Part 14: Rasa Khawatir

3009 Words
"Lumayan banyak yang telat hari ini." Gumam Jessi yang sedang mengamati orang-orang yang datang terlambat di depan kelasnya. Berhubung kelas Jessi berada di lantai dua sehingga Jessi bisa mengamati para murid yang berlalu lalang di lantai satu lebih tepatnya lapangan basket disana. Walau tak terlalu jelas dikarenakan banyak pepohonan besar di sekitar gedung ini dan Jessi hanya melihat sekilas saja. "Guru juga datangnya lambat jadinya masih banyak murid ada yang di luar." Jessi celingukan ke kanan dan ke kiri di sekitar koridor depan kelasnya. "Emm tumben si murid baru itu belum juga datang, eh iya baru ingat kan bus sekolah selalu pagi. Harusnya dia sudah ada di kelas kayak biasanya." Gumam Jessi sambil berpikir si murid baru di kelasnya. "Apa jangan-jangan dia telat? Haduh kalau telat gimana ya?" Jessi merasa gusar jikalau Abra datang terlambat ke sekolah padahal hukuman yang ia berikan kepada laki-laki itu berakhir nanti sore. "Apa dia sengaja ya datang terlambat ke sekolah dan menghindar dari gue?" "Kalau beneran iya, ih kesel banget." Jessi menghentakkan kedua kakinya sambil berteriak kesal. "Lo ngapain Jes?" Seseorang menghampiri Jessi dan melihat Jessi yang aneh di depan kelas. "Lagi sebel sama orang," jawab Jessi. "Ahaha sampai segitunya ya lo." "Lo baru datang kan? Telat juga?" tanya Jessi menatap yeman yang sekelasnya itu. "Gak jadi dihukum lebih tepatnya sih, jadi hari ini hari bebas hukuman terus banyak yang disuruh balik termasuk gue dan kumpul pun cuman pengumuman biasa sama teguran dari guru." Erma menyengir dan tampak sangat begitu lega tidak mendapatkan hukuman. "Ouh gitu, enak dong gak jadi dapat hukuman." Jessi terkekeh pelan. "Iya dong, btw gue tadi bawa--" "Eh eh kalian sekelasnya si murid baru, nah nah ini yang duduk sebangkunya." Seseorang tiba-tiba datang menghampiri Jessi yang tengah mengobrol dengan temannya yang datang terlambat sekolah di hari ini. Orang itu bernapas memburu dan sesekali terbatuk-batuk karena juga kecapean sehabis berlarian sedari tadi. "I-iya kenapa sih? Segitunya lo ngefans murid baru sampai lari-larian dan lupa bernapas dengan tenang." Erma menegur gadis itu dan mengenalinya karena kelansya berada di sebelah kelasnya juga. "Emang kenapa sama dia? Dia sakit kah?" tanya Jessi khawatir. "Gue ketemu dia di rumah sakit pagi tadi." Jessi dan Erma saling pandang sejenak. "Rumah sakit?" Gadis yang membawa informasi itu mengangguk pelan. Seketika Jessi berlari entah kemana dan membuat Erma serta gadis bernama Jola itu agak syok melihat kepanikan Jessi terhadap kondisi kesehatan Abra. "Abra sakit apa emang?" tanya Erma pada Jola walau dirinya khawatir sekali tapi ia berusaha tidak panik terlebih dahulu dan mencari tau informasi supaya mengetahui hal yang sebenernya. "Yang sakit bukan Abra." "Astaga, lha terus siapa dong?" tanya Erma balik seraya memijit keningnya. Ia mengira yang sakit adalah Abra karena Jola memberitahukan informasi pula dalam keadaan panik. "Yang sakit itu temannya dan ini gue buat surat untuk merek berdua. Gue disuruh sama temennya Abra sih." Gadis itu sudah tidak panik lagi dan dengan santainya memberikan surat kepada Erma. "Oh gitu, oke." "Gue balik dulu." "Lo ini bikin temen gue panik sekarang." Erma mengusap wajahnya begitu pelan. "Eh iya buat temen lo itu, panik banget haha." Jola malah tertawa dan itu membuat Erma kesal lalu e mengusir gadis itu agar segera pergi dari area kelasnya. "Pergilah, jangan disini!" Setelah itu Erma mencari Jessi dan bertemu di kantor dimana Jessi meminta izin keluar untuk menjenguk Abra yang setau dia sedang sakit. Namun seorang guru tidak memperbolehkannya keluar di hari ini dan harus menunggu di waktu pulang sekolah jika ingin menjenguk temannya yang sakit. Terkadang aturan sekolah bisa berubah sewaktu-waktu itulah yang terkadang sering membuat murid kesal di sekolah ini termasuk Jessi. "Jes Jessi sudah!" Erma menarik tangan Jessi dan membawa gadis itu keluar dari kantor. Ia melihat raut wajah Jessi yang menunjukkan rasa khawatir bercampur marah. "Ngapain lo malah menghentikan gue? Jahat banget sih lo, gue pengen jenguk Abra. Gue khawatir." Jessi masih berusaha masuk ke dalam kelas kembali. "Percuma, kita gak dibolehin keluar. Ini lagi maraknya anak bolos jadinya semua kena deh. Guru-guru kebanyakan sibuk ngurusin murid-murid yang berani bolos sewaktu jam pelajaran berlangsung." "Gue pengen izin pulang dicepatkan." "Abra tidak sakit, yang sakit itu temannya. Cobalah jangan pabik dahulu dan dengan ceritanya dengan kesabaran." "Beneran gak sakit? Apa itu cuman kata-kata penenang doang biar gue gak panik kah?" tanya Jessi balik dan terkekeh pelan. Ia tak ingin dibohongi dan sudah muak terhadap kebohongan. "Beneran, makanya kita harus berpikir keras. Gimana caranya kita bisa keluar dari sekolah dan kalau emang beneran gak bisa, ya waktu pulang sekolah saja." "Gue takut dia kenapa-napa, gue gak tenang." Jessi menggigit ujung kukunya, sungguh sangat panit jika mendengar Abra beneran sakit dan berharap sekali bukan lelaki itu yang sakit seperti apa yang dikatakan oleh Erma. "Percaya deh sama gue kalau dia baik-baik saja." Erma memegang pundaknya Jessi lalu diusapkannya secara perlahan. "Gue berharapnya begitu." Jessi merasa lemas sekali. Ditambah teringat kejadian kemarin malam dan berpikir jika Abra benar-benar sakit pasti itu karena dirinya yang kemarin disuruh pulang tapi tak kunjung mau pulang. ... "Gue lagi gak ada mood ke kantin," ujar Jessi pada dua temannya yang mengajaknya istirahat ke kantin. "Lho kenapa? Apa gara-gara tadi?" tanya Anya penasaran seraya melirik Dipta sekilas yang berdiri di sampingnya. "Ah enggak, bukan karena itu tapi ada hal lain yang bikin gue gak mood." Jessi tersenyum sambil menggelengkan kepalanya lalu menatap Dipta sekilas juga. "Apa itu?" tanya Anya lagi. "Temen sebangku gue ini ada rumor lagi sakit jadi gue mau jenguk tapi sekolah malah mempersulit akhirnya gue gak bisa deh lihat keadaan dia." Jessi menundukkan wajahnya dan merasa sangat sedih sekali. "Oalah si murid baru itu ya?" Dipta tersenyum meski rasa cemburu membara di dalam dirinya dan Anya langsung paham apa yang tengah dirasakan oleh Dipta. "Iya, gue ngerasa bersalah apalagi soal semalam." "Semalam kenapa?" Dipta tentu menyahut dan menaikan alisnya menatap Jessi penuh tanda tanya sedangkan Anya mengangguk paham. "Nanti gue ceritain sendiri, sekarang biarlah Jessi tenang dulu." Anya menarik tangan Dipta dan membawa temannya segera keluar dari kelasnya Jessi. "Kayaknya Jessi suka sama Abra deh," ujar Dipta. "Enggak, namanya juga teman sebangku pasti rasa khawatir juga ada kalau temannya tidak masuk tanpa keterangan yang jelas pula." Anya menyuruh Dipta untuk mencoba berpikir positif saja. "Semoga saja, gue takut banget hehe cinta gue ini bertepuk sebelah tangan." Dipta menggaruk rambutnya dan sangat gugup sekali mengatakan hal ini. "Enggak, lo harus berusaha deketin Jessi." "Tapi Jessi berulang kali mengakui kalau gue ini cuman sebatas teman doang. Kalau diingat kalimat apa yang terlontar dari mulut Jessi langsung, d**a gue langsung sesak. Bener-bener deh gue belum siap ditolak sama Jessi." Dipta mengatur napasnya, jantungnya berdebar tak karuan jika sudah membahas tentang perasannya terhadap Jessi. "Intinya tetap harus bersabar, Dip. Gak ada yang tidak mungkin dan jodoh gak akan kemana. Yakin deh kalau lo terus berusaha dapetin hatinya Jessi pasti lo bakal dapat hatinya Jessi. Setelah itu sayangi dia dan cintailah dia dengan setulus hati lo pasti dia bakal bahagia deh nantinya. Gue dukung lo bagaimana pun caranya asal jangan memaksa dia, oke?" Anya tersenyum lebar dan tangannya mengusap pundak Dipta , berusaha menyemangati Dipta dengan sepenuh hatinya. "Kalau semisal dia sukanya sama orang lain gimana?" Kini merrka berjalan beriringan di koridor dan akan menuju ke kantin. "Iya gak papa dan lo harus ikhlas. Walau sulit tapi lo harus terima karena pemaksaan juga gak baik." "Bener sih, cuman gue kayak gak pantes buat dia." "Gak pantes kenapa?" "Hidup gue cuman numpang di tante gue, sedangkan Jessi keluarganya jelas banget dan sering masuk siara TV. Gak pantes kan kalau kita bersanding?" "Lo itu mikir pantes apa enggak, keluarganya Jessi aja selalu welcome sama lo dan suka sama lo. Orang tua Jessi ngelihat lo karena lo baik, pintar, gak nakal, sopan dan kurang apa lagi?" Anya mendengus sebal terhadap temannya yang masih saja merasa diri sendiri kurang. "Iya sih, tapi gue gak terlalu berharap bisa sama Jessi. Kayaknya tipe Jessi bukan cowok kayak gue, dia punya tipe cowok sendiri." "Sok tau deh lo." "Lihat aja kedekatan Jessi sama murid baru itu, eh iya gue ada rasa curiga sama murid baru itu," ujar Dipta yang baru ingat sesuatu. "Curiga kenapa? Dia aslinya nakal atau gimana?" tanya Anya makin penasaran. "Bukan itu sih, dia ini anaknya kang bakso depan kampus deket rumah tante gue yang lama." "Benarkah? Pak Seno itu kan?" "Iya, dia ini anaknya dan gue baru tau kemarin waktu gue disuruh sama tante Frey beli bakso karena ada suadara jauh datang ke rumah jadi sekalian bersih-bersih rumah lama." "Gue juga sering kesana tapi gak pernah ketemu sama si murid baru itu." Anya mengernyitkan dahinya sambil menggelengkan kepalanya. "Nah itu permasalahannya, coba nanti deh lo mampir beli bakso." Saran Dipta. "Oke, barengan aja kita berdua. Gue gak mau sendiri." Anya melingkarkan tangannya ke lengan Dipta. "Lo ini tampangnya doang berani tapi nyatanya takut sendirian. Hadeh." Dipta menghela napasnya pelan. "Ya gimana kan disana banyak cowok-cowok apalagi dari kampus itu, malu lah gue." Anya mendengus sebal. "Iya ya tapi gue harus bilang ke tante Freya, kita makan di rumah tante gue aja. Lo pasti beli satu doang, gak mungkin beli banyak." "Iya beli satu jadinya harus dimakan dulu, kalau beli satu dibawa pulang ntar dihabisin sama adek." "Nah makanya itu kita nanti ke rumahnya tante gue, gue ada kuncinya tapi harus bilang dulu. Ntar lihat dulu juga Jessi mau dijemput apa pulang bareng gue kalau dia pengen pulang sendiri, lo bareng gue aja tapi kalau sebaliknya, gue pesankan taksi." "Eh gak usah, gue jadi ngerepotin lo kan cuman kepoin orang doang." "Sudah, gak papa." Dipta tersenyum dan menggelengkan kepalanya pelan. Anya pun juga tersenyum, menatap Dipta. Ia memang sudah lama menganggumi Dipta dan itu hanya sebatas kagum saja karena lelaki itu sangat baik kepadanya. Sedangkan di tempat lain... "Kena lambung kan, rasain tuh." Felix sudah angkat tangan pada temannya yang sangat sulit dinasehati berulang kali. "Ya Tuhan, pengen pulang." Balder terbaring lemas di atas brangkar dengan tangannya yang sudah ada jarum infusnya. Balder harus dirawat ke rumah sakit selama beberapa hari kedepan, minuman yang diminum kemarin mengenai lambungnya dan kebetulan Balder memiliki penyakit asam lambung sehingga penyakitnya kambuh lagi. Rasa sakit yang dialami lelaki itu tak seperti biasanya dan ini rasanya lebih parah dari sebelumnya. "Gue takut suntik anj." Rengek Balder. "Heh jaga mulut lo, lo lagi diruangan umum ya bukan vvip." Tegur Felix yang merasa malu temannya yang bisa menjaga ucapannya. Ada beberapa orang juga sedang dirawat inap seperti Balder dan ada juga yang melirik Balder karena ucapan Balder benar-benar tidak sopan. "Hadeh." Balder ingin pulang saat ini juga dan tidak suka berada di rumah sakit namun ini memang salahnya sendiri yang malah mabuk sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Jika tidak pun Balder terus saja muntah-muntah, merasakan perutnya yang sakitnya luar biasa dan Balder juga kekurangan cairan membuat tubuhnya semakin melemas. "Bentar lagi orang tua lo datang dan gue pulang." Felix menatap jam di dinding ruangan umum di rumah sakit ini. Felix juga mengabari ayahnya karena terpaksa ikut tidak masuk sekolah. "Gue tadi cas hp." Felix baru ingat dirinya sempat mencharger ponselnya yang kehabisan daya baterai di samping brangkarnya Balder. "Full." Felix bernapas lega lalu menyalakan ponselnya dan berniat menghubungi ayahnya lagi sebab tadi ayahnya bilang akan menjemputnya ke rumah sakit padahal Felix bisa pulang sendiri. "Gue pengen pulang." Balder menggerutu, ia bingung harus ngapain di sini sebab ponselnya tidak ada paket datanya karena habis tepat di hari ini. "Dibawa tidur." Saran Felix sembari beranjak berdiri dari duduknya. "Lo mau kemana?" tanya Balder cemas. "Keluar, bentar lagi keluarga lo datang. Gak usah manja!" Felix menatap tajam ke Balder dan Balder pun pasrah dalam kondisinya sekarang ini. Felix pun mencari tempat yang nyaman di rumah sakit ini dan tatapan terjatuh pada taman rumah sakit yang lumayan sepi. Ia pun duduk santai disana dan melanjutkan fokus kepada ponselnya sekarang. "Banyak panggilan yang tidak terjawab." Gumam Felix dan ternyata dari Jessi yang meneleponnya hampir dua puluh kali. "Hadeh. Pasti masalah hukuman deh." Felix tidak menyangka Jessi sampai segitunya menghubunginya. Felix baru saja mengirim ayahnya pesan, dirinya langsung mendapat telepon dari Jessi dan hampir pondelnya kelempar saking kagetnya. Felix mengusap dadanya yang berdebar gegara rasa kagetnya itu sebelum menerima telepon dari Jessi. "Ap--" "Halo Abra! Abra dimana? Gak papa kan? Bukan lo kan yang sakit?" Suara Jessi yang meninggi dan bergetar karena panik itu membuat Felix agak menjauhkan jarak ponselnya dari telinganya. Felix pun mengecilkan volume ponselnya terlebih dahulu karena Jessi berteriak. "Gak usah teriak-teriak, gue gak papa," jawab Felix. "Oh syukurlah kalau lo gak papa, terus yang sakit siapa? Kata murid sebelah, dia ketemu lo di rumah sakit." "Balder." "Sakit apa dia--" Klik Felix mematikan telepon dari Jessi secara sepihak. Sengaja melakukan itu supaya Jessi makin kesal kepadanya dan tidak menyukainya. "Maafin gue, Jessi." Felix merasa bersalah pada gadis itu sebab ia sengaja berbuat jahat juga ada alasannya sendiri. Di seberang sana, sosok gadis cantik berdecak kesal dan hampir saja membanting ponselnya. "Sabar Jessi." Erma yang berada di sampingnya merapikan rambutnya Jessi. Gadis itu menyukai rambutnya Jessi karena bagus sekali seperti model dan sering dibentuk aneh-aneh. Erma duduk di atas meja sedangkan Jessi duduk di kursi di depannya dengan posisi membelakanginya. "Gue bisa sabar, tapi sifatnya Abra bikin emosi gue kekuras habis deh." "Emang sifatnya sih ngeselin, diam mulu dan suka pura-pura tuli sih." "Dia gak tau apa ya, kalau gue ini panik dan khawatir sama dia. Harusnya dia seneng ada yang mikirin dia eh malah seenak jidatnya mengabaikan rasa khawatir gue ini." Jessi berulang kali menghembuskan napasnga kasar. "Mungkin dia juga lagi khawatir sama kondisi temannya kali Jes, kata murid sebelah sih si Balder sakit parah dibagian perutnya dan sampai teriak-teriak juga." Erma mencoba yakin kalau sosok Abra itu baik dan tidak seburuk apa yang dipikirkan Jessi. "Tapi Er, dia dari awal juga gitu sifatnya sih." "Kita harus ngertiin sifat orang lain dan gak semuanya sesuai apa yang kita ingingkan. Mungkin memang bawaan Abra dari sejak kecil bisa jadi, kalau dia punya sifat yang bisa dibenci orang ya apa mungkin Balder mau berteman sama dia. Gue lihat Balder biasa saja sama sikapnya." Jessi pun terdiam dan mulai membayangkan sikap Abra selama ini sewaktu bersamanya. Abra tidak pernah melakukan hal kasar pada fisiknya dan selalu memperlakukannya dengan lembut. Walau nampak cuek, Abra memperhatikan hal-hal kecil kepadanya dan berusaha membuatnya senang seperti kemarin saat Abra memberikan banyak makanan, membelikan mainan dan Abra tidak memprotes itu semua. Jessi tidak menyangka selama bersama Abra kemarin, rasanya sangat menyenangkan dan puas sekali. Terakhir bisa menghilangkan rasa stressnya karena Alden sangat begitu posesif kepada Jessi sejak meninggalnya adik laki-lakinya. "Jessi, lo malah ngelamun." Erma menyadarkan Jessi dari lamunannya dengan menggoyangkan pundak gadis itu. "Eh iya." Lirih Jessi yang baru tersadar lamunannya. Tiba-tiba dirinya malah teringat sosok adiknya yang telah lama meninggal dunia. "Pucat banget wajah lo, bisa gitu ya tiba-tiba sakit." Erma turun dari duduknya di atas meja lalu menghadapkan tubuhnya di depan Jessi. "Gue gak papa, bentar lagi masuk nih." Jessi menatap jam di dinding kelasnya. "Eh iya, gue balik ke bangku gue dulu." Erma buru-buru merapikan meja yang didudukinya tadi sebelum kembali ke bangkunya sendiri. Jessi mengangguk saja sebagai jawaban. Saat pulang sekolah tiba, Dipta sudah ada di depan kelasnya Jessi dan Jessi segera menghampiri Dipta. "Bareng sama gue atau dijemput?" tanya Dipta pada Jessi yang tengah mengenakan jaketnya. "Dijemput, gue nanti mau ke rumah sakit sih." "Lo sakit kah?" tanya Dipta khawatir seraya memeriksa suhu tubuh Jessi keningnya. "Bukan gue yang sakit, tapi temen sekelas gue." "Ouh gitu, syukurlah kalau lo gak sakit dan sehat-sehat terus ya." Dipta membelai rambutnya Jessi. "Amin." Jessi tersenyum sambil mengangguk. "Gue duluan ya." "Oke." Jessi membalas lambaian tangan Dipta dan lelaki itu pergi menghilang dari hadapannya. Jessi melangkah gontai, menuruni anak tangga dan sesekali membalas sapaan dari orang-orang yang mengenalnya. "Gue jadi kangen Jefra." Jefra adalah nama adik laki-lakinya, adik bungsunya yang meninggal karena preman dan waktu itu masih jamannya para preman ada dimana-mana. Setelah kejadian itu Alden pun turun tangan membersihkan para penjahat jalanan dan menghukum berat kepada si pelaku p*********n kepada putranya. Jefran meninggal karena melawan sewaktu dirinya dirampok dan setelah kejadian itu juga Alden seperti mengalami trauma berat membuatnya melarang ini dan itu kepada Jessi dan Arumi. "Nanti sepulang dari rumah sakit, gue mau berkunjung ke rumah abadinya Jefra." Di sisi lain... "Gue gak berat kan?" tanya Anya pada Dipta dan merasa tidak enak dibonceng sepeda. "Enggak, biasa saja." Dipta menggeleng. "Soalnya gue lebih gendut dibanding Jessi yang bodynya bagus." "Body lo juga bagus." "Haha gak usah bohong deh, gue udah sadar diri lo." Anya menepuk punggung Dipta. "Dibilangin gak percaya." "Emang." Tak berapa lama mereka sampai di tempat yang mereka tuju. "Sore Pak Seno." Dipta dan Anya kompak memberi salam kepada Seno yang tampaknya tak terlalu sibuk sore ini. "Wah kalian datang, habis pulang sekolah kah?" tanya Seno sembari menyuruh mereka berdua untuk segera duduk. "Iya Pak Seno, baru aja ini pulang sekolah terus mampir dan berhubung kami sama-sama lapar akhirnya mampir deh," ujar Dipta beralasan. "Oalah gitu, pasti capek kalian ya. Bentar bapak mau pecahin es batunya dulu." "Oh ya, Pak Seno." "Ada apa Dip?" tanya Seno balik dan menghentikan aktifitasnya sebentar. "Dimana Abra, Pak Seno?" tanya Dipta balik sedangkan Anya memilih diam saja karena bagaimana pun yang tau hal pasti adalah Dipta sendiri. "Oh Abra, dia tadi sempat pulang ke rumah sebentar terus balik ke rumah sakit karena chargernya ketinggalan." "Ke rumah sakit?" Dipta seketika teringat ucapan Jessi tadi sebelum dirinya pamit pulang lebih dulu. "Temannya yang namanya si Balder itu dirawat di rumah sakit karena penyakit lambungnya kambuh." "Ouh gitu Pak." Respon Anya sambil mengangguk walau tak terlalu mengenal Abra dan Balder tapi ia paham mereka siapa. Anya juga tidak menyangka kalau Pak Seno itu adalah ayahnya Abra karena selama ini tak pernah melihat Seno bersama anaknya disini. "Ya sudah bapak lanjut dulu ya, keburu rame bisa kewalahan nanti." Pamit Seno kepada mereka. "Iya Pak." Tak lupa mereka juga memesan masing-masing satu porsi bakso. "Kenapa Dip?" tanya Anya pada Dipta yang mendadak seperti sedang memikirkan sesuatu yang serius. "Ah enggak, enggak papa kok." Dipta menggelengkan kepalanya dan tertawa kecil. Lalu ia mulai melahap baksonya yang sudah datang dimejanya. 'Kayak lagi menyembunyikan sesuatu deh'--pikir Anya, menatap Dipta penuh dengan rasa kecurigaannya. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD