Part 16: Cuek Tapi Perhatian

3061 Words
"Ini makamnya?" tanya Abra pada Jessi. "Iya." Jessi mengangguk dan keduanya pun berjongkok di samping makam milik Jefra. "Jef." Abra mengusap lembut batu nisan bertuliskan nama adiknya Jessi. Jessi tersenyum menatap Abra yang tengah membersihkan makam adiknya dari dedaunan dan rumput liar di sekitaran makam adiknya dengan menggunakan tangannya langsung karena sapu lidi ada di dalam gudang yang terkunci dan penjaga makam masih belum ada di pemakamam umum tersebut. Setelah dibersihkan, mereka berdua pun mendoakan Jefra dan selesai berdoa barulah menamburkan bunga lalu terakhir menyiramkan air mineral ke makam adiknya. "Adek pasti seger deh habis dikasih air." Jessi tersenyum walau dalam hatinya merasa sangat begitu sedih sekali ditinggal adik kesayangannya pergi untuk selama-lamanya. Sebelum pergi, Jessi memperkenalkan Abra kepada adiknya dan menceritakan pula keluh kesahnya selama ini tentang kehidupannya. Ketika Jessi mulai menangis, Abra memberikan tisu kepada gadis itu dan Jessi pun mengusap air matanya dengan tisu pemberian dari Abra. Abra tidak tega terlalu lama melihat Jessi menangis disini dan segera membawa gadis itu pulang rumahnya. Abra juga sengaja memgambil jalan yang jauh supaya bisa menenangkan Jessi selama di dalam perjalanan dan Jessi sendiri tidak mempermasalahkan justru meraaa beban pikirannya terasa lebih ringan sekarang. Setiba di rumah Jessi, Jessi mengembalikan Helm dan jaket milik Abra. "Makasih ganteng," ucap Jessi. Abra mengangguk saja sembari mengenakan jaketnya kembali dan juga helmnya. "Gila masih kecium ditubuh gue." Jessi tersenyum lebar dan masih mencium aroma parfum khaa milik Abra yang menempel ditubuhnya. "Gue pulang." Pamit Abra setelah itu motornya melaju pergi keluar dari area rumahnya. "Gue masih bingung sama sifatnya, kadang cuek dan kadang perhatian banget. Sebenernya dia ini satu orang apa dua orang sih, apa jangan-jangan dia punya saudara kembar. Argh kacau malahan otak gue." Jessi mengacak-acak rambutnya kesal. "Kak Jes udaj pulang." Suara Arumi menggema di dalam rumah saat melihat kakaknya baru saja pulang ke rumah. "Lo sudah sembuh?" tanya Jessi pada adiknya yang sudah aktif kembali. "Lumayan sih. Tapi enak sekarang dibanding yang kemarin." Arumi berjalan di sebalah Jessi dan mungkin adiknya itu mengikutinya ke kamarnya. "Banyakin tidurnya deh, begadang mulu." Tegur Jessi. "Begadang gue ya belajar lah kak." Arumi mendengus sebal. "Iya tau, tapi jangan berlebihan. Gak usah belajar serius-serius deh, masa depan lo juga sudah terjamin." Jessi terkekeh pelan. "Itu kakak kali, gue tetep belajar giat dan pengen ngejar ranking 1." Arumi memutar bola matanya malas. Dirinya merasa berbeda prinsip dengan kakaknya, meski masa depannya memang telah terjamin tapi tetap saja Arumi bersikeras mendapatkan nilai yang bagus. "Gak usah terlalu ambisius lagian mama sama papa santai aja kita dapat ranking atau enggak." "Dibilang pemikiran kita itu berbeda kakak." Rasanya Arumi ingin berteriak sekarang juga namun dikarenakan kondisi tenggorokannya sedang sakir, niatnya itu diurungkan dan digantikan dengan stok kesabarannya. "Nyeh." Jessi melirik sinis ke adiknya lalu ia memasuki kamarnya dan disusul Arumi yang ternyata masih saja menyusulnya. "Ngapain lo ikut masuk sih?" tanya Jessi heran dan kini dirinya tengah merebahkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini benar-benar letih sekali meski melakukan aktivitas tak begitu berat. "Ada yang mau gue tanyakan sih." Arumi duduk di meja belajar kakaknya sambil memeluk salah satu boneka milik Jessi berbentuk minion. "Apa?" Jessi menoleh sekilas ke adiknya. "Tadi siapa yang ngater kakak pulang?" tanya Arumi penasaran. "Astaga lo tadi kepoin gue ya?" Jessi langsung mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk. "Iya gue gak sengaja lihat di balkon kamar gue sih." "Ck, kalau gitu tadi gak usah dilihat." "Kok gitu sih?" tanya Arumi lagi. "Dia berbahaya." "Bahaya? Kakak main sama orang yang berbahaya kah? Kak, gue sudah bilang ke kakak kalau apa-apa ilang ke gue sih kak, aduh gimana sih bisa sama orang yang berbahaya. Ini nyawa masih utuh atau udah dibunuh?" Jerit Arumi dramatis dan membuat Jessi panik lalu melemparkan guling ke arah Arumi. "Aduh sakit kak." Arumi menggosok keningnya pelan dan lemparan guling darj kakaknya itu mengenai keningnya. "Makanya jangan teriak-teriak! Lebay amat sih. Itu cowok temen gue, gue tadi cuman bercanda doang elah." Jessi berdecak kesal bahkan kedua tangannya sudaj gereget sekali ingin mencabik-cabik tubuh Arumi sekarang juga. "Oh temen, yakin itu cuman temen?" Arumi malah menggoda Jessi. "Ck, dibilang gak percaya ya sudah." "Kelihatan ganteng dan kece sekali. Kenapa gak disuruh mampir dulu sih? Kenalin ke adik iparnya dong." Arumi menaik turunkan alisnya dan masih saja menggoda kakaknya. "Lo pengen dihajar deh kayaknya." Jessi merenggangkan otot-ototnya dan beranjak berdiri namun Arumi sudah lebih dulu pergi sambil berteriak. "Aaa kakak mau bully aku Ma aaaa!" teriak Arumi yang tengah mencari mamanya dan mengadu kepada Amanda. "Punya adik otak setengah jadinya begini deh." Jessi mendengus sebal kemudian dirinya masuk ke dalam kamar mandi. Ia membersihkan tubuhnya dan mengganti bajunya. Saat melakukan aktifitas seperti biasa, sesekali Jessi teringat lelaki itu ya siapa lagi kalau bukan Abra yang membuatnya kepikiran sampai sekarang. "Nama cowok itu memenuhi otak gue sebenernya kenapa sih?" Sedangkan di tempat lain... Felix pulang sampai selamat ke rumahnya dan tak lupa membersihkan tubuhnya lebih dahulu lalu mengganti bajunya. Belum terlalu malam, Felix sudah mulai merasakan ngantuk dan karena itu segera dirinya belajar terlebih dahulu. Saat belajar pun, Felix kurang fokus karena setiap terlalu lama membaca bukunya tiba-tiba saja ada wajah Jessi sedang tersenyum lebar menatapnya dan mengedipkan matanya. Felix pun segera mengucek kedua matanya dan mencoba untuk tetap fokus belajar. "Kenapa gue jadi bayangin Jessi? Please untuk fokus belajar, lagian besok juga ketemu dia di sekolah." Felix menggerutu kesal. Terdengar suara ketukan pintu dari luar dan sebuah suara panggilan dari ayahnya. "Felix, keluarlah!" "Iya, Pak." Felix buru-buru menutup bukunya kemudian keluar dari kamarnya dan ia melihat ayahnya sedang duduk santai di ruang tamu. "Ada apa Pak?" tanya Felix sembari duduk di sebelah ayahnya. "Tadi sewaktu bapak lagi berdagang, ada Dipta dan dia gak sendiri juga terus nanyain kamu." "Oh terus Pak?" "Kamu temanan dekat sama Dipta kah?" "Gak dekat, cuman mengenal aja. Dia temanan dekat sama Jessi, cewek yang pernah datang ke rumah kemarin. Emang kenapa sama dia, Pak?" tanya Felix penasaran. "Dua orang itu berhubungan sama ayah kandungmu, apa kamu tidak keberatan sekolah disana? Bukankah kamu sudah pernah bilang tidak ingin indentitasmu yang asli diketahui oleh orang lain?" Felix pun terdiam dan ingat betul ucapannya dulu yang masih ingin terus menyembunyikan identitas aslinya. Tapi apa daya, semakin dirinya menyembunyikan justru semakin ada boomerang di dalamnya. "Aku juga bingung, Pak. Tapi mau gimana lagi, ini sudah takdirnya dipertemukan sama orang-orang masa laluku. Dipta dan Jessi adalah temanku dari kecil. Aku juga baru tau kalau bapak pernah berdagang telur gulung di sekolah mereka." "Kalau kamu butuh bantuan bapak, bilang aja ke bapak dan sebisa mungkin bapak bantu. Iya bapak pernah berdagang dulu dan cuman sebentar saja karena sekolah itu tidak memperbolehkan lagi pedagang kaki lima berjualan disana, bapak baru ingat Jessi kecil itu seringkali beli telur gulung sama Dipta. Bapak sudah mengenali mereka sejak kecil tapi hanya Diptalah yang masih saling sapa sedangkan Jessi sejak pindah rumah sudah tidak saling sapa bahkan kemungkinan juga lupa. Kamu tau sendiri kan, Jessi ke rumah ini waktu ketemu bapak aja kayak orang baru kenal." "Iya sih Pak, jadi bapak cuman saling mengenal sama Dipta saja?" "Iya, Nak. Bapak juga ada rasa aneh waktu Dipta sama temennya datang ke tempat jualan bapak, nanyain kamu." "Cuman nanyain doang kah? Atau ada yang lain?" "Cuman itu saja, Nak. Tapi kamu harus berhati-hati sama Dipta, Dipta juga orangnya sangat teliti sekali dan tipe orang yang gak mudah dibohongi. Bapak langsung punya firasat aja setelah dia nanyain kamu, eh sebentar--kalau mereka temen masa kecilmu jadi kamu pernah satu sekolah sama dia?" "Pernah, tapi aku memang gak pernah beli jajan di luar karena dimarahi sama orang tuaku. Tapi aku pernah merasakan makanan yang bapak jual disana." Felix tersenyum simpul. Seno tidak kaget lagi kalau Felix pernah bersekolah di tempar yang khusus untuk anak dari keluarga kaya raya. Sebab Seno tau betul latar belakang keluarga Felix karena sewaktu berita kehilangan Felix kesebar, Seno langsung mencari tau seluk beluk keluarga Felix seperti apa dan lingkungannya juga seperti apa. Seno juga menyembunyikan identifas Felix yang sebenarnya dibantu oleh temannya yang berada dibidang seperti itu dan Felix pernah tinggal di rumahnya yang kedua, tempatnya yang paling jauh dari kota ini. Sengaja Seno menempatkan Felix jauh supaya tidak ada yang mengenali laki-laki itu dan itu semua sesuai permintaan Felix sendiri. Terakhir yang mengetahui kalau Felix itu adalah anak angkat hanyalah beberapa orang yang tinggal disana. "Enggak papa, Nak. Bapak mengerti posisimu dulu gimana. Tapi bapak mohon sama kamu, jangan gegabah soal identitasmu. Sekali kebongkar akan terus kebongkar. Bapak hanya mengkhawatirkanmu kedepannya, ini salah bapak yang tidak melihat dulu sekolahanmu yang baru itu ada orang-orang di masa lalu apa tidak tapi bapak malah menyuruh Balder yang tidak tau betul soal kamu." "Tenang, Pak. Aku bisa mengatasi semuanya. Jangan khawatirkan aku, aku tetap berada di samping bapak dan tetaplah menjaga kesehatan." Felix mengusap pundak ayahnya. Sosok ayah angkat yang seperti ayah kandungnya sendiri. 'Bapak juga tidak ingin kamu pergi meninggalkan bapak, bapak takut kehilangan putra kesayangan bapak ini dan bapak sangat menyayangimu, Nak'---batin Seno yang menangis di dalam benaknya, tak bisa dibayangkan kalau selama ini hidupnya tanpa putra kesayangannya ini pasti akan kosong dan hampa semenjak ditinggal pergi selamanya oleh sang istri yang menderita penyakit kronis. Seno tak bisa memiliki anak karena istrinya yang terus sakit-sakitan tapi Seno tak pernah mengeluh karena percaya pada sang Kuasa bahwa suatu saat dikirimkan malaikat kecil ke dalam hidupnya dan tidak disangka doa dari istrinya itu terwujud setelah kedua matanya tertutup untuk selamanya. Malaikat kecil yang dimaksud adalah Felix, sosok laki-laki yang dari kecil selalu membanggakannya dengan beriby prestasi, anak yang cerdas, berbakti padanya, sosok anak yang sempurna dimatanya bahkan tetangganya banyak menginginkan anak seperti Felix yang sekarang namanya berganti Abra, pemberian darinya sendiri. "Pasti, bapak ingin hidup panjang juga. Ingin melihat kesuksesanmu kelak, bapak sudah melihat bahwa hidupmu nanti bakal bahagia. Maafin bapak yang tidak seberapa ini." "Jangan bilang begitu, Pak. Justru aku senang dan bersyukur semenjak hidup bersama bapak, hidup Felix kembali pulih dari luka masa lalu." "Anak kesayangan." Seno mengusap lembut puncuk kepala Felix dan tatapannya kepada Felix menunjukan betapa besarnya kasih sayang yang ia berikan kepada sosok putranya tersebut. Felix melengkungkan senyuman sejenak. Ayah sekaligus ibu walau tak ada darah dagingnya yang mengalir ditubuhnya tapi tetap saja dimatanya, Seno adalah orang tua terbaiknya. Selalu berusaha mencukupinya padahal dulu hidup serba kekurangan dan selalu menyayanginya, memanjakannya serta berusaha tidak kekurangan kasih sayang sepersen pun darinya. Sebab ada pepatah menyatakan orang tua kandung belum tentu bisa menjadi orang tua baik untuk anaknya. Flashback on "Mom, Mommy!" teriak sosok anak kecil berusia sekitar 6 tahunan berlari menuju ibunya yang sedang berbincang dengan para ibu-ibu lain. Sosok bocah laki-laki itu tersenyum lebar sambil tangannya menunjukkan hasil tes kecerdasannnya kepada sang ibu. "Gimana nilaimu?" Bocah laki-laki seketika melunturkam senyumannya saat mendapat tatapan tajam dari sang ibu. Tangannya bergetar memberikan selembar kertas hasil tesnya kepada ibunya. "Wah nilainya bagus banget." "Katanya kepala sekolah tadi, Felix dapat nilai tertinggi dan mengalahkan murid cerdas dari sekolah lain. Jadi dia menduduki posisi nilai tertinggi murid SD di kota ini." "Sudah ganteng, pinter." Naura hanya tersenyum tipis saja merespon banyak pujian ibu-ibu lain kepada anaknya. Setelah itu Naura pamit pulang lebih dulu dan menggandeng tangannya Felix. "Mommmy, nilaku---" Ketika sudah merasa menjauh dari para ibu-ibu lagi, raut wajah Naura berubah dan menatap tajam ke putranya. "Kamu pikir mommy bakal senang kamu dapat nilai tertinggi, lihat ini nilaimu cuman 95 saja. Mommy ingin nilamu itu 100 bukan dibawah 100. Ingat itu!" bentak Naura. Siapa sangka sosok wanita berwajah lembut, bertutur kata begitu halus itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika dirinya hanya berdua saja bersama anaknya. "Yang salah hanya satu soal saja mommy." Felix menundukkan wajahnya dan tak berani menatap wajah ibunya lebih lama. "Tetep saja, mommy biayain les apapun yang itu rasanya rugi kalau kamu dapatnya cuman segini saja dari dulu dan tidak ada peningkatan sama sekali." "Mom--" "Pulang sendiri sana naik taksi, mommy malas sama kamu!" "Mommy! Mommy jangan tinggalin Felix!" Felix tak bisa mengejar mommynya karena sudah masuk ke dalam mobil dan mobil itu jug langsung melaju begitu saja meninggalkan Felix yang masih berdiri mematung di depan latar sekolah. Felix menghembuskan napasnya pelan dan berjalan gontai keluar dari area sekolahan sendirian. Felix menangis tanpa suara, sengaja tak mengeluarkan suara karena malu dipermalukan teman-temannya yang bisa saja melihatnya yang sedang menangis. "Mommy kenapa suka sama nilai 100, kata guru aja nilai bagus gak harus benar semua." "Mommy, Felix capek hiks hiks. Tapi mommy suka bentak-bentak Felix." Sambil menangis Felix mengeluarkan ponselnya dari tasnya walau agak dusah yang karena banyak sekali bawaan di dalam tasnya. Ini bukan pertama kalinya dalam hidupnya disuruh pulang dan pergi sendiri oleh kedua orang tuanya. Felix didewasakan sebelum waktunya dan mau tak mau semasa kecilnya ini tak bisa seperti anak-anak pada umumnya. Felix memesan taksi dan suaranya juga terdengar bergetar. Tidak lama menunggu, taksi pun sudah sampai di sekolah untuk menjemputnya. Setiap sopir taksi yang dipesan oleh Felix, selalu merasa heran, bocah laki-laki yang berasal dari keluarga tajir melintir memilih pulang pergi sendiri dengan memesan taksi padahal mereka tidak tau, Felix dipaksa apa-apa harus bisa sendiri oleh kedua orang tuanya. Sampai di rumah, Felix pun langsung masuk ke dalam kamarnya dan melanjutkan tangisannya di dalam kamar. Malamnya Felix disiapkan baju jas mini oleh pembantunya. Ia segera mengenakan pakaian yang disuruh oleh ayahnya. "Sudah ganti baju kamu?" Asher masuk ke dalam kamar putranya dirasa ia telah menunggu lama padahal acaranya akan segera dimulai. "Aku capek, Dad." "Cuman besok aja, pakai sepatumu!" Bentak Asher. Felix menggelengkan kepalanya pelan. Asher menghembuskan napasnya kasar lalu memasangkan sepatu putranya secara paksa dan tidak pedulikan suara isakan tangis Felix yang enggan ikut Asher ke tempat acara perkumpulan orang-orang penting. Asher pun menggeret paksa Felix yang meronta keluar dari kamar lalu menyuruh orang suruhannya menggendong Felix dan ketika sudah tiba di tempat acara tersebut. Felix menahan tangisannya dan harus memaksakan bibirnya untuk tersenyum menyapa teman-teman daddynya. Felix merasa letih sekali, tiap hari sudah banyak sekali jadwal yang harus dilaksanakan. Banyak les yang harus diikuti olehnya dan sesekali Asher mengajak ke tempat jamuan para orang-orang penting padahal tidak ada anak kecil disini. Felix hanya menjadi pajangan oleh Asher, Asher memamerkan putranya kepada semuanya orang bahwa putranya itu cerdas tapi Asher tidak tau apa yang dirasakan Felix selama ini. "Minggu depan, ada acara penting lagi. Kamu harus sehat, tidak boleh sakit atau apalah itu. Lihatlah mukamu tidak semangat bikin malu aja." Asher mendorong Felix hingga anaknya itu terjatuh lalu meninggalkan Felix di toilet sendirian. "Hiks hiks." Felix menangis sesenggukan dan sudah tidak biaa menahan tangisannya untuk tidak keluar. Sebelum keluar dari toilet, Felix mencuci mukanya terlebih dahulu kemudian mengenakan kaca mata hitamnya menutupi matanya yang sembab. Felix juga diberikan beberapa pertanyaan dari orang-orang dewasa kepadanya dan sebisa mungkin dirinya menjawab dengan benar sesuai perintah dari ayahnya yang tiap hari mengajarinya tentang bisnis. "Aku ingin pulang." Felix menarik lengan salah satu bodyguard daddynya. "Sabar ya Felix, om tidak bisa membantumu." Flashback off ... Besok paginya, Felix berangkat sendiri ke sekolah sebab Balder masih sakit. Ketika sudah tiba di sekolah, Felix tak sengaja bertemu pandang dengan sosok laki-laki berkaca mata tengah mengayuh sepedanya dengan kecepatan lambat. Felix pun membuang pandangan ke arah lain dan rasa was-was pula hinggap dibenaknya. Ia tidak kaget lagi kalau Dipta juga murid cerdas sepertinya namun lebih ke telitinya. Ia harus sebisa mungkin menjaga identitas aslinya dan juga menjaga ucapannya supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkannya. Ketika Felix menaiki tangga, seseorang memanggilnya dari arah belakang tapi Felix sengaja tetap melangkahkan kakinya. "Abra!" "Sombong banget deh lo." Orang itu berhasil menyusup langkahnya dan kini berjalan di sebelahnya. Abra menoleh sekilas saja dan malas merespon laki-laki tersebut. "Gue kemarin mampir ke tempat bokap lo jualan, tapi lo-nya lagi gak ada dan katanya di rumah sakit. Berarti sama Jessi kah ke rumah sakitnya?" Siapa lagi kalau bukan Dipta yang memberi pertanyaan itu. Abra menghentikan langkahnya begitu juga dengan Dipta. "Iya," jawab Abra singkat dan jujur. "Oh pantesan dia gak mau pulang bareng gue ternyata sama lo. Enak ya lo." Dipta terkekeh pelan dan Abra tidak paham kalimat terakhir yang diucapkan oleh Dipta. "Apaan?" "Jessi kayaknya tertarik sama lo." "Apakah penting?" "Oh berarti Jessi gak penting bagi lo? Kasian banget, dia gak dianggap." Dipta menggelengkan kepadanya pelan. "Ada kah pembahasan selain itu? Kalau tidak ada, gue pergi." Abra malas berbasa-basi dengan seseorang dan menurutnya itu membuang waktunya yang setiap detik begitu berharga. Abra pun pergi begitu saja meninggalkan Dipta yang masih menyusun kata-kata yang akan diucapkan. "Hadeh malah pergi duluan, jadi benar apa yang dibilang Jessi kalau itu orang emang ngeselin." Dipta merasa kesal sekali karena Abra tidak ada perasaan untuk menghargai seseorang. "Abra!" panggil seseorang yang ditunggu-tunggu olehnya dari belakang. "Jessi," balas Dipta menyapa gadis itu yang baru saja datang di sekolah. "Selamat pagi." Jessi melingkarkan tangannya ke lengannya Dipta. "Pagi juga, berangkat sama bokap?" "Iya Dip, makanya gue bilang kemarin malam kalau gak usah dijemput." Jessi tersenyum lebar. "Lo kayak lagi bahagia gitu." Dipta ikut tersenyum lebar memandangi wajah cantiknya Jessi dari dekat. "Emm kelihatan banget ya kalau gue lagi bahagia?" "Iya, kelihatan banget. Emang habis ada kejadian apa ini? Cerita dong." Tangan Dipta yang lain merapikan ramburnya Jessi yang berantakan. "Emm cerita gak ya hehe." Jessi masih berpikir beribu kalinya menceritakan apa yang dirasakan akhir-akhir ini. "Apa hayo?" "Lo tau kan si Abra itu." "Iya, kenapa lagi sama dia?" Raut wajah Dipta pun berubah tatkala Jessi malah membahas lelaki itu. "Gue heran sih sama sikap dia, kadang cuek dan kadang dia itu perhatian banget. Gue mau benci dia tapi gak bisa karena gue selalu ingat sikapnya yang baik itu. Walau tangan gue sebenernya gatel banget pengen hajar muka datarnya itu," ujar Jessi. "Ouh gitu, jadi wajah lo bahagia sekarang ini karena dia?" "Iya sepertinya hehe, dia itu cowok yang berbeda dibanding yang lain." Deg' Dipta langsung terdiam dan senyuman palsunya ditunjukan sebab ia tetap ingin mendengar apapun cerita dari Jessi dan sudah berjanji menjadi teman cerita gsdis itu. Walau sangat sakit hatinya mendengar Jessi menceritkam cowok lain. "Berbeda gimana?" Kini mereka telah tiba di depan kelasnya Jessi. "Emm gue gak bisa gambarin sih, ah intinya masih bingung sama perasaan sendiri deh hehe." Jessi menoleh ke belakang dan matanya membulat melihat Abra yang sudah datang di dalam kelasnya. Disana Abra tengah membaca buku dan tangannya juga terlihat seperti mencatat sesuatu yang penting yang dipelajarinya dibuku tersebut. Dipta juga ikut melihat apa yang sedang dilihat oleh Jessi ternyata Jessi melihat Abra membuat Dipta semakin terbakar rasa cemburunya. "Eh gue masuk kelas dulu ya." "Iya Jes." ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD