Part 22: Fakta

3017 Words
"Kenapa sih kalian ganggu gue, gue lagi main gini. Sial!" Teriak Faisal pada temannya yang meneleponnya tiba-tiba padahal ia sudah bilang kepada temannya kalau bisa nanti tapi mereka tetep kekeuh menghubunginya. Faisal bahkan hampir membanting ponselnya seharga puluhan juta. Napasnya memburu dan sangat emosi kali ini. "Tapi ini penting Sal dan gue baru bisa hubungi lo sekarang. Lo ganti nomer juga gak bilang." "Alah cepat katakan apa yang mau lo, lo pada laporin!" Suara Faisal masih meninggi dan tak sabaran juga. "Ini soal murid baru." "Murid baru?" "Lo lupa kah Sal? Murid baru yang bantuin Dipta bebas dari jeratan kita beberapa hari yang lalu." "Ouh bocah itu, kenapa sama dia?" Faisal kini merebahkan tubuhnya di atas kasur dan telingnya di letakan di samping telinganya. Faisal sedikit melupakan murid baru yang pernah melawannya hanya untuk menolong Dipta. "Kita kemarin habis lawan di halaman belakang sekolah." "Terus?" "Kita kalah." "Payah kalian, lawan satu aja tidak bisa dan bikin rugi nama gue aja lo. Disana ramai kan?" tanya Faisal balik. "Iya, Sal dan kita ditertawakan, gue sama yang lain mah gak masalah tapi lo juga diledek sama murid-murid di sekitar halaman belakang sekolah itu." "Siapa yang berani ngatain gue hah?!" Sentak Faisal tak terima mengetahui namanya menjadi bahan ejekan oleh murid-murid yang melihat teman-temannya kalah melawan si murid baru. "Lumayan banyak dan mereka juga semuanya murid cupu yang biasa kita hajar. Gegara kejadian itu, mereka malah berani sama kita dan suka manggil Abra kalau kita malak salah satu murid cupu itu. Bikin sulit aja." "b******k anjing mereka, berani-beraninya ngatain gue. Awas saja kalau gue sudah masuk sekolah, gue hajar satu per satu sampai bikin mereka susah berbicara. Memang harus disobek mulut mereka biar tau rasa." Faisal meremas selimutnya dan memposisikan tubuhnya duduk. Ia emosi, tak terima namanya menjadi jelek dan Faisal tetap mengklaim dirinya adalah sang penguasa sekolah. "Betul Sal, gue juga gedeg sama mereka." "Bacot kalian ini bikin malu aja, a*u!" "Jangan marah-marah gini dong, Sal. Lagian kita juga cari tau tentang murid baru itu." Seketika Faisal terdiam dan memikirkan sesuatu kemudian mengangguk lalu tersenyum miring. "Benar, kalian semua harus cari tau tentang si murid baru itu dan bisa-bisanya baru jadi murid tapi sudah dikenal banyak murid lain. Ini gak bisa dibiarin begitu saja dan kita atur strategi buat balas dendam ke si murid baru ini." Faisal melepaskan bajunya dan menyisakan singletnya berwarna hitam polos. "Siap kita juga masih dalam proses cari tau tentang dia. Percayalah sama kita, lo pasti bakal senang setelah mendapat informasi dari kita secara lengkap." "Oke, gue kasih tugas itu dan harus secepatnya dapat semua informasi tentang dia." "Baik, Bos." Faisal langsung mematikan ponselnya secara sepihak dan menghembuskan napasnya kasar. Ia mengacak-acak rambutnya asal. "Ah bikin suasana hati gue makin memburuk." Faisal keluar dari kamarnya dan ia berpapasan dengan mommynya yang mengantarkan sarapan di pagi hari ini. "Kamu belum sarapan padahal ini sudah mau menjelang siang hari. Sarapan ya sayang nanti bisa sakit kalau perutmu tidak kunjung terisi." Luna tersenyum dan menatap lembut ke putranya. "Aku sakit pun daddy tidak pernah peduli padaku, yang ia pedulikan hanyalah pekerjaan dan suka mengekang aku. Aku itu males, Ma." "Bukan mengekang nak, daddy hanya ingin menyuruhmu supaya menjadi orang hebat seperti daddy. Mungkin kalau nilai-nilai sekolahmu tidak terus menurun pasti daddy tidak akan semarah ini. Kamu juga harusnya sadar, selama ini kerjaan kamu itu hanya bermain game saja," ujar Luna dan berusaha bersikap lembut supaya anaknya tidak membentaknya. "Nilai turun atau tidaknya kan daddy punya uang tinggal bayar aja guru di sekolahan biar nilaiku jadi baik, mudah kan? Gunanya apa banyak uang tapi tetap merasa susah." "Di sekolah ada hukumnya dan tidak sembarangan menggunakan uang dalam hal licik seperti itu." "Mommy sebenarnya ada dipihak mana sih? Daddy apa aku?" "Dua-duanya dan mommy tidak bisa memilih." "Ouh aku tau, karena mommy bergantung ke daddy saja ya kan? Mommy tidak bisa memihakku sepenuhnya karena mommy sendiri tidak punya pegangan bahkan hampir semua kekayaan daddy jatuh ke istri pertamanya." "Bukan begitu, mommy tidak memikirkan harta asal masa depanmu terjamin--" "Masa depan terjamin apa? Kalau aku bilang tidak mau jadi anak daddy juga daddy tidak bakalan menahanku sekarang ini." "Iya tapi asetmu dikembalikan lagi ke daddy jadi tolonglah nak, patuhlah sama perintah dari daddymu. Apa kamu ingin hidup miskin?" "Nah kan sudah terjawab dengan jelas kalau momny ingin semua aset kekayaan dariku juga. Ini salah mommy sendiri yang ingin jadi istri kedua harusnya suruh daddy menceraikan istri pertamanya--" "Tidak bisa nak, sudah mommy lakukan tapi gagal. Istri pertama daddymu itu membatalkan perceraian di saat sidang hakim akan memutuskan untuk bercerai. Padahal disaat itu juga mommy sama daddy sudah resmi menikah jadilah hak waris makin banyak dilimpahkan ke istri pertamanya. Mommy hanya memiliki beberapa persen saja karena di keluarga daddymu sangat anti sekali yang namanya istri kedua." "Ini salah mommy sendiri dan dunia ini! Kenapa aku harus dilahirkan menjadi anak dari istri kedua. Lihatlah awak media selalu meliputku dengan sebutan ini dan aku sebenernya membenci sebutan anak dari istri kedua daddy." "Maafin mommy nak, kamu lahir disaat kondisi yang tidak tepat tapi daddy sama mommy itu saling mencintai dibanding dengan istri pertamanya." "Apa maksud mommy?" Suara Faisal yang tadinya meninggi kini merendah karena rasa syoknya mendengar penjelasan dari mommynya. "Jadi---" "Luna dan Faisal sedang apa kalian disini?" Seseorang memotong obrolan mereka berdua sambil berkaca pinggang dan menatap mereka secara bergantian. Luna mendelik melihat suaminya disini dan berusaha bersikap biasa saja sedangkan Faisal mendengus sebal melihat daddynya saat ini menatap tajam ke arahnya. "Kita hanya mengobrol sesuatu pembahasan yang ringan saja Mas, aku juga membujuk Faisal supaya patuh sama utusanmu." Luna tidak berani menatap suaminya balik terlalu lama dan memilih menatap ke arah lain. "Kamu sedang apa disini? Sudah belajar?" tanya Asher dan sepertinya emosinya sudah menurun sebab suaranya tidak meninggi seperti kemarin. "Belajar? Apa itu belajar?" Faisal tersenyum miring dan tidak ada rasa takutnya berani kepada Asher. "Faisal." Luna menyenggol lengan Faisal. Faisal berdecih dan menatap sinis ke arah kedua orang tuanya lalu kembali masuk ke dalam kamar. Tak lupa pula menutup kamarnya dengan membantingnya hingga terdengar dengguman keras dari arah pintu kamar Faisal. "Ikut aku!" Suruh Asher pada istrinya itu agar mengikuti langkahnya pergi dari sini. Setelah berada di dalam kamar, Asher berdiri tegap dan pandangannya lurus ke arah Luna. Luna sangat cemas sekali sebab teringat tadi kalau Asher memotong pemabahasannya Asher yang tidak mencintai istri pertsmanya. "Kamu hampir menceritakan hal sebenernya kepada Faisal. Kita telah sepakat merahasiakan sesuatu penting keluargaku tapi mengapa kamu mau membongkarnya ke Faisal!" Sentak Asher membuat Luna terkejut sampai memejamkan matanya karena rasa takutnya melihat Asher yang marah besar seperti ini. "Sudah waktunya dia tau, Mas." "Kalau dia tau, dia juga tidak tenang setelah tau rahasiaku, Luna. Bodoh sekali mikiranmu itu sungguh membuatku makin muak melihatmu!" "Mengapa kamu berubah sedrastis ini? Mengapa? Dulu kamu selalu memujiku dan sekarang mendengar pujian darimu saja sudah tidak ada lagi." Luna merasa tersakiti dan sedih sekali mendengar suaminya yang selalu merendahkannya dengan kata-kata buruknya. "Iya itu dulu tapi sekarang tidak. Menyesal aku menikahimu, kamu melahirkan anak yang tidak berguna sama sekali dan menambah beban pikiranku tiap hari." Asher memijit keningnya dan kepalanya pusing lagi setelah berteriak penuh kekesalan di hadapan istrinya. "Dia anakmu, anak kandungmu dan dengan teganya kamu bilang menyesal padahal darah dagingnya mengalir dari tubuhmu!" "Iya memang dia anak kandungku tapi apa prestasinya selama ini? Apa dia sudah membanggakanku? Dia selalu mempermalukanku dengan nilai-nilainy, kelakuannya yang buruk di sekolah dari kecil. Kamu seorang guru kan? Kenapa kamu tidak bisa mendidik anakmu itu, malu sama profesimu!" "Hina saja aku, jangan anakku! Aku tidak rela anakku dihina dan direndahkan. Bagaimana pun keadaannya, dia tetaplah anakku dan anakmu." "Harusnya anakku pintar dan berprestasi. Tidak bodoh seperti dia." "Cukup mas! Cukup! Jangan menghina anak kita hiks hiks." Luna tak kuat mendengar ucapan seseorang yang menghina Faisal dan ia berlutut di atas lantai. "Selama dia belum pernah membahagiakan aku, aku tidak pernah menganggap anak ketika di rumah dan hanya dipublik saja. Argh aku malu pada teman-temanku yang memiliki anak tapi tidak jadi beban justru membanggakan. Anakku ini? Ah astaga aku bahkan tidak menyangka memiliki anak seperti dia. Dulu aku tidak pernah semalu ini." "Felix kan yang kamu maksud? Mas membandingkan Felix yang jelas-jelas bukan anak kandung Mas." "Pelankan suaramu!" "Ingat, anak kandungmu itu Faisal bukan Felix! Jangan bandingkan mereka!" "Aku tidak pernah membandingkan mereka hanya saja kenapa dia tidak lebih baik dari bocah itu. Justru makin memperparah keadaan apalagi sudah remaja ini." "Lalu apa maksudmu mengatakan itu hah! Maksudmu apa?! Kamu mau cari dia yang sudah lenyap bak ditelan bumi itu padahal jelas-jelas ada anakmu, anak kandungmu. Aku sakit hati kalau kmau bandingkan anakku dengan anak dari istri pertamamu itu jelas berbeda. Anakku jauh lebih baik daripada anaknya Naura, yang lahir dari ibu gila." "Jangan bilang dia gila!" "Mas? Haha aku tidak menyangka kamu membela wanita gila itu. Bukankah kamu ingin melenyapkannya dari dulu? Sekarang sudah tidak lagi karena jika dia mati, kamu tidak dapat hartanya juga. Kamu juga gila mas, gila sama harta dari saudaramu itu!" Plak' Asher melayangkan pukulan ke pipinya Luna dan akibat dari pukulannya itu tangisan Luna semakin menjadi-jadi. Asher langsung keluar dari kamarnya karena gemuruh emosi hampir meledak dan bisa memukul apa saja seseorang di hadapannya. Ia juga keluar dari rumahnya dan mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Asher memarkirkan mobilnya di tempat khusus parkiran mobil dan memilih diam sejenak disana. Gegara ulah anaknya yang selalu mempermalukannya itu mendadak pikiran Asher dihantui oleh Felix akhir-akhir ini. Bocah cerdas dan mampu menjawab apapun pertanyaan tentang bisnis sejak kecil. Felix tak pernah membantah perintahnya dan selalu menuruti semua perintahnya. "Kenapa aku malah memikirkan anak orang lain dibanding sama anakku yang telah hidup bertahun-tahun bersamaku? Tapi anakku sendiri saja selalu membuatku resah dengan segala tingkahnya yang membuatku emosi juga." Asher memukul stir mobilnya. "Kenapa aku selalu kalah dalam segala hal, dari karir, kasih sayang orang tua, anak haha lucu sekali hidup aku ini." Asher menertawakan hidupnya yang sangat konyol sekali. Dilain sisi... "Dia yang memaksa menikahiku dan sengaja menghamiliku agar dia ada alasan untuk menikahiku tapi aku tidak menyangka dia mengatakan kalau dia menyesal." Luna menangis tersendu-sendu dan ada seorang pembantu yang menemaninya menjadi teman ceritanya juga karena Luna tak memiliki siapapun lagi orang yang mendengar keluh kesahnya. Sosok pembantu itu juga ikut sedih hatinya sambil mengusap pundak Luna yang bergetar. "Kalau saja tidak begitu, aku bisa hidup tenang bukan menjadi istri kedua yang selalu dibanding-bandingkan juga. Tidak mempermalukan anakku dan hidup bersama dengan keluarga kecil tanpa ada orang lain lagi di dalamnya. Aku sudah hidup susah sekarang makin susah lagi." "Apa ini yang namanya karma? Tapi aku tidak pernah ada niatan untuk mau menjadi istri kedua, aku dipaksa dan disisi lain aku membutuhkan harta juga untuk mengobati orang tuaku yang nyatanya mereka meninggal disaat aku sudah menikah. Argh aku hancur, pikiranku kacau." Luna memukuli kepalanya berulang kali lalu segera dihentikan oleh pembantunya. "Tenangkanlah diri, Nyonya." "Aku tidak bisa tenang, setiap hari meributkan hal ini. Aku capek semuanya harus dituntut dengan sempurna." Tiba-tiba teringat suaminya yang membahas Felix membuat Luna semakin takut dan berteriak penuh kekesalan. Sang pembantu memberikan air putih itu dilempar asal gelasnya sehingga gelas beling itu pecah berkeping-keping sama halnya seperti hatinya sekarang. "Aku takut, aku takut anakku tidak memiliki hak apapun. Bagaimana pun juga Faisal berhak memiliki harta kekayaan darj ayah kandungbta sendiri. Cukup biarlah aku yang hidupnya susah dan bukan anakku." Raut wajah Luna berubah dan tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada putranya. ... Jessi masih saja marah pada Abra hingga waktunya istirahat tiba. Walau disisi lain Abra merasa lega karena gadis itu mendiamkannya dan tak banyak tingkah namun rasanya aneh sekali. Ia lebih menyukai hari-harinya seperti sebelumnya dimana Jessi selalu mengganggunya dan tingkahnya yang menggemaskan sekali. Abra menghela napasnya pelan setelah merapikan bukunya dan bersiap istirahat di luar kelas. Ia melirik Jessi dan tangannya menarik tangan gadis itu yang akan beranjak pergi lebih dulu. "Kenapa pegang-pegang?" Meski suaranya terdengar sinis, anehnya Jessi tidak menghempaskan tangannya yang memeganginya. "Ikut gue!" Ajak Abra pada Jessi dan kini mereka berdua saling berhadapan. "Kemana?" tanya Jessi dengan suaranya terbata-bata ditambah melihat raut wajah Abra yang begitu serius sekali. Abra tidak menjawab dan menggandeng gadis itu keluar dari kelas dan menuju ke suatu tempat. "Lo bawa gue kemana sih?" Nyali Jessi malah menciut dan pikirannya tak bisa berpikir jernih kali ini. Abra menatapnya tajam sekilas lalu pandangannya fokus ke depan dan Jessi mencebikkan bibirnya karena Abra lagi-lagi acuh kepadanya. Sesampainya di tempat tujuan Abra, Jessi seketika bingung tatkala Abra membawanya ke ruang yang bisa digunakan untuk para penjaga sekolah berisitirahat. "Kenapa kesini?" tanya Jessi lagi dan Abra tidak menjawab namun laki-laki berbincang dengan para penjaga sekolah bahwa dirinya akan mengambil sesuatu. "Lo tunggu disini, gue mau ambil barang dan itu cuman sebentar doang." Abra memegang kedua pundam Jessi dan Jessi mengangguk dengan dengan raut wajahnya begitu polos. Abra menahan bibirnya supaya tidak tersenyum melihat wajah Jessi yang imut sekali lalu ia masuk ke dalam ruangan tersebut dan tidak lupa melepaskan alas kakinya terlebih dahulu. Tak lama Abra keluar dari ruangan itu dan menutup pintu ruangan itu kembali. Abra menghampiri Jessi yang melongo melihatnya membawa dua kantung plastik berlogo nama supermarket yang berada di depan sekolahan mereka. "Ini buat gue?" tanya Jessi tidak percaya dan melihat isi kantung plastik berwarna putih itu. Dua kantung plastik berwarna putih, masing-masing berisi makanan ringan dan satunya berisi es krim. Jumlahnya pula tidak sedikit dan Jessi sangat syok sekali mengetahui itu semua untuknya. "Huum buat lo." Abra mengangguk. "Yakin nih? Emang ini milik lo?" Jessi terkekeh dan masih tidak percaya kalau semua ini Abra yang membelinya. "Ya sudah kalau gak percaya." Abra meraih lagi kantong plastik yang sudah berada ditangan Jessi tapi Jessi langsung menggeleng cepat dan memeluk kantong plastik berwarna putih tersebut. "Eitsss mau lah." Abra menggelengkan kepalanya lalu mulai melangkah pergi dari sini begitu juga dengan Jessi. "Dalam rangka apa lo kasih ini semua ke gue?" "Gue minta maaf soal tadi dan itu semua buat lo biar gak marah-marah." "Aaa kiyowo sekali." Jessi mana bisa marah lama-lama kalau diperlukan manis seperti oleh Abra. Cara meminta maaf pun juga menurutnya adalah cara yang ampuh. Siapa sih yang mau menolak makanan? Abra mengangguk dan mencoba bersikap biasa walau hatinya ikut senang mengetahui Jessi menyukai pemberian darinya dan kembali tersenyum lebar ke arahnya. Padahal ia hanya asal saja memilih cara supaya bisa meredakan amarahnya Jessi dan Abra ingat kalau Jessi suka makan banyak. "Tapi apa semuanya itu habis?" tanya Abra heran pada Jessi. "Emm iya tapi kalau es krim, kan ini banyak dan daripada meleleh ya gue kasih ke temen-temen aja deh hehe." Jessi terkekeh pelan. Untuk es krim tadi kebetulan di ruangan tadi ada lemari es alias kulkas jadi Abra tak perlu khawatir kalau esnya akan meleleh. "Ouh oke." Abra mengangguk paham dan tidak keberatan sama sekali kalau sebagian es krimnya diberikan ke murid-murid lain karena berbagi menurutnya itu indah. "Habisnya lo beli banyak banget makanannya, gak sayang sama duit lo? Entar uang lo habis." "Nikmati saja apa yang gue beri," balas Abra. "Beneran kah ini gak papa? Atau lo mau ambil?" "Enggak, gue sudah cukup." Abra menggeleng. "Besok gue bawain ikan salmon." "Besok minggu." "Eh iya gue lupa, hadeh. Oh ya kan ada kerja kelompok hehe." "Kerja kelompok prakarya?" "Iya, masak lo lupa sih." "Gue memastikan." "Haha iya iya, jadi kelompoknya di rumah gue, mau gak?" tanya Jessi lagi. "Emm lihat dulu." "Lihat apa lagi sih, mau lah pasti mau harus mau pokoknya," ucap Jessi memaksa. "Iya." Abra mengangguk pasrah. "Yeay gue gak kesepian di rumah yuhu!" teriak Jessi antusias. 'Kesepian?'--pikir Abra. Ingin mengatakan mengapa gadis itu merasa kesepian tapi niatnya diurungkan. "Jessi!" Teriak seseorang memanggil Jessi dari jarak tak jauh dari tempat Jessi berdiri. Jessi langsung mencari asal suara seseorang yang memanggilnya dan orang yang dicarinya ternyata sudah berada di depannya sekarang. "Weh Anya, Dipta." Jessi menyapa balik ke mereka. Abra sebenernya ingin pergi saja dan enggan bergabung tapi tangan Jessi menahannya pergi. Jessi berbincang dengan dua temannya itu dan Abra memilih saja sambil memperhatikan sekitar suasana lapangan sekolahan ini. Abra sempat bertatapan muka dengan Dipta namun itu tak berlangsung lama karena sama-sama saling membuang muka masing-masing. "Wah makanan lo banyak banget." Anya ikut melihat isi kantong plastik yang dibawa Jessi dan berdecak melihat banyaknya makanan di dalam kantong plastik itu. "Semuanya dari Abra." "Wah sultan sekali lo, beliin banyak makanan buat Jessi." Anya tersenyum menatap Abra yang menatapnya sekilas. Dipta menahan rasa cemburunya dibalik senyumannya yang lebar dan pura-pura ikut senang mengetahui Jessi dibelikan banyak makanan oleh Abra. 'Gue juga bisa lah beliin Jessi makanan sebanyak ini, ini mah gampang'---pikir Dipta yang mendadak ingin membelikan Jessi sesuatu dan tak mau kalah dari Abra. "Oh ya yang es krim ini gue mau bagi-bagi ke murid di sekitar ini, takutnya keburu mencair." "Gue dong, Jes." "Ambil gih sama Dipta juga." Anya langsung mengambil rasa es krim yang disukainya saat Jessi menyuruhnya untuk mengambil sendiri. "Enggak dulu, Jes. Makasih tawarannya." Tolak Dipta karena rasa gengsinya juga. Selanjutnya Jessi ditemani Anya membagikan es krim ke murid-murid di sekitarnya yang mereka pilih sendiri sedangkan Abra dan Dipta masih berdiri di tempat ini. "Wih jajanin Jessi ya, lo naksir dia kah?" tanya Dipta penasaran pada Abra. "Terserah gue mau suka atau enggak," jawab Abra santai. "Lagian jangan keburu baper kali sama Jessi, Jessi gak semudah itu didapetin. Ingat aja kata gue, banyak cowok yang ditolak sama Jessi." "Gak lo bilang juga gue sudah tau." Abra tertawa sebentar lalu merubah raut wajahnya menjadi datar dalam waktu beberapa detik saja. Selesai membagikan es krim, Jessi dan Anya kembali menghampiri dua lelaki yang tengah menunggu mereka sedari tadi. Namun saat mereka akan bersiap pergi ke kantin bersama, tiba-tiba Anya berteriak heboh sambil menunjuk sesuatu dimana ada keramaian disana. "Eh lihat noh, anak buahnya si Faisal berulah!" "Itu pasti mereka pada mintain uang ke murid-murid itu." Tebak Dipta yang sudah berulang kali menjadi korban keusilan mereka. "Duh kasian banget." Jessi tidak tega melihatnya lalu melirik Abra yang diam saja. 'Kok dia diam saja sih? Gak nolongin mereka kayak Dipta kemarin'---batin Jessi yang kebingungan. Anya juga menatap ke Jessi dan mengode Jessi soal Abra. Jessi hanya mengedikkan bahunya karena tidak tau alasan mengapa Abra hanya diam saja dan tidak beranjak pergi menolong mereka. ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD