Part 8: Ikan Salmon & Pelukan

4098 Words
"Kenapa ya sama beliau? Apa karena foto ini atau hal lain? Tapi kalau karena foto ini, kenapa sama foto ini? Ada kah yang salah?" Pikiran Felix mulai bertanya-tanya dan begitu menumpuk, Ingin pertanyaan diisi otak kepalanya ini bisa langsung mendapatkan jawaban sekarang juga supaya dirinya kembali menjadi lebih kenal. "Argh!" Felix mengacak-acak rambutnya kesal karena dilanda penasaran sedari tadi. "Besok gue tanyakan, sekarang waktunya fokus sama tugas." Felix masuk ke dalam kamarnya dan duduk di meja belajarnya. Setelah duduk barulah Felix mulai mengerjakan tugasnya yang tadi sekolah walau tugas itu bisa dikerjakan besok karena tugas itu pun dikumpulkan bulan depan. Di tengah-tengah diriny belajar, seseorang mengirimkannya pesan lalu Felix membuka pesan tersebut. "Jessi." Gumam Felix. Jessi: Save nomer gue dong, gue maksa! Felix tersenyum, membaca pesan dari Jessi yang baru saja masuk ke ponselnya. "Ada aja kelakuannya ni cewek." Felix seperti diuji nyalinya duduk sebangku dengan Jessi. Bagaimana tidak disebut begitu setiap hari gadis itu selalu mengagetkannya dan membuatnya mengelus dadanya teris-menerus. Felix mengabaikan pesan dari Jessi. Padahal Jessi sendiri yang marah-marah kepada tapi dirinya tetap dicari-cari oleh gadis tersebut. Jessi: Gak di sekolah gak dihp cuekin gue mulu Felix membaca pesan Jessi yang kedua. "Hadeh, emang dia gak tidur apa? Sudah malam begini." Felix menatap jam dinding di kamarnya dan sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sedangkan di seberang sana... Jessi uring-uringkan sendirian di dalam kamar karena diabaikan terus menerus oleh Abra. "Argh kenapa ini cowok susah banget sih." "Bikin gue tambah gereget aja." Saat sedang rebahan, ponselnya bergetar dan buru-buru Jessi melihat ponselnya lagi yang ternyata sebuah pesan laki-laki lain. "Ih gue nunggu balesan pesan dari Abra bukan cowok lain." Jessi merasa risih banyak sekali laki-laki satu sekolahan dengannya maupun beda sekolah memberi pesan di salah satu akun media sosialnya. Jessi tau mereka mencoba mendekatinya dan tak sedikit dari mereka ingin mengajak Jessi langsung berkencan. "Gue ilfeel, gue gak suka dikejar-kejar begini." Jessi mencebikkan bibirnya. Herannya ada satu cowok yang enggan sekali meresponnya padahal diluaran sana banyak yang menunggu Jessi merespon para lelaki yang mencoba mendekati Jessi. "Apa gue telepon ya?" "Eh tapi gak mungkin diangkat." "Emm coba dulu deh." Jessi mulai menelepon Abra dan tidak disangka, teleponnya diterima oleh lelaki itu. Namun belum Jessi memulai berbicara, Abra sudah berbicara terlebih dahulu lalu mematikan teleponnya secara sepihak. "Tidurlah, jangan ganggu gue!" Jessi merinding mendengar suara Abra yang begitu deep sekali. Terbilang juga tidak kasar ataupun tidak terlalu lembut. Namun perempuan mana sih yang tidak suka mendengar suara laki-laki yang berat atau biasanya disebut deep voice? "Ah gue dengernya kok adem sih." Jessi tersenyum dan guling-guling di atas kasurnya. Mendengar Abra menyuruhnya tidur saja sudah membuat kupu-kupu diperutnya berterbangan. "Astaga gue kayak orang gila begini gegara denger suaranya Abra, tapi emang seenak itu woy." Sebagian alasan Jessi ingin mendengar suara Abra adalah suara Abra yang terdengar memabukan sekali. Jessi menggigit bibir bagian bawahnya. "Gak bisa gak bisa, ini terlalu seksi sekali." Jessi tidak bisa melupakan malam ini yang agak berbeda dengan malam-malam sebelumnya. "Emm tapi dia beneran simpen nomer gue gak ya?" Pagi harinya... Jessi memekik kegirangan mengetahui menu sarapan pagi di hari ini yang sudah tertata rapi di atas meja makan. "Jessi." Papanya memanggilnya sehingga Jessi menoleh ke belakang. "Iya, Pa." "Duduk gih, ngapain kamu senyum-senyum begitu?" "Ih Papa kepo banget deh." Kejadian semalam masih terngiang-ngiang dipikirannya sehingga Jessi sesekali tersenyum sendiri jika mengingatnya lagi. "Aduh napa nih anak papa? Habis ngapain hayo senyum-senyum begitu." Alden menggoda putrinya yang jarang sekali menampilkan wajah cerianya. "Enggak papa, Pa. Sudah deh jangan godain Jessi terus." Jessi mendengus sebal, papanya terlalu kepo kepadanya. "Ada apa ini pagi-pagi sudah ribut?" Amanda baru saja turun bersama Arumi yang berjalan di belakang lalu duduk di samping Jessi. "Napa kak Jes?" tanya Arumi kepo kepada Jessi. "Kepo juga lo." "Jessi jangan bicara kasar sama saudaranya sendiri." Tegur Alden kepada Jessi. "Hehe lupa, Pa." Balas Jessi sambil melirik sinis pada Arumi. "Kakak durhaka." "Heh gak ada ya namanya kakak durhaka." "Wle." Arumi menjulurkan lidahnya. "Sudah-sudah malah berantem, sarapan dulu!" Perintah Amanda kepada dua putrinya yang tengah adu mulut. "Arghh!" "Kenapa teriak-teriak bikin papa jantungan aja kamu." Alden mendengus melihat sifat Jessi yang mulai lebay menurutnya. "Hehe seneng soalnya, hari ini menunya makan makanan Jepang." Jessi menyukai makanan khas Jepang dan begitu lahap sarapannya hari ini. "Kalian nanti bawa bekal ikan salmon, lumayan banyak jadi kalau eneg bisa kasih ke temen. Jangan buang-buang makanan, mubazir dan bisa menghambat rezeki." Peringat Amanda kepada anak-anaknya dan berharap mereka mengerti. "Iya, Ma." Jessi dan Arumi mengangguk kompak. Setelah selesai sarapan dan Amanda juga sudah menyiapkan bekal kepada anak-anaknya kini mereka juga siap berangkat ke sekolah dengan mobil pribadi masing-masing. Setiba di sekolah, Jessi baru saja keluar dari mobilnya dan tak sengaja melihat Abra juga baru keluar dari bus sekolah. Jessi tersenyum seketika lalu menghampiri lelaki itu dan berdiri di sampingnya. "Pagi." Sapa Jessi pada Abra dan Balder. "Pagi juga." Tentu yang menjawab hanyalah Balder saja dan Abra terus berjalan, mengabaikan Jessi yang menyapanya. Jessi sedikit kesal namun tidak kaget lagi pasti akan diabaikan oleh Abra. Jessi kini berjalan di tengah-tengah mereka dan sesekali membalas sapaan beberspa murid yang mengenalinya. "Wah banyak yang kenal sama lo ya." Balder baru mengetahui segitu terkenalnya Jessi di sekolah ini. "Gak juga sih, mungkin karena gue anak basket." "Lo ikut basket?" Balder menatap Jessi tak percaya. "Iya, pasti gak percaya nih." Tebak Jessi yang sudah biasa mendengar respon seseorang yang tidak percaya kalau dirinya bisa bermain basket. "Iya sih, soalnya wajah lo terlalu imut buat main basket." "Ah masak sih?" Jessi cekikian. Balder dan Abra tak sengaja bertatapan. Balder baru sadar memuji Jessi, teman spesialnya Felix dan dia pun menggaruk tekuknya yang tidak gatal sambil berpikir sesuatu. 'Gue salah gak ya memuji Jessi tapi emang Jessi itu imut tapi gue memuji Jessi di hadapan Felix langsung. Felix marah gak ya atau cemburu gak ya, gue jadi gak enak'-- Itulah yang sedang dipikirkan oleh Balder. "Gue duluan ya, Jes." Akhirnya Balder memilih melangkah dahulu dan beralasan supaya Jessi bisa fokus dengan temannya. "Mau kemana?" "Gue ada urusan, kebetulan gue mau dafter eskul tapi gue gak tau eskul apa." "Basket dong!" Ajak Jessi pada Balder. "Emm gue pikir-pikir. Gue juga suka sama basket." "Basket aja ya, yaya." Jessi berusaha membujuk Balder supaya juga ikut ekstrakulikuler basket. "Ya gue lihat aja dulu, gue duluan ya." Balder berjalan lebih cepat sambil tangannya terangkat ke atas. "Iya, Balder." Jessi melambaikan tangannya ke arah Balder dan menatap kepergiaan Balder hingga tak terlihat lagi dari pandangannya. Jessi melirik Abra yang melangkah lebih cepat darinya sehingga Jessi sedikit berlari demi menjajarkan langkahnya dengan langkah kaki Abra. "Astaga kaki lo panjang amat." Napas Jessi ngos-ngosan mengikuti langkah kaki Abra yang sangat cepat. 'Salah sendiri barengan sama gue, capek kan lo'---batin Abra dan tersenyum di dalam hatinya. Setelah berada di dalam kelas, Jessi duduk lemas dibangku. "Kenapa kaki lo panjang amat sih? Gue aja sampai susah ngikutin langkah kaki lo padahal disini tinggi gue eh lo lebih tinggi lagi hadeh." Jessi merebahakan kepalanya di atas meja dengan dilapasi buku paketnya. Abra melirik sekilas ke Jessi dan mengabaikannya seperti biasa. "Gue tanya." Jessi memegang lengan Abra dan saat sadar ditatap heran oleh Abra, seketika menjauhkan tangannya dari lengan tangan Abra. "Eh gue reflek." Jessi menyengir dan Abra masih menatapnya bingung. Bingung terhadap tingkah gadis itu. "Emm jadi gini lo bisa tinggi gitu olahraganya gimana? Minum s**u juga kah?" tanya Jessi yang begitu penasaran sekali. Abra tidak menjawab dan kembali tangannya menata buku-bukunya di atas meja tentu membuat Jessi merasa makin kesal "Please dong dijawab, please." Lagi-lagi Jessi memegang lengan Abra dan Abra segera menurunkan tangan Jessi. "Gak tau." "Kok gak tau sih?" Abra mengedikkan bahunya tak acuh. "Ih ngeselin banget, pelit." Istirahat telah tiba, Jessi mengernyitkan dahinya menatap Abra yang masih fokus mengerjakan tugasnya padahal tugas itu bisa dikumpulkan bulan depan nantinya bisa dikerjakan besok-besok. "Lo gak istirahat?" tanya Jessi heran pada Abra. Bahkan Balder sudah sedari tadi ke kantin duluan bersama temannya yang lain. Abra menggelengkan kepalanya. "Kan bisa dikerjain besok-besok, kenapa harus dikerjakan sekarang sih?" Jessi merasa sebal sekali melihat Abra yang terlalu rajin. Abra tetap tidak menjawab dan fokus dengan belajarnya. "Gitu ya." Jessi frustasi lalu mengusap perutnya yang mulai merasakan lapar sekali. "Laper banget padahal tadi makan banyak deh." Jessi mendengus sebal sembari mengeluarkan kotak bekalnya dari dalam loker mejanya. Jessi menjilat bibirnya setelah membuka kota bekalnya. "Ikan salmon segar hehe, love it." Jessi memekik kegirangan melihat cemilannya sedari kecil. Abra merasa mencium bau makanan yang menurutnya enak dan segera menoleh ke arah Jessi. 'Ikan salmon, makanan favorit gue dari dulu dan sudah lama gue gak makan ikan salmon setelah gue kabur waktu itu'--Abra melongo menatap isi kotak bekal milik Jessi. Jessi mengetahui respon Abra yang sepertinya menginginkan ikan salmon. "Lo suka ikan salmon?" tanya Jessi sembari tangannya menyodorkan potongan ikan salmon ke arah depan bibirnya Abra. 'Oh tidak, gue gak bisa nahan buat gak makan ini'--Hap! Abra melahap suapan dari Jessi dan Jessi bertepuk tangan. "Yey es tebu mulai leleh." "Batu kali." Jessi menepuk bibirnya sendiri ketika membenarkan ucapannya yang salah. Abra mengabaikan respon dari Jessi dan memejamkan matanya, memilih fokus menikmati ikan salmon. Ia merindukan makanan seenak ini dan mahal sekali harganya sehingga dari dulu Abra tidak bisa beli. Ketika ada uang pun selalu menghemat karena Abra tidak ingin menjadi beban ayahnya. Jika memakan makanan semahal ini, Abra berpikir seribu kalinya dan berakhir gak jadi membeli makanan mahal karena kebutuhan lebih diutamakan daripada keinginan. Jessi menoleh, menatap Abra yang fokus sekali menatapnya yang sedang makan ikan salmon. Jessi tersenyum merasa diperhatikan oleh Abra tapi saat Jessi masih memegang ikan salmon ternyata Abra memfokuskan pandangannya ke apa yang tengah dipegangnya bukan menatap ke wajahnya. 'Gue kira dia lihatin gue ternyata ikan ini, bener-bener dasar ikan salmon kan gue pengennya gue yang diperhatikan tapi emang sudah jelas sih dia ingin makan ini dan tadi makannya lahap banget' --pikir Jessi yang sudah terlanjur percaya diri sekali ditatap oleh Abra. Jessi pun menutup kotak bekalnya dan ikan salmon yang dibawanya masih banyak di dalam kota bekalnya. Ia melihat raut wajah kecewa di wajah Abra dan sorotan mata Abra seperti menginginkan makanannya lagi. "Lo mau kah?" tanya Jessi sembari menggeserkan kota bekalnya ke arah Abra. Abra menggelengkan kepalanya dan membuang pandangannya ke arah lain. Jessi tidak tinggal diam begitu saja, dia kembali membuka kotak bekalnya dan itu membuat Abra kembali menatap kotak bekal itu kembali. "Bilang aja kali kalau mau lagi bakalan gue kasih dan ikan salmon semuanya jadi ini milik lo." Abra tetap menggeleng padahal sorotan matanya sudah jelas tidak berbohong kalau menginginkan ikan salmon miliknya. Akhirnya karena Jessi sudah geregetan terhadap tingkahnya Abra, ia menyuapi Abra sampai ikan salmonnya habis semua dan tidak tersisa. " Makanan favorit ya? Sama dong hehe tapi demi lo, gue relain habis deh. Besok-besok lagi gue bawain ikan salmon." Jessi tersenyum sambil menatap Abra yang malu sendiri karena tidak bisa mengabaikan Jessi terutama ada ikan salmon ditangan Jessi tadi. 'Sekarang gue tau, kelemahan dia itu makanan favortinya. Jadi dia gak bakal mengabaikan sesuatu kecuali makanan favoritnya. Oke deh, gue tau'---batin Jessi. 'Astaga gue bener-bener gak bisa cuekin dia kalau ada ikan salmon, gue gak bisa nahan kalau disodorin makanan favorit gue ini'--Felix berdecak kesal karena tak bisa cuek tadi dan terlanjur terlena dengan ikan salmon. "Karena lo tadi sudah bikin ikan salmon milik gue habis, lo harus tanggung jawab." Jessi menjetikkan jarinya. Abra berpura-pura mengabaikan Jessi lagi walau mendengar ucapan gadis itu. Ia meruntuki dirinya sendiri yang berada dijebakan Jessi. "Eitsss gak boleh cuekin gue, lo harus tanggung jawab." "Gak ikhlas?" Dua kata dari pertanyaan Abra membuat Jessi gelapan sendiri. "Ikhlas lah, ikhlas." Jessi mengangguk beberapa kali. 'Ck, gue gak mau kalah. Gue harus menang' "Tapi kan lo habisin makanan gue semuanya, gue belum makan siang. Kalau perut gue sakit gimana? Kan tadi gak bagi makanan, mulut lo terbuka terus dan minta disuap terus." Jessi mencari-cari alasan lain. "Ribet amat sih lo." "Gue gak ribet asal lo mau melakukan apa yang gue minta hehe." Jessi menyengir kuda. "Terus mau lo apa?" tanya Abra to the point. "Seharian ini, lo gak boleh cuekin gue." 'Ngeselin banget ini cewek, gak dari kecil dan gak besar juga sama aja. Gak ada perubahan sama sekali'--ucap Abra dari dalam hatinya. "Hmm." Abra berdehem saja. "Cuman hmm doang jawabannya kan gue sudah bilang kalau seharian ini jangan cuekin gue." "Iya," jawab Abra dengan rasa ogah-ogahannya. "Kayak gak semangat gitu." 'Bawel amat sih'--Abra merasa resah saja karena Jessi tidak bisa diam dan ingin sekali mengunci mulut gadis itu supaya bisa diam. Sekarang waktunya pelajaran olahraga, para laki-laki kebanyakan ganti baju di dalam kelas dan para perempuan berganti baju di toilet yang khusus diperuntukkan untuk berganti pakaian saja. Akan bahaya jika para perempuan ganti baju di dalam kelas karena beberapa murid yang berotak m***m dan takut ada kejadian hal-hal yang tidak mengenakan. Jessi sangat bersemangat hari ini sampai membuat teman-temannya heran menatapnya. Bagaimana tidak sebahagia ini bisa membuat lelaki es tebu 'katanya' sedikit mencair. "Wih semangat banget lo, emang nanti pelajarannya basket kah?" tanya Balder kepada Jessi yang baru saja menghampirinya. "Emm bukan itu aja sih." Mata Jessi fokus ke Abra yang sepertinya ingin menjauhinya namun Jessi segera menggandeng tangan Abra. "Oalah karena sudah gak diabaikan sama Abra jadinya seneng kayak begitu?" Balder langsung paham melihat Abra yang tidak memberontak saat Jessi menggandeng tangan temannya itu. "Hehe bener banget, nanti gue traktir buat hadiah." "Haha gak usah lah, gue ikut seneng lihatnya. Nah gitu dong gak dicuekin mulu, kan sayang banget ada serbuk berlian dicuekin." Balder menoleh ke Abra sambil menepuk pundak temannya itu dan menggoda Abra karena tidak lagi mengabaikan Jessi. "Tapi sayangnya cuman sehari doang padahal rasanya nanti waktu cepat berlalu." Jessi mencebikkan bibirnya kesal dan ingin terus Abra tidak secuek ini kepadanya. Jessi benar-benar merasa aneh kepada dirinya sendiri, yang tidak ingin diabaikan oleh Abra tapi memang Jessi tidak menyukai laki-laki yang mengejar-ngejarnya dan semakin risih, ilfeel berdekatan dengan laki-laki seperti itu. Walau sering dicueki oleh Abra, Jessi sangat merasa nyaman saja dengan Abra tapi lama-lama juga merasa kesal terus diabaikan oleh lelaki itu. "Sehari doang? Gimana maksudnya?" tanya Balder yang tidak paham. "Jadi tadi kan Abra habisin ikan salmonku nah dia dapat hukuman dari gue. Hukumannya adalah tidak cuek ke gue seharian di hari ini." "Oalah bagus tuh, kebetulan si Abra juga libur kerja semingguan jadi lo bisa sampai malam main sama dia." Ucapan Balder terlontar begitu saja dan mendapatkan pelototan dari Abra alias Felix. Balder malah mengedipkan matanya ke arah Felix. "Maksud lo apaan?" tanya Felix tanpa bersuara. "Sudahlah," jawab Balder tanpa bersuara juga. Kelakuan mereka tidak diketahui oleh Jessi karena tingkah mereka dilakukan dalam waktu yang cepat. "Oh libur ya bengkelnya?" Mata Jessi berbinar karena ada kesempatan bisa bersama Abra seharian. "Iya, libur jadi bisa tuh seharian." Balder tersenyum dan ikut senang saja melihat temannya bisa bersama dengan Jessi. Sosok gadis imut ini yang seringkali diceritakan oleh Felix sedari kecil. Abra menghembuskan napasnya kasar dan menjadi bencana baginya di hari ini. Ia menyalahkan otaknya dan mulutnya yang tak bisa dikontrol sewaktu melihat makanan favoritnya. Sebab memang sudah lama tidak merasakan makanan favoritnya semenjak dirinya kabur dari rumah. Setelah merasakan hidup biasa saja begini membuatnya sadar, dulu hidupnya penuh dengan gelimangan harta dari kedua orang tuanya yang sama-sama tajir bahkan Felix kecil meminta apapun langsung datang di hari itu. Sayangnya harta tak bisa membeli kebahagiaan yang pada akhirnya Felix tak membutuhkan harta melainkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. "Abra, nanti gue ikut pulang naik bus." Jessi bergelayut manja di lengan Abra. "Ikut aja Jes, enak lho naik bus tapi kalau sepi sih. Kalau ramai biasanya desak-desakkan, semoga saja nanti agak sepi gitu." Balder pun menyahut ucapan Jessi. "Oalah gitu, yey nanti naik bus sekolah untuk pertama kalinya." "Pertama kali?" Balder terkejut dan Abra tidak kaget lagi karena ia tau Jessi bukan kalangan seperti dirinya sekarang. "Iya, karena mobil pribadi selalu datang tepat waktu. Jarang sih telat makanya gak pernah ada kesempatan naik bus." Jessi menggaruk tekuknya. Terdengar suara piluit dari arah lapangan basket menandakan jam olahraga akan dimulai. Semua murid terutama mereka bertiga secara berkumpul ke lapangan basket. "Buat barisan dan lakukan pemanasan!" Perintah dari guru olahraga kepada mereka. "Baik Pak." "Mulai berhitung!" "1, 2, 3..." Selesai melakukan pemanasan kini mereka semuanya berlari kecil mengitari lapangan basket outdoor ini sebanyak 3 kali. Selanjutnya guru olahraga itu menjelasakn materi hari ini adalah lompat jauh dan bola basket. Jessi memekik kegirangan karena materi bola basket adalah materi favoritnya. ... "Keren banget lo main basketnya, langsung dibuktiin nih padahal tadi baru aja bilang." Balder memuji kemampuan Jessi bermain basket sambil bertepuk tangan. "Hehe iya dong, gue bilang bisa ya bisa hehe." Jessi terkekeh pelan sambil mengrible bola basketnya. Materi olahraga tadi sudah selesai dan sekarang dibebaskan bermain oleh guru olahraga tersebut. Jessi pun memilih bermain basket seketika melupakan Abra yang mengamatinya sedari tadi. "Keren banget." Balder tersenyum lebar menatap Jessi yang masih asyik bermain basket sendirian dan sesekali basket itu dimasukkan ke dalam ring begitu mudahnya. "Ayo main Der!" Ajak Jessi sambil menarik tangan Balder dan Balder pun tertegun di tempatnya. Felix dari kejauhan pun merasa tidak nyaman pada dirinya sendiri melihat kedekatan mereka berdua yang sekarang bermain basket bersama. "Ah astaga perasaan gue jadi gak tenang gini lihat mereka berdua." Felix mengusap wajahnya kasar lalu beranjak berdiri dan berlari ke arah Jessi. Jessi yang terlalu asyik bermain basket, menubruk tubuh Abra dan gadia itu terjatuh. Untung saja tidak ada luka melainkan hanya rasa sakit dipinggangnya saja. Balder melihat itu langsung sadar bahwa Jessi itu gadis spesial temannya. "Gue terlalu asyik sama dia, sampai gak sadar kalau Felix pasti cemburu." Gumam Balder memilih pergi berlalu dari lapangan basket ini. "Aduh!" Pekik Jessi yang jatuh dalam posisi tubuhnya miring ke kiri. Abra memudurkan tubuhnya selangkah saja saat ditubruk tak sengaja oleh Jessi. Jessi yang tadinya akan mengumpat karena ada seseorang yang menghalanginya saat sedang asyik-asyiknya bermain basket pun diurungkan niatnya itu setelah mengetahui siapa si penghalangnya. "Eh Abra." Jessi tidak jadi berdiri sendiri dan berpura-pura tidak bisa berdiri sembari tangannya terangkay ke atas. "Bantuin berdiri dong ganteng," pinta Jessi kepada Abra, gadis itu tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Abra pun berjongkok dan Jessi makin tidak sabar dibatu oleh Abra berdiri. Namun Jessi merasa Abra sangat lama menolongnya, Jessi membuka matanya dan melongo melihat apa yang Abra lakukan berjongkok di hadapannya. Bukannya menolongnya ternyata Abra malah menali sepatunya sendiri dan gerakannya juga lamban sekali atau mungkin disengaja lamban kemudian berdiri tanpa memperdulikan Jessi yang sudah sedari tadi menunggunya dibantu berdiri. "Eh malah pergi dia." Jessi mendengus sebal karena meraaa ditipu oleh Abra. Jessi pun berdiri sendiri lalu mencari keberadaan mereka berdua dan ternyata duduk dipinggir lapangan basket. Disisi lain... "Kok lo gak nolongin Jessi berdiri?" tanya Balder melihat temannya yang menghampirinya. "Dia bisa berdiri dan gak terluka." "Astaga Felix-- eh maksud gue Abra, tetap saja harus ditolongin. Kan aturanya hari ini lo gak boleh cuekin dia." Balder hampir saja keceplosan menyebutkan nama Abra yang asli. "Dia gak ikhlas kasih gue ikan salmon." Eluh Felix. "Namanya juga jebakan yang terjadi tanpa direncanakan." Balder tertawa meledek temannya. "Sialan." umpat Abra. "Abra kok ninggalin gue sih." Jessi sudah berdiri di hadapan Abra sambil bersedekap d**a dan raut wajahnya terlihat begitu kesal terhadap sikap Abra tadi. "Terus?" "Tolongin kek, gue kan jatuh gegara nabrak lo." "Salah sendiri." "Haduh harusnya bantu gue berdiri, lo kan laki masak tega gitu sih." Jessi makin kesal mendengar respon Abra yang tidak memperdulikannya. "Hmm." Abra berdehem. "Jangan lupa hari ini lo dihukum karena habisin ikan salmon gue, gak mau tau pokoknya jangan cuekin gue." Jessi menghentakkan kedua kakinya dan tingkahnya ini seperti anak kecil yang sedang meminta mainan. Abra malah terdiam. "Abra, itu lho. Malah diabaikan." Balder menyenggol lengan Abra yang merasa temannya itu diam saja padahal Jessi sudah mau menangis. Abra beranjak berdiri dan benar-benar enggan menanggapi Jessi. Ia kali ini berusaha tega kepada gadis itu supaya menyerah dan tidak lagi mengganggunya. Nyatanya salah, baru beberapa langkah saja, mendengar Jessi mulai menangis langsung membuat Abra cemas dan membalikkan badannya lalu menghampiri gadis itu. "Jangan nangis!" Suara lembut Abra membuat Jessi makin menaikkan volume nangisnya dan Abra langsung memegang pundak gadis itu. Abra menatap sekitar dan merasa menjadi pusat perhatian orang-orang di area lapangan basket ini. Balder menggelengkan kepalanya melihat tingkah mereka berdua yang sama-sama lucu dan bikin gereget. Abra tak ada pilihan lain dan menarik Jessi ke dalam dekapannya. Seketika Jessi perlahan menghentikan tangisannya namun tubuhnya mematung dan merasakan pelukan dari Abra ini seperti pernah dirasakan sebelumnya. Pikiran Jessi pun kembali ke masa lalu... Sosok gadis kecil berusia 6 tahun itu sedang bermain scooter milik sekolah dan sesekali tertawa karena rasanya menyenangkan sekali. "Besok minta papa buat beliin scooter ini, Jessi pengen banget." Jessi kecil itu merasa senang sekali akhirnya bisa paham cara menggerakan scooter dan ini pertama kalinya dirinya bisa melakukannya. Jessi bermain scooter setelah pelajaran selesai dan diberi waktu satu jam karena scooter itu akan dimasukkan ke dalam garasi sekolah dan dikunci supaya tidak diambil oleh orang-orang jahil. Dirasa sudah puas main scooter sendirian meski masih lumayan banyak murid yang belum pulang tapi lebih memilih main yang lain, Jessi tidak tau di depannya ada batu berukuran besar namun tertutup rumput sehingga Jessi jatuh gegara menabrak rerumputan itu. Jessi menangis dan berteriak kesal menyalahkan batu besar disana. "Batunya gak minggir, Jessi jatuh gara-gara batu hue hue." Tangisan Jessi mengundang perhatian orang sekitar dan ada yang berusaha menenangkan Jessi. Akan tetapi ada sosok laki-laki berusia Jessi berlari ke arah Jessi dan memeluk Jessi. "Jessi jangan nangis. Ada Felix disini." Felix memeluk Jessi sambil tangannya menepuk punggung gadis kecil itu dan berharap Jessi bisa tenang. Seketika tangisannya mulai mereda sebab merasakan ketenangan di dalam dekapan Felix. "Jessi." "Eh?" Jessi mengerjapkan kedua matanya dan sadar dari lamunannya yang membayangkan masa lalunya saat dirinya berada di dalam dekapan Abra. Abra menatap Jessi heran dan kedua tangannya yang tadi menggoyangkannya pundak Jessi supaga tersadar dari lamunannya diturunkan. "Emm." Jessi bingung mau mengatakan apa karena ia benar-benar tidak bisa menangis lagi tapi mengapa dirinya ini bisa langsung membayangkan masa lalunya dan itu soal Felix. Jessi menatap lekat ke arah Abra dan Abra juga menatap balik ke gadis itu. 'Felix, gue jadi kangen dia. Apa kabar dia sekarang? Apakah dia masih hidup? Jikalau memang masih hidup, dia sekarang dimana? Kapan gue bisa dipertemukan kembali sama dia'---batin Jessi. 'Kenapa Jessi natap gue kayak gitu? Apa yang sedang dia pikirkan? Dia seperti merasa kegelisahan sekarang'--pikir Abra. "Ekhem malah pandang-pandangan." Seseorang mengganggu mereka yang sedang saling pandang dan dia adalah teman sekelas mereka. Abra dan Jessi kompak membuang muka ke arah lain dan sama-sama salah tingkah karena dipergoki oleh teman sekelas mereka. Selanjutnya Abra menarik tangan Jessi dan membawa ke tempat yang jauh dari kerumunan banyak murid disana. Jessi tersenyum digandeng erat tangannya oleh Abra. "Aw!" Jessi mengaduh karena saking fokusnya menatap Abra sampai tidak memperhatikan sekitarnya sehingga menabrak tiang bendera. Abra menghentikan langkahnya dan terkejut melihat dahi Jessi memerah. "Aduh sakit." Rengek Jessi yang baru saja melirik Abra, raut wajah Abra yang nampak cemas itu dimanfaatkan oleh Jessi. Abra menangkup wajah Jessi dan dan tangannya yang lain mengusap lembut dahi Jessi sambil ditiup pelan. Jessi terdiam dan terus menatap Abra begitu lekat. Ia tak menyangka Abra seperhatian ini orangnya tapi apakah hanya dirinya saja yang mendapatkan perlakuan semanis ini dari sosok laki-laki itu? 'Dia bener-bener orang yang cuek apa bukan ya? Kok dia semanis ini sih'--Jessi berteriak di dalam hatinya. Merasa diperhatikan, Abra langsung menjauhkan tubuhnya dari Jessi dan baru sadar jarak tubuhnya dengan Jessi terlalu intim. "Sudah gak sakit kok, langsung sembuh." Jessi tersenyum lebar dan tentu saja merasa senang sekali karena Abra tidak mengabaikannya seperti biasanya. "Makanya hati-hati." "Aduh suaranya itu lho kayak pengen ngajak ke KUA." Plak' Abra menempelkan telapak tangannya di dahinya Jessi. "Gila." Setelah mengucapkan itu, Abra pergi berlalu meninggalkan Jessi yang masih mematung ditempatnya berdiri. "Eh?" "Lha ditinggal." Jessi berlari kecil menyusul langkah Abra yang begitu cepat menurutnya. ... Pulang sekolah telah tiba, sebelum itu Jessi menghubungi sopir pribadinya untuk tidak menjemputnya hari ini dengan alasan belajar di rumah teman dan pulang bersama temannya. Jessi sudah bergelayut manja di lengan Abra, kedua tangan Abra berada di dalam saku celananya dan Abra membiarkan gadis itu melakukan sesuka hatinya karena teringat hukumannya yang diberikan oleh gadis itu kepadanya. Abra benar-benar pasrah sekali terhadap tingkah Jessi yang ada saja kelakuannya yang bikin emosinya naik. "Natap ke depan!" Abra menarik dagu Jessi ke depan karena sedari tadi Jessi fokus menatapnya terus. "Hehe." Jessi menyengir kuda. "Lo makin ganteng dan wajah lo gak bosenin dilihat tiap hari." Abra menganggap biasa saja pujian dari Jessi. "Gak jelas." Abra melepaskan tangan Jessi dan berjalan cepat lebih dulu. "Yah." Jessi mendesah kecewa namun bergegas mengejar langkah kaki Abra yang begitu cepat. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD