Part 30: Kehebohan Di Pagi Hari

3040 Words
Pagi harinya, samar-samar mendengar suara keributan dari luar rumahnya dan ada suara deruman mobil pula. "Hadeh siapa sih di luar rumah, apa tetangga baru beli mobil terus heboh gitu?" Sosok laki-laki yang masih rebahan di atas kasur dan males membuka matanya karena dirasa masih pagi buta. Ia merenggangkan otot-otot tubuhnya tapi tak membuatnya bangun dari tidurnya dan terus menggeliat mencari posisi tubuh yang nyaman saat tidur. Tok tok tok "Felix bangun, ada temenmu di luar rumah." Walau suara pria paruh baya itu terdengar cukup pelan namun Felix masih dapat mendengar suaranya. "Balder kah, Pak?" tanya Felix dan masih berusaha membuka matanya yang sangat berat sekali dibuka. "Iya ada Balder sama Jessi." "Astaga memangnya ini sudah jam berapa sih kok mereka datang ke rumah gue." Felix meraba-raba sekitar tempat tidurnya dan menemukan ponselnya yang berada di bawah bantal miliknya yang lain. "Ha udah jam enam?" Felix mendelik seketika dan menepuk jidatnya karena lupa memasang alarm bangun pagi seperti biasanya. Buru-buru Felix berdiri dan juga masih menyempatkan untuk meneguk air putih hingga tandas. "Teman-temannya kayak mau ikut demo Lix!" "Demo?" Felix mengernyitkan dahinya lalu membuka pintu kamarnya dan melihat Seno sudah menyiapkan sarapan paginya. "Lihat aja di depan rumah. Ramai sekali, sampai-sampai banyak tetangga ke rumah kita cuman pengen lihat mobil mewah." "Maksudnya gimana, Pak?" "Sudah, kamu ke depan sana! Ini sarapanmu, bapak taruh di meja depan kamarmu ya." "Iya, Pak. Aku mau ke depan dulu." Felix melangkahkan kakinya cepat ke luar rumah. "Apa-apaan ini?" Felix membulatkan matanya melihat sebuah mobil mewah Lamborghini Aventador berwarna kuning terparkir indah di depan halaman rumahnya yang lumayan luas dan banyak warga datang ke rumahnya hanya demi memotret mobil mewah tersebut. Felix menelan salivanya pelan, berjalan pelan menghampiri dua temannya yang berada di dalam mobil dan atap mobil itu juga dalam keadaan terbuka. "Jadi ini yang dimaksud Balder syaratnya?" "Iya, dia pengen naik mobil mewah." Jessi tersenyum dan mengangguk antusias. Ia melirik Balder yang mengacungkan jempolnya mantap ke arahnya. "Betul gaes, akhirnya woy bisa merasakan rasanya jadi orang kaya beneran." Balder memekik kegirangan dan menyuruh warga sekitar yang mengenalinya itu memotretnya. "Gue orang kaya." Balder mengenakan kaca mata mewah milik Jessi berwarna hitam. Felix menutup mulutnya dan tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia melihat penampilan Balder yang baru pertama kali ini, mengenakan seragam begitu rapih sekali dan rambutnya dalam keadaan rapi juga. "Tampilan lo juga berubah drastis." Felix menggelengkan kepalanya dan sekarang berada di sampingnya Balder. "Disuruh Jessi hehe." "Iya nih gue suruh tampil sesuai keinginan gue juga dan berharap selalu rapih kan enak dipandang." "Terus lo yang nyetirin?" tanya Felix pada Jessi. "Iya dong, mana mungkin Balder." "Kalau gue yang nyetir, gue gak sampai ke rumah lo paling udah di rumah sakit." Balder mendengus sebal. "Lo bisa nyetir mobil?" tanya Felix tak percaya pada Jessi. "Iya, gue bisa nyetir mobil." "Keren parah sih Jessi." Balder tak bisa berhenti memuji Jessi yang sangat kerena sekali dimatanya. "Lo gak percaya, Bra?" tanya Jessi balik ke Abra. "Emm percaya aja." Abra mengangguk. "Nanti gue setirin, lo siap-siap gih. Lo belum mandi kan?" Jessi tersenyum miring sambil menaik turunkan alisnya melihat tampilan Abra baru bangun tidur. "Emm." Abra melihat penampilan dirinya sendiri di kaca mobil. "Duh." Gumam Abra karena penampilannya sekarang sangat berantakkan sekali ditambah rambutnya yang tidak aturan dan wajah bantalnya juga. Abra mengenakan celana pencek pendek selutut berwarna abu-abu dan kaos tanpa lengan berwarna putih. "Gak usah panik, lo tetep ganteng kok." Jessi tersenyum dan membuang mukanya ke samping. Ia salah tingkah ditatap tajam oleh Abra. "Ekhem ekhem." Balder menggoda mereka berdua dan sudah ketebak jelas mereka diam-diam dekat di belakangnya. Abra bergegas masuk kembali ke dalam rumah dan menyiapkan dirinya karena belum siap apa-apa. Sedangkan Balder dan Jessi tetap berada di luar rumah. Jessi duduk di latar rumahnya Abra sambil melirik ke sekitar halaman rumah Abra, lumayan banyak orang yang datang kemari hanya ingin melihat mobilnya. Jessi mengeluarkan mobilnya yang jarang dipakai dan tentu tak semudah itu mendapatkan izin dari papanya. Jessi tersenyum sambil menggelengkan kepalanya memperhatikan Balder yang sebahagia itu hanya ingin merasakan rasanya berada di dalam mobil mewah. Disisi lain pula ada kesadaran pada diri Jessi bahwa kebahagiaan orang itu berbeda-beda. Bahagia yang kecil dimata kita belum tentu kecil dimata orang lain. Setelah beberapa orang sudah membubarkan diri dan puas juga bisa melihat mobil mewah sedekat ini. "Eh gue caranya gimana mau keluar?" tabya Balder panik pada Jessi. "Ya ampun." Jessi pun menghampiri Balder dan memberitahukan cara membuka mobik kepada Balder sampai laki-laki itu benar-benar paham. "Bagus banget sih." Balder mengeluarkan ponselnya dari sakunya dan mulai memotret mobil miliknya Jessi. "Nanti beli." "Ya itu kan lo bisa beli tinggal minta ke orang tua lo, lha gue? Palingan cuman mimpi sih." Balder menghembuskan napasnya pelan. "Di masa depan, lo bakal sukses dan bisa beli mobil mewah keluaran terbaru. Yakin deh, jangan putus aja gini." Jessi menepuk pundak Balder. "Emang gue bakal sukses kah? Orang bilang, tampang berandalan kayak gue sangat kecil kemungkinan untuk jadi orang sukses." "Kenapa lo jadi orang pesimis cuman karena omongan orang sih? Justru ketika lo diremehin orang, lo harus tunjukin ke orang yang remehin lo bahwa lo bisa sukses suatu saat nanti dan bungkam semua omongan lemes mereka. Semangat dong." "Baru kali ini gue denger pencerahan terbaik seumur-umur hidup gue soalnya orang tua aja cuman pasrah doang dan yang penting gue kerja, dapat duit." "Meski mereka begitu, orang tua lo sebenernya juga berdoa dan berharap lo bisa sukses secara lo itu anak pertama. Harapan pertama di keluarga lo." "Makin semangat deh, soalnya disemangatin sama cewek secantik lo." Balder mengedipkan salah satu matanya. Jessi tersenyum lebar hingga matanya menyipit. "Eh btw, mana cukup kita naik satu mobil? Kursinya cuman dua aja." Balder menjetikkan jarinya ketika baru mobil yang dibawa hanya satu saja. "Nanti ada mobil lagi." "Siapa? Emang mobilnya sama kayak punya lo?" "Sama kok, beda warna aja. Gue warnanya kuning, kalau dia warnanya merah." "Beneran? Punya siapa?" tanya Balder sangat penasaran sekali. "Punya temen gue, tenang saja bakal kesini kok dia. Dia masih dalam perjalanan." Jessi melirik jam tangan yang melingkar indah ditangannya. "Buset dah, temen lo kaya-kaya semua perasaan." Balder menggaruk tekuknya yang tidak gatal. "Karena orang tua mereka itu temen bokap gue. Temen bokap gue banyak." "Gak nyangka sih, tapi emang kenyataannya rata-rata di sekolah kita itu anak orang kaya semua. Gue kayaknya orang miskin yang nekat sekolah disana." "Disana ada beasiswa buat anak baru yang lolos tes masuk. Makanya semangat belajar, biar dapat beasiswa dan sekolah kita banyak yang sudah dikenal banyak kampus di dalam negeri maupun luar negeri." "Sulit sih, musuhnya banyak. Otak gue yang gak nyampe. Gue disekolahin sama pemilik bengkel, tempat gue kerja sama Abra juga. Tapi kayaknya Abra ambil beasiswa, dia cerdas banget deh." "Wah pemilik bengkel, tempat lo kerja baik banget sampai lo dibiayain. Gue gak kaget lagi tapi terkadang gak percaya, Abra secerdas itu dan dia mudah sekali paham jadi orang. Heran deh gue sama dia, dikata sempurna tapi manusia tidak ada yang sempurna." "Iya dia dari SD, memang cerdas banget." "Lo temanan dari SD kah?" "Emm kita bertemu waktu kita sama-sama masuk SD dan dia jadi murid baru. Karena gue orangnya gak bisa diam dan suka usil eh tiba-tiba malah jadi temanan sama dia yang suka mengurung diri, diam dan gak ada temen. Suka kasian sih lihatnya dulu, untung dia ketemu gue jadi dia punya temen haha." Balder berkacak pinggang dan menceritakan sosok Abra di masa kecilnya. "Oh gitu, gue kira kalian temenan sudah dari sebelum memasuki sekolah." 'Dia sama seperti Felix, suka mengurung diri dan harus diajak dulu baru dia mau berteman. Lhoh gue malah mikirin Felix, jadi rindu dia'---batin Jessi. "Jes, malah ngelamun lo." "Ah iya, gue tadi mikir sih dan teringat sesuatu." "Apa itu?" tanya Balder seraya mengernyitkan dahinya heran tapi ia juga teringat sesuatu. 'b**o gue, hampir aja keceplosan. Pasti lah Jessi tiba-tiba ingat Felix kan Felix itu Abra'---pikir Balder dan meruntuki dirinya sendiri. "Bukan apa-apa." Jessi menggelengkan kepalanya pelan. "Gue lama gak?" Abra sudah berdiri di belakang mereka dan membuat mereka terkejut. "Ya Tuhan, lo ngagetin gue." Balder langsung menghadap ke belakang begitu juga dengan Jessi. "Kaget gue ya ampun." Jessi mengusap dadanya yang berdebar karena benar-benar terkejut sekali. "Sorry, gue bikin kaget kalian." "Lo sudah selesai?" tanya Balder pada Abra. "Iya, bokap gue juga titip salam ke kalian. Beliau lagi sibuk banget jadi gak sempat menemui kalian." "Alah gak masalah kalau gue, gue peham sama bokap lo yang pekerja keras itu." Balder tersenyum simpul. "Iya Bra, gue juga paham sama pekerjaan bokap lo dan bentar ya, nunggu temen gue datang. Soalnya mobilnya cuman cukup dua orang aja. Jadi nanti biar Balder sama temen gue dan gue sama lo." Jessi pun berdiri di samping Abra. "Ekhem yang sambil pacaran." "Kita gak pacaran kok." Jessi memasang muka meledek Balder. "Gue ada sesuatu buat lo," ucap Abra saat Jessi menatapnya. Abra. Membuka tasnya dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Apa coba?" tanya Jessi tidak sabaran. Sebuah kotak bekal berada di hadapannya dan Jessi tersenyum lebar sembari menerima pemberian dari Abra. "Waahh pasti enak ini." Kotak bekal berbahan plastik dan transparan membuatnya tau apa isi kota bekal milik Abra. Nasi goreng terdiam aroma wangi yang menggugah seleranya dan makanan itu adalah hasil masakan Abra sendiri. "Lo suka?" Sebenernya Abra merasa malu tapi ia berusaha bersikap biasa saja untuk menutupi rasa malunya karena hanya makanan sederhana ini yang bisa ia berikan kepada Jessi. "Suka dong, makasih Abra." Jessi reflek memeluk Abra dan Abra sendiri juga ikut senang mengetahui respon yang diberikan oleh Jessi. "Kalau buat gue mana?" Tangan Balder mengadah di depan Abra dan Abra hanya menepis tangan temannya itu. "Gak ada, lo bisa beli sendiri." Balder langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi sedih. "Nanti sama Jessi." Jessi tidak tega melihat Balder sedih dan Jessi telah menganggap Balder adalah temannya sejak kenal dari awal. "Gak usah, Jes. Buat lo aja." Balder tersenyum menatap Jessi namun saat matanya bertemu dengan mata Abra berubah menjadi tatapan sinis. Dalam benak Abra, ingin rasanya tertawa dan memang sengaja memancing temannya itu marah tapi Balder memiliki banyak stok kesabaran dibanding dirinya. "Nih buat lo." Abra merogoh tasnya lagi dan memberikan kotak bekal berisi roti goreng. "Beneran nih? Katanya lo cuman buatin Jessi doang." Tentu Balder langsung menerima kotak bekal dari Abra. "Lo gak suka sarapan nasi goreng," ujar Abra yang sudah tau betul apa yang tidak disukai oleh Balder. "Hehe hapal banget lo tentang gue." Balder terkekeh pelan sembari memasukkan kotak bekal buatan Abra ke dalam tasnya. "Kan dia temen lo dari kecil, pasti tau lah." Jessi pun menyahut. "Eh bener juga ya." Balder menggaruk rambutnya yang tidak gatal dan baru sadar kalau kebiasaan seseorang ketika bersama temannya sedari kecil pasti ada aja hal yang diketahuinya meski sekecil apapun itu. "Hadeh gimana sih Balder." Jessi merasa gemas sendiri pada Balder. Balder yang merasa ditatap tajam oleh Abra pun sedikit menjaga jaraknya dengan Jessi. "Jangan terlalu deket sama gue, Jes!" "Kenapa?" tanya Jessi bingung. "Orang yang di sebelah lo itu cemburu lihat lo deket banget sama gue," jawab Balder. "Iyakah?" Jessi mencari seseorang yang dimaksud Balder di sekitarnya. "Lo ngapain?" tanya Abra pada Jessi yang celingukan. "Gue nyari orang yang dimaksud Balder tadi. Siapa sih seseorang yang cemburu?" Balder reflek menepuk dahinya sendiri dan meninju ke udara. "Anying lah ni cewek b**o amat astagfirullah." Balder berusaha menahan amarahnya karena Jessi tidak memahami ucapannya sama sekali. "Lo kenapa?" Dengan wajah polosnya, Jessi menanyakan kondisi Balder sekarang. "Haha gak papa." Balder tertawa sumbang lalu ia melirik Abra yang sepertinya tengah menahan tawanya agar tak meledak. "Jadi kita berangkat sekolahnya kapan?" Ketika suasan menjadi hening, Abra membuka suaranya dan menatap mereka berdua bingung secara bergantian. "Eh astaga gue lupa kalau temen gue berada di dalam perjalanan, aneh aja sampai sekarang belum juga sampai." Jessi baru sadar kalau temannya sedang dalam perjalanan menuju rumahnya Abra tapi temannya tidak mengetahuinya. Jessi pun berusaha menghubungi temannya dan tidak lupa mengecikkan volumenya sembari melangkah menjauhi dua laki-laki tersebut. "Kira-kira siapa ya cewek yang bakal semobil sama gue?" Balder sangat penasaran sekali dan tidak sabar menaiki mobil mewah lagi kali ini ia nanti semobil bersama temannya Jessi. Balder melirik Abra yang malah membaca buku dan makin membuatnya kesal. "Ya ampun Bra, santai aja deh kan bisa nanti belajarnya. Kita refeshing bentar, naik mobil mewah haha kapan lagi kan?" Balder menutup paksa buku yang dibaca Abra sekarang. Namun Abra tetap membukanya kembali dan mulai melanjutkan materi yang sedang ia baca. "Abra, kok lo bisa b aja sih sama mobil mewah gini? Kayak gak ada antusiasnya sama sekali deh, kapan kita bisa sefrekuensi?" Balder frustasi karena saat dirinya menunjukkan betapa senangnua bisa merasakan mobil mewah. Akan tetapi, Balder tidak tau bahwa sebenernya Abra sudah sedari kecil merasakan menaiki mobil mewah jadi itulah yang membuatnya merasa biasa saja ketika bertemu mobil mewah. "Cuman mobil doang kan?" "Astaga respon lo bener-bener deh kita bukan yang teman." "Lo temen gue?" "Si anying lo, pengen gue sepak sampai tembus ke langit." Balder sudah lelah berdebat dengan Abra yang benar-benar tidak satu pemikiran dengannya dan gaya temannya itu malah kelewat santai di depan mobil mewah seharga milyaran tersebut. "Nah itu temen gue sudah datang!" pekik Jessi menyambut kedatangan temannnya ke rumah Abra. "Lhoh kok ada dia disini?" Sebelumnya Balder sudah memasang wajah seramah mungkin namun saat seseorang itu datang dan dia telah mengenalinya seketka raut wajahnya berubah dratis. "Anya!" Jessi menggandeng Anya setelah Anya keluar dari mobil mewahnya lalu mereka berjalan barengan menghampiri Abra dan Balder. Tidak hanya Balder saja yang terkejut melainkan Anya. Anya merasa geram bertemu Balder lagi setelah kemarin terlibat cek-cok begitu panjang dan lebar serta berharap lebih tidak bertemu kembali. Nyatanya Tuhan berkata lain, mereka dipertemukan lagi dan lagi. "Ada apa sih kalian? Kan kita harus berteman dan jangan sampai musuhan begini." Jessi mencoba melerai mereka dan menenangkan emosi mereka juga yang tidak stabil. "Berteman? Sama dia? Idih ogah lah gue." Balder berkacak pinggang. "Yee lo kira lo doang yang kagak mau, gue juga kali. Gue kagak mau berteman sama lo, titik!" "Astaga kalian kok malah begini sih? Ayolah jangan musuhan, kita harus berteman dengan baik dan saling support satu sama yang lain." Jessi makin panik dan berusaha mencoba menyatukan mereka supaya mau berteman. "Enggak, Jes. Gue bener-bener gak mau sama dia ya, dia itu bikin mood gue tambah parah hancurnya." Anya menggelengkan kepalanya dan membalikkan badannya. "Anya please, ayolah bantu gue!" Jessi menahan temannya itu agar tidak pergi. "Biarin aja deh Jes, gue juga gak mau sama dia." Balder menghembuskan napasnya panjang. "Gak, kita harus berangkat sekolah bersama." "Dia gak mau jadi ya gak usah, Jes. Gak usah dipaksa." "Gue bisa naik bis, kalian duluan aja." Abra mengambil keputusan ketika perdebatan antara temannya dan orang lain makin memanas. "Eh enggak, jangan pergi dulu ya Tuhan semuanya kenapa sulit diatur kalau kerjanya di kerjaan begitu." "Mau gimana lagi tidak ada yang mengalah." Abra tidak nyaman terus mendengar keributan dan juga ke ibukku. "Ya deh ya, gue aja yang mengalah karena gue lebih waras dibanding dia." Anya mengangkat tangannya dan menunjukk diri sendiri lalu ke Balder. "Maksud lo, lo ngatain gue gila?" Balder berkacak pinggang. "Sudah, sudah deh kalian jangan berantem terus." Jessi menghentakkan kedua kakinya kesal. "Tapi dia ngatain gue, jelas gue gak terima lah." "Lo duluan lah yang cari gara-gara ke gue." "Gue gak bakal cari gara-gara kalau tatapan lo itu ramah ke gue." "Kok jadi nyalahin gue sih." "Balder, bisa ngalah?" Abra menepuk pundak temannya. "Gak bisa mengalah kalau sama cewek garang begini." "Masuk ke mobilnya." Abra menunjuk mobil Anya melalui matanya. "Enggak deh, gue naik bus aja." "Gak ada bus jam segini, udah berangkat." "Ck, gue gak mau." Balder menggeleng cepat. " Atau gue aduin ke Pak Amin kalau lo mabuk-mabukan sewaktu dikasih libur kerja." Pak Amin adalah pemilik bengkel sekaligus orang yang berjasa penuh pada kehidupan Balder selama ini dan menganggap Balder seperti putranya sendiri. Tanpa memprotes lagi, kini Balder sudah berada di dalam mobil dan Jessi bisa bernapas lega. "Anya, lo bisa gak buat sabar dikit aja. Ayolah berteman sama dia, dia baik kok." bujuk Jessi pada Anya saat sebelum Anya memasuki mobilnya. "Berteman? Sama dia? Ogah! Dia itu cowok terngeselin menurut gue." "Sabar please sabar, gue mohon banget sama lo." Pinta Jessi sembari mengusap punggung Anya supaya emosinya bisa menurun perlahan-lahan. Anya tak kuat melihat Jessi sampai segitunya memohon kepadanya untuk bersabar menghadapi sikap Balder yang menyebalkan menurutnya. "Iya ya." Anya mengangguk pasrah. Selanjutnya Abra dan Jessi masuk ke dalam mobilnya Jessi. "Temen gue mudah emosian." "Sama aja kayak Anya, dia juga mudah emosi tapi dia baik kok. Cuman nunggu waktu aja mereka bisa berteman baik." Jessi menoleh sekilas ke Abra. "Kayak gue yang pengen ngajak lo berteman biar deket begini juga butuh waktu." Lanjut Jessi mengatakannya. Abra menoleh, menatap Jessi fengan tatapan yang sulit diartikan. "Apa alasan lo pengen banget berteman sama gue?" tanya Abra heran. 'Karena disetiap gue natap lo lama, gue jadi keinget temen masa kecil gue dan yakin kalau temen gue itu masih hidup'--jawab Jessi di dalam hatinya. "Ya pengen aja ngajak lo berteman." "Masih banyak cowok lain yang tentu mau berteman sama lo, gak sampai susah payah begini ngajak gue berteman." "Karena gue nyamannya temenan sama lo, lo yang cuek begini bikin gue seneng aja." "Kata lo sendiri gak mau gue cuekin, giliran cuek dibilang bisa bikin seneng." Abra mengernyitkan dahinya tak paham. "Maksudnya kalau temenan sama cowok lain, dia mudah suka sama gue dan ngajak gue pacaran padahal gue pengennya temanan." "Oh termasuk temen lo itu? Yang tampangnya cupu." "Heh jangan bilang gitu ah, temen gue gak cupu kok." Jessi mendengus sebal sedangkan hati Abra memanas karena Jessi lebih memihak ke Dipta. "Kalau Dipta memang temen gue dari kecil dan tau banget soal gue," lanjut Jessi menjelaskannya. "Bisa juga dia suka sama lo, tapi dia memilih menyembunyikannya karena takutnya dia itu lo gak mau berteman sama dia lagi." Setelah mengatakan itu kepada Jessi, Abra langsung tersadar sesuatu. 'Kok gue jadi begini, gue jadi banyak bicara. Tapi gue gak suka aja sama hubungan mereka karena dia suka sama Jessi. Argh gue bingung sumpah'--Abra memekik di dalam hatinya. "Enggak mungkin kalau Dipta suka sama gue, mungkin kata suka lebih ke arah suka berteman sama gue. Bukan lebih dari berteman." Jessi tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Abra memilih diam dan kembali ke sifat aslinya yaitu acuh tak acuh oleh sekitar. Ia takut membuat Jessi tidak nyaman jika ucapannya diteruskan. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD