kita gak bakalan hidup ke bawah. Gak bakalan miskin juga, jadi nikmati aja lah Dad dan jangan terlalu dipikirin kedepannya bikin kepala sakit aja---" "Berhenti! Hentikan ucapanmu yang nyeleneh dan tidak jelas itu!" Sentak Asher yang tidak tahan lagi mendengar ucapan Faisal. "Tidak jelas apanya sih--" "Pergi kamu Sal! Kembali ke kamarmu!" "Ah sial, punya orang tua yang suka seenaknya sendiri." Faisal menggelengkan kepalanya lalu pergi dari ruang makan dan ia juga mendorong Luna hingga terjatuh. "Faisal." Luna kembali berdiri dan masih memanggil putranya padahal putranya tidak memperdulikannya sama sekali. "Biarkan saja Luna!" Sentak Asher pada istrinya. "Enggak, aki gak mau diam saja melihat putraku yang marah seperti itu." "Harusnya kamu itu ngerti aku Luna, aku capek ngurusi putramu. Kamu manjain dia terus jadinya makin begini sifatnya." Asher menyalahkan semuanya kepada Luna dan menganggap Luna tidak pantas mendidik Faisal. "Aku berusaha didik dia dengan baik---" "Alah apaan mendidik dengan baik? Lihatlah sifatnya dari kecil sampai sekarang bikin emosi terus." "Tapi dia anak kita bagaimana pun sifatnya, dia anak kita." "Aku malah ragu punya anak sebodoh dia dan mempermalukan aku terus karena kebodohannya itu." Asher memijit keningnya dan merasa pusing memikirkan putranya yang makin hari kelakuannya bikin emosi. "Kamu ragu? Jahat kamu mas, tega!" Jerit Luna dan menangis di tempatnya berdiri. Asher langsung pergi begitu saja dan memilih memenangkan emosinya di balkon kamarnya. Disaat emosi seperti ini, tiba-tiba teringat sosok putra kecil yang pertama hadir di dalam hidupnya dan dia adalah Felix. "Felix." gumam Asher sembari menghembuskan napasnya berat. Felix tak pernah membantah apapun keinginan dan perintah darinya. Felix selalu membanggakannya dengan banyak prestasi yang diperoleh diusianya yang masih kecil. Asher mengusap wajahnya dan berdecak kesal setiap mengingat anak itu. "Dia bukan anakku, mengapa aku harus memikirkannya, sial!" Asher masuk ke dalam kamarnya dan menutup jendela balkon kamarnya tersebut. ... "Lho lo kok disini?" Abra terkejut melihat Jessi berada di halte, tempat yang biasa dirinya menunggu kedatangan bus setiap akan berangkat sekolah. "Hehe pagi." Jessi malah tersenyum lebar seperti tidak ada beban. "Kenapa lo disini?" "Mau berangkat sekolah." "Iya gue tau tapi kenapa jauh-jauh ke halte ini?" "Biar bisa barengan sama lo," jawab Jessi dengan santainya. "Astaga ini cewek." Abra menggelengkan kepalanya, ada saja kelakuan gadis itu yang membuatnya harus banyak bersabarnya. "Hehe pengen ngerasain naik bus lagi sama lo tapi waktu berangkar sekolah." "Kan deket rumah lo ada halte, kenapa gak dari sana aja?" "Enakan barengan sama lo disini." "Iya deh terserah lo sendiri." Tak lama bus yang mereka tunggu telah datang dan keduanya segera naik, masuk ke dalam bus. "Sejak kapan lo punya kartu bus?" tanya Abra heran mengetahui Jessi sudah memiliki kartu untuk menaiki bus khusus anak sekolah. "Minta dibuatin sama mama terus mama suruh orang gitu sih kemarin, nah pagi buta dianter kartu ini ke rumah," ucap Jessi menjelaskan. "Kok cepet jadinya?" tanya Abra bingung sembari tangannya menggandeng Jessi supaya tidak terpisah dan mencari bangku yang kosong untuk gadis itu duduk. "Enggak tau, dibuatinnya cepet." Jessi menggeleng tidak tau mengapa bisa secepat itu proses pembuatan kartu bus khusus untuk anak sekolah. 'Ah iya, biasa anak orang kaya seperti Jessi mengurus apapun bisa mudah asal ada duitnya'--pikir Abra. "Lo ikut duduk gih." Jessi menemukan tempat duduk untuk dua orang dan ada yang kosong. Jessi duduk di sebelah jendela lalu tangannya menepuk tempat duduk di sampingnya. "Gak, gue berdiri aja." "Capek kalau berdiri terlalu lama. Duduk aja." Jessi menarik tangan Abra dan terpaksa Abra ikut duduk di sebelah Jessi. "Nah gini kan enak hehe." Jessi tetap menggenggam tangan Abra dan lega bisa membuat Abra ikut duduk di sampingnya. Ia tak tega melihat lelaki itu memilih berdiri di sepanjang perjalanan menuju sekolah. "Oh ya gue mau nanya." Jessi menjetikkan jarinya kala teringat sesuatu. Abra menoleh saat mendengar gadis itu akan bertanya padanya. "Kenapa lo nolongin Dipta waktu dibully beberapa hari yang lalu?" Jessi sangat penasaran sekali alasan lelaki itu menolong temannya yang tengau dibully. Abra tidak menjawab, malah mengedikkan bahunya tak acuh. "Mau tebar pesona kah hehe canda kok." Jessi menyenggol lengan Abra sambil terkekeh pelan. Abra memilih diam saja dan tak mungkin menjawab yang sebenernya alasan mengapa ia menolong Dipta. Bukan, bukan masalah Dipta adalah teman masa kecilnya melainkan sosok si pelaku pembully itu adalah orang yang dirinya benci. "Yah diam aja nih, padahal gue penasaran sama alasan lo tapi makasih ya udah nolongin temen gue dari anak-anak laknat itu." Abra mengangguk saja sebagai jawabannya. "Luka lo cepet banget pulihnya walau ada dikit bekasnya. Lo bisa gelud itu darimana?" "Ikut pencak silat sewaktu SMP," jawab Abra sejujurnya. "Syukurlah dijawab, gak ngomong sama tembok hehe. Tapi pertanyaan gue yang tadi belum dijawab juga." Jessi mengode pertanyaannya sebelumnya tapi Abra malah mengabaikannya. "Iya deh gak memaksa lo buat jawab tapi berharap dijawab sih hehe." Jessi berhati-hati sekali dan takut ucapannya menyinggung perasaan laki-laki itu. "Terus kenapa lo gak lanjut lagi ikut pencak silat, kan di sekolah ada tuh bela diri namanya." "Males." "Lo gak ikut sama sekali satu pun ekstrakulikuler di sekolah? Soalnya wajib sih dan pilih satu doang juga gak masalah." "Entah, gue belum kepikiran." "Tapi temen lo itu si Balder pilih basket. Gak ikut basket aja? Biar kita sering bertemu eaa, tambah semangat dong kalau ini." "Bosen." Abra membayangkan dirinya ikut lagi eksteakulikuler basket sangat membosankan sebab sedari SD sampai SMP, ia telah mengikuti banyak sekali macam olahraga dan inginnya sekarang jika diwajibkan mengikuti salah satu ekstrakulikuler mungkin Abra akan memilih yang belum ia pilih sebelumnya. "Ouh gitu, ya harus ingat sih ini wajib. Gue bantu daftarin kalau lo mau ikut salah satu ekstrakulikuler di sekolah soalnya gue kenal banyak kakak kelas yang jadi adminnya." "Oke," balas abra sambil mengangguk. "Lo beneran mau jadi temen gue kan?" tanya Jessi penasaran soal ini. Abra malah mengedikkan bahunya acuh dan membuat Jessi merengek sambil memukuli tubuh lelaki itu. "Jangan berisik, didenger banyak orang tuh." Tegur Abra supaya gadis itu diam. "Gak mau diam sebelum lo jawab mau berteman sama gue." Ancam Jessi dan masih merengek sambil memukuli tubuh Abra. "Iya mau berteman." Terdengar suara Abra penuh paksaan menjawabnya. "Nah gitu." Jessi tak lagi merengek dan matanya fokus ke arah jendela. Memandangi pemandangan di sekitar jalan raya dan sesekalo melambaikan tangannya ketika melihat hewan-hewan di pinggir jalan bahkan ada hewan sapi berada di mobil pick up tengah rebahan. "Sapi semangat dong, jangan rebahan!" teriak Jessi ketika bus berhenti tepat lampir lalu lintas berwarna hijau dan dua sapi yang sedang rebahan itu ada di sebelahnya dibawa di atas mobil pick up. "Malu gue." Gumam Abra yang merasa tingkah absurd Jessi dilihat oleh orang-orang di sekitarnya. "Syepi go!" teriak Jessi lagi saat busnya dan juga mobil pick up yang membawa sapi yang masih betah rebahan itu sama-sama berjalan. "Hadeh." Abra menutup mukanya dengan satu tangannya lalu tangannya yang lain merangkul Jessi. "Bentar, gue masih pengen lihat sapi." Jessi masih ingin menghadapkan tubuhnya ke arah jendela tapi Abra menahannya dan merangkul gadis itu. "Kan sapinya gak ada, ngapain ngerakul gue sih?" Decak Jessi sebal. "Diam!" Abra tetap merangkup gadis itu sehingga Jessi pasrah kali ini. Tak bisa melihat pemandangan di samping bus dan pinggir jalan. Jessi menepuk paha Abra dan Abra pasrah juga dijadikan sebagai pelampiasan gadis itu yang sedang marah kepadanya. Sampai tiba di sekolah, Jessi masih memasang muka marahnya pada Abra dan Abra tetap menggandeng gadis itu. Ia tak peduli tatapan beberapa murid lain ke arahnya yang berangkat sekolah bersama Jessi dengan menaiki bus. Walau tampak masih marah pada Abra, Jessi masih bisa tersenyum membalas sapaan dari orang-orang yang mengenalinya dan Jessi juga masih mau bergandengan tangan dengan Abra. "Lo ke kelas duluan gih." Abra tiba-tiba menghentikkan langkahnya membuat Jessi menatap lelaki itu heran. "Lo udah bikin gue marah terus biarin gue sendirian ke kelas." Jessi menghempaskan tangan mereka yang bergandengan. "Ada keperluan penting, gak usah manja." "Enteng banget lo bilang begitu, dahlah gue makin sebel sama lo." Jessi mendorong bahu Abra lalu menaiki tangga dengan melangkahkan kakinya cepat. Abra menatap kepergian Jessi dan ia bernapas gusar mengetahui Jessi marah kepadanya kemudian membalikkan badannya. Abra melangkah keluar gerbang sekolah dan tanpa Abra ketahui, seseorang melihatnya dari kejauhan. "Wah kenapa dia keluar gerbang sekolah?" ... Abra kembali lagi ke kelas dan ia melihat Jessi yang masih marah padanya. Gadis itu memasang muka betenya dan tidak secerewet biasanya. Jessi menidurkan kepalanya, menatap ke arah lain dan biasanya menatap ke arah Abra sambil menggoda lelaki itu. Jessi melihat jendela luar sekolahnya dan tak sengaja mengetahui temannya tengah melambaikan tangannya ke arahnya. "Apa?" Seketika Jessi menegakkan tubuhnya dan menghadapkan tubhhnya ke arah jendela kelasnya. Abra juga merasakan pergerakan gadis itu dan menatap penasaran ke Jessi serta orang yang berada di jendela itu dengan. Jessi bergegas keluar dari kelasnya dan semakin membuat Abra penasaran tapi ia bersikap tak acuh saat Jessi memergokinya terlalu lama menatap gadis itu. "Ngapain lo lihatin gue?" Suara Jessi terdengar ketus dan Abra memalingkan wajahnya ke arah lain. Ketika berada di luar, Jessi menghampiri temannya yang tengah menunggunya di depan kelasnya. "Ada apa Anya?" "Gue tadi lihat Abra keluar dari gerbang setelah ngobrol sama lo. Eh lo lagi berantem kah?" tanya Anya penasaran dan sempat melihat mereka dari kejauhan. "Iya. Gue marah sama dia." "Haha kenapa marah?" tanya Anya lagi. "Ya ada deh tadi dan kata lo Abra keluar dari lingkungan sekolah tadi?" "Iya." "Terus?" "Cuman lihat gitu doang terus gue dipanggil sama Abra yang ngajak barengan masuk ke sekolah jadi kehilangan jejak deh." "Alah gitu doang informasinya. Kurang lengkap deh." Jessi bersedekap d**a padahal ia sudah terlanjur penasaran mendengar Abra yang keluar dari gerbang. "Tanyain aja sendiri ke Abra." "Kan gue sudah bilang kalau lagi marahan sama dia, gimana sih lo?!" "Hahaa iya sih, halah palingan lo gak bisa ngambek lama-lama sama dia." "Gue ngambeknya lama." "Gak mungkin lah haha." Anya terus tertawa terbahak-bahak karena tak percaya mendengar ucapan Jessi yang akan marah lama kepada Abra. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD