Part 13: Kedekatan Dipta dengan keluarga Jessi

3075 Words
"Kenapa lo jemput gue? Gue kan sudah bilang kemarin kalau gue gak mau dijemput, gue bisa berangkat sendiri aja," ujar Jessi saat melihat kedatangan Dipta di rumahnya di pagi hari ini. "Hehe lupa." "Hadeh Dipta, gue belum sarapan." "Ya sudah sana sarapan. Gue tunggu disini." "Enggak ah, gue gak mau biarin lo sendirian disini dan gue malah enak-enaknya makan disana. Sini ikut gue sarapan bareng keluarga gue." Jessi menarik tangan Dipta. Seketika Dipta tersenyum melihat tangannya digandeng erat oleh Jessi dan ini adalah yang yang disukainya. "Ma, Pa." Panggil Jessi kepada orang tuanya. "Iya, Jess-eh ada Dipta." Mereka menyambut kedatangan Dipta di rumahnya. Dipta pun menghampiri mereka bergantian tuk mencium tangan mereka. "Makin ganteng kamu Dip, tinggi juga." Alden memuji Dipta dan memang ia sangat menyukai kedekatan Dipta pada putrinya sebab Dipta adalah anak yang cerdas sekali, sopan, ramah dan hal positif terpancar dari laki-laki remaja tersebut. "Bener tuh, Dipta makin keren sekali." Amanda tersenyum lebar dan ikut memuji Dipta yang tampilannya semakin hari makin berubah. "Hehe om tante bisa aja. Terima om, tante." Dipta tersenyum lebar menatap mereka bergantian. "Sama-sama sini gabung, ikut sarapan!" ajak Alden pada Dipta dan menyuruh Dipta duduk di samping Jessi. "Gak boleh nolak, harus ikut sarapan." Jessi bahkan menyiapkan sarapan untuk Dipta. Disisi lain Amanda senang melihat sikap Jessi yang terkadang bisa dewasa walau di depan orang lain terutama Dipta. "Kamu kayak belajar jadi istri, Jessi." Celetuk Amanda yang tengah menggoda Jessi. "Ih mama, sudah deh. Jessi malu." Jessi mencebikkan bibirnya sebal. "Tapi makin cantik banget lho Jess kayak tadi, tatanan makanan dari lo juga rapih banget kayak di resto mewah hehe." Dipta memuji Cantika yang baru saja melayaninya. "Lo hina gue kan, keliatan gue karyawan di restoran." "Eh bukan begitu, maksud gue itu lo orangnya tipikal suka kerapihan jadi makanan yang lo tata ini rapi dan enak dipandang. Kayak sekelas restoran mewah yang gue datangi," ujar Dipta menjelaskan supaya tidak ada kesalahapahaman lagi antara dirinya dengan Jessi. "Nah itu dengerin, padahal Dipta memujimu dengan kalimat yang sudah bagus lho. Kamu ini keburu marah, mudah marahan ya." Alden mencolek hidung putrinya dan tidak kaget lagi terhadap sikap Jessi yang mudah sekali marah. Hati putrinya sangat sensitif sekali terhadap hal-hal kecil sekaligus. "Iya, Pa. Maafin gue ya Dip, selalu aja asal menyimpulkan sesuatu." Jessi yang tadinya menatap papanya kini beralih menoleh ke Dipta. "Santai aja kok, kayak sama siapa sih." Dipta terkekeh pelan dan tidak ingin membuat suasana di ruang makan makan menjadi tegang. "Duh Dipta bener-bener cowok penyabar deh." Amanda tersenyum menatap Dipta dan menyukai sifat lelaki remaja itu yang begitu sabar menghadapi suasana hati Jessi yang tidak menentu. "Jessi memang nantinya harus sama cowok sabar deh, yang tahan mentalnya juga dan pastinya itu cowok masa depannya jelas-jelas bagus." Alden tersenyum dan ucapannya ini bukanlah main-main, ia sangat mengharapkan apa yang dikatakan itu bisa terwujud. "Itu Dipta kayaknya daftar pertama pengen jadi calonnya Jessi." Goda Amanda pada Dipta sehingga membuat Dipta menjadi salah tingkah. "Ih mama jangan bilang begitu, Dipta itu teman aku dan teman terbaikku. Kita kan teman, ya kan Dip?" tanya Jessi memastikan kepada Dipta. "Em i-iya Jessi." Dipta memaksakan bibirnya tersenyum meski hatinya terasa tergores mendengar ucapan Jessi seperti tidak ada harapan pertemanan ini menjadi lebih. "Masak sih teman? Ntar juga lama-lama saling apa tuh saling jatuh cinta eaa." Amanda dan Alden terus gencar menggoda putrinya. Jelas-jelas raut wajah mereka menunjukkan sangat begitu setuju jikalau Jessi bersama Dipta terutama Amanda yang memang berharap bisa besanan dengan Freya, sahabatnya. Walau Dipta hanya sebatas ponakan, Freya telah menganggap Dipta itu adalah anaknya sendiri juga. "Kalian ini ramai-ramai sendiri." Arumi yang sedari tadi diam pun berbicara dan kondisi yang tadinya pecah karena suara gelak tawa mereka malah menjadi agak hening. "Astaga, sekali mengeluarkan suara, suara lo kayak kunti sumpah." Jessi bergidik ngeri, menatap adiknya. "Heh kok pakai bahasa gaul ke adiknya sendiri." Tegur Alden pasa putri sulungnya. "Hehe keceplosan Pa." "Alah alasan itu Pa, kak Jessi selalu pakai bahasa gaul." Arumi mulai mengadu kepada sang ayah. "Lo juga pakai bahasa galau eh gaul." Jessi mendelik karena malah dituduh oleh adiknya . "Heh sudah-sudah kalian sama-sama salah dan tidak ada yang mama benarkan disini." Amanda pun menengahi perdebatan panas mereka yang bisa makin memuncak jika dibiarkan begitu saja. "Malah berantem kalian ini, fokus makan gih!" Suruh Alden pada keluarganya dan juga Dipta. "Iya, Pa. Maafin kita." "Maafin kita, Pa." Jessi dan Arumi pun meminta maaf kepada Alden setelah sama-sama mendapat tatapan tajam dari Amanda. Dipta yang melihat tingkah mereka hanya bisa geleng-geleng kepala saja terutama Jessi yang sudah tidal kaget baginya melihay sikap keberanian Jessi yang mengucapkan bahasa gaul di depan orang tuanya sendiri. Selesai sarapan, Arumi menghampiri Dipta yang tengah mengenakan sepatunya dan gadis itu tersenyum penuh arti menatap Dipta yang sedang menunggu kakaknya yang masih tengah bersiap-siap di mobil. "Ada apa Rum?" tanya Dipta bingung kepada Arumi yang diam saja sambil menatapnya. "Lo suka sama kakak gue kah?" tanya Arumi kepo pada Dipta yang kini sudah berdiri dari tempat duduknya. "Kenapa lo tanya gitu?" tanya Dipta balik. "Cuman nanya doang sih, beneran suka apa enggak dan kalau suka, gue bisa bantu." "Emang bisa?" Dipta meragukan tawaran dari adiknya Jessi. "Ya sudah sih kalau gak percaya." "Emm kayaknya kakak lo memang beneran anggap gue sebagai teman doang dan gak lebih dari itu," ujar Dipta yang sudah putus asa duluan. "Cinta datang karena terbiasa kali." "Lo bocil tau apa sih." "Tau semuanya, emang bocil-bocil begini gak tau masalah percintaan? Gue juga jago kok masalah percintaan." "Emang lo tau pacaran?" "Enggak." Arumi menggeleng dan raut wajahnya juga begitu polos sekali dan hal itu yang membuat Dipta tidak yakin Arumi bisa membantunya. "Tuh kan, sok tau permasalahan percintaan tapi gak pernah ada pengalaman hadeh." "Idih lo remehin gue ya?" Arumi berkacak pinggang. Tak terima diremehkan oleh Dipta. "Eh eh kenapa kalian?" Jessi tiba-tiba datang dan Arumi tak jadi berkacak pinggang lalu berlari pergi sambil meledek Dipta. "Kak Jessi, Kak Dipta suka sama kak Jessi!" teriak Arumi beberapa kali dengan kalimat yang diulang. Jessi pun menatap Dipta sedangkan Dipta menggelengkan kepalanya. "Biasalah dia suka godain gue, jangan percaya." Dipta merasa gugup sambil tangannya dilambaikan sejenak. "Oh gue kira beneran." "Emang kalau beneran kenapa?" "Oh jadi itu beneran." "Bukan begitu Jessi, semisalnya doang tadi." "Oalah, ya gue marah lah. Kita kan berteman, bisa-bisanya aja lo ada rasa sama gue. Gue hajar deh lo." Jessi mendelik menatap Dipta. "Iya kan kita sudah sepakat berteman terus." Dipta tertawa getir, hatinya seperti sehabis tersambar petir dan sangat sakit sekali hingga menimbulkan rasa sesak yang makin menusuk didadanya. "Eh eh lo kenapa?" tanya Jessi khawatir melihat Dipta yang sepertinya menahan rasa sakit didadanya. "Enggak papa, cuman tiba-tiba sakit gini mungkin lagi kecapekan hehe." "Ya karena lo selalu begadang sih jadinya kecapekan terus. Belajar boleh tapi jangan berlebihan gitu." Jessi tersenyum simpul sambil tangannya menepuk pundaknya Dipta pelan. "Bener banget hehe." Dipta terkekeh walau sebenernya merasa sedih sekali. Ucapan Jessi secara tidak langsung telah menolaknya padahal ia ingin sekali Jessi memandangnya sebagai laki-laki dan bukan temannya. "Ayo berangkat!" Ajak Jessi bersemangat. Telah sampailah mereka di sekolah dan kini berada di parkiran sepeda. "Kenapa sih lo gak mau naik bus?" tanya Jessi heran. "Lagian rumah kita deket sama sekolahan, ngapain juga naik bus selagi ada sepeda yang dinaiki gratis." Dipta turun dari sepedanya setelah Jessi turun terlebih dahulu. . "Ya gratis kan milik sendiri kecuali kalau nyewa pasti bayar." Jessi mengerucutkan bibirnya sebal. Dipta tertawa pelan seraya tangannya merapikan rambut Jessi yang berantakkan akibat terkena angin selama di dalam perjalanan menuju sekolah. "Selama naik sepeda juga, gue gak pernah datang terlambat sedangkan lo yang pernah diantar pakai mobil, sering datang terlambat." Dipta mencolek hidung Jessi sambil menggelengkan kepalanya pelan. Wajah Jessi begitu menggemaskan dimaya Dipta. "Gegara bangun kesiangan, biasanya gelud dulu sama Arumi sih di rumah terus kena omelan mama dan akhirnya semuanya jadi terlambat." "Salah sendiri, makanya kalau pagi-pagi jangan cari gara-gara." Dipta pun menggandeng Jessi, mereka berdua berjalan beriringan keluar dari area parkir khusus sepeda. "Seru aja gelud hehe. Oh ya tadi bahasnya bus lho." "Gue juga pernah naik bus kalau sepeda rusak." "Kenapa gak minta tolong ke tante lo, beliau kan tajir keluarganya." "Enggak, hidup gue sudah nyusahin dari kecil jadi selama gue bisa sendiri ya gue pengen usaha sendiri. Nantinya mau kos aja sih atau tinggal di apartemen." "Di apartemen aja lah, yang lebih bagus." "Gak enak, gak bisa interaksi sama sekitar." "Padahal perumahan lo itu sama aja kayak tinggal di apartemen." "Enggak juga, gue sering keluar rumah biasa kumpul sama orang-orang kok." "Ouh gitu ya, kok perumahan rumah gue berbeda." "Perumahan lo luas kali, makanya lo gak pernah tau. Lo aja mengurung di rumah mulu. Sesekali jalan-jalan gitu keluar rumah atau olahraga gih." "Capek ah olahraga mulu, badan gue sudah bagus hehe." Jessi menyengir kuda. "Iya ya si paling bagus badannya." Dipta terkekeh pelan. "Ekhem - ekhem berduaan ni ye." Seseorang datang menghampiri mereka dan menggoda kedekatan mereka berdua. "Apaan sih Anya baru datang, teriak-teriak bikin kaget aja." Omel Jessi pada temannya satu itu. "Lagian kalian tampak mesra banget pagi ini, mana gandengan pula." Anya menatap secara terang-terangan tangan Jessi dan Dipta bergandengan. Dipta salah tingkah sedangkan Jessi langsung melepaskan tangannya yang memang tidak sadar dirinya menggandeng Dipta begitu erat. "Yah dilepas." Ucapan Anya seperti mewakili isi suara hati Dipta. Nampaknya Dipta kecewa dan masih ingin menggandeng tangan Jessi namun Dipta pintar menyembunyikan rasa kekecewaannya. "Ck, Anya bikin orang-orang natap ke sini. Suaranya dipelanin." Jeesi geregetan pada Anya yang nada bicaranya selalu terdengar meninggi. "Hehe sudah kebiasaan." Anya menaik-turunkan alisnya. "Lo gak biasanya berangkat pagi, Nya." Dipta menatap Anya heran. "Iya sih kok tumben banget sih gue bisa berangkat pagi haha." "Kalian ini seringkali berangkat bareng," ujar Dipta menyindir dua temannya yang suka berangkat kesiangan. "Diam. Anak rajin gak diajak!" Anya dan Jessi kompak melototi Dipta sambil berkacak pinggang. "Kayak kenal itu kata-kata, lagi trend kan?" tebak Dipta. "Lo download aplikasi toktok ya?" "Disuruh kalian biar gue gak kudet," jawab Dipta yang sangat pasrah disuruh ini dan itu oleh mereka. "Haha bagus tuh, lo kan suka merekam dan ngedit. Nah bisa itu lo up ke aplikasi toktok sapa tau banyak yang suka dan lo bukan bisnis dibidang itu juga keren." Saran Anya pada Dipta. "Gue setuju sama saran Anya, up ja Dip. Lo juga suka buat video sinematik, pengikut lo entar tambah banyak dan bisa jadi seleb." Jessi menyahut ucapan Anya dan sangar menyetujui idenya Anya untuk Dipta. "Hadeh gue buat video gitu cuman jadi bahan gabut doang." "Iya deh, tapi malah lebih bagus banyak dilihat orang. Sudahlah posting saja itu video-video lo juga banyak." Anya tersenyum lebar menatap Dipta. "Oke deh, gue nurut aja apa kata kalian." Dipta menghela napasnya pelan sambil mengangguk pelan. "Haha baguslah kalau nurut, kan makin ganteng kalau lo suka nurut sama ide-ide kita." Anya menyenggol lengan Dipta dan tak berhenti menggoda Dipta. "Emang gue ganteng?" tanya Dipta dan ia tak pernah merasa ganteng pada dirinya sendiri. "Lo ganteng kalau tampilan lo berubah, gak jadi cowok culun begini," ucap Jessi yang mengomentari penampilan Dipta. "Gue harus merubah penampilan gue biar kelihatan makin ganteng?" "Terus kaca mata lo dilepas, tambah ganteng banget." Anya menambahi saran dari Jessi. "Gue gak bisa lepas kaca mata ini." "Pakai softlen." "Gak, gue dikira b*****g ntar." Dipta menggelengkan kepalanya pelan. "Siapa yang ngatain lo b*****g? Lo lakik begini dikatain bencong." Anya menaikkan lengan seragamnya ke atas dan tak terima temannya dihina b*****g. "Anya santai dulu." Jessi menurunkan kedua Anya yang baru saja berkacak pinggang. Posisinya seperti akan menantang ke orang. "Gak bisa santai gue kalau temen sendiri dihina dan yang ngatain lo, adik kelas yang sombong itu kan?" Napas Anya memburu dan tatapannya juga menajam. "Sudahlah, biarin aja mereka. Cuman emang gue gak mau pake softlen, gue takut mata gue kenapa-napa." Dipta mencoba memenangkan Anya yang tengaj emosi. "Masak lo diam saja sih dibully sama adik kelas dan dia itu anak dari temen om lo. Kenapa lo gak ngaduin dia, nantangin dia balik gitu." Anya berteriak kesal dan merasa geregetan pada Dipta yang memilih diam saja ketika dirinya dilukai oleh adik kelas. "Iya nih, kenapa lo diam aja sih Dip? Kenapa lo biarin mereka nyakitin lo? Mereka adik kelas yang semena-mena sama lo, ngapain juga lo takut sama dia. Lo juga donatur terbesar di sekolah ini. Lawan lah, gue ikut kesel kalau bahas ini karena Dipta suka diam aja." Jessi pun ikut menumpahkan kekesalannya pada Dipta yang terlalu diam ketika tubuhnya dilukai oleh adik kelas yang hobbynya membully. "Gue gak papa kok, mereka cuman iseng doang." Dipta menggelengkan kepalanya cepat. "Lo gak sembunyiin sesuatu dari gue kan?" tanya Jessi seraya kedua tangannya diletakkan di pundak Dipta dan menyuruh lelaki itu menatapnya balik. "Enggak kok." Dipta tersenyum dan menahan rasa ketakutannya yang mulai menjalar disekujur tubuhnya. "Tangan lo kenapa geter?" tanya Anya dan matanya memincingkan kecurigaan saat tak sengaja menatap tangan Dipta yang tengah bergetar. Mata Jessi turun dan memeriksa kondisi kedua tangan Dipta. Benar saja ucapan Anya kalau tangan lelaki itu tengah bergetar. "Tangan lo kenapa geter? Kayak orang ketakutan gitu," ujar Jessi dan ikutan memincingkan matanya menatap Dipta. "Enggak, gak papa. Kalian kenapa lihat gue kayak gitu?" Dipta menatap Jessi dan Anya secara bergantian. "Awas saja lo sembunyiin sesuatu dari kita. Gue sudah bilang berulang kali ke lo buat cerita apapun ke kita dan kita berusaha sebisa mungkin bantu lo keluar dari masalah lo itu." Anya bersedekap d**a dan menatap tajam ke Dipta. "Gue gak ada masalah apa-apa." "Oke." "Gue mau ke kelas duluan ya." Pamit Dipta pada mereka seraya menjauhi mereka berdua dengan berlari kecil. "Dip--" "Gak usah, biarin dia pergi!" Anya menarik tangan Jessi tatkala Jessi akan menyusul Dipta pergi. "Tapi kita harus bicara lagi sama dia, gue kayak ada firasat dia itu sembunyiin sesuatu dari kita." Jessi mencemaskan Dipta dan berbicara lebih lagi dengan temannya itu. "Dia sudah bukan anak kecil lagi dan pasti tau mana keputusan yang apa benar. Kita tidak usah memaksa Dipta untuk bercerita." "Tapi gue gak suka aja gitu kalau dia apa-apa memendam masalahnya sendiri, terus kita apa? Kita temannya apa bukan sih?" Jessi merasa sedih karena Dipta tak menceritakan keluh kesahnya kepada padahal jika saling mencurahkan isi hati mereka masing-masing pasti akan lega rasanya daripada dipendam yang kemungkinan bisa menyebakan rasa stress berkepanjangan. "Iya gue tau, gue juga gitu. Tapi kita gak boleh memaksa kehendak orang lain, biarin aja. Oke?" Anya memeluk Jessi sebentar dan menenangkan temannya itu. Jessi hanya mengangguk saja sebagai jawabannya. "Ayo ke kelas, gue anter." "Kelas kita kan sebelahan." "Haha masih fokus ternyata ya lo." Anya terkekeh pelan. "Iya lah fokus." Jessi mendengus sebal. "Eh gimana sama murid baru itu?" tanya Anya dan mencoba membahas hal yang lain supaya raut wajah Jessi tidak semurung ini. "Oh iya, gue belum ceritain soal kemarin ke lo." Jessi tersenyum lebar dan mulai menceritakan kejadian kemarin dengan sosok murid baru kepada Anya. Sedangkan di tempat lain... "Astaga." 'Hwek hwek' "Gue sudah bilang berulang kali ke lo, lo itu gak kuat minum masih aja nyoba minum." Felix berdecak kesal kepada temannya yang membuatnya berangkat siang hari ini. "Sorry, gue bener-bener terlalu terbawa suasana." Siapa lagi yang sedang muntah-muntah di pagi hari, kalau bukan Balder. Gara-gara pesta kemarin, Balder kesusahan melakukan aktivitas paginya seperti biasanya. Sebab merasakan tubuhnya yang sangat letih dan muntah beberapa kali. "Gak usah sekolah anj!" Sentak Felix seraya mendorong temannya sehingga Balder terjatuh ke bawah. "Kalau gue gak sekolah, nanti bokap ngamuk." Balder mendengus dan berusaha berdiri lagi tapi lagi-lagi jatuh karena saking lemasnya kondiai tubuhnya sekarang. Karena muntah, energinya terkuras habis. "Salah siapa itu? Salah lo sendiri kan, nonton gitu doang terus ngapain sampai mabuk segala." Felix ingin rasanya menendang temannya itu yang sangat keras kepala dan sulit menuruti ucapannya padahal jika temannya nurut pasti tidak akan terjadi begini. "Dibilang gue terlalu terbawa suasana." Balder malah duduk dibawah, baju seragamnya juga tampak banyak bercak tanah alias kotor. Padahal beberapa langkah lagi telah sampai di halte bus. "Kayaknya bus kita udah lewat ini, udah siang soalnya." Felix menatap jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. "Bolos aja yuk!" ajak Balder ke aliran sesat. "Gue hajar ya lama-lama, lihat lo makin bikin gue semangat buat hajarnya." . "Ampun jangan dong, anj!" umpat Balder karena Felix benar-benar menendangnya. Memang temannya itu sangat tidak berperasaan kepadanya. "Padahal kalau lo sakit, gue manjain lo. Eh kalau gue yang sakit gini malah lo tendang-tendang gue. Gak adil," ucap Balder tidak terima. "Oh lo gak terima? Lo ungkit-ungkit kebaikan lo itu?!" Felix kini berdiri menjulang tinggi tepat di hadapan Balder. "Eh enggak-enggak." Balder menggelengkan cepat dan berusaha dengan sekuat tenaganya untuk berdiri. Felix pun membantu Balder berdiri walau harus memukul kepala temannya itu terlebih dahulu. "Sialan ya lo!" Balder mengusap kepalanya dan mengumpati Felix berulang kali. "Gue sudah bilang, jangan bikin mood kasar gue bangun tapi lo malah buat suasana hati gue pecah begini." "Suasana hati lo pecah kan lo ngomel terus." Cibir Balder sambil terkekeh pelan. Felix mengabaikan Balder dan mencoba menenangkan suasana hatinya. Temannya itu sangat membuatnya tidak tenang di pagi hari ini. Sekasar apapun dirinya kepada temannya itu jelas tetap merasa khawatir mengetahui kondisi Balder sedang tidak baik-baik saja sekarang. "Kita naik angkot aja, ke rumah sakit." "Enggak deh, gue gak mau." Balder menggeleng dan raut wajahnya berubah ketakutan. "Biar lo gak muntah terus." "Besok pasti sehat deh, beneran." "Kalau lo keras kepala begini, gue biarin lo sekarat di jalan ya?" "Ck, iya ya." Akhirnya mereka berdua menaiki angkot menuju rumah sakit dan sewaktu tiba di rumah sakit, ada salah satu murid dari sekolahan mereka menatap mereka. "Lho kalian murid SMA Bangsal juga ya?" tanya orang itu yang berseragam dengan mereka berdua. "Iya," jawab Balder singkat dan tengah dibantu berdiri oleh Felix. Baldet tak bisa berjalan tegap lurua seperti biasanya dan tubuhnya saat ini juga agak membungkuk karena tak kuat rasanya berjalan lebih lama. "Lo Abra ya." Gadis itu membaca nama Abra yang tertera di name tag seragamnya. "Iya." "Sebangku sama Jessi kan lo, gue gak sengaja lihat sih waktu lewat di kelas lo." "Kenapa?" "Eh enggak papa sih, gue cuman memastikan saja." Gadis itu tersenyum, menatap Abra alias Felix dan Balder mendengus sebal karena yang dianggap tampan hanyalah Felix saja. 'Sebenernya gue ganteng kayak dia, cuman gue tercemar pil KB jadinya ya gini-gini doang wajah gue'--ucap Balde di dalam hatinya. "Gue minta tolong ya." Balder menarik tangan gadis itu yang akan pergi. "Minta tolong apa?" "Buatin surat izin lah." "Minta tolong tapi memaksa gitu kesannya." "Lo berani sinisin gue yang notabenenya temen deketnya Abra?" "Ck, iya ya." "Hehe." Balder terkekeh pelan seraya melirik Felix yang menatapnya tajam. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD