Part 29: Asher Si Ambisius

3107 Words
'Sal kata lo kemarin, hari ini lo bakal pulang ke Indonesia?' "Iya gue bakal pulang, kenapa sih kalian ini terus tanya soal kepulangan gue." 'Kita udah gak sabar mau balas dendam sama bocah murid baru itu, Sal." Faisal memijit keningnya pelan, masalah keluarganya saja sudah memusingkan ditambah lagi teman-temannya yang menyuruhnya untuk memberi pelajaran si murid baru tersebut. "Kenapa gak kalian sendiri aja yang nyerang itu bocah, kalian banyak dan dia itu cuman seorang diri. Gak becus gak bisa ngeroyok tuh bocah." 'Kita pernah cerita kalau bocah itu pernah lawan kita dan kita kalah, apa lo lupa?' "Ah gue pusing, gue ada masalah disini." 'Ya deh, kita tetep nunggu lo balik.' "Ya ya." Faisal mematikan teleponnya secara sepihak lalu mengacak-acak rambutnya asal hingga tampak berantakkan. "Faisal." "Hmm?" Faisal tengah duduk di ruang tamu sendirian dan saat baru saja selesai berteleponan dengan temannya, seseorang berdiri di depannya. "Tidak sopan kah kamu cuman bilang hmm saja ketika daddy manggil kamu." "Apa lagi sih Dad? Aku itu capek, pusing kepalaku. Apalagi Daddy sama Mommy tiap hari berantem." Tiba-tiba Asher meletakkan beberapa buku tentang menjadi pengusaha yang sukses dan bisnis di meja depannya. Faisal yang melihat buku-buku sudah pusing duluan dan mau pecah rasanya kepalanya sekarang. "Percuma Daddy kasih aku berapa banyak buku-buku tentang kerjaan, tetap tidak akan aku baca dan bakal aku jual. Lumayan kan dapat duit?" Faisal terkekeh pelan. Plak' Tamparan telak mengenai pipi Faisla hingga membekas telapak tangan Asher kemerahan dipipinya. Faisal memegang pipinya lalu berdiri dan menatap tajam ke ayahnya. "Kurang ajar kamu berani bilang begitu di depan daddy!" sentak Asher setelah menampar putranya. "Iya memang aku kurang ajar, Dad. Tampar aja aku tampar aja!" teriak Faisal yang makin berani pada ayahnya sendiri. "Daddy tidak habis pikir sama otakmu itu yang dangkal sekali. Tidak taat aturan dan selalu berantakkan tentang apapun itu. Daddy begini karena peduli kepadamu, mengapa sesulit itu kah menuruti keinginan daddy?" Asher sebenernya tidak tega menampar putranya tapi ia sudah dilanda emosi saat Faisal begitu berani kepadanya. "Aku juga tidak habis pikir sama otaknya Daddy--" "Beraninya kamu bilang begitu, Faisal!" teriak Asher seraya tangannya terangkat ke atas. Terlihat urat-urat dilehernya menandakan betapa emosinya dirinya sekarang. "Ada apa ini?" Luna terkejut mendengar teriakan Asher dan ia berjalan cepat menuju ruang tamu hotel yang disewanya. "Mas, apa-apaan mas mau mukul putra kita?" Mata Luna membulat lalu menatap tajam ke Asher dan menurunkan tangan suaminya yang diduga akan menampar Faisal. "Lihatlah putramu begitu beraninya kepadaku, aku menasehatinya tapi dia menirukan ucapanku dan menatap tajam ke arahku." Suara Asher terdengar frustasi, frustasi menghadapi sifat putranya yang sulit diatur dan selalu melawannya. "Pergilah Sal, kembalilah ke kamarmu!" Perintah Luna. "Enggak! Dia harus tetap disini!" Asher mendorong bahunya Faisal membuat Faisal terduduk di sofa. "Jangan bersikap kasar pada Faisal!" "Dia memang pantas dikasari." "Mendidik anak dengan cara yang kasar itu salah." "Aku sudah memperlakukan dia dengan lembut tapi makin kesini kelakuannya menjadi-jadi, apa kamu tidak capek juga mendidik anak cuman satu ini sudah menguras energi begitu banyak?" "Mengapa kalian tidak punya anak lagi selain aku? Aku benar-benar muak tentang bisnis, bisnis dan bisnis. Itu bukan keinginanku sama sekali," ujar Faisal sembari menunjuk buku-buku yang tergeletak di atas meja. "Tapi itu masa depanmu, siapa yang bisa mengganti posisi daddy suatu saat nanti? Kedepannya tidak mungkin daddy terus, apa gunanya daddy punya anak kalau tidak menjadi pengganti daddy nantinya. Masa depanmu juga terjamin dan tidak seterusnya duniamu ini soal game terus, Nak." "Terserah aku, ini hidup juga hidupku bukan hidup Daddy. Daddy terlalu mengatur kehidupanku dan aku masih butuh main." "Dengerin ucapan daddy---" "Cari anak daddy yang hilang itu, aku tidak tertarik sama sekali sama pekerjaan Daddy! Daddy juga punya anak lain kan? Kenapa harus aku?" Faisal baru ingat, ia memiliki seorang kakak namun kabarnya menghilang dari rumah. "Dia sudah tidak ada, dia sudah meninggal. Kalau dia ada, dia yang menjadi pengganti daddy." Suara Asher perlahan terdengar pelan dan rasanya berat mengatakannya lalu melirik Luna. Sedangkan Luna menggelengkan kepalanya dan sorotan matanya juga menyiratkan sesuatu. "Kenapa dia meninggal? Bukankah tidak ada kabar soal dia, aneh sekali. Daddy langsung menyimpulkan kalau dia meninggal." Faisal terkekeh pelan. "Sudah Faisal, jangan membahas yang lain. Jangan urusi tentang kakakmu, itu urusan daddymu dengan istri pertamanya." Luna memegang pundak Faisal dan membelai bekas tamparan dari Asher yang masih membekas dipipi putranya. Itu membuat hati kecilnya sedih, ia tak rela anaknya dikasari tapi Asher sering kali menampar Faisal. "Aku membahas dia karena biar dia aja yang meneruskan perusahaan Daddy, bukan aku. Aku benar-benar tidak tertarik, Mom. Aku capek harus bilang ini berulang kali, mengapa kalian jahat kepadaku dan memaksaku terus-terusan. Aku capek." Faisal menepis kedua tangan ibunya dan melenggang pergi dari hadapan orang tuanya. "Faisal!" teriak Luna berulang kali dan ketika akan menyusul putranya, Asher menahan pundaknya. "Sudahlah, ngapain kamu mengejar anak tak berguna itu." "Tak berguna apa ha? Dia anak yang berguna." "Sudah, jangan mengelak soal anak kita yang seperti itu. Aku juga capek membohongi publik berulang kali." Asher memegang keningnya. "Lagian mengapa juga dulu Felix selalu ditunjukkan ke publik dan bocah itu mempelajari banyak hal tentang bisnis diusianya yang masih kecil. Sekarang banyak yang menanyakan kecerdasan putraku dan putraku makin tertekan kamu tuntut menjadi anak sepintar Felix. Ingat mas, mereka berbeda." Luna mengakui kalau putranya kalah cerdas dibanding dengan Felix sebab sudah banyak sekali prestasi yang mengagumkan kedua orang tuanya di umurnya yang masih kecil. Oleh karena itu banyak wartawan yang menanyakan soal kecerdasan di diri Faisal dan berhadap Faisal sama saja seperti Felix. Felix memang sedari kecil ditunjukkan ke publik dan suka sekali menjawab pertanyaan dari para wartawan setiap Felix ikut ayahnya kerja. Sampai sekarang pun wartawan sering menanyakan Felix kepada Asher saat Asher mengadakan pertemuan besar dan banyak wartawan yang datang ke acara tersebut. Itulah yang membuat Asher berharap besar kepada Faisal supaya banyak orang yang lebih mengenali anak kandungnya sendiri. "Argh!" Asher duduk di sofa dan memukul kepalanya. Ia benar-benar kacau saat ini karena banyak hal juga yang dipikirkan terutama Faisal. Luna juga ikut duduk di samping suaminya sembari mengusap pundak Asher, mencoba menenangkan emosi suaminya. "Aku tau mas berharap besar pada Faisal, tapi bisa nanti saja." "Nanti terus kapan mulainya Lun? Jelas-jelas putra kita tidak tertarik sama sekali menjadi pembisnis atau pengusaha. Padahal dia akan menjadi penerusku juga dan dia tidak memiliki pegangan sama sekali." "Aku yakin nanti putra kita bisa berubah pikiran, lagian siapa lagi kalau bukan putra kita?" "Orang tuaku pasti akan menyuruhku untuk mencari Felix. Penerusku harus ada." "Bukankah katamu dia meninggal, aneh saja dia masih hidup sampai sekarang." "Aku juga tidak tau dan tidak rela kalau yang menjadi penggantiku itu Felix bukan anak kandungku sendiri. Andai saja waktu itu aku tidak melanjutkan mengurusi perusahaan milik kakakku pasti tidak akan begini akhirnya." "Jangan keras-keras bahas ini mas, nanti kalau Faisal dengar pasti dia akan bahas ini dan bisa jadi boomerang bagi kita mas." Bisik Luna sambil melirik ke kanan dan ke iri. Takutnya Faisal masih ada di sekitar ini dan mendengar percakapannya dengan Asher. "Kamu tau sendiri IQ Faisal seberapa, dia tidak pernah belajar, nilai selalu anjlok, tidak pernah mendapat ranking, aku selalu dipanggil BK karena kelakuannya. Delmon selalu meneleponku karena Faisal suka usil ke ponakannya Freya. Aku malu sebenernya, tapi aku tahan demi anakku dan anakku malah makin mempermalukanku." Asher mengusapkan wajahnya pelan. "Kita harus sabar menunggu, aku yakin nanti Faisal bisa jadi anak yang rajin belajar dan membanggakan kita." "Sampai kapan? Dia sekarang saja benar-benar tidak menginginkan posisiku sama sekali dan selalu membuang buku-buku yang aku berikan. Selalu keluar rumah ketika waktunya les dan tidak mengikuti satu pun ekstrakulikuler di sekolah padahal wajib. Tiap tahun selalu aja aku dipanggil." "Aku tidak tau waktunya kapan dia bisa belajar lebih baik dan mendapat nilai yang bagus. Tapi yakinlah nanti anak kita bakal pintar dan sesuai keinginanmu." "Seyakin itu kah kamu?" tanya Asher sambil tersenyum miring dan tidak yakin sama sekali pada Faisal jikalau Faisal bisa berubah. "Iya, Mas. Aku yakin sekali putra kita bakal berubah jadi kita harus bersabar lagi." "Kalau tidak? Kita harus bagaimana?" "Jangan bilang begitu, jangan ragukan Faisal." "Iya aku paham apa yang kamu maksudkan itu. Tapi semisal kalau hal itu tidak benar-benar terjadi, kita harus bagaimana? Apakah aku harus kasih perusahaan ke orang secara cuma-cuma? Aku tidak mau perusahaanku dipegang oleh keluargaku yang lain juga. Aku takut di masa depan, tidak ada yang menggantikan posisiku. Aku berpikir ke masa depannya gimana bukan masa sekarang. Jika sudah ada persiapan barulah aku bisa tenang tanpa memikirkan siapa yang menggantikan posisiku. Kita tidak tau pula kedepannya gimana ditambah lagi usiaku makin menua. Kematina juga tidak ada yang tau, kalau posisiku benar-benar kosong pasti orang tuaku ikut campur. Lalu bagaimana denganmu dan Faisal di masa yang akan mendatang jika tanpa aku? Kamu tau sendiri kan orang tuaku tidak suka padamu." "Aku juga bingung, Mas. Aku juga sama, tidak ingin perusahaan itu diganti pemilik oleh orang lain. Aku berharapnya kamu terus hidup, jika kamu mati pun aku tetep ingin mati juga. Aku gak bisa hidup tanpa dirimu, Mas. Aku mohon jangan membahas soal kematian. Aku yakin pasti ada jalan keluarnya dari permasalahan ini." "Aku juga takut kalau aku mati duluan, aku mikir masa depanmu dan anak kita kedepannya gimana. Mau bagaimana pula keadaanya, aku ingin putra kita mendapatkan pendidikan yang bagus dan bisa menjadi pegangan hidupnya nanti. Tapi lihatlah sekarang, Faisal benar-benar mengabaikan itu semuanya dan seolah hidup hanya numpang untuk main-main saja. Disisi lain banyak sekali orang terutama wartawan terus menanyakan Felix. Jika Felix terus bersamaku sampai sekarang mungkin aku tidak secemas ini, karena anak itu sangatlah penurut sekali." Asher berdecak kesal. "Bukankah kamu senang waktu dia kabur dari rumah? Terus kenapa malah bahas Felix lagi dan membayangkan Felix masih bersamamu? Kamu sama aja berharap dia kembali pulang kan? Kalau dia jadi penggantimu, bagaimana dengan Faisal yang otomatis tidak mendapatkan hartamu sama sekali." Luna menangis dan takut hal yang tidak diinginkannya itu terwujud. Ia benar-benar tidak ingin Felix kembali pulang dan tetap kekeuh kalau yang menjadi pewaris tahta suaminya itu adalah Faisal. "Tapi memang kalau dipikir yang lebih sah menjadi penggantiku itu Felix secara yang punya perusahaan itu ayahnya alias kakakku." Asher benar-benar bingung sekali dan lemas tubuhnya jika sudah membahas soal harta gono gini. "Tapi kamu yang mengurusnya meski itu milik kakakmu, Mas. Kamu juga berhak mendapat bagiannya. Aku takut anakku tidak dapat apa-apa dan aku sudah menurut keinginanmu yaitu hidup bersamamu. Jika aku tidak mendapatkan apa-apa aku juga rugi besar. Jangan egois mas, pikirkan anak kita. Orang tuamu tidak menyetujuiku sama sekali bahkan mereka sudah menetap tinggal di Indonesia dan takutnya Felix tau kakek neneknya tinggal di Indonesia lalu pergi menemui mereka. Aku takut hal itu terjadi, Mas. Aku takut sekali." "Aku juga takut, Lun dan bukan kamu saja yang mencemaskan hal ini. Terjadi atau tidaknya pasti bakalan terjadi. Orang tuaku sudah lepas tangan dan kecewa berat padaku karena telah membuat Felix menghilang tanpa jejak bahkan sangat sulit ditemukan. Mereka sudah lepas tangan dan tidak peduli padaku sama sekali. Mereka bakal peduli lagi kalau aku bisa menemukan Felix dan membawa Felix ke mereka. Tapi kalau aku bawa Felix pulang kembali, anak kita gimana nantinya? Ah ini kesalahanku, harusnya aku tidak mau mengurus perusahaan kakakku dan membiarkan terbengkalai saja." "Nah kan baru sadar kalau kamu yang salah dan bukan Faisal yang salah tapi kamu selalu menyalahkan Faisal." "Jangan salah-salahin aku juga Luna! Kenapa jadi saling menyalahkan? Aku yang mengalami kesulitan tapi kamu suka sekali menyalahkan. Aku menyalahkan Faisal karena dia sendiri yang salah. Dia tidak menuruti aturanku dan menjadi anak yang bebas gitu aja. Hidupnya cuman ingin enaknya doang. Kalau terus dibiarkan bisa fatal masa depannya nanti. Kamu ini ibunya, kamu juga berpendidikan, kenapa kamu bodoh sekali sih? Lihatlah Naura, dia gila aja bisa melahirkan anak yang cerdas bahkan kakakku dari dulu kalau soal peringkat kelas itu aku juaranya. Namun mengapa anakku jauh lebih buruk dari Felix?" "Sudah cukup mas, aku tidak kuat mendengar anakku dibanding-bandingkan dengan Felix. Jujur saha hatiku sangat sekali. Iya aku tau Felix lebih cerdas tapi tetaplah anak kita yang harus kita utamakan sekarang. Aku tidak mau posisi anakku direbut oleh orang lain." Asher merasa napasnya sangat berat sekali dihembuskan dan tangannya memegang keningnya. Kepalanya rasanya juga berat sekali. Banyak hal yang dipikirkan untuk kedepannya tapi tak kunjung ada jalan keluarnya. ... "Lo dibisikin apa tadi sama Balder?" tanya Abra penasaran pada Jessi. "Ada deh, ini rahasia kita berdua." Jessi menjulurkan lidahnya. "Mengapa harus dirahasiakan emang syarat yang diberikan oleh Balder itu penting?" "Sepertinya sih gak memberatkan tapi bagi dia itu berat." "Maksudnya memberatkan atau berat?" Abra sangat penasaran sekali apa yang dibisikan oleh Balder pada Jessi. Ia takut kalau keinginan Balder membuat Jessi keberatan karena Abra tau Balder seperti apa ketika meminta kepada seseorang. "Nanti deh kalau dia mulai mengajari Dipta bela diri, lo bakal tau sendiri." Jessi tersenyum simpul. "Oh gitu." Abra terpaksa menganggukkan kepalanha pasrah walau ingin mengetahui apa yang disembunyikan oleh Balder dan Jessi. Abra dan Jessi saat ini tengah berada di dalam perjalanan pulang. Abra mengantarkan Jessi lebih dulu barulah ia pulang ke rumahnya. Malamnya... Jessi benar-benar tidak bisa tidur malam ini dikarenakan pikirannya melayang membayangkan hal tadi. Kebersamaannya dengan Abra yang sangat manis sekali. Entah mengapa hatinya terasa senang sekali sampai-sampai Jessi mengiggit bonekaa kesayangan saking tak kuasa menahan kegemasan dirinya terhadap perlakuan Abra yang kelewat manisnya. "Aduh tadi padahal belanjaan habis hampir setengah juta deh, uang dia habis gak ya?" Jessi sebenarnya merasa tidak enak pada Abra yang selalu tak mau dirinya mengeluarkan uang dan laki-laki itu selalu mengeluarkan uangnya, membayar apapun yang Jessi inginkan dengan mudahnya tanpa berprotes. "Lain kali kayaknya gak usah bawa Abra deh kalau mau beli ini itu, tipa mau keluarin dompet. Dia selalu keluarin dompetnya duluan dan marah kalau gue yang bayar sendiri. Tapi dibalik itu, dia so sweet sih. Effort dia ke gue itu banyak banget jadi gak enak rasanya." Jessi yang tak nyaman dengan posisi rebahannya, sekarang memilih duduk seraya menyender ke kepala kasurnya. "Emm dia sedikit kayak bokap. Sekarang lebih baik dibanding yang lalu suka membisu. Gue yakin kok dia orangnya gak secuek itu dan cuman tampangnya doang yang kelihatannya acuh. Padahal aslinya kalau sudah peduli itu peduli banget. Gue ngerasa sih selama bersama dia, dia treat gue layaknya ratu dan gue sendiri nyaman ada di sampingnya." "Aaa lahh." Jessi merasa dirinya kesurupan, bukan kesurupan karena hantu melainkan rasa tertariknya pada Abra makin menambah perlahan-lahan. "Sebenernya sih gue suka banget sama cowok yang misterius kayak Abra, lebih ke menantang banget ya walau susah dapat perhatiannya. Tapi sekarang gue kayaknya bisa deh meraih cowok misterius kayak Abra ini. Emm entahlah kenapa gue bisa se-tertarik itu sama cowok cuek." Jessi memekik kegirangan dan kedua kakinya dihentakkan ke udara. Jessi memegang puncuk rambutnya yang sempat diusap oleh Abra. "Gila sih waktu rambut gue dibelai sama dia, tubuh gue rasanya kayak kesetrum dan benar-benar beku. Efeknya luar biasa emang." "Aaa kenapa sama gue? Padahal gue kesel banget sama sifatnya yang kadang ngeselin tapi sekarang malah gak berhenti memuji dia. Dia seganteng itu woy kalau sikap manisnya muncul." Jessi ingin berteriak sekencang-kencangnya tapi sadar ini sudah malam dan keluarganya tengah bersiap tidur. "Terakhir, gue lupa. Kalau hubungan gue sama Abra tidak disetujui sama bokap." Wajahnya yang tadi begitu bahagia kini berubah seratus delapan puluh derajat. Di tempat yang lain... "Kamu masih merokok aja Felix." "Eh bapak." Felix buru-buru turun dari jendela kamarnya dan ia terkejut melihat ayahnya datang ke kamarnya di saat ia tengah merokok alias nyebat. Felix memilik jendela kamar yang letakkan juga agak ke atas dan ukurannya yang besar itu bisa digunakan dirinya untuk duduk santai menganggap dirinya tengah berada di atas balkon rumahnya dulu. "Maaf Pak." "Tidak apa, yang penting jangan banyak-banyak. Bapak tidak melarangmu merokok karena kamu sudah dewasa pasti mengerti mana yang baik dan mana yang buruk." Seno tersenyum simpul dan menepuk pundak putranya beberapa kali. Ia tidak kaget lagi melihat Felix yang sedang merokok karena pergaulan disini sangatlah keras sekali. "Iya, Pak." Felix tetap mematikan rokoknya yang masih utuh karena tadi baru saja membakar ujung rokoknya namun ayahnya sudah datang ke kamarnya sehingga Felix memilih melanjutkan nanti saja setelah Seno keluar dari kamarnya. Felix meletakkan rokoknya yang masih uturh di asbak yang tergeletak di atas meja samping jendelanya. "Bapak kesini mau bilang kalau besok kamu jangan kerja dulu ya Nak, bantuin bapak lagi ada pesanan di rumah orang yang lagi ngadain ulang tahun. Keluarganya pesan banyak dagangan kaki lima dan salah satunya bapak kepilih. Alhamdulillah ini rezeki jadi bapak tidak menolaknya. Apa kamu berkenan membantu bapak besok dan rela izin tidak masuk kerja?" "Memangnya tidak bersekolah kah mereka kan besok pagi acaranya." "Bukan anak sekolahan ini, mereka orang kantoran tapi memang salah satunya ada langganan bapak dan orangnya juga baik, sederhana. Malah memilih pesen gerobak dagangan kaki lima dan lumayan banyak sih, Nak." "Oalah gitu, iya pak. Besok aku langsung ke kantor dan ambil izin sehari." "Terima kasih ya Nak." "Bapak tidak usah berterima kasih dan memang sudah kewajiban aku membantu bapak." "Anak baik kamu ini, ya sudah bapak mau keluar dulu." "Iya Pak." Felix tersenyum lalu mengangguk. Setelah itu Felix melanjutkan lagi kegiatannya yang tertunda karena kedatangan Seno di kamarnya. Felix duduk di jendela sambil tangannya membawa rokok yang terselip di antara jari telunjuk dan tengah. Mulai menyalakannya lagi. Felix melihat sebuah berita terkini sembari menikmati sebatang rokok ditangannya. Felix terkekeh sebentar lalu ia tersenyum miring dan meletakkan mematikan layar ponselnya. "Salah sendiri, sedari kecil gue dikenalkan ke publik dan sampai sekarang makin banyak wartawan yang menanyakan gue. Sungguh pilih kasih sekali, hidup Faisal lebih enak dibanding gue. Tidak dipaksa berpidato di depan publik sedangkan gue? Dari kecil sudah tertekan. Tapi... " Felix terdiam sejenak dan berpikir sesuatu. Felix merasa seperti ada yang aneh, ia tau betul sosok Asher itu seperti apa dulu. Asher tidak ingin memiliki anak yang bodoh dan harus pintar melebihinya. Asher juga sangat ambius orangnya ditambah lagi ketika anaknya sudah dewasa pasti akan menjadi penerus perusahaannya dan Asher tidak mau penerus perusahaan yang telag dibangun selama bertahun-tahun lamanya hancur jika salah pilih penerus. "Gue berharap para wartawan tidak bertanya terus soal gue ke pria itu. Gue sudah nyaman hidup sekarang tapi gue gak bisa nahan kalau sudah merindukan nenek sama kakek gue. Gue lebih sayang mereka dibanding orang tua gue." Felix teringat kakeknya yang ditemuinya kemarin. Ia ingin bertemu lagi tapi Felix sadar bahwa dirinya sedang menyamar dan entah ia balik lagi atau tidak. "Kakek sama nenek sudah memutuskan menetap tinggal di Indonesia?" Felix terkejut setelah membaca berita tentang mereka. Jujur saja ini pertama kalinya membaca berita mereka di media sosial karena mereka sangat privasi tapi soal kepindahan ini, mereka tidak merahasiakan. "Apa nenek sama kakek sengaja tidak merahasiakan kepindahannya ke Indonesia supaya bisa memancingku untuk pulang?" Pikiran Felix bertanya-tanya tapi yang terlintas dipikiran Felix soal pancingan tersebut. "Dimana mereka tinggal sekarang?" ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD