Part 7: Kejadian

2536 Words
"Jessi pulang!" teriak Jessi sambil berlari kecil memasuki rumahnya dan setiba sudah di dalam, Jessi melihat papanya bersama temannya. "Sudah pulang Nak?" Jessi mengangguk semangat, hal yang disukainya adalah pulang sekolah. Kemudian Jessi menghampiri teman papanya dan mencium tangannya dengan sopan. "Selamat datang Om Delmon." Jessi menyapa teman papanya. "Halo Jessi, apa kabar?" Delmon tersenyum tipis menyapa balik putri dari temannya. "Baik Om. Oh ya bukannya teman papa ada dua ya, kok yang datang cuman satu?" tanya Jessi sambil celingukan karena merasa ada yang kurang. "Cari Om Asher ya?" tebak Alden. "Iya, Pa. Gak dateng kah?". "Om Asher sedang liburan keluarga di luar negeri." "Wah begitu." Jessi manggut-manggut paham. "Kenapa cari Om Asher?" tanya Delmon heran. "Mau ngadu ke Om Asher karena anaknya itu bully Dipta, suka minta-minta uang ke Dipta dan benar-benar anak yang tidak sopan sama orang yang lebih tua. Dipta kadang suka dihajar sama mereka." Jessi menghela napasnya pelan setelah menceritakan tentang temannya yang dibully oleh anak dari teman papanya. "Apa? Sampai dihajar sama anaknya Faisal?" Jelas Delmon terkejut sebab Dipta adalah ponakan kesayangannya dan sudah dianggap adiknya sendiri. "Iya sama teman-temannya Faisal, pada nakal semua." Jessi mengangguk. "Gak kaget lagi kalau papa sih, anaknya Faisal bandelnya minta ampun," ucap Alden. "Makin parah aja ulahnya anaknya Asher itu." Delmon menghembuskan napasnya kasar. "Sepertinya tidak hanya ke Dipta saja tapi ke murid lain yang tampangnya culun." "Suruh Asher buat tegur anaknya deh." Alden melirik Delmon yang sedang menahan emosinya. "Percuma Pa, dia itu bukan hanya ditegur saja tapi dihukum biar kapok dan gak ulangi kesalahannya lagi. Terutama ke Dipta, Faisal kan sudah tau kalau Dipta ini keponakan temen papanya harusnya dia menghormatinya. Tapi ini aneh, dia malah gak ada takut-takutnya sama Dipta." Jessi berharap Faisal mendapatkan hukuman dan bukan teguran saja dari Asher. Jessi mengambil kursi single dan berukuran kecil lalu duduk di hadapan dua pria dewasa tersebut. "Asher terlalu memanjakan putranya dan seolah-olah baru pertama kalinya memiliki anak padahal Felix tidak begitu. Kenapa diperlakukan berbeda?" Alden merasa heran dan memikirkan Asher yang memperlakukan anak-anaknya berbeda. "Aku juga ikut heran sih, kenapa ya sifatnya Asher makin kesini berubah. Berambisi ingin perusahaannya makin besar bahkan berniat mengalahkanmu padahal kita sama-sama tidak memandang urutan kekayaan karena kita saling bekerja sama." "Asher begitu sejak dia menikah lagi dan Faisal itu anak hasil perselingkuhannya dengan istri barunya." "Semua terjadi tiba-tiba dan aku tidak tau kabarnya Naura." "Jadi Faisal itu anak hasil perselingkuhan ya Pa?" tanya Jessi yang baru mengetahui fakta tersebut. "Astaga aku lupa kalau ada Jessi, kenapa kita membahas ini saat ada anakku?" Alden menepuk jidatnya pelan. "Papa jahat, mengapa Jessi tidak diberitahu? Aku kira istri om Asher itu memang dua ternyata istri barunya itu si pelakor. Pantas saja mereka dikaruniai anak nakal." "Huss Jessi tidak boleh berkata seperti itu." Tegur Alden pada putrinya. "Memang kenyataannya Den, aku aja tidak menyukai anak itu. Faisal tidak menghormati kita sama sekali sewaktu ada acara jamuan. Aku bahkan meragukan masa depan perusahaan Asher jika dipegang putranya yang tidak becus apa-apa." Delmon menyeruput teh hangatnya. "Itu urusan dia lah, biarkan saja Asher gimn kedepannya." "Lhoh mengapa kamu begitu?" "Asher berniat akan memuruskan kerja sama denganku." "Apa? Kau baru bilang?" "Tidak, ada pesan yang baru masuk diemailku dan ini tangan kananku." "Astaga, mengapa Asher berubah sekali. Apakah pemutusan kontrak itu ada alasannya?" "Ada, katanya putranya tidak nyaman dengan putriku." "Aku tidak menyangka dia melakukan setega itu kepada kita. Dia apa tidak ingat gimana kita dulu berjuang sama menuju kesuksesan dan setelah sama-sama sukses malah hubungan pertemanan ini tergoyah. Astaga." Delmon mengusap lehernya. "Pemutusan dengan alasan yang begini juga menyalahi aturan yang berlaku. Tenang saja, itu hanyalah pesan biasa dan tidak berlaku sama sekali. Itu seperti sebuah pesan peringatan sebelum kita mengadu sikap putranya seperti apa." "Ck, kenapa dia gak sadar-sadar sih terhadap kelakuan putranya yang nakalnya minta ampun? Apa dia tidak capek menerima laporan tingkah putranya dari sekolah. Aku jadi makin kesal." Delmon sampai memukul pahanya sendiri, melampiaskan amarahnya kepada dirinya sendiri. "Nantinya kalau dia sudah kembali ke Indonesia, kita kumpul bertiga dan membicarakan soal ini dengan kepala dingin. Terutama kamu Delmon, kamu harus mengontrol emosimu kalau tidak, kalian berdua bisa berantem masalah Dipta dan Faisal." Peringat Alden kepada Delmon. "Baiklah, itu bisa diatur." Delmon mengangguk mengerti. "Kalau papa sama om Delmon gagal bilang masalah Dipta yang dibully Faisal. Aku bisa sendiri bicara sama om Asher." Jessi menawarkan dirinya sendiri dan tidak bisa tinggal diam begitu saja mengetahui temannya yang selalu dibully. "Tidak usah, Nak." Alden tidak mau putrinya nanti bisa terkena masalah meski berhadapan dengan teman dari papanya sendiri. "Tenang Pa, aku bisa melakukan dengan cara yang baik." Jessi tersenyum lebar. "Putrimu sangatlah pintar." Delmon terkekeh pelan seraya menoleh ke Alden. "Iya pasti jelas, putriku sangatlah pintar sekali dan top!" Alden mengacungkan jempolnya. "Andai kalau kalau putraku seumuran dengan anakmu pasti deh, akan aku jodohin sama putrimu." "Gak! Gak ada perjodohan." Jessi langsung menolak tegas meskipun itu hanya kata andai saja. Selanjutnya gadis itu pamit pergi kepada Alden dan Delmon yang masih mengobrol di ruang tamu. Membicarakan masalah pertemanan membuat Jessi teringat teman masa kecilnya. Lagi-lagi Jessi bersedih hatinya teringat kenangan masa kecilnya bersama orang itu yang masih tersimpan di dalam benaknya. "Felix." Jessi meraih pigura berukuran kecil dan selalu diletakkan di atas meja nakas samping kasurnya. "Hiks gue kangen lo." Jessi memeluk erat pigura tersebut sembari tiduran di atas kasur. Jessi mengeluarkan ait matanya setiap mengingat temannya yang begitu istimewa sekali bahkan tidak ada yang mengganti posisi Felix yang menjasi teman istimewanya. Sedangkan di ruang tamu... "Aku mau tanya sesuatu sebelum aku pulang." Delmon sudah berdiri di teras rumahmya Alden dan bersiap akan pergi pulang. "Tanya apa?" "Felix masih belum ditemukan?" Delmon baru bisa menanyakan soal ini kepada Alden sebab tadi masih ada Jessi dan ia paham betul terhadap Jessi yang begitu kehilangan teman kesayangannya tersebut. "Belum dan sepertinya proses pencarian dihentikan karena tentunya Felix sudah remaja dan akan sulit jika ditemukan dalam versi remajanya. Tentu wajahnya juga berubah banyak meski tidak terlalu banyak tapi apakah kita bisa mengetahui langsung kalau itu benar-benar Felix. Takutnya ada orang yang memanfaatkan keadaannya." "Benar sekali pemikiranmu. Jessi saja wajahnya gak terlalu mirip sama wajah masa kecilnya yang masih berusia sekitar lima tahunan." "Nah benar kan. Intinya belum tentu wajah masa kecil bisa sama terus wajahnya sampai besar." "Lalu bagaimana menemukan keberadaan Felix? Anak yang malang, mengapa juga dia kabur dari rumah." "Kabur?" "Kau tak lihat rekaman CCTV di rumah Felix?" "Belum lihat secara detailnya." "Jadi sewaktu aku cek, Felix tidak diculik siapapun dan dia pergi entah kemana. Susah cari bocah itu disepenjuru kota, biasanya anak kecil suka melewati gang-gang sempit yang ramai dibanding melwati pinggir jalan raya. Tapi entahlah biasa anak juga berbeda-beda tapi ini hanya dugaanku saja kalau Felix bisa jadi melewafi gang-gang sempit. Sangat susah mencarinya karena Felix pun belum dikenalkan ke publik." "Kalau Felix beneran kabur pasti ada alasannya Felix melakukan itu." "Iya." Alden mengangguk. "Lalu alasannya apa?" "Yang tau pasti orang tuanya sendiri." "Jika kita tanya Asher pasti dia marah besar sedangkan jika kita tanya Naura juga tidak bisa karena wanita itu sedang ada di luar negeri dan memutuskan akses komunikasi dari kita." "Aku dari dulu memang sudah mencurigai mereka berdua, padahal anaknya masih kecil dan harus menerima nasib segitu malangnya. Aku tidak tega sekali, karena Felix juga selalu menjaga Jessi disisinya dan kemana-mana mereka bareng. Hatiku ikut sakit melihat putriku yang kacau karena kehilangan teman dekatnya." Alden memuji keningnya dan tak bisa membayangkan sekarang Felix hidupnya seperti apa. "Waktu beritanya Felix yang menghilang itu, aku selalu berdoa kalau Felix berada ditangan orang yang tepat dan Felix diperlakukan sebaik mungkin." Alden dan Delmon sudah menganggap Felix seperti anak mereka sendiri. Segitu pedulinya mereka karena saling menyayangi anak dari teman-temannya satu sama lain. "Sekarang Felix sudah tumbuh menjadi anak remaja pasti aku yakin, dia itu tidak nakal seperti Faisal." "Sama, aku seyakin itu kalau Felix bukanlah anak nakal. Dilihat dari dia masih kecil aja, pendiam sekali." "Benar, sudah jelas perbedaan Faisal dengan Felix." Flashback on Suara tawa menggema di ruang terbuka rumah mewah milik Alden. Di ruangan itu terdapat enam orang dan tiga diantara adalah orang dewasa serta tiga lagi ada anak kecil berusia 6 tahunan. Mereka adalah Alden, Delmon, Asher, Jessi, Dipta dan Felix. Ruang terbuka terletak di bagian sisi rumah dan tempar itu biasa digunakan untuk kumpul bersama keluarga atau teman yang sudah dekat. Tempatnya begitu luas dan ada tempat untuk mainnya anak-anak. Tempat ini juga sering digunakan untuk Alden bersantai ria bersama teman-temannya yang membawa anaknya atau anak kecil sehingga mereka tidak akan rewel. Alden juga menyiapkan sebuah ruangan lagi disini yang berisikan banyak makanan ringan dan minuman yang aman bagi anak-anak sebab makanan dan minuman itu juga akan dikonsumsi oleh anaknya sendiri. Hari ini adalah hari libur walau sehari saja Alden mengajak dua temannya datang bersama anaknya kecuali Delmon yang memilih membawa Dipta karena hanya dia saja yang masih belum berkeluarga. "Delmon kelihatan makin dekat sama Freya ya." Asher mulai menggoda temannya. "Ck, gak usah bahas wanita itu." "Haha gelud tiap hari mereka." Alden terkekeh pelan. "Ada rumor kau mau cerai sama Naura?" tanya Delmon kepada Asher. "Tidak usah bahas wanita." Asher beranjak berdiri dan malas mendengar pembahasan tentang istrinya. "Jangan egois lah, kau tadi duluan yang membahas pasangan." Delmon menghembuskan napasnya kasar. "Sudah-sudah jangan bersitegang begini. Kau mau kemana Sher?" tanya Alden kepada Asher yang melangkah menuju bar minum. "Ambil minuman." "Jangan mabuk, ada anak-anak." "Aku tau, aku tidak memilih yang alkoholnya tinggi." "Silakan." Alden pun mengantarkan Asher ke bar minumannya dan membawakan minuman juga untuk Delmon. Tidak lupa tambahan makanan ringan yang akan menjadi pelengkap mereka sewaktu berkumpul. Setelah itu mereka lanjut berbincang ke hal yang lain dan jauh dari pembahasan yang sekiranya bersifat sensitif bagi mereka bertiga. "Daddy." Felix menghampiri Asher yang sedang asyik mengobrol lalu Asher melirik putranya yang kini menunjukkan telapak tangannya yang tergores dan darahnya juga terus keluar begitu deras. "Hadeh kamu main apaan sih?" Bukannya panik dan khawatir setelah melihat keadaan tangannya Felix, Asher malah mengomelinya mengabaikan suara lirihan Felix yang berusaha menahan tangisannya. "Sakit Dad." Rengek Felix. "Merepotkan kau ini." "Aaa tangan Felix kenapa? Kok bisa berdarah kayak begitu?" Jessi yang baru mengetahui kondisi tangan Felix pun terkejut sampai menutup mulutnya dan memundurkan langkahnya. "Gak tau, tiba-tiba begini. Huaa daddy sakit." Felix makin takut karena melihat raut wajah Jessi dan Dipta yang panik melihatnya. "Ya ampun." Delmon yang melihat luka ditangan Felix, buru-buru mengambil kotak obat yang disediakan di tempat khusus disini juga. Kemjdoan mengobati tangan Felix dan memberikannya perban. "Ada benda tajam kah disini?" Alden juga ikut panik dan takutnya ada benda tajam yang mengenai Jessi. Alden memeriksa tubuh Jessi dan bernapas lega mengetahui tidak ada luka ditubuh putrinya. Asher bersikap biasa saja melihat tangan putranya sendiri terluka dan sikapnya itu membuat Alden begitu juga dengan Delmon kesal dan heran. "Kau kenapa diam saja? Anakmu terluka begitu." Delmon menatap Asher tajam dan lelaki itu memeluk Felix yang sedang menangis sesenggukkan. Mungkin anak kecil itu ketakutan mengetahui semuanya panik melihat kearahnya. "Cuman luka kecil tidak membuat dia masuk ke rumah sakit." "Tidak membuat dia masuk ke rumah sakit apaan? Kau ini ayahnya apa bukan sih? Tega sekali memperlakukan anakmu seperti itu." Delmon baru tau kelakuan Asher seperti ini kepada Felix padahal setiap dirinya bertemu Asher yang tengah mengantar Felix ke sekolah nampak perhatian sekali. Asher malah tersenyum miring lalu menjawab, "Kau terlalu berlebihan." Sedangkan Alden menyuruh anak-anak masuk ke ruangan lain karena suasana semakin memanas di tempat ini dan ia tidak mau juga anak-anak mendengar pembahasan orang dewasa. "Hibur Felix ya, Felix lagi sedih. Tangannya terluka." Alden memberikan pesan kepada putrinya supaya memperhatikan Felix juga ketika bermain. "Iya Papa, Jessi selalu ada di samping Feli." "Felix." Walau sedang menangis, Felix masih sempat-sempatnya membenarkan kesalahan Jessi menyebutkan namanya. Alden terkekeh pelan sambil membelai rambut Jessi lalu Jessi, Felix dan Dipta pindah ke ruangan lain. Disisi lain... Alden mencoba menenangkan kedua temannya yang bersitegang. Delmon yang tidak suka melihat perlakuan Asher kepada Felix sedangkan Asher merasa Delmon terlalu ikut campur. "Aku pergi saja deh." Asher beranjak berdiri karena suasana semakin memanas. "Asher--" Alden mencoba mencegah temannya yang sedang emosi agar tidak lebih dulu pulang. Namun Asher sudah pergi duluan sehingga Alden menghembuskan napasnya pelan. "Sudahlah biarin saja. Jahat sekali jadi ayah, tidak ada perhatiannya ke anaknya sendiri. Kenapa dia setega itu ke anaknya? Felix aja anaknya gak nakal banget dan dia cerdas." "Aku juga tidak tau, dia nikah aja kita gak tau kan? Dia sangat privasi sekali," ucap Alden. "Bener, kita gak tau betul tentang dia padahal kita teman yang lebih dekat dengannya." Flashback off ... "Pak, aku mau tanya." Felix menghampiri Seno setelah mencuci selepas makan malam bersama ayahnya. "Tanya apa? Duduk gih!" Seno menepuk tempat duduk sampingnya. "Bapak pernah jualan telur gulung di depan sekolah SD Bangsa?" "Pernah, tapi cuman dua tahun saja. Kenapa emangnya?" "Itu sekolah aku dulu." "Pernah sekolah disana?" Seno terkejut dan baru mengetahui hal itu. "Iya, Pak." "Berarti kamu kenal Dipta tadi sudah sejak SD?" "Iya, Pak. Jangan bilang kalau aku ini Felix, aku lebih nyaman hidup begini. Tolong ya, Pak." Pinta Felix kepada Seno disertai tatapan memohonnya. "Sampai kapan kamu menyembunyikan identitasmu? Bagaimana dengan orang tuamu yang pasti menunggumu pulang." "Mereka tidak pernah menungguku justru senang kalau aku pergi." Felix mengeluarkan ponselnya dari sakunya dan menunjukkan layar ponselnya yang memperlihatkan keluarga ayahnya sekarang yang sedang liburan di luar negeri. Seno menatap layar ponsel milik Felix dan ada hal yang membuat kening Seno berkerut. "Emm coba bapak pegang ponselnya." Felix bingung namun ia memberikan ponselnya kepada Seno dan Seno menatap lekat foto itu. Seperti ada yang membuatnya merasa ganjal saat melihat sosok Asher, ayah kandungnya Felix. Sekilas kejadian masa lalu mulai muncul diotaknya, seseorang berdiri di pinggir jalan raya dalam kondisi tubuhnya yang basah kuyup seperti sehabis guyur dan bajunya juga terdapat noda tanah basah berwarna cokelat. Orang itu berdiri dan celingukan di sana sambil berteriak meminta tolong. Ada sebuah mobil melaju begitu kencang dan mobil itu melewati orang tadi. Tapi tak lama pemilik mobil itu menghentikan laju mobilnya secara mendadak karena dirasa aneh setelah melihat sekilas raut wajah lelaki itu yang sepertinya sedang membutuhkan pertolongan. Kemudian pemilik mobil pick up itu memutar balik dan akan mengecek keadaan orang tersebut. Saat sudah kembali ke tempat tadi yang dirasa ada orang yang meminta pertolongan nyatanya sudah tidak ada orang disini. Si pemilik mobil menemukan bercak-bercak darah di tengah-tengah jalanan dan hal itu membuatnya terkejut sekali. Orang itu berteriak panik dan berusaha memanggil warga yang tempat tinggalnya di sekitar daerah tersebut. Sewaktu akan membalikkan badannya, ia merasakan suatu benda dibenturkan secara keras dibagian kepalanya dan semuanya pandangannya menjadi menggelap. "Pak, bapak." Felix menyadarkan Seno dari lamunannya. "Eh?" Seno langsung sadar dan bingung sendiri. "Bapak kenapa ngelamun?" tanya Felix khawatir. "Tidak, tidak apa-apa." Kepala Seno malah menjadi pusing setelah teringat sekilas kejadian yang menimpanya di masa lalu lantas pria itu beranjak berdiri. "Tapi wajah bapak pucat? Bapak sakit?" tanga Felix makin mengkhawatirkan kondisi tubuh ayahnya. "Cuman pusing aja, kamu belajar sana. Bapak mau tidur. Kamu juga jangan tidur terlalu malam, gak baik buat kesehatan otakmu." Pesan Seno kepada putranya. "Iya, Pak. Kalau tugasnya Felix selesai, aku bakal segera tidur." Felix tersenyum tipis. Setelah mengetahui sudah tidak ada Seno di ruang tamu ini, Felix berbicara sendiri saat sedang memikirkan ayahnya yang mendadak berubah setelah melihat foto Asher. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD