Part 17: Emosi Yang Ditahan

3036 Words
Dipta memasang raut wajah sedihnya setelah Jessi masuk ke dalam kelasnya dan mengajak Abra mengobrol namun tidak direspon sama sekali. Dipta juga tak sengaja matanya bertemu pandang dengan mata Abra. Dipta menatap tak suka pada Abra sedangkan Abra tampak biasa saja dan kembali fokus pada tubuhnya. "Dia kok bisa-bisanya tega sih cuekin Jessi gitu aja." Dipta merasa gereget melihat perlakuan Abra pada Jessi. "Apa perhatian? Katanya tadi kan? Mana? Secuek itu dibilang perhatian, Jes." Dipta berbicara sendiri dan ucapan Jessi soal Abra yang perhatian kepadanya itu masih terngiang-ngiang di dalam pikirannya. Melihat apa yang baru saja terjadi, membuat Dipta ragu mempercayai ucapan Jessi tersebut. Bel masuk telah berbunyi sehingga mau tak mau Dipta masuk ke dalam kelas dan sebelum itu, menyempatkan diri memeriksa Jessi. Abra masih mengabaikan Jessi padahal Jessi terlihat sedang menceritakan sesuatu dengan penuh antusias dan Dipta tak tega melihatnya. "Lihat aja lo nanti Abra." Geram Dipta kemudian memasuki ke dalam kelasnya sendiri. "Lo kenapa Dip?" tanya Anya saat melihat raut wajah Dipta yang seperti sedang kesal terhadap suatu hal. "Gak papa." Dipta enggan bercerita tentang apa yang dirasakannya sekarang. "Hadeh cerita aja kali ada apa?" tanya Anya penasaran. Mereka berdua duduk sebangku sejak naik di kelas 2 SMA ini. "Beneran gak ada apa-apa kok, gue mau belajar dulu. Nanti ada ulangan kan?" Dipta mengalihkan topik pembicaraannya. "Iya ulangan harian bahasa Indonesia." "Sudah belajar kah?" tanya Dipta lagi. "Sudah sih, tapi mau belajar lagi biar ingat lagi sama materi yang gue pelajari." "Ada yang suli lo pelajari gak? Kalau ada, bilang aja ke gue dan gue berusaha bantu." "Iya, Dip. Gue cuman ingin, andai otak bisa dipinjam mungkin gue sudah ambil otak lo duluan." "Njir sadis banget. Mana ada begitu." Reflek Dipta memegangi kepalanya sendiri sedangkan Anya tertawa kecil. "Lucu banget wajah lo lagi panik begini." Anya mencubit pelan pipi Dipta. "Gak." Dipta mengusap pipinya bekas dicubit oleh Anya. Anya tertawa sambil menggelengkan kepalanya sedangkan Dipta hanya tersenyum saja. Sedangkan di kelas lain... "Lo betah ya cuekin gue mulu." Omel Jessi dan dia menatap Abra yang tengah fokus membaca buku dan juga tangannya tidak diam begitu saja, tangannya mencatat hal-hal penting yang tengah dipelajarinya. "Kemarin gue belum puas berbincang sama lo eh hukumannya sudah habis." Jessi merasa sedih karena masih belum puas bisa berbincang dengan Abra yang sangat cuek bebek sekali kepadanya. "Gimana sih biar bikin lo se-asyik kemarin? Gue pengen lo kayak kemarin bahkan lebih asyik dari kemarin." Jessi masih memperhatikan lelaki itu yang tengah fokus belajar. "Jes, lo gak belajar apa?" tanya Erma yang melintas di bangkunya. "Sudah." "Enak ya lo deket sama orang jenius haha." "Enak apanya, dia sombong gitu." "Bukan sombong, mungkin dia orang kalau sudah fokus sama satu tujuan ya yang difokusin itu doang. Lo gak lihat apa dia seserius itu belajarnya, ambius banget kayaknya ingin dapat nilai bagus padahal ini cuman ulangan harian doang." Erma juga ikut memperhatikan Abra yang sangat begitu serius belajar. "Enggak, dia kayak begitu cuman buat alasan doang menghindar dari gue." "Entar aja waktu istirahat. Gue mau belajar dulu." "Oke." Jessi mengangguk saja. Gadis itu menoleh lagi menatap Abra namun Abra masih saja fokus belajarnya. Waktu istirahat telah tiba, Jessi merasakan kepalanya pusing sekali setelah mengerjakan ulangan tadi. Akhirnya dirinya putuskan ke UKS sendirian dan tingkahnya itu diketahui oleh Abra. "Ah pusing kepala gue. Minta obat aja deh." Jessi keluar dari kelasnya sedangkan Abra membereskan buku-bukunya dan dimasukkan ke dalam loker. Tak lupa loker yang terletak di bawah mejanya itu dikunci supaya lebih aman lalu ia menoleh, melihat meja Jessi sendiri masih berantakkan dan Abra pun merapikannya. "Kepala dia lagi pusing." Gumam Abra malah memikirkan kondisi Jessi sekarang yang sendirian menuju UKS untuk mengambil obat. Sebenarnya Abra hanya ingin di kelas saja meski waktunya sudah istirahat, tapi berhubung Jessi dalam keadaan yang tidak baik akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari kelasnya. Abra ingin melihat apakah gadis itu hanya sakit kepala saja atau ada gejala sakit yang lain. "Gue mencoba gak peduliin dia tapi rasanya berat buat gak peduliin dia." Abra bernapas gusar sembari mengusap wajahnya pelan. "Mau kemana lo?" tanya Erma menghampiri Abra yang baru saja beranjak berdiri dari bangkunya. "Keluar, istirahat kan?" "Hehe iya sih." Erma malah salh tingkah karena Abra menjawab pertanyaan dan sangat jarang Abra lakukan kepada orang lain yang bertanya kepadanya. Abra melangkah dengan buru-buru keluar dari kelasnya namun saat di tengah perjalanan menuju UKS, ia malah bertemu dengan Dipta lagi dan nampaknya Dipta menghadang jalannya. "Lo mau lihat dari Jessi di UKS kan?" tebak Dipta seraya tersenyum miring menatap Abra dan raut wajah Abra yang tengah mengkhawatirkan Jessi terbaca olehnya. "Minggir!" Suruh Abra pada Dipta tapi Dipta masih tetap berdiri di hadapannya dengan kedua tangannya yang direntangkan. "Lo tadi kelihatannya gak peduliin dia tapi sekarang malah cari dia, tega banget ya lo sama Jessi dan harusnya lo mikir gak sih, gak dihargai kehadirannya itu bikin sakit hati. Lo sudah lukai hati kecilnya Jessi, lihat Jessi sekarang malah sakit gara-gara lo dan dengan mudahnya lo mau lihat dia setelah sakit? Emang harus sakit dulu kah?" Dipta tersenyum lebar walau sebenernya ingin menghajar lelaki di depannya itu tapi sadar kemampuannya tak sebanding dengab Abra yang pernah menghajar Faisal berserta teman-temannya kemarin. "Lo belum tau jelas soal gue, jadi gak usah sok tau." "Gue sudah tau ya, gue lihat dari mata kepala gue sendiri. Lo cuekin Jessi sampao segitunya di kelas. Asal lo tau aja, Jessi selalu ceritain kalau lo itu baik. Baik apanya? Kelakuannya jahat ke cewek aja dibilang baik. Yang terlalu baik itu Jessi, sudah dicuekin tapi tetep ceritain lo itu baik." "Kalau saja lo bukan te--temennya Jessi, gue robek mulut lo." Abra memilih mengalah saja dan pergi dari hadapan Dipta. Hampir saja Abra menyebutkan temennya yang memang Dipta adalah temannya dari semasa kecil dan mungkin kalau Dipta tau dirinya adalah Felix pasti Dipta tidak mencegahnya seperti ini. Abra tidak melukai orang seenaknya meski teman sendiri yang membuatnya marah, ia hanya akan marah besar ketika berhadapan dengan seseorang yang berani melukai orang yang dicintainya. Abra melangkah gontai menuju ke kantin dan sesekali Abra menghindari para siswi yang mengerubunginya. Sungguh ia sangat risih ketika menjadi pusat perhatian banyak orang sehingga dia hanya sebentar saja di kantin setelahnya menuju ke belakang sekolah dimana banyak anak-anak nakal juga nongkrong disana. "Eh lo yang kemarin hadang kita mau minta duit ke cowok culun itu kan?" Abra terdiam dan menghapal satu per satu ketiga lelaki di depannya yang menghadang jalannya. Ia juga menatap sekitar yang banyak anak-anak nakal berkumpul di tempat ini. Abra mengira belakang sekolah ini terdapat taman ternyata tidak ada dan beda jauh seperti sekolahannya yang lama. Tempat ini adalah belakang gedung jurusan IPS. "Malah diam lo." Seseorang akan mendorong bahunya namun dengan cepat Abra menangkisnya. "Ck, berani banget ya lo." "Sudah, sudah." Seseorang di antara mereka yang berdiri di tengah itu menghentikan keributan dan orang itu juga yang menyapa Abra pertama kali tadi bernama Javas. Abra menatap tak suka pada mereka yang sudah berani mengganggunya. "Minggir!" Suruh Abra pada mereka. "Lewati kita barulah lo bisa lewat."Javas tersenyum miring dan tangannya dengan cepat mengayun ke kepala Abra. Abra belum sempat menghindar sehingga ia terhuyung ke samping sembari memegang pipinya yang terkena bogeman mentah. "Sialan!" Umpat Abra, sebelum menyerang balik ke mereka dirinya menitipkan makanannya kepada seseorang yang duduk di sekitaran tempat ini. Tak beberapa lama ketiga orang itu tepar tak berdaya di atas tanah. Mereka saling berteriak kesal karena Abra mengalahkannya. Beberapa orang lain yang duduk-duduk di sekitar belakang sekolah tampak bertepuk tangan termasuk orang yang dititipkan makanan oleh Abra langsung menghampiri Abra dan menyerahkan satu kantung plastik berisikan makanan Abra. "Buat lo," ujar Abra dan dirinya hanya mengambil air mineralnya saja kemudian berlalu pergi. "Yey!" Teriak laki-laki itu senang mendapatkan makanan gratis dan dia buru-buru berlari menjauh dari tempat ini setelah dipelototi oleh salah satu dari ketiga orang yang melawan Abra tadi. Sedangkan Abra, lelaki itu sudah tidak berselera untuk makan setelah aksinya bertengkar dengan ketiga orang tadi. Amarahnya berusaha dirinya pandamkan dan ia sekarang berada di dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuh berserta seragamnya yang terkena tanah. Wajahnya tak terlalu babak belur tapi dibagian keningnya ada warna sedikit kebiruan dan juga ungu dan diujung bibirnya ada luka robek sedikit. Luka diujung bibirnya karena waktu awal tadi kejadiannya begitu cepat sehingga tak bisa mengindar sedangkan luka kebiruan dan keungunan karena mereka mengeroyok dirinya secara bersamaan. "Cowok lembek mencoba melawan, ck." Abra memasukkan kembali seragamnya ke dalam celananya dan juga merapikan dasinya. Abra melirik laki-laki di sebelahnya yang baru saja keluar dari kamar mandi dan sekarang tengah bercemin sambil menyisir rambutnya. Abra merebut sisir rambut itu secara paksa. "Heh! Lo berani-berani nyolong sisir gue!" Sentak laki-laki itu dan menatap tajam ke Abra. "Bentar doang." "Aih ganggu aja deh lo." "Nih." Abra dengan cepay menyelesaikan menyisir rambutnya lalu diberikan kembali kepada si pemilik sisir rambut. "Ngeselin lo tuh!" Laki-laki itu pergi keluar dari kamar dan berulang kali mengumpatinya. Abra tersenyum tipis sembari merapikan lagi tatanan rambutnya. Meski berusaha merapikan kondisi tubuh dan seragamnya tetap saja terlihat seperti sehabis bertengkar. Abra mencuci mukanya lagi beberapa kali dan emosinya juga perlahan mereda. "Kurang kerjaan sekali mereka nyerang gue." Abra mendengus sebal. Di dalam kamar mandi hanya ada dirinya saja dan sengaja Abra masuk agak lambat ke dalam kelasnya. "Tapi perasaan tadi cuman tiga orang saja, oh ya satunya sedang menikmati liburan di luar negeri." Abra tertawa sumbang sambil menggelengkan kepalanya. "Hidup gue menderita dari kecil sedangkan dia?" Lagi-lagi emosinya kembali, Abra akan meninju cermin kamar mandi tersebut tapi ada petugas kebersihan yang masuk ke dalam sehingga niatnya itu diurungkan. Abra menepuk dadanya yang terasa, luka batinnya mulai muncul dan sangat menyakitkan sekali jika mengingat kenangan masa kecilnya yang sanga begitu buruk. "Haha sangat konyol." Abra mencuci mukanya lagi. Sebisa mungkin Abra menetralkan kembali rasa emosionalnya yang tengah terguncang sekarang. Setelah pikirannya sudab tenang barulah dirinya memutuskan keluar dari kamar mandi dan ternyata jam pelajaran baru saja dimulai. Tapi hal itu tak membuat Abra tergesa-gesa menuju kelasnya dan tetap berjalan santai sampai tiba di kelasnya yang masih belum ada guru mata pelajaran jam sekarang. "Abra!" Jessi memekik kegirangan menghampiri Abra tapi seberapa detik kemudian senyuman lebarnya itu luntur melihat luka diwajah Abra. Jessi memegang dagu Abra, Abra yang masih merasa linu menjauhkan wajahnya dari tangan Jessi. "Wajah lo kenapa?" tanya Jessi sambil ikut berjalan ke mejanya saat Abra melangkah. "Lo gak tau kah Jes?" Erma menatap heran ke Jessi yang masib berdiri dan menatap Abra yang sikapnya santai saja padahal ada luka diujung bibirnya serta dikeningnya ada luka lebam. "Emang ada apa sih?" "Lo dari mana aja t***l!" Jessi mengedikkan bahunya dan tatapan tetap tertuju pada Abra. Lelaki itu malah diam saja dan tidak memberikan kejelasan apapun kepadanya soal luka di wajahnya. "Abra habis berantem sama anak buahnya Faisal di belakang sekolah," ucap temannya yang lain. "Apa? Habis berantem? Pantesan." Jessi langsung memperhatikan seragam Abra yang tampak kusut sekali dan beberapa bercak tanah menempel disana. "Berdiri!" Jessi berkacak pinggang dan berdiri di samping Abra. Abra menghela napasnya pelan sembari mendongakkan wajahnya, menatap Jessi yang menatapnya datar. "Kita ke UKS, gue mau obatin luka lo." "Gak perlu." "Perlu!" Jessi kekeuh ingin mengobati luka di wajah Abra. "Asal tangan gue masih bisa digunakan, gue gak papa." "Tetep aja lo kenapa-napa, ngeyel banget sih lo dibilangin." Jessi menarik tangan Abra dan memaksa laki-laki itu supaya ikut dengannya ke UKS. Abra menurunkan tangan Jessi tapi agak sulit baginya jika dilakukan dengan cara yang lembut tapi ia benar-benar tak bisa melakukannya secara kasar dan berat sekali tangannya menuruti keinginannya yang ingin menepis kasar tangan mungilnya Jessi. Jadilah Abra pasrah di tempatnya dan menahan tubuhnya agar tak berdiri. Tak berapa lama guru mata pelajaran di jam saat ini datang memasuki kelasnya dan guru itu menghampiri Jessi yang tidak duduk di bangkunya. "Jessi, kamu sedang apa?" tanya guru seni budaya tersebut kepada Jessi. "Abra lagi terluka, Bu. Aku mau ajak ke UKS, dia gak mau padahal lagi sakit." "Benarkah?" tanya guru itu lagi lalu melirik Abra. "Benar, Bu." Bukan Abra yang menjawab melainkan teman-teman Jessi yang mendukung Jessi membawa Abra ke UKS terutama Erma. "Ouh gitu, ya sudah Abra silakan keluar dan obati lukamu." "Bu, saya juga ikut ya." "Tapi Jes--" "Bu please." Pinta Jessi. "Baiklah." Guru itu mengangguk saja dan duduk di mejanya. "Ayo berdiri, kita ke UKS!" Jessi tersenyum lebar dan lega pula mendapatkan izin dari guru seni budaya yang mengisi jam mata pelajaran sekarang. Abra berdiri dengan rasa ogah-ogahannya dan tangannya ditarik oleh Jessi begitu semangat dan saking semangatnya hampir terjatuh karena kakinya tersandung keset. Jessi masih sempat-sempatnya tersenyum disaat beberapa temannya yang tau itu menertawainya. Untung saja Abra memegangi tubuh Jessi kalau tidak karena Abra pasti akan tersungkur ke depan. "Hati-hati." Tegur Abra pada Jessi yang terlalu bersemangat menuju ke UKS. "Hehe seneng banget akhirnya bisa bebas." Jessi tersenyum lebar dan mengayunkan tangannya yang menggandeng tangan Abra. "Lo ganggu banget." "Tapi kan lo seneng gak ikut pelajaran." "Itu lo, bukan gue." "Lo suka banget ya sama belajar?" tanya Jessi heran pada Abra. "Hmm." Abra berdehem sambil mengangguk. "Lo kayak orang yang gue kenal dulu di masa kecil." Seketika raut wajah Abra berubah mendengar ucapan Jessi baru saja. "Siapa?" "Ada deh hehe." Jessi enggan memberitahukannya tapi Abra sudah paham siapa seseorang yang dimaksud oleh Jessi. "Btw, lo kenapa bisa berantem sama mereka? Bikin cemas saja sih lo." "Gue dihadang waktu disana." "Jangan lagi deh lo kesana, di sana tempatnya anak-anak nakal nongkrong. Biasa ada yang bawa minuman keras, terus ada yang ngerokok deh. Susah banget sih bubarin anak-anak yang kayak begitu dan CCTV juga dirusakin sama mereka. Jadi lebih amannya taman yang pernah bikin celana lo kena cat, nah itu tempat aman karena nuansanya warna-warni dan tak ada cowok yang menyukainya. "Gue gak tau." "Nah makanya gue kasih tau, maklum sih lo kan anak baru dan belum tau seluk beluknya sekolahan ini. Tapi kedepannya sebisa mungkin jangan lawan Faisal deh, kalau dia sudah masuk sekolah karena dia itu berbahaya sekali. Tapi gue sendiri sih gak takut sama dia hehe. Cuman dia suka usilin Dipta karena tampilannya yang culun dan gak mandang juga Dipta itu ponakan teman dari ayahnya sendiri." Suara Jessi terdengar tidak menyukai sosok Faisal yang suka mengganggu temannya. "Herannya juga ayahnya kurang tegas negur dia jadi dianya suka seenaknya kepada orang lain. Sok ganteng padahal wajah jauh di bawah standard dan pengen gue gosok itu muka pakai setrika. Gue sendiri juga sudah ngadu berulang kali ke om Asher tapi cuman ditanggapi senyuman doang kan makin kesel gue dan gegara itu gue males bertemu langsung sama dia." Jessi menceritakan semua keluh kesahnya mengenai Faisal, sosok adik tirinya itu. "Stop!" Mendengar perintah berhenti dari Abra membuatnya menghentikan langkahnya sekaligus suaranya yang menceritakan hal tadi. "Kenapa?" tanya Jessi heran pada Abra. Abra baru sadar, ia lagi-lagi hampir keceplosan. Ia tadi hanya reflek saja karena telinganya terasa panas mendengar Jessi yang sedang menceritakan sosok Asher dan Faisal. "Emm gak papa." Abra menggeleng dan mulai melangkahkan kakinya. "Aneh." Gumam Jessi. Kini mereka telah sampai di UKS, Jessi menyuruh Abra duduk di atas brangkar sedangkan dirinya tengah mencari obat merah berserta barang-barang kesehatan yang diperlukan. Ketika sudah merasa lengkap obatnya, Jessi menghampiri Abra dan mulai mengobati lelaki itu. "Cuman luka sedikit, banyak sekali barang yang lo bawa." Abra terkejut melihat obat-obatan berada di kotak berwarna putih dan ukurannya begitu lebar. "Luka kecil maupun besar kan sama-sama harus ditangani, gak semua luka kecil itu dibiarkan. Gue cuman gak mau aja luka lo terinfeksi." Abra pun mengalah dan pasrah saja karena percuma melawan bicaranya Jessi yang pasti akan kalah. Lelaki itu memilih nurut saja apa yang dimau oleh Jessi. "Nah selesai tapi..." Jessi mengetuk dagunya dengan jari telunjuknya, gadis mengamati penampilan Abra dari atas lali dari bawah. "Apa lagi?" "Buka baju lo!" Suruh Jessi tiba-tiba dan langsung membuat Abra syok lalu memeluk wajahnya sendiri. "Kenapa dibuka?" "Gue mau memastikan kalau tubuh lo yang berada di balik baju lo ini gak kenapa-napa juga. Soalnya bahaya kalau ada luka yang dibiarkan." Jessi menarik kerah seragam Abra sehingga wajah keduanya begitu dekat. Jessi tidak menyadari hal itu sedangkan Abra pun, Abra yang sebenernya ingin menjuh namun malah menikmati memandangi wajah gadis itu yang tengah berseru-seri. "Eh lo gak pakai singlet atau apalah itu yang cowok buat pakaian dalamnya?" tanya Jessi seraya menjauhkan badannya setelah melepaskan kencing bajunya Abra hanya beberapa saja sudah terpampang d**a bidang lelaki itu. "Enggak." Abra menggelengkan kepalanya santai dan tangannya dengan pelan melepaskan kancing seragamnya sendiri. "Ouh ja-jadi gitu." Jessi mendelik dan berjalan mundur saat Abra malah melangkah mendekatinya padahal masih melepaskan kancing seragamnya. Tubuh Jessi bergetar melihat tubuh Abra yang sangat seksi sekali ditambah sekarang Abra tak mengenakan baju seragmnya. Jessi menelan salivanya pelan karena tubuhnya sangat dekat dengan Abra bahkan merasakan hembusan napasnya Abra menyentuh wajahnya, Jessi menatap mata Abra yang menajam menatapnya. "L-lo." Suara Jessi terdengar bergetar karena saking gugupnya apalagi sekarang Abra mengangkat tangannya mengarah ke atas. "KIYAAA LO MAU NGAPAIN!" teriak Jessi menggema di dalam ruangan kesehatan tersebut dan langsung berlari ke samping. Abra mengernyitkan keningnya, menatap Jessi heran dan tangannya ternyata mengarah ke lemari. Mengambil sesuatu dari dalam lemari yang terletak di bagian atas. "Ambil handuk." Abra menunjukkan handuk yang biasa untuk mengompres luka memar. Napas Jessi naik turun dan pikirannya tidak karuan sambil memegang dadanya yang berdebar cukup kencang. "Oh ambil itu." Cicit Jessi yang merasa malu sekali dan ia merasa wajahnya berwarna merah tomat sekarang. "Emang lo kira apaan?" Tanpa Jessi ketahui, Abra tersenyum miring dan duduk kembali di atas brangkar. "Ah enggak, enggak papa." Jessi malah berjongkok dan benar-benar pikirannya malah kacau. "Terus lo ngapain jongkok disana?" "Eh?" Otak Jessi rasanya seperti berhenti bekerja untuk berpikir dan biasa disebut otak lag. "Katanya lo mau ngobatin luka gue?" "Eh iya ya." Jessi seketika berdiri tegak dan menepuk jidatnya pelan baru saja teringat tujuannya datang ke ruangan kesehatan. "Sorry gue lupa." Jessi buru-buru berdiri dan menghampiri Abra. "Aaaa!" Jessi teriak lagi saat melihat Abra yang masih dalam kondisi tak mengenakan baju seragamnya alias dalam keadaan toples. "Lo yang nyuruh gue buka baju tapi lo sendiri teriak-teriak begini." Abra pun kembali mengenakan baju seragamnya dan merasa heran kepada Abra. "Eemm." Jessi bingung juga pada dirinya sendiri padahal bukan pertama kalinya melihat tubuh seperti Abra. Ia menggaruk tekuknya yang tidak gatal. 'Gue kok bisa sepanik ini ya lihat tubuh toplesnya Abra, apa gegara tadi? Gelagatnya kayak mau anuin gue'--pikir Jessi. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD