Part 15: Menjenguk Balder

3102 Words
"Bagaimana keadaan Balder?" tanya Felix kepada adiknya Balder yang menemani Balder disini sedangkan Balder sendiri tengah tidur pulas setelah makan dan meminum obat sesuai anjuran yang diberikan oleh dokter. Felix kembali ke rumah sakit setelah mandi, makan dan membantu ayahnya membawakan bahan-bahan dagangan yang hampir habis. Tujuan Felix kembali ke rumah sakit bukan cuman mengambil chargernya saja yang tertinggal namun kondisi kesehatan temannya juga. Felix memang memiliki tampang yang tak acuh terhadap sekitar namun jika ia telah memiliki seseorang yang selalu dekat dengannya dipastikan orang itu beruntung memiliki sosok teman dekat seperti Felix yang begitu perhatian. "Abang makin baik tapi sering mengeluh sakit diperutnya." Belia tersenyum dan sedikit gugup karena dirinya memang Abra bukan sebagai abang tetapi lelaki yang dicintainya. Belia dan Abra duduk di depan ruangan tempat dimana Balder dirawat. Baldet telah dipindahkan ke ruangan lain dan diruangan itu Balder tidak sendiri melainkan ada dua orang sakit lainnya. Jadi totalnya ada 3 brangkar rumah sakit di satu ruangan tersebut. Balder tak ingin bergabung dengan orang banyak dan dipindahkan ke ruangan lain dengan jumlah orang yang sedikit. Alasan lain Balder meminta pindah ruangan adalah agar rasa malunya tidak menambah semisal sewaktu-waktu disuntik oleh sang dokter karena Balder sangat takut sekali dengan jar suntik. "Jaga terus dia dan paksa makan kalau dia tidak mau makan!" Perintah Abra pada Belia. "Pasti gue paksa abang kalau dia gak mau makan, memang sangat keras kepala dia." "Oke baguslah, gue mau pergi dulu." Abra beranjak berdiri dari duduknya namun Belia malah mencegahnya untuk tidak pulang lebih dulu. "Jangan pulang dulu!" Belia memegang tangan Abra dan Abra menatap tangan Belia yang menyentuh tangannya lalu menatap Belia lagi. Belia yang menyadari tatapan Abra adalah simbol peringatan, segera melepaskan tangannya yang sempat menyentuh tangannya Abra. "Emm jangan pergi dulu dan tunggu abang gue bangun. Bang Abra pasti butuh sesuatu ke dia kan?" "Gak, gue balik ke sini cuman buat ambil ini." Abra menunjukkan chargernya yang dimasukkan ke dalam kantung plastik berwarna putih. "Ouh gitu, emm gak diperiksa dulu lagi. Mungkin ada barang yang ketinggalan?" 'Kenapa cuman sebentar doang sih? Gue masih pengen sama lo'---ucap Belia di dalam hatinya. "Enggak, ya sudah gue mau pergi dulu." Abra beranjak berdiri dari tempat duduknya. "Hehe cepet banget mau pulang," ujar Belia tanpa sadar. "Hmm?" Abra menoleh lagi ke Belia dan seketika Belia membekap mulutnya sendiri karena baru sadar dirinya keceplosan sesuatu. "Abra." Panggil seseorang yang membuat Abra langsung menoleh ke belakang dan terkejut melihat siapa yang datang ke tempat ini. 'Kok dia bisa kesini?'--pikir Abra yang kebingungan. Belia mengernyitkan dahinya dan menatap sosok gadis cantik berseragam SMA itu tengah memeluk Abra sekarang. 'Kok dia bisa berani banget peluk Abra dan Abra gak marah ke dia tapi malah diam aja?'--Belia memekik kesal di dalam hatinya melihat kedekatan mereka berdua. "Lo gak papa kan?" Jessi melepaskan pelukannya dan tersenyum getir karena pelukannya diabaikan oleh lelaki itu yang tetap saja diam. "Lo tau gue ada disini dari siapa?" Abra malah menanyakan hal lain. "Emm gue telfon Balder sih." "Bukan data?" "Bukan, tapi telfon biasa." Abra menghembuskan napasnya kasar dan tak kepikiran sampai kesana. Harusnya tadi dirinya mematikan saja ponselnya Balder dan membohongi Balder kalau ponselnya tak bisa menyala. "Kenapa emang? Dan dia itu siapa?" Jessi bingung melihat Abra lalu tak sengaja pula melihat ada sosok orang lain yang memperhatikannya sedang berbincang dengan Abra. "Sekarang lo pergi!" Usir Abra pada Jessi. "Gak mau, gue datang kesini pengen lihat lo sama Balder." "Lo siapanya abang gue?" Belia tidak tinggal diam begitu saja dan berjalan maju, menghadap ke Jessi. "Gue temennya dan nama gue Jessi. Oh jadi lo adiknya Balder. Salam kenal ya." Jessi mengulurkan tangannya di hadapan Belia dan tersenyum ramah menyapa sosok adiknya Balder. "Hmm salam kenal juga, naman gue Belia." Belia membalas uluran tangan dari Jessi sekilas dan Abra tidak menyadari itu karena tatapannya menelisik ke sekitar ruangan ini. Jessi merasa Belia tak begitu ramah dengannya pun, merasa kesal dan sedikit bingung juga mengapa gadis itu tidak menyukainya. "Gue bawain roti buat kakak lo dan ada minumannya juga." Jessi menyodorkan kantung plastik berwarna putih dan terdapat logo supermarket yang terkenal kepada Belia. "Oh makasih." Belia menatapnya datar dan menerima pemberian dari Jessi dengan rasa ogah-ogahannya. "Sama-sama." Jessi tetap memaksa bibirnya tersenyum meski rasanya ingin mencabik orang sekarang ini juga tapi ia harus menjaga emosinya karena sadar ada dimana dirinya berada di sekarang. "Sekarang pulanglah!" Suruh Abra pada Jessi seraya mendorong pelan bahu gadis itu. "Gak mau, gue pengen lihat Balder." Jessi menggelengkan kepalanya dan kekeuh ingin melihat kondisi Balder sekarang. "Dia lagi istirahat, jangan ganggu dia!" Abra menghadang langkah Jessi namun gadis itu tetap tidak menyerang dan berakhir menerobosnya. "Di ruangan ini kan?" Jessi menatap Belia seraya tangannya menunjuk ke ruangan sampingnya sebab Jessi sempat melihat Abra dan Belia duduk di depan ruangan tersebut. Belia mengangguk saja sebagai jawaban dan Jessi langsung masuk ke dalam. Tentu Abra tidak membiarkan Jessi di dalam sendirian meski ada orang dan dia pun ikut masuk ke dalam. "Btw, bang Abra bukannya mau pulang?" Belia lagi-lagi mencegahnya pergi sehingga Abra menunda sejenak lalu menoleh ke Belia. "Mengawasi gadis itu lebih penting," ujarnya sebelum pergi meningalkan Belia yang masih berdiri mematung di sana "Apa katanya gadis itu penting?" Belia mendelik dan kedua tangannya mengepal kuat. "Enggak, gak mungkin. Abra aja ngusir itu cewek tapi dia baru pertama kalinya bilang ada gadis penting di dalam hidupnya. Argh sialan, ini gak bisa dibiarin begitu saja." Belia pun buru-buru ikut masuk ke dalam ruangan, menyusul mereka berdua dan antara senang atau tidak senang Abra tidak jadi pulang sekarang. ... "Balder." Senyum Jessi merekah seketika melihat kondisi Balder yang sepertinya tidak begitu parah dan lelaki itu sedang berbaring lemas di atas kasur. "Gimana kondisi lo? Sudah membaik apa belum?" tanya Jessi penasaran. "Lumayan Jes tapi kadang tiba-tiba sakit kayak ditusuk gitu. Wah datang juga ya lo rupanya." Balder terkekeh pelan dan tidak menyangka Jessi benar-benar datang menjenguknya. "Apa lo yang kasih tau rumah sakit dan ruangan lo ini?" Abra baru saja masuk ke dalam ruangan dan langsung memberi pertanyaan tersebut kepada Balder. Abra memastikan ucapan Jessi tadi jujur atau kebohongan semata. "Iya." "Kenapa lo kasih tau dia?" Tatapan Abra menajam dan menahan emosinya agar tidak meledak saat ini juga. "Emang kenapa Jessi gak boleh kesini? Dia kan niatnya mau jenguk gue." Balder mengkerutkan dahinya, menatap Abra heran. "Balder, si Abra itu gak suka gue datang kesini dan sempat usir gue juga." Jessi mengadu ke Balder dan sempat tatapan Jessi dan Abra bertemu namun hanya seberapa detik saja dan sama-sama membuang pandanganya ke arah lain. "Terserah lo dah." Abra menarik tangan Jessi dan menyuruh gadis itu duduk di kursi walau awalanya Jessi memberontak karena takutnya digeret keluar ternyata justru sebaliknya. "Padahal tadi ngusir eh sekarang dikasih tempat duduk." Omel Jessi sambil melirik sinis ke arah Abra. "Abang tadi katanya tidur." Belia mendekati brangkar Balder. "Tidur sebentar sih terus mau tidur lagi tapi gak biss." Balder menyengir kuda. "Lo harus banyak istirahat Balder." "Pasti dong, apalagi ada Jessi disini makin semangat buat sembuh." Sengaja Balder mengatakan hal itu, ingin melihat wajah Felix yang kesal tapi Felix tampak acuh sekali dan masih berdiri tegap di belakang Jessi sambil tangannya dilipat di depan d**a. "Oh abang suka sama Jessi ya?" tanya Belia to the point pada sang kakak seraya menatap mereka satu per satu. "Kita teman doang elah, lo selalu dikit-dikit ada orang perhatian dibilang suka. Maafin adek gue ya Jes, agak kurang ajar dikit sih." Balder menoleh ke Jessi. "Oh gak papa, Jessi emang anggapnya bercandaan doang." Jessi tersenyum sembari menggelengkan kepalanya pelan. "Dah males gue disini." Belia keluar dari ruangan kakaknya dan memilih duduk di luar saja dibanding di dalam karena melihat Jessi membuatnya semakin kesal. "Sepertinya adek lo itu gak suka sama gue," ujar Jessi. "Dia emang begitu Jes, biarin aja kok." "Oke deh." "Lo ke sini sendirian?" tanya Balder, ia juga sesekali menatap Abra yang sangat santai saja di belakang Jessi dengan posisi berdiri. "Dianter sama sopir hehe terus ditinggal sopir ngopi. Nanti tinggal telepon aja kalau pulang gitu katanya," jawab Jessi "Oalah, gue jadi ngerepotin lo nih. Makasih ya jajannya, banyak banget." Balder menatap ke meja nakas dimana tadi sebelum Belia keluar dari ruangan, menata makanan pemberian dari Jessi di atas meja nakas rumah sakit tersebut. "Iya sama-sama, gak ngerepotin kok. Namanya juga teman harus saling menjenguk kalau sakit." "Gue aja malu sama penyebab penyakit gue kambuh Jes." Balder terkekeh pelan. "Emang kambuh karena apa?" "Karena mabuk sih." "Mabuk stela kah? Emang bisa bikin lambungnya kambuh?" tanya Jessi seraya melototkan matanya. "Eh bukan-bukan, bukan itu. Haduh malah mabuk stela itu beda server astaga." Balder menggaruk rambutnya yang tidak gatal lalu menatap Abra dengan raut wajahnya yang antara sebal dan menahan untuk tidak tertawa. "Mabuk karena minuman keras," ujar Abra menjelaskan. "Minuman keras?" Jessi mengernyitkan dahinya dan tampak tidak asing terhadap dua kata tersebut. "Iya, yang bisa bikin kita secara tidak sadar setelah meminumnya. Efek sampingnya bikin kepala pusing, mual dan lain sebagainya." "Oalah gitu, paham deh gue. Terus kenapa lo bisa minum air keras?" "Minunam keras." Abra meralat ucapan Jessi. "Astaga air keras, mati lah gue kalau minum air keras. Aduh buset mak srepet." Balder merengek dan tatapannya pula tertuju pada Abra. "Duh sorry-sorry, otak gue belum nangkep seratus persen sih." "Ternyata ada yang jauh lebih ege daripada gue." "Ege itu apa?" tanya Jessi dan raut wajahnya sangat polos sekali. Ege: bodoh "Bukan apa-apa." Abra menarik pundak Jessi supaya berdiri dan itu membuat Jessi kebingungan. "Eh? Gak mau pulang dulu." Rengek Jessi saat paham apa yang akan dilakukan oleh Abra. Yaitu mencoba mengusirnya dari ruangan ini. "Biarin Balder istirahat, kasian dia." Tegur Abra. Disisi lain dirinya tak ingin melihat mereka terlalu dekat entahlah dirinya tak menyukai Jessi dekat dengan Balder meski Balder adalah temannya sendiri. "Sebenarnya--" Balder tak jadi melanjutkan ucapannya karena Abra telah memberi peringatan melalui matanya. "Gak mau pulang." Jessi menepis tangan Abra dan kembali duduk di tempatnya tadi. Abra pun melirik Balder dan dari sorotan matanya menyuruh Balder agar bisa membuat Jessi pergi dari sini. "Eh Jessi." Balder merasa tidak enak pada Abra kemudian menatap Jessi dan memanggil gadis itu. "Iya Balder." Jessi pun menoleh ke Balder setelah memukul lengannya Abra. "Gue mau tidur, tiba-tiba ngantuk." "Oh gitu." Jessi sedikit tidak rela harus pergi dari sini sebab bisa dekat dengan Abra lebih lama. "Iya Jessi." Balder tersenyum sambil mengangguk samar. "Ya sudah kalau gitu gue pulang dulu." Pamit Jessi pada Balder. Ketika Jessi akan menjabat tangan, Abra sudah menarik lebih dulu tangan Jessi dan membawa Jessi keluar dari ruangan tersebut. "Ih gue kan mau salaman sama Balder." Jessi mengerucutkan bibirnya. "Gak usah." Abra tak sadar dirinya masih menggandeng tangan Jessi. "Sudah selesai kah?" tanya Belia yang menghampiri mereka dan tatapannya tertuju pada Jessi. "Hmm sudah, gue pamit pulang." Jessi mulai melangkah pergi dan otomatis Abra juga ikut melangkahkan kakinya karena posisi tangannya tengah menggandeng gadis itu. "Kok gandengan sih." Gumam Belia yang geregetan ingin melepaksan tangan mereka yang saling menggandeng namun ia harus menjaga image baiknya di depan Abra. Setiba di lift, dua orang tersebut baru sadar kalau mereka bergandengan tangan dan segera saling melepaskan tautan tangan keduanya masing-masing. "Ih." Jessi masih memasang raut wajah sebalnya dan melirik sinis ke Abra sedangkan Abra tetap diam saja. "Jahat." Gerutu Jessi. Untuglah di dalam lift hanya mereka berdua sampai menuju lantai satu. Memang rumah sakit ini lumayan tidak terlalu ramai. Abra terus berjalan dan mengacuhkan Jessi yang berjalan di sampingnya sambil mengomelinya. "Gue bukan anak kecil kali, disuruh pulang-pulang terus." "Abra! Abra denger gak sih gue ngomong apa!" Teriak Jessi yang sudah tak bisa ditahan ketika berada di parkiran motor. Ia merasa ditinggal oleh Abra karena Abra langkah kakinya lebih cepat. Abra terus berjalan sembari matanya menelisik sekitar parkiran, mencari letak motornya dan setelah menemukannya barulah Abra menghentikkan langkahnya saat berdiri di samping Jessi. Abra menatap tajam ke gadis itu yang tak bisa berhenti mengomelinya. Jessi langsung terdiam dan nyalinta ciut melihat tatapn Abra begitu tajam. Ia pun menundukkan wajahnya dan menggerakan salah satu kakinya, meminimalisir rasa takutnya. Abra pun merubah tatapannya tatkala Jessi mendadak terdiam dan tingkahnya pula berubah. Tak seheboh tadi sewaktu mengomelinya. Abra memakaikan Jessi helm dan sedikit membuat Jessi tertegun mendapat perlakuan manis yang begitu mendadak dari Abra. Belum sempat mengatakan sesuatu lagi, Abra memakaikan jaket ke tubuh Jessi. "Gue bawa jaket," ujar Jessi tapi tetap tidak melepaskan jaket milik Abra. "Mana jaket gue?" Abra meminta Jessi mengembalikan jaketnya. "Enggak, ini wangi." Jessi menggelengkan kepalanya cepat dan memeluk tubuhnya yang sudah memakai jaketnya Abra. Jessi menyukai aroma parfum Abra yang maskulin. Abra menghela napasnya melihat tingkah Jessi seperti anak kecil. Saat Abra menaiki motornya, ia melihat Jessi yang kesusahan naik dan Abra pun paham penyebab Jessi kesusahan menaiki motornua karena pijakan kaki belakang motornya belum dibuka. "Naik!" Titah Abra setelah membenarkan pijakan kaki belakang motornya. Jessi pun naik ke motornya Abra dan Abra menahan bibirnya supaya tidak tertawa melihat penampilan Jessi sekarang sangatlah lucu sekali. Helm dan jaket sama-sama kebesaran dipakai oleh Jessi bahkan Jessi sesekali memegangi helmnya supaya tidak mengenai punggung Abra. "Ih berat banget ini helm." Jessi memegangi helm milik Abra yang seperti helm pembalap dan Jessi juga tau ini harganya jutaan. "Motornya bukan motor ninja tapi helmnya, harganya bukan kaleng-kaleng." Komentar Jessi. 'Bawel amat'--umpat Abra di dalam hatinya. "Kiyaaa jangan ngebut!" teriak Jessi lagi sambil memukuli punggung Abra berulang kali. Jessi memeluk perutnya Abra karena merasa takut kalau motor yang dilaju dengan kecepatan tinggi. Abra lupa kalau dirinya sedang membonceng Jessi dan akhirnya dipelankan. Tangan Abra terulur ke belakang dan mengusap punggung Jessi bermaksud menenangkan gadis itu. "Maaf," ucap Abra setelah itu fokus menyetir motornya. 'Ck kenapa gak jadi marah sama dia ya? Padahal tadi gue udah keluarin banteng di kepala'--batin Jessi. Namun Jessi tetep memeluk Abra karena merasa nyaman walau Abra tersiksa karena beberapa kali punggung ditubruk oleh helmnya sendiri yang dipakai oleh Jessi. Abra tak langsung pulang, ia mampir ke suatu tempat membuat Jessi bingung. "Kemana?" Abra diam saja dan kini memarkikam motornya di tempat parkir depan sebuah rumah makan sederhana. "Turun!" Suruh Abra pada Jessi. Lantas Jessi turun dari motornya Abra begitu pula dengan Abra. "Makan kah?" Jessi memekik kegirangan dan matanya berbinar kalau urusan makanan. "Mandi." Abra melangkah lebih dulu dan disusul Jessi dari belakang sambil berlari kecil. "Suka banget ninggal." "Helm." Abra berdecak kesal melihat Jessi yang masih mengenakan helmnya. "Eh iya lupa." Abra pun melepaskan helmnya yang masih dipakai oleh Jessi padahal akan masuk ke dalam rumah makan. Karena Abra malas balik ke tempat parkiran, helmnya pun dibawa dan tangan sebelahnya menggandeng tangan Jessi sebab Jessi seperti bocah padahal umurnya sudah tidak bocah lagi. "Korean food kah?" Jessi tersenyum lebar saat membaca menu rumah makan ini. Setelah memilih menu, Jessi juga memesan es krim dan Abra pun membayar semuanya tanpa protes apapun. "Lo gak bangkrut apa tiap gue ambil sesuatu yang gue suka, lo langsung beliin," ujar Jessi. Abra diam saja dan matanya menatap sekitar rumah makan sederhana ini. "Kan dicuekin lagi, ingat gak sama hukumannya." "Sudah habis waktunya." "Enggak woe masih ada waktunya, kan tadi lo gak ada di sekolah." 'Ini cewek gak bisa diam apa sih, padahal udah makan es krim'--batin Abra yang kesal pada Jessi karena terus saja mengomelinya. "Iya ya masih ada," ucap Abra pasrah. "Nah gitu dong hehe." Jessi terkekeh pelan dan mengedipkan sebelah matanya. Jessi pun melanjutkan memakan es krimnya sampai habis dan bertepatan dengan itu makanan mereka telah datang di meja mereka. "Terima kasih." Tak lupa Jessi mengucapkan terima kasih kepada pelayan rumah makan ini. Posisi duduk mereka berdua berhadapan walau sebenernya bisa duduk sebelahan namun Abra memilih duduk dengan posisi begini saja. Jessi kesulitan mengiris daging dan Abra pun membantu mengiris daging milik Jessi tanpa mengatakan apapun. Ia juga menyuapi Jessi ketika dirasa makanan yang dimakannya ini enak. "Mau lagi." Jessi melebarlan mulutnya dan meminta disuapi lagi oleh Abra. Abra pun menyuapi Jessi beberapa kali dan benar-benar dirinya sekarang seperti sedang bersama anak kecil yang manja sekali. Abra melirik Jessi yang malah menjilati jarinya sendiri, lelaki itu pun meraih tangan Jessi dan juga tisu. Kemudian membersihkan sisa-sisa makanan yang masih menempel ditangan Jessi dan sarea sekitar bibirnya Jessi. "Jangan dijilati, ini rumah makan bukan rumah sendiri." Tegur Abra yang mengingatkan sebuah tata krama jikalau berada di rumah makan kepada Jessi. Jessi malah tersenyum lebar, hatinha terasa menghangat seketika diperlakukan manis oleh Abra sebab sedari kecil papanya terlalu sibuk terhadap pekerjaannya. Ia memang ingin merasakan dimanja oleh sosok laki-laki dan kini harapannya sepertinya akan terwujud. "Uang lo gak habis apa? Gue pesennya banyak lho." Jessi merasa tidak enak juga saat pesanan makanannya datang lagi ke mejanya. "Dihabiskan." Hanya itu saja jawaban yang berulang kali diberikan oleh Abra ketika ditanyai soal biaya. Bagi Abra, asal semua makanan yang dipesan itu habis dan tidak tersisa apapun, tidak masalah. "Kapan-kapan gue yang ganti traktir deh." "Gak usah." Tolak Abra. "Kenapa gak mau?" "Karena gue laki-laki. Harga diri gue dipertaruhkan kalau gue dibayari perempuan. Fokus makan, jangan berbicara lagi sebelum makanan habis semua." Jessi tidak sanggup berkata apa-apa lagi namun tak bisa menahan bibirnya untuk tidak tersenyum. "Benar-benar cowok idaman aw sekali." Jessi memekik kegirangan karena sosok Abra adalah laki-laki yang penuh tanggung jawab. Terkadang ia juga merasa heran pada laki-laki itu, bisa cuek dan bisa seperhatian ini kepadanya. 'Sebenernya dia itu kayak ada dua orang di dalam dirinya haha tapi kan dia cuman satu'--ucap Jessi sambil tertawa di dalam benaknya. 'Rasanya sulit sekali buat dia benci gue'--ucap Abra yang tidak tega membiarkan Jessi terabaikan dan ia merasa aneh pada dirinya sendiri, ketika melihat Jessi terluka pun dirinya langsung ingin membuat Jessi tersenyum kembali. Felix dari kecil pun tak ingin membuat Jessi kecil bersedih hatinya. "Setelah ini, anterin gue ke makamnya adik." "Adik?" Abra baru tau kalau Jessi memiliki adik yang sudah meninggal. "Gue punya adik cowok tapi dia sudah meninggal." "Sakit?" 'Gue kira cewek, perasaan pernah lihat di televisi yang cewek ternyata adik yang cowok. Gue gak tau apa-apa dan baru tau sekarang' "Bukan, meninggal karena dirampok preman." Abra pun terkejut sekali mendengar berita duka dari Jessi. "Padahal masuk di berita harian, lo baru tau kah?" "Heem." "Gue bukan maksud sombong sih tapi media itu suka banget meliput hal-hal tentang keluarga gue dari gue kecil dan papa sampai sewa bodyguard banyak buat jagain gue selama beberapa tahun terus waktu adek gue dirampok preman eh dijaga lebih ketat. Sekarang udah gak dijaga ketat sih cuman bokap terlalu over ke gue deh. Ya bokap trauma gitu." "Turut berduka cita," ujar Abra. "Makasih." Abra mengangguk saja lalu ia melihat raut wajah Jessi yang tiba-tiba menjadi sedih. "Eh?" Jessi terlonjak kaget karena Abra menaikkan dagunya sehingga mereka bertatapan. "Ikhlasin dan banyakin berdoa buat adik lo. Dia bakal sedih kalau kakaknya sedih." "Iya." Jessi pun tersenyum lebar hingga kedua matanya menyipit. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD