Part 31: Kebohongan

3043 Words
"Kira-kira Balder gak emosian lagi dan bener-bener dia tenang sekarang?" tanya Jessi tak yakin pada Abra. "Iya, dia orangnya mudah reda emosinya. Buat apa dia berlatih bela diri kalau tidak bisa menetralkan emosinya." "Iya juga sih, soalnya Anya itu orangnya sensitif banget." "Dia kalau diajak ngobrol santai, ya santai jadi gak perlu khawatir." "Syukurlah, khawatir gue tadi kalau mereka digabung jadi satu. Emm lo gak bisa nyetir mobil?" tanya Jessi melirik sekilas pada Abra. Abra menggeleng, "Gue gak pernah belajar nyetir mobil." "Oh gitu, mau gue ajarin gak?" Tawar Jessi. "Gak perlu." "Ajarin gue biar bisa bela diri terus gue ajari lo menyetir mobil. Gimana?" "Gak usah aneh-aneh, ngapain belajar bela diri juga?" tanya Abra heran. "Ya kepengen doang sih, lagian bisa jaga diri kalau ada yang macem-macem sama gue. Masak iya gue harus minta tolong dulu? Kalau keadaan terancam kan gue bisa melakukan apa yang gue bisa gitu. Gue gak mau plonga-plongo di tempat," ujar Jessi yang menginginkan sekali bisa bela diri untuk melindungi dirinya sendiri dalam keadaan bahaya. "Nanti bahasnya, fokus nyetir aja." "Emm, gue keren gak sekarang?" tanya Jessi sambil tersenyum lebar. "Keren." "Harus ya ditanya dulu baru gue dipuji keren." Jessi mengerucutkan bibirnya. Abra menghembuskan napasnya dan memandangi pemandangan jalanan sekitarnya. "Mulai deh cueknya." "Fokus nyetir aja." "Gue fokusnya sama lo." Jessi menoleh ke Abra namun Abra tak menatapnya balik. "Jessi." "Hehe." Jessi terkekeh pelan karena berhasil menggoda Abra sampai Abra menyebut namanya dengan nada penuh penekanan. "Lo biasa balap mobil begini?" "Iya kalau jalanan sepi doang." "Pernah kecelakaan?" Suara Abra terdengar mencemaskannya membuat Jessu tersenyum dan merasa senang karena merasa laki-laki itu mulai peduli kepadanya. "Pernah, makanya gue jarang nyetir mobil. Gue tadi izinnya sambil ngereog dulu." "Jangan lagi balapan begini, kecelakaan diusia yang masih mudah lebih fatal. Fisik lo harus dijaga. Banyak yang kehilangan kaki dan tangannya diusianya yang masih terbilang muda karena kecelakaan terutama balapan begini yang sudah termasuk disengaja." Omel Abra. "Ciee yang banyak omongnya sekarang hehe, lo takut gue kenapa-napa kan?" Jessi meraih tangan Abra dan digenggamnya erat. "Jessi." Abra melepaskan genggaman tangan dari Jessi. "Santai aja Abra." Jessi tertawa mengetahui Abra yang tampak takut dan tidak percaya kepadanya bisa mengendarai mobil. "Gue kecelakaan gak parah kok, gue mainnya waktu itu bukan di jalanan begini tapi ditempat balap dan pakai mobil balap. Tapi sekarang sudah tidak lagi karena gak dapat persetujuan dari bokap. Apa-apa gak dibolehin kan nyebelin." "Syukurlah gak dapat izin." "Ih kok gitu sih. Ini kan hobby gue." "Lo masih terlalu muda dan dibawah umur." "Iya deh iya." "Itu mobil temen lo." "Gue salip nih." ... "Gue gak nyakin kalau ini mobil punya lo." Balder masih saja memancing keributan pada Anya, baru saja Anya menaiki mobilnya kini sudah diledek lagi oleh Balder. "Gue juga gak peduli sama omongan lo yang sok tau." Anya menatap tak suka pada Balder yang meledeknya terus menerus. "Bangga banget, bukan mobilnya tapi diakui miliknya sendiri." Balder melihat beberapa foto berserakan di sekitar tempat duduknya dan foto-foto seorang gadis cantik yang usianya sekitar umur dua puluh tahunan. Balder meraih salah satu foto itu dan memincingkan matanya saat menatap Vanya dan foto itu bergantian. "Yaa wajah lo aja beda sama cewek di foto ini, masih cantikan cewek difoto ini." Balder membandingkan wajah gadis di foto yang dipeganginya dan wajahnya Anya. "Taruh itu foto, jangan pegang-pegang barang yang ada disini!" sentak Anya meski begitu tetap berusaha fokus menyetir mobilnya. "Nah kan memang mobil ini bukan punya lo. Tapi gaya lo songong banget." Balder meletakkan beberapa lembar foto di dalam dashboard mobil ini namun saat ia membuka tempat itu, Balder menemukan sebuah benda mematikan yang terdapat di dalam dashboard tersebut. "I-ini pistol kah?" Balder menelan salivanya pelan dan tangannya bergetar memegang sebuah pistol yang memiliki panjang 204 mm/8,03 inci dan lebar 32 mm/1,26 inci. Anya terkejut melihat Balder memegang sebuah pistol dan ia tidak tau sama sekali kalau pemilik mobil ini memiliki sebuah benda mematikan itu. Anya segera mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya sejenak. Anya langsung meraih pistol itu dan memeriksanya. "Gila, lo punya benda kayak gitu dapat darimana?" Balder reflek mengangkat kedua tangannya. "Gue kagak tau, ini mobil dan semua isi mobil ini milik kakak gue berarti pistol ini milik kakak gue juga." "Kakak lo kerja apa emang?" tanya Balder penasaran. "Kakak gue kerjanya gak tetap. Dia kerja apapun sesukanya dan setiap dia melamar bekerja selalu diterima." Anya memasukkan kembali pistol jenis Glock Meyer 22. "Wah berarti dia pintar banget jadi penasaran aslinya." "Aslinya gak kayak difoto itu, beda penampilan di rumah dan waktunya bekerja. Kalau bisa, jangan ketemu dia deh dan gak usah." "Yahh padahal gue penasaran banget, sekeren apa dia." "Dia bukan orang biasa, diam mulut lo atau dicabik-cabik sama dia." Anya memukul bahu Balder dan Balder mengaduh sambil mengusap bekas pukulan Anya yang begitu kuat. "Musuh gue bukan cewek ya." "Cih, lo aja gemeteran pegang pistol." Anya tersenyum miring dan tertawa meledek lelaki itu. "Gue gemeteran karena gue syok aja, bisa-bisa ada pistol disini. Bukankah tempatnya tidak aman kalau ditaruh disini?" "Mungkin kakak gue lupa taruh pistolnya. Intinya aman aja asal tidak ada yang tau dan kakak gue bawa apapun benda pasti ada alasan dibaliknya." Anya pun menyalakan mobilnya lagi dan bertepatan dengan itu mobilnya disalip oleh Jessi. "Gue tebak, kakak lo pernah kerja di luar negeri?" tanya Balder lagi. "Pernah, bulan depan mau ke New York lagi." "Astaga, Mak gue pengen liburan ke luar negeri!" teriak Balder yang terdengar seperti anak kecil. Anya menoleh sekilas saja pada Balder lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan yang tinggi. "Eh eh!" pekik Balder terlonjak kaget karena mobil ditumpanginya melaju cukup kencang san ia menolehkan wajahnya ke samping. "Lo mau mati kah? Please, jangan ajak gue!" teriak Balder heboh dan matanya melotot mengetahui kecepatan mobil yang dikendarai oleh Anya. "Gue gak suka di belakang dan gue harus di depan." Gumam Anya. Anya tertawa meledek mengetahui Balder ketakutan dan semakin semangat membuat laki-laki itu takut sekarang. Anya memasang earphone ditelinganya lalu menyalakan bluetooth untuk menyambungkannya ke ponselnya dan menelepon Jessi. "Jes, lo balap gue." 'Lha tadi lo kah? Haha gue gak sadar balap mobil lo.' "Alah alasan, kita balap mobil aja deh. Siapa yang sampai ke sekolah duluan." 'Oke siapa takut.' "Lo lagi pakai earphone kah?" 'Hmm, Abra yang masangin.' "Hadeh pacaran kan kalian?" 'Enggak woe!' teriak Jessi dari seberang sana sebab dituduh pacaran dengan Abra oleh Anya. "Lewat jalan yang sepi." 'Tapi kalau telat gimana? Kita muter-muter soalnya.' "Sesekali lah Jes, gue matiin ya." 'Oke deh.' "Gue udah lihat mobil lo nih." Anya langsung mematikan teleponnya bertepatan dengan itu menemukan mobil Jessi yang hampir dekat lagi dari pandangannya. "Gila sih, mainannya orang kaya." Balder berusaha menetralkan dirinya yang hampir jantungan gegara Anya yang menjalankan mobil milik kakaknya itu dalam kecepatan tinggi. "Bukannya lo tadi remehin gue?" tanya Anya yang masih teringat jelas Abra sempat meremehkannya. "Gue kan gak begitu kenal sama lo." Abra menggaruk tekuknya yang tidak gatal dan melirik Anya sekilas "Kalau gak begitu kenal sama gue, jangan suka remehin. Gue remehin balik, lo kagak terima kan?" "Idih terserah." "Lakik banyak bacot lo ah." Anya mendengus sebal. Anya tersenyum lebar saat melihat mobil yang dikendarai Jessi semakin terlihat jelas dimatanya. Namun ketika akan menyalip mobilnya Jessi, mobil Jessi tiba-tiba melaju kencang sehingga Anya gagal menyalip mobilnya Jessi. "Ah sialan." Anya berdecak kesal tapi ia tetap tidak menyerah dan berusaha menyalip mobilnya Jessi. "Jessi, muka kalem ternyata jago balap mobil juga." Balder bersiul dan bertepuk tangan mengetahui Jessi yang pandai sekali mengendarai mobil bahkan sekarang malah balap mobil bersama temannya. Balder membenarkan kaca mata hitam yang diberi oleh Jessi hampir terjatuh. "Jangan dilihat dari tampangnya doang, semua punya kepribadian yang jarang sekali dilihatkan ke publik," ujar Anya. "Termasuk lo kan?" "Ck." Anya tak bisa mengelak karena tuduhan kali ini benar adanya. "Gue yakin, lo gak pake seragam dan lo cuman pake roknya doang." Balder memandangi pakaian yanh dikenakan Anya. Anya mengenakan jaket crop basketball dan rok sekolah saja. "Kok lo bisa tau?" "Kalau lo pake seragam, kerah lo kelihatan. Itu gak kelihatan." "b******k! Mata keranjang ya lo!" Pekik Anya yang malah panik sendiri mendengar ucapannya Balder. "Lah gue kan cuman ngira doang, ternyata bener hehe." Balder terkekeh pelan. "Diem lo!" "Iya ya gue diam aja, cuman haus." Balder mengusap lehernya, ia merasa kehausan sekarang karena sewaktu Anya mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi Balder berteriak berulang kali. "Hadeh, jadi cari minum." "Ke supermarket atau toko-toko kecil lah, gue haus banget sumpah." Rengek Balder. "Menyusahkan sekali." Tak lama kemudian mereka sampai di supermarket dan buru-buru Balder keluar untuk membeli air mineral. Sedangkan Anya memilih tetap berada di dalam mobil lalu menyalakan lagu dari girlband favortnya. "We are the lovesick girls, ne meosdaelo nae salangeul kkeutbaelsun eobseo." Anya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bernyanyi saat lagu dari girlband ternama diputar olehnya. Balder kembali membawa beberapa air mineral dan ia juga membelikan gadis itu makanan ringan. "Gue beliin jajan, terserah lo mau apa enggak ya harus diterima." Mereka berdua saling memasang wajah datar tapi tak sesinis awal bertemu tadi. Anya tak mengucapkan terima kasih, ia meraih salah satu botol mineral yang dibelikan oleh Balder lalu meneguknya hingga hampir tandas. Ia membuka permen untuk menyegarkan mulutnya. "Musik lo kenceng amat." "Hadeh." Anya berdecih mendengar komentar Balder lalu mengecilkan volume lagunya. "Lhoh lo mau ngapain?" Balder terkejut melihat Anya yang tiba-tiba menutup atap mobil lalu melepas jaketnya dan menyisahkan tanktopnya saja itupun berwarna putih. Balder membuang pandangannya ke arah lain dan tidak menyangka gadis itu berani sekali mengganti pakaiannya di dalam mobil serta asa dirinya disini. "Pakai seragam lah, sebentar lagi sampai di sekolah." Anya mengambil baju seragamnya yang ada di dalam tasnya kemudian mengenakannya. "Buset lo ganti baju disini dan ada gue?" Balder menatap gadis itu sambil geleng-geleng kepalanya dan Anya sudah selesai berganti pakaiannya. "Emang lo berani apa-apain gue?" "Ya bukan begitu maksud gue, lo berani banget aja sih dan bikin gue kaget. Lo cewek ya harus waspada." "Asal gue gak telanjang aja, gue masih pakai tanktop." Anya pun menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. 'Tetep aja kelihatan b**o, gede juga'--pikir Balder dan Balder langsung menggelengkan kepalanya lagi. Ia memukul kepalanya yang berpikiran aneh-aneh. "Terserah lo deh." Balder memandang ke luar jendela sambol meneguk air mineralnya hingga tandas tak tersisa. Ia memang benar-benar harus sedari tadi. "m***m kan pikiran lo." Balder diam saja karena gadis di sampingnya itu menurutnya tidak usah dilawan dan akan menjadi-jiadi jika sampai dilawan. "Kayaknya Jessi sudah sampai di sekolah deh, gak kelihatan sama sekali." Gerutu Anya. Benar apa yang dikatakan oleh Anya bahwa Jessi sekarang sudah sampai di sekolah dan aksinya yang membawa mobil mewah ke sekolah menarik perhatian banyak murid di sekolahannya sebab jarang sekali seorang murid membawa mobil mewah sebab khusus pengendara mobil bagi seorang murid diwajibkan membayar uang parkir. Jessi keluar dari mobilmya yang setelah memarkirkan mobilnya dan gadis itu terkejut melihat Abra yang sudah membuka pintu mobil, kini berlutut di depannya. "Lo ngapain?" Jessi melihat Abra yang tengah memperbaiki tali sepatunya yang lepas. Seketika senyum merekah terbit dibibir Jessi lagi-lagi mendapatkan perlakuan yang sungguh manis sekali dari Abra. "Thank's." Abra mengangguk dan mereka berdua berjalan beriringan menuju kelas mereka. Jessi meraih lengan Abra dan melingkarkan tangannya ke lengan Abra. Abra tidak menolaknya membuat Jessi merasa senang sekali. Jessi masih terbayang hal manis yang dilakukan oleh Abra itu tidak bisa dilupakan. "Kenapa sih kalau lo udah mulai bersikap manis begini gantengnya makin bertambah?" Jessi memandangi wajah laki-laki itu dari samping dan dimana pun ia memandang Abra entah dari depan, belakang dan samping laki-laki itu tetaplah tampan. Abra menghentikan langkahnya karena gadis itu bergelayutan dilengannnya. "Kok berhenti?" "Ada guru." Abra menunjuk guru yang akan lewat ke arah mereka dengan dagunya. Jessi menatap yang arah yang ditunjukkan oleh Abra dan tangannya yang tengah bergelayutan dilengan tangan Abra pun dilepaskan. "Haduh guru itu gak tau apa gue lagi kesemsem sama Abra." Jessi menghentakkan kedua kakinya melihat guru itu lewat di sampingnya dan untung saja guru itu tidak tau apa yang sedang dirinya lakukan karena fokus pada ponselnya. "Jalan sewajarnya," ucap Abra yang sepertinya memperingati Jessi supaya tidak bergelayutan dilengannya. "Iya gak gandeng tangan lo." Jessi memasang muka kesal dan memilih berjalan di belakang Abra. Abra menghentikan langkahnya lagi dan Jessi yang tak sempat mengerem langkahnya membuatnya menabrak punggung Abra. "Duh!" Jessi mengaduh sambil mengusap hidup dan dahinya yang terbentur punggungnya Abra. "Astaga punggung lo keras banget, gue tebak merah ini." Abra membalikkan badannya ke belakang lalu menyilakan rambut Jessi ke belakang dan melihat wajah gadis itu. Jessi mendongakkan wajahnya sambil jarinya menunjuk hidung dan dahinya yang sakit. "Merah kah?" tanya Jessi pada Abra. "Maaf." Abra mengusap hidung Jessi dengan jari jemarinya dan tubuh Jessi langsung mematung. Selanjutnya Abra meraih tangan Jessi dan menggandengnya erat. Jessi salah tingkah dan tersenyum malu-malu kucing. Sesampainya di kelas, Abra menyuruh Jessi masuk terlebih dahulu sedangkan Abra memilih berdiri di pembatas depan kelasnya. "Kenapa lo gak masuk ke dalam?" tanya Jessi setelah meletakkan tasnya dibangkunya. "Gak papa." "Oh gue tau, pasti lagi nungguin temen lo kan?" Abra mengangguk samar. "Lo perhatian banget walau kelihatan cuek dan acuh sama sekitar. Jarang ada orang yang kayak begini tapi jelas orang yang kayak lo itu baik." "Gue gak sebaik apa yang lo pikirin jadi berhentilah berpikir kalau gue itu orang baik." Abra menatap Jessi yang memandanginya sedari tadi. "Jadi lo orang jahat ya?" Abra tersenyum tipis dan tangannya terangkat ke atas kepala Jessi. "Sepercaya itu lo ke gue kalau gue baik?" "Gue percaya sampai kapan pun kalau lo itu orang baik walau semisal seluruh dunia menghakimi lo, gue bakal belain lo dan nunjukin ke dunia kalau lo itu orang baik." Abra membelai rambut Jessi dan ia tidak sadar pula masih berada di sekolahan. Ditambah lagi koridor depan kelas mereka makin ramai sehingga banyak murid melihat apa yang sedang Abra lakukan sekarang. "Menurut lo, orang baik apa bisa berbohong?" tanya Abra lagi. Entah dorongan dari mana ia menanyakan hal itu kepada Jessi. "Bisa tapi jujur lebih baik sih." "Berbohong demi kebaikan, apakah tetap disebut orang baik?" "Lebih baik jujur meski terkadang faktanya menyakitkan daripada berbohong, karena apapun yang disembunyikan pasti bakal kebongkar. Kalau gue pribadi, sebisa mungkin jujur dan gue sendiri aja gak suka dibohongi. Gue pengen tau sebenernya daripada gue dibohongi yang lebih menyakitkan hati gue lagi." Deg' Ucapan Jessi menamparnya dan Abra tak bisa berkata apa-apa lagi karena obrolan ini seperti menggambarkan dirinya sekarang yang membohongi Jessi demi kebaikannya sendiri. Ada alasan kuat mengaoa Abra berbohong dan salah satunya Abra tak mau dijemput pulang nantinya. Abra sudah nyaman dengan kehidupannya yang sekarang tapi ia merasa tak seterusnya hidup seperti ini dan ini sebuah firasat dari hati kecilnya. "Kok lo malah ngelamun?" Jessi melambaikan tangannya di depan wajah Abra membuat Abra mengerjapkan kedua matanya "Eh?" Abra langsung tersadar sambil melirik ke sekitarnya yang tertangkap basah olehnya, mereka sedang memperhatikannya bersama Jessi. Jessi juga ikut menatap sekitar dan banyak yang membuang muka ke arah lain. "Kayaknya kita dari tadi diperhatikan sama mereka-mereka deh." "Abaikan saja, gue masuk ke dalam kelas." "Gue juga. ... Anya dan Balder telah sampai di sekolah. Anya berdecak kesal karena dirinya kalah hari ini dan ia melirik Balder yang tengah asyik menelepon seseorang. Sebelum keluar, Anya bersiap lebih dulu dan mengeluarkan atribut sekolahannya dari dalam tasnya. Setelah memasang semua atribut sekolahannya, kini berganti mengeluarkan alat make upnya dan menyisir rambutnya. "Lo gak langsung keluar kah?" tanya Balder melihat gadis itu masih menyibukkan diri padahal mobil sudah terparkir rapih. "Lo kalau mau keluar ya keluar aja," jawab Anya tanpa menatap Balder. "Enggak dulu, biar barengan. Lihat banyak yang melihat ke arah kita." "Iya biasanya gitu, mengundang perhatian kalau pakai barang-barang mewah apalagi mobil yang kelihatannya paling menonjol." "Iya sih, terus lo ngapain rapihin seragam lo? Padahal sudah rapih banget." Balder menaikan salah satu alisnya, menatap Anya heran. "Belum rapi, belum pasang atribut dan rambut gue acak-acakan. Gue gak suka tampil berantakkan." "Tapi lo cocok-cocok aja tampil berantakkan." "Banyak bacot lo." Mereka saling menatap sinis dan belum juga akur sedari tadi. "Lo keluar kagak?" "Hmm ya." Balder keluar dari mobilnya Anya begitu juga dengan Anya. Mereka berjalan tidak bersebelahan, Balder memilih melangkah kakinya di belakang Anya dan memberi jarak jauh. "Itu cewek kayak punya kepribadian ganda, bisa bad dan bisa soft. Sungguh aneh sekali." "Ekhem yang naik mobil mewah." Ada beberapa murid yang mengenali Balder menyoraki Balder mengetahui Balder menaiki mobil mewah. "Iya dong, keren kan gue." Balder mengibaskan tangannya di depan wajahnya dan memasang wajah sombongnya. 'Gak papa deh PD dulu walau punya orang lain itu mobil'--ucapnya dalam hati. Ketika berada di kelas, Balder tersenyum melihat pasangan sejoli itu sudah duduk dibangkunya. "Kalian ini masih pagi sudah romantis sekali." Goda Balder pada mereka. "Enggak, gue ngajak Abra ngobrol kelihatan romantis ya? Habisnya dia suka diam mulu." Jessi sedang sarapan pagi dengan nasi goreng buatan Abra sendiri. "Fokus sama makan, jangan ngobrol melulu." Tegur Abra yang sebenernya sudah lelah menegur gadis itu. Uhuk uhuk' "Kan tersedak." Balder buru-buru memberikan air mineral kepada Jessi. Abra langsung meraih botol mineral ditangan Balder dan membuka tutup botol baru diberikan ke Jessi. "Peka banget lo." Balder menatap takjup mengetahui temannya itu sangat memperhatikan hal-hal kecil. Jessi meneguk air mineralnya tak sampai habis. "Tenggorokan gue sakit." "Gue udah bilang kan kalau makan jangan sambil bicara. Susah amat dibilangin." Abra memberikan tisu pada Jessi dan Jessi pun mengelap bibirnya dengan tisu tersebut. Balder melongo, ia terkejut saja mengetahui Abra yang bisa memperlakukan Jessi semanis itu. Ia menggaruk tekuknya yang tidak gatal dan merasa dirinya disini menjadi obat nyamuk mereka. Abra melirik Balder yang tak kunjung pergi dari bangkunya. "Lo gak ikhlas kasih minum ke Jessi?" "Malah nyalahin gue lo." Balder melototi Abra lalu pergi ke bangkunya sendiri. Abra tersenyum kecil lalu kembali menatap Jessi yang masih melanjutkan sarapannya. "Masih sakit kah tenggorokan lo?" "Bentar lagi hilang kok." "Kalau makan jangan ngajak ngobrol, dihabisin." Jessi mengangguk patuh dan mata bulatnya itu membuat Abra gemas tapi tak bisa ditunjukkan rasa gemasnya tersebut. Di bangku belakang, Balder memperhatikan mereka. "Akhirnya Jessi bisa meluluhkan sifat cueknya Felix." Gumam Balder yang ikut senang melihat wajah keduanya sebahagia itu. "Felix, Felix, lo gak bisa mengelak lagi sama perasaan lo. Menganggumi Jessi dari sejak kecil dan dipertemukan lagi ketika sudah remaja. Gue harap kalian bahagia terus." "Asal lo tau aja Jessi, gue sampai kenyang dengerin Felix suka ceritain lo waktu dia kecil dulu dan sebelum ketemu lo. Sekarang buat apa cerita lagi karena orang yang diceritakannya dan dirindukannya sudah ada di depan matanya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD