Part 9: Ke Rumah Abra

2524 Words
"Lho Jessi, lo mau naik bus?" tanya Dipta yang tak sengaja melihat Jessi duduk di halte bus dan ditambah lagi penasarannya Jessi tidak sendirian melainkan bersama dua laki-laki yang salah satunya juga dikenalinya. Dipta dengan mendorong sepedanya menghampiri mereka di halte bus. "Iya, mau nyoba naik bus." Jessi mengangguk semangat. "Kenapa gak bilang ke gue kan gue bisa nemenin lo naik bus." Dipta tersenyum dan melirik dua laki-laki yang berdiri tegap di samping Jessi seperti sedang mengawal Jessi. "Jessi maunya sama kita," ucap Balder dan dia juga membaca nama Dipta yang tertera di name tage seragamnya. "Emang kalian temennya Jessi? Kalian cuman sekedar teman sekelasnya aja." Dipta memperbaiki kaca matanya lalu menatap Abra dan Balder secara bergantian. "Kita sudah berteman kok, dari kemarin kita dekat." Jessi menyahut pertanyaan Dipta. "Beneran?" tanya Dipta sekali lagi dan merasa khawatir saja melihat Jessi dekat dengan murid bertampang seperti preman. Dipta juga merasa panas hatinya mengetahui Jessi berteman dekat dengan laki-laki lain selain dirinya. "Iya beneran, memang kenapa Dipta?" tanya Jesai heran melihat raut wajah Dipta yang sepertinya tidak menyukainya dekat dengan Abra dan Balder. "Gue takut aja lo salah pergaulan," jawab Dipta. "Parah lo bicara begitu, lo pikir semua murid yang tampangnya berandalan begini nakal semua kah? Gue emang nakal, nakal gue buat diri gue sendiri ya dan gak mungkin gue nakal ke Jessi." Balder langsung paham arah ucapan Dipta dan apa yang dimaksud lelaki itu setelah diperhatikan Dipta menatap tampilannya sedari tadi dengan tatapan curiga. "Iya, gue cuman takut Jessi kenapa-napa. Jessi temen gue dari kecil dan dia cewek polos. Wajar dong gue khawatir secara lo ini murid baru dan baru mengenali Jessi." Dipta menatap laki-laki itu tajam. "Sudah Dipta, gue gak kenapa-napa dan mereka ini anak baik-baik kok." Jessi beranjak berdiri dan menengahi perdebatan ini sebelum semakin memanas. "Kalau lo ada apa-apa sama mereka, langsung telepon gue dan gue bakalan angkat," ujar Dipta kepada Jessi dan akan pasang badan jika ada yang menyakiti Jessi. "Angkat apa? Angkat barbel?" "Songong banget sih lo." Dipta menatap tidak suka kepada Balder yang nyolot dari tadi. "Heh sudah! Dipta pulang gih, nanti dicariin sama tante Freya." Jessi menepuk pundak Dipta. Dipta juga menatap Abra yang memilih diam sedari tadi namun ada sedikit rasa aneh di dalam diri Dipta ketika melihat sosok Abra seperti seseorang yang telah ia kenali sejak lama. "Ya sudah, gue pulang dulu." Dipta menaiki sepedanya dan mulai mengayuh pedalnya. Setelah Dipta sudah pergi, bus sekolah telah tiba di halte dan mereka bertiga bersama murid lain memasuki bus sekolah tersebut. "Ayo naik!" Balder yang reflek akan menggandeng tangan Jessi, Abra sudah menggandeng tangan Jessi lebih dulu dan Jessi tersenyum lebar menatap Abra yang masih tidak mengabaikan. Balder yang masih mengadahkan tangannya itu tersenyum menatap tangannyayang kosong alias tidak ada yang dirinya gandeng. "Sudah nasib." Balder menyilakan rambutnya dengan tangannya yang tadi tidak jadi menggandeng Jessi. Di tengah perjalanan, Jessi heboh sendiri menatap pemandangan pinggir jalan raya dan juga mengamati bus sekolah yang ternyata sangat nyaman sekali. Jessi pikir bus sekolah seperti bus umum nyatanya tidak, justru bus ini bus yang sangat baik fasilitasnya dan karena Jessi tidak memiliki kartu untuk naik bus terpaksa harus membayar ongkos nantinya sebab Jessi juga tidak membawa kartu sekolahnya. Balder duduk di belakang Jessi dan dia duduk sebelahan dengan orang lain sedangkan Abra duduk di samping Jessi tentunya. Abra memperhatikan Jessi yang begitu menikmati sekali perjalanan pulang dan mendadak ia tersadar sesuatu. "Lo pulang ke rumah kan?" tanya Abra yang baru ingat belum menanyakan kemana Jessi turun nanti. "Ikut lo." Jessi menyengir kuda dan menjawab begitu santainya. "Ikut gue?" Beo Abra. "Iya, gue gak mau sia-siain kesempatan gak dicuekin sama lo seharian. Gue mau lo anggap gue ada disisi lo, titik!" Jessi meraih tangan Abra dan menggenggamnya begitu erat. "Merepotkan sekali." Abra tidak bisa melepaskan genggaman erat dari Jessi. Dari luar Abra memang menolak apa yang dilakukan Jessi kepada tapi sebenernya ia merasa sangat nyaman bahkan melihat Jessi bersama yang lain rasanya tidak ikhlas. Sejak kecil pun dirinya sudah merasakan ini dan tidak pernah ada keinginan berteman dengan siapapun kecuali Jessi saja. Jessi terlalu istimewa di dalam hidupnya dan meski beribu kali dirinya menolak malah semakin menambah kedekatannya dengan Jessi. "Besok pengen naik bus lagi," ujar Jessi sambil memekik kegirangan seperti anak kecil dimata Abra. Tidak ada perubahan, Jessi tetaplah sama seperti gadis kecil yang ia kenalinya dulu dan gadis itu adalah Jessi sendiri. Secuek apapun Abra ke Jessi, Abra tidak bisa berbuat kasar kepada gadis itu bahkan melihat Jessi menangis pun Abra langsung panik dan berusaha menenangkan Jessi sampai benar-benar tangisannya berhenti. "Abra jangan diam mulu dong." Jessi menoleh ke Abra dan baru sadar ternyata sedari tadi Abra memandanginya. "Eh ternyata lo lihatin gue terus." Jessi tersenyum malu sambil menyilakan anak rambutnya ke belakang daun telinganya. Abra yang tertangkap basah, segera membuang mukanya ke arah lain dan melepaskan tangannya yang tadi makin mengeratkan genggaman tangannya Jessi. "Ih kok dilepas sih?" Jessi meraih tangan Abra kembali dan bertepatan bus ini telah sampai ke tempat tujuan mereka berhenti. Abra beranjak berdiri dan menarik tangan Jessi supaya tidak tertinggal darinya sedangkan Balder mencari jalan keluar sendiri karena ia tau pasti Abra bersama Jessi. Mengetahui banyak orang yang tengah berebutan turun dari bus, Abra meletakkan posisi Jessi di depannya dan menghadang siapapun orang yang hampir menabrak tubuh mungil Jessi. Jessi benar-benar tak menyangka terhadap kelakuan Abra yang sangat memperdulikannya. 'Apakah ini karena hukuman jadinya dia sepeduli itu atau memang ada sifat peduli pada dirinya cuman lagi disembunyikan aja?'--batin Jessi ketika dibantu keluar dengan aman oleh Abra. Mereka bertiga sama-sama bernapas lega setelah turun dari bus sekolah tersebut. "Terus kita kemana?" tanya Jessi kepada Abra dan Balder. "Kan lo mau sama Abra terus, jadinya lo ikut Abra. Gue jalan duluan ya." Pamit Balder kepada mereka berdua. Abra ingin mencegah Balder untuk tidak pergi terlebih dahulu pun diurungkan niatnya tersebut karena teringat dirinya mendapat hukuman dari Jessi. "Daa Balder!" teriak Jessi sambil melambaikan tangannya ke arah Balder. Balder memilih melewati jalan lain dan membiarkan mereka berdua saja. Karena yang selalu merespon ucapan Jessi adalah dirinya sehingga Abra nantinya terabaikan. "Hehe ayo pergi!" Jessi melangkah ke arah lain dan Abra pasrah ditarik tangannya oleh Jessi. Di sepanjang perlajanan menuju rumah Abra dengan berjalan kaki, Jessi menghapal betul arah jalannya supaya dirinya bisa bermain ke rumah Abra dan setelah tiba di rumah Abra, Jessi takjup melihat rumah sederahana tapi asri dilihat. "Wah disini sejuk ya." Jessi melihat area sekitar rumahnya Abra dipenuhi banyaknya pohon mangga, pohon jambu biji, beberapa jenis tanaman bunga dan di belakang ada persawahan. Itu semua milik Seno dan Abra yang akan mewarisi semuanya. "Hmm."Abra berdeham saja sembari membukakan pintu rumahnya. "Kan mulai cuek lagi." Jessi mendengus sebal. "Masuk!" suruh Abra kepada Jessi. Jessi masuk ke dalam rumah dengan raut wajahnya yang kesal namun berubah ceria lagi melihat isi rumahnya Abra termasuk beberapa foto Abra yang masih remaja terpajang di dinding sambil membawa sebuah piala, mendali dan hadiah uang tunai. "Keren banget." Jessi memekik kegirangan mengetahui betapa hebatnya si laki-laki cuek dan pendiam ini. Tanpa disadari oleh Jessi, diam-diam Abra menyingkirkan foto masa kecilnya di dalam laci dekat sofa ruang tamunya dan gerakannya begitu cepat tanpa ada suara. Abra menuju ruang dapur dan berniat membuatkan gads itu cemilan supaya mulutnya bisa diam. "Lo bisa masak?" Abra terlonjak kaget mendengar suara Jessi berada di dekatnya. Ternyata Jessi berdiri di belakangnya dan kedua kakinya menginjak sebuah kursi kayu berukuran kecil. Sengaja Jessi menaiki kursi itu agar dapat melihat jelas apa yang sedang Abra lakukan sekarang. "Bisa," jawab Abra sambil mengangguk walau ketar-ketir melihat Jessi ada di belakangnya. "Gue kalah deh sama laki-laki, gue gak bisa masak dan bisanya cuman makan doang. Gak suka masak gue." Jessi terkekeh pelan. "Terserah." "Nah gitu dong, jawab diajak ngobrol bukan kayak patung dan gue bisa dianggap orang gila kalau lo diemin gue dimanapun tempat." "Emang gila." "Maks--" Suara Jessi terpotong seketika mendengar suara salam dari luar. Ternyata itu adalah suara Seno-ayahnya Abra. Buru-buru Jessi keluar dari ruangan ini dan meletakkan kembali kursi ke tempatnya semula. "Selamat siang menjelang sore Pak." Sapa Jessi pada sosok lelaki paruh baya tersebut. "Selamat siang menjelang sore juga, lho ini siapa? Cantik sekali. Temannya Abra ya?" tanya Seno pada Jessi. "Iya, Om eh Pak." "Panggil bapak aja, duduk dulu gih!" suruh Seno pada Jessi. Jessi mengangguk beberapa kali lalu duduk dan Seno pun ikut duduk di sampingnya. "Saya ini Seno, bapaknya Abra. Namanya siapa ini mbak yang cantik?" "Nama saya Jessi, Pak." "Oalah Jessi, namanya bagus kayak orang luar-luar gitu." "Hehe iya, Pak." Jessi tersenyum malu kemudian datanglah Abra sambil membawa sebuah cemilan dan minuman untuk Jessi dan ayahnya. "Wah enak ini, masak apa?" tanya Seno pada putranya. "Papeda sama mie bihun gulung isi sosis." "Enak." Jessi melahap makanan hasil masakan Abra dan tangannya mengacungkan jempolnya saking sukanya terhadap masakan Abra ini. "Pasti enak, Abra suka memasak dari dulu." Jessi menatap Abra dengan wajahnya yang berseri-seri, sungguh laki-laki itu begitu sempurna sekali dengan segudang kelebihannya dan Jessi semakin terpesona melihatnya. "Bapak lagi istirahat atau ada yang kurang?" tanya Abra yang menyadari ayahnya tidak membawa gerobak baksonya. "Bentar lagi bapak lanjut kerja tadi bapak habis keliling terus bapak nitip orang yang jualan di samping dan mumpung dia masih persiapan buka jadi bapak bergegas pulang mau ambil bahan-bahan yang habis." "Kenapa bapak tidak meneleponku saja?" tanya Abra yang begitu perhatiannya kepada ayahnya dan selalu tak tega melihat ayahnya kelelahan bekerja diusianya yang sudah terbilang cukup tua. Jessi melongo mendengar Abra berbicara panjang dan lebar kepada Seno. 'Dia kalau bicara sama gue singkat padat doang, ih gue kan pengen direspon begitu sama Abra. Kelihatan kan Abra bisa cerewet'--batin Jessi. "Iya gak papa kok, Nak. Ya sudah bapak mau ambil bahan-bahan dulu lalu lanjut ke tempat kerja." "Iya, Pak. Hati-hati." Selepas kepergian Seno, tatapan Jessi tertuju pada sosok laki-laki berwajah tampan itu yang kini sedang menyapu dan membersihkan celah-celah yang berdebu alias kotor. Namun saat di area yang dekat dengan tempat Jessi duduk, Abra mengabaikannya dan langsung menyapu sampai latar rumah. Abra tidak ingin gadis itu terbatuk-batuk gegara dirinya yang seenaknya saja menyapu. "Habis?" Abra menatap tak percaya ke Jessi yang menghabiskan papedanya yang berjumlah 15 sedangkan yang 5 dimakan oleh Seno. "Iya, kenapa emang?" tanya Jessi dengan raut wajahnya yang polos sekali dan seperti tidak ada perasaan bersalah. "Hmm gak papa." Padahal Abra belum mencicipi makanan hasil masakannya sendiri tapi sudab dihabiskan oleh adiknya. "Eh iya lo belum makan papedanya ya? Haduh maafin gue, ini efek makanan lo terlalu enak jadinya gue gak sadar sampai habisiinnya." Jessi bersendawa setelah menyelesaikan makanannya yanh terakhir. Abra menelan ludahnya perlahan melihat Jessi begitu menikmati makanan hasil masakannya sendiri dan menghabiskan makanannya sendirian bahkan Jessi tidak menawarkan makanan itu kepada Abra yang telah memasak makanan tersebut. "Emmhh lega deh." Jessi menepuk perutnya karena merasa hampir kekenyangan dan juga melihat makanan tersebut telah habis tak tersisa sedikit pun Jessi melirik Abra yang masih berdiri mematung di sebelahnya sambil menatap piring yang sudah kosong alias tak ada makanannya. "Eh aduh, lupa." Jessi menepuk jidatnya dan baru sadar menghabiskan makanan sebanyak tadi sendirian. "Lo belum makan apa-apa kan tadi? Yang masak lo tapi gue yang habisin semua." Jessi merasa bersalah sambil mengacak-acak rambutnya asal. "Gak papa," balas Abra seraya meraih piring yang sudah tak ada makanan apapun dan dibawa ke dapur untuk dibersihkan. Jessi tak diam saja dan ia menyusul Abra di dapur. "Maafin gue ya." Jessi menangkupkan kedua tangannya di hadapannya dan menatap Abra dengan sorotan matanya yang berarti merasa bersalah sekali. "Tidak apa, pergilah!" Usir Abra. "Lo ngusir gue?" tanya Jessi dengan raut wajahnya yang berubah menjadi sedih. "Pergilah!" Usir Abra lagi dan raut wajah laki-laki itu juga datar. Jessi tidak bisa membantah lagi karena sadar telah melakukan kesalahan. 'Gue sih yang salah pasti Abra sedih makanannya habis karena gue'--ucap Jessi dari dalam hatinya lalu beranjak pergi dari sini. Abra menghela napasnya setelah mencuci perkakas dapurnya yang kotor termasuk piring-piringnya. Abra pun kembali ke ruang tamu dan heran saja tidak ada Jessi disini. "Dimana dia?" Abra bingung sendiri lalu mencoba mencari gadis itu di sekitar rumahnya namun tak kunjung menemukan batang hidungnya. "Dimana sih?" Abra semakin khawatir sebab Jessi tidak mengenal daerah ini dan takutnya ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Abra telah bertanggung jawab menjaga gadis itu supaya terus merasa aman ada didekatnya. Lelaki itu mulai mencari Jessi yang menghilang entah kemana sambil sesekali berteriak menyebutkan nama gadis itu. ... "Huu gue diusir, jahat sih tapi gue yang salah." Mata Jessi mulai berkaca-kaca dan dirinya juga asal mengambil jalan pulang. Jessi lupa sebelum arah jalan menuju rumahnya Abra dan terpaksa berjalan sesuai instingnya sendiri. Berharap Jessi segera menemukan jalan raya. "Duh takut." Jessi celingukan dan merasa daerah ini sangat sepi sekali. "Pada liburan kali ya, sepi banget." Jessi saling mengusap lengannya secara bergantian. Jessi terkejut ada seorang pengendara motor saat melintas di sampingnya terlalu dekat sekali dan pengendara motor tersebut dalam keadaan berboncengan sambil bersiul juga menatapnya dengan pandangan yang seperti menggodanya. Reflek Jessi menghentikan langkahnya dan merasa kesal sekali kepada dua pria itu yang mengganggunya di jalan. Ketika Jessi akan melanjutkan jalannya malah dua orang tadi kembali dan membuat Jessi panik sendiri. Jessi yang akan berlari pun terlambat dan mereka menghadang jalannya. Jessi berteriak meminta tolong dan sangat ketakutan sekali. "Mau kemana neng cantik?" Jessi memundurkan wajahnya ke belakang saat salah satu pria itu seperti akan menciumnya. Jessi juga merasa mual karena mencium bau tak sedap dari mereka dan dari gerakan tubuh pria itu, Jessi menebak mereka sedang dalam kondisi mabuk. "Pergi! Kalian pergi!" teriak Jessi berulang kali tapi mereka malah tertawa saja. Di sini memang sangat sepi sekali padahal ada beberapa rumah juga tapi tidak ada satu pun orang keluar dari rumah dan menolongnya. "Aaa tidak!" teriak Jessi panik karena tubuhnya akan disentuh oleh mereka. Jessi menutup wajahnya dengan kedua tangannya tapi malah ia mendengar suara mengerang kesakitan dan sepertinya ada yang jatuh juga. Jessi perlahan menjauhkan tangannya dari wajahnya dan melihat apa yang terjadi. Jessi membulatkan matanya melihat Abra menghajar habis-habisan dua pria tadi. Abra begitu kalap sekali dan rasa emosi juga jelas dari sorotan mata tajamnya. Jessi menarik tangan Abra dirasa dua pria mabuk tadi sudah tepar tidak berdaya di atas aspal tersebut Jessi memeluk Abra dan ketakutan sekali dirinya. Jika tidak ada cowok itu pasti Jessi.. entah lah tak bisa dibayangkan oleh Jessi sendiri. "Kenapa pergi sendiri?" tanya Abra dan masih emosi saja mengingat Jessi yang akan disentuh oleh laki-laki lain. "Kan lo sendiri yang ngusir gue tadi." Abra mengernyitkan dahinya bingung dan kembali mengingatkan kata-kata apa saja yang diucapkannya kepada Jessi. Abra langsung teringat dan menepuk jidatnya Jessi. "Bego." Abra menghembuskan napasnya dan pergi begitu saja. "Eh kok gitu sih! Jangan tinggalin gue!" Jessi mengusap dahinya sejenak kemudian bergegas menyusul kepergian Abra. "Ih kok ditinggal, ntar. Kalau ada yang jahatin gue gimana?" "Salah sendiri, bukan urusan gue." "Eleh pasti khawatir kayak tadi kan?" Jessi meraih tangan Abra dan digenggamnya begitu erat. "Enggak," jawab Abra singkat. "Bohong." "Enggak." "Bohong." Abra pun diam saja dan malas menanggapinya. Yang terpenting baginya adalah bisa menemukan gadis itu diwaktu yang tepat. "Abra jangan cuekin gue!" rengek Jessi seperti anak kecil. "Ya ampun." Abra mengusap wajahnya pelan dan berusaha sabar walau emosinya semakin meningkat rasanya sekarang. Ia seperti tengah merawat anak kecil saja. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD