9. Kalian cocok, kenapa nggak jadian?

1516 Words
Selama di puncak, mau jadi pacar saya? Pertanyaan Bian itu masih terngiang-ngiang di telinga Tania walaupun sudah lewat dari lima belas menit dari pertanyaan itu diajukan. Namun Tania tetap belum bisa melupakannya. Ia seperti sedang dihantui pertanyaan yang membutuhkan jawaban tersebut. 15 menit yang lalu setelah Bian bertanya, entah kenapa ia merasa sikapnya setelah itu cukup bodoh. Bagaimana bisa ia Langsung kabur tanpa memberikan jawaban terlebih dahulu pada Bian. Padahal sebelumnya, itulah yang ia bicarakan dengan Amel. Di mana suatu saat nanti ia dan Bian bisa pacaran. Tapi saat pertanyaan seperti itu dilontarkan langsung oleh biannya sendiri kenapa ia harus kabur dan tidak menjawab pertanyaan biar dengan jawaban oke. Tania memukul kepalanya kesal. ia mengatai dirinya sendiri dengan sebutan bodoh. Bahkan aksinya yang seperti itu diperhatikan oleh Bian membuat pria itu tersenyum geli. "Punya gengsi kok tinggi." celetuk Bian. "Tania, Sini! Kita naik ATV ya." Teriak Amel dari kejauhan. Tania tersenyum lalu mengangguk. Tania berlari kecil mendekatkan jaraknya pada Amel. Di sekelilingnya ia bisa melihat banyaknya ATV yang disediakan untuk pengunjung yang ingin berjalan-jalan mengelilingi kebun teh. "Kalian naik saja, biar saya yang urus ini." Teriak Bian dari belakang. Tentu saja teriakan Bian itu membuat Rian dan Amel langsung bersorak kegirangan. Amel langsung memilih salah satu ATV begitupun dengan Rian. "Tania Ayok. Kapan lagi coba ditraktir." Ucap Amel dengan senangnya. Tania sangat ingin ikut serta bersama Amel, namun entah kenapa ia begitu berat melangkahkan kakinya. Otaknya justru ingin memerintahkan untuk bersama dengan Bian. Ia sendiri juga tak tahu kenapa dirinya bereaksi seperti ini. "Tania Ayok!" Ajak Amel lagi. Namun seolah paham kenapa langkah Tania tak kunjung maju, Rian langsung mengajak Amel untuk pergi lebih dulu. "Mel, duluan aja yuk. Lagian Tania ada om Bian di sana, dijamin nggak bakalan nyasar itu anak." Ucap Rian. Walaupun Amel merasa sedikit ragu, namun Di dekat Tania juga ada Bian yang nanti akan menjaga. Jadi meninggalkan Tania dan pergi lebih dulu bersama Rian tidak terlalu buruk. "Ya sudah, gue duluan sama Rian ya. Om, jagain teman saya ya om." Teriak Amel pada Bian. Bian mengacungkan jempolnya ke arah Amel. Amel dan Rian akhirnya pergi lebih dulu. Sementara Tania masih berdiri di tempatnya. "Ngapain di sana sendirian, sini!" Panggil Bian pada Tania. Dalam hatinya Tania bersorak. Ia lalu melangkah mendekati Bian. Bian menggandeng tangan Tania membuat Tania seketika terkejut. Tubuhnya berdesir. Ia menatap jemarinya yang digenggam oleh Bian lalu kembali menatap Bian yang kini menatap ke depan. Ia mengikuti langkah Bian sampai pria itu berhenti di tempat penyewaan, "Kang, hitung dari awal semua ya kang. biarin main dulu mereka. hitung saja awal pakainya jam berapa, nanti dihitung saja semuanya setelah pengembalian ATV. saya tinggal KTP di sini." Bian menyerahkan KTP nya. awalnya penjaga ATV itu sedikit ragu, namun tiba-tiba ada seseorang yang memanggil Bian. "Pak Bian?" sapa seorang pria. Bian terlihat bingung. ia tak mengenal orang yang saat ini berjalan mendekatinya. "Saya Rahmat Pak, anak pak Asep." Ucapnya. Bian kembali mencoba mengingat siapa Pak Asep dan tak lama otaknya langsung memutar memori 2 tahun yang lalu saat ia menyelamatkan seorang petani cabe yang ladang dan rumahnya ingin disita oleh rentenir. "Oo iya saya ingat. Bagaimana kabar kamu? Ayah sama ibu kamu sehat?"tanya Bian sembari menyalami Rahmat. "Alhamdulillah orang tua saya sehat pak. Ini berkat bantuan Pak Bian." "Bukan. Allah yang bantu bukan saya." Rahmat tersenyum. Ia dan keluarganya benar-benar bersyukur dipertemukan oleh Tuhan dengan Bian. Jika saat itu Bian Tidak ada, mungkin kebun dan rumahnya sudah disita karena hutang ayahnya di rentenir. "Ngomong-ngomong bapak lagi liburan? mau sewa ATV?" Tanya Rahmat. Bian mengangguk. "Kalau gitu pakai aja Pak, tidak apa-apa nggak usah bayar." "Eh jangan. Orang-orang di sini juga cari uang dari penyewaan ATV ini. ngapain saya pakai-pakai saja, enggak ah." "Nggak papa Pak. Separuh dari ATV ini punya saya." "Jangan. Walaupun separuh dari ATV ini punya kamu, tapi orang-orang di sini juga berharap dapat uang dari penyewaan ATV. Saya bayar saja peminjaman 3 jam ya pak." Ucap Bian membuat Tania langsung menyenggol pinggang Bian. "Kok 3 jam sih? bukannya terlalu lama?" tanya Tania yang tiba-tiba menimpali "Nggak lama kok, bentar itu 3 jam." jawab Bian sembari tersenyum. Ia kembali melirik ke arah bagian penyewa. Salah satu pria di sana melirik ke arah Rahmat. "Sudah nggak pa-pa. biar saya bayar saja. Berarti sudah rezekinya saya beri ke sini." Ucap Bian yang paham tentang tetapan pria tersebut. Pria itu mengangguk lalu menghitung semua biaya yang dibutuhkan untuk peminjaman ATV selama 3 jam untuk 4 ATV. Setelah membayar, Bian pun kembali membawa Tania pergi dari sana menuju beberapa ATV untuk bisa dipilih. "3 jam itu kelamaan nggak sih. Soalnya ngapain 3 jam di sana."ucapan Tania lagi yang hendak protes, "nanti kalau seandainya nggak sampai 3 jam udah balik lagi ke sini rugi dong uangnya."lanjutnya. Bian tersenyum, teman itu terlihat sangat tulus dan manis, "Nggak ada yang rugi. Sudah rezeki mereka." Jawab Bian. "Kamu bisa naik ini? tanya Bian pada Tania sekaligus mengalihkan topik pembicaraan. Tania tampak bingung sembari menatap ATV di hadapannya. Ia lalu menatap Bian, "Aku belum pernah naik ini sebelumnya." "Bawa motor bisa?" "Bisa." "Biasanya kalau bisa bawa motor bisa bawa ini." "Tapi kan ini beda." "Iya beda, cuma kalau sudah bisa stabil dengan gas motor, biasanya bisa pakai ini. Atau mau barengan saja?" Ucap Bian memberikan solusi. "Barengan maksudnya?" "Satu motor berdua." "Ih jangan, rugi dong." "Hahahaha. Kok rugi. Dan dari tadi kenapa ucapannya rugi terus nggak ada yang rugi kok." "Iyalah, kan tadi nyewanya untuk 4 dalam 3 jam. Jadi kalau ujung-ujungnya yang dipakai cuma 3, ruginya double." "Nggak ada yang rugi. anggap saja itu rezeki buat mereka." "Ckckckc. Orang kaya ya begini ya. uang Kamu banyak ya?" "Iya. Kamu mau?" "Ha?" "Kamu mau aku tanya?" "Mau apa? Mau uang?" "Iya. Saya punya beberapa kartu unlimited, kamu mau pegang satu?" Ucap Bian sembari berbisik pada Tania. Tania benar-benar tak tahu harus menjawab apa. ia bahkan dibuat bingung dengan sikap Bian padanya. "Kayaknya Yang lain udah pada jauh deh. kita naik yang mana? naik yang itu aja?" Tania mengubah topik pembicaraan. Bahkan ia sangat terlihat gugup. Tania melangkah meninggalkan Bian. Reaksi Tania membuat Bian ingin tertawa. "Jadi gimana nih? Mau kartunya?" Sorak Bian. "Ini bagus nih!" ucap Tania yang tak sesuai dengan pertanyaan Bian. Bian tertawa kecil. Ia lalu berlari mengejar Tania yang sedang memegang salah satu ATV. "Gimana? mau kartunya?" Tawar Bian lagi. "Ini bagus nih. Ini saja." Tawa Bian benar-benar pecah. Raut wajah Tania yang gugup benar-benar membuat perutnya geli. Ia tak menyangka jika Tania dewasa suka salah tingkah. Bian akhirnya pasrah, "Ya udah, kita naik itu." Ucapnya. Ia lalu melirik ke arah tempat p********n ATV tadi "Kang, saya pinjamnya tiga ya jadinya. Tapi nggak pa-pa uangnya nggak usah dikembalikan. nanti kalau ada kelebihan waktu ditimpali pakai uang yang itu saja." Teriak Bian yang langsung dijawab dengan jempol oleh pria tersebut. Bian naik lebih dulu. Setelahnya ia meminta Tania untuk naik di belakangnya. Awalnya Tania cukup ragu namun Bian menarik tangan Tania sampai akhirnya Tania memutuskan untuk berboncengan. Perjalanan dari awal mulai sampai menuju kebun teh, bener-bener membuat Tania tak bisa fokus. Apalagi Bian memintanya untuk memeluk dari belakang karena takut Tania jatuh. Sebenarnya itu hanya akal-akalan Bian saja. Ia hanya ingin membuat sebuah memori indah dengan Tania. "Eh eh, Ada apa ini? kenapa kalian berdua malah peluk-pelukan lagi. Dan lo Kenapa bisa boncengan sama om nya Rian?" Teriak Amel tiba-tiba membuat pelukan Tania langsung terlepas dari pinggangnya Bian. "Eh, Amel. Ini, ooo, ini cuma.." "Biarin aja kali Mel." Ucap Rian yang juga entah muncul dari mana. "Iya. Aku nggak bisa bawa ATV. Tadi udah dicoba tapi takut karena nggak segampang naik motor.":Ucapnya yang tentu saja berbohong. Bian menatap Tania. wajah Tania yang gugup membuatnya ingin tertawa, namun ia tak mau mengacaukan sandiwara berbohongnya Tania saat ini. Sementara jantung Gadis itu sudah berdegup tak karuan. ia menatap Bian secara diam-diam. Dan tersenyum tipis saat Bian juga menatap ke arahnya sembari tersenyum. Tania bernafas lega. setidaknya Amel percaya dengan alasannya. "Kamu tahu kan kalau aku nggak pernah naik beginian." ucap Tania lagi. Amel mengangguk paham "Kayaknya lo memang harus sering-sering dibawa ke sini deh. Biar lebih terbiasa." ucap Amel memberikan saran Tania mengangguk antusias. "Sepertinya memang begitu." Jawabnya. Amel tak lagi mempermasalahkan Tania yang datang dengan diboncengi oleh Bian Tapi dari arah lain, Rian menatap ke arah Bian yang sedang senyum-senyum sendiri. Ia seperti bisa merasakan apa yang saat ini omnya rasakan. pria dingin yang sulit untuk disentuh itu akhirnya bisa tersenyum semanis itu. Jujur, ia tak pernah melihat omnya senyum seperti itu. Bahkan banyak kabar simpang siur di luar sana yang mengatakan jika omnya adalah seorang gay. Padahal faktanya omnya tidak seperti itu. karena ia baru tahu jika alasan omnya tak melirik perempuan lain adalah karena ingin menunggu Tania kembali. Walaupun saat ini Tania sudah di depan mata om nya itu, namun kebodohan di masa lalu yang om nya lakukan harus membuat om nya menahan diri untuk tak bersikap terlalu ekstrem pada Tania. Ia sangat ingin membantu Bian untuk mendekati Tania. "Om Bian!" panggil Rian. Bian langsung melirik ke arah keponakannya itu, begitu juga dengan Tania dan Amel, "Tania sama Om cocok loh, kenapa nggak jadian aja?" *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD