19

1342 Words
Begitu mendengar salah satu kamanakan-nya meninggal dunia, Sultan Ramdan dan para saudaranya langsung bergegas datang ke tanah air. Para saudara, berarti termasuk di dalamnya salah satu ipar yang paling sulit di atur, siapa lagi kalau bukan Sultan Fateh. Kedatangan mereka hari ini adalah untuk melayat. Apapun yang ditemukan di rumah duka harusnya tidak membuat satu pun dari rombongan Ramdan berniat membuat keributan sekalipun yang mereka temukan adalah keponakan kesayangan Ramdan yang tengilnya sama dengan bapaknya, Puti Jana Aretha Shaima Jebat. Sama dengan Fateh, Ramdan pun kaget luar biasa melihat Jana duduk di sisi jasad Siti sambil berpegangan tangan dengan pria yang tidak ada satu pun dari rombongan yang datang yang mengetahui bahwa Jana punya hubungan dengannya. Seingat Ramdan, Jana sudah bertunangan dengan Shadiq dan tidak ada satu pun dari adik atau adik iparnya yang melapor bahwa hubungan tersebut telah kandas. Fateh punya ribuan pertanyaan, Ramdan pun sama. Sebagai seorang Mamak, Ramdan merasa kecolongan karena tidak tau apa-apa tentang ponakan gadisnya. Tapi tidak dengan menuntut penjelasan saat mayat masih terbujur di dalam rumah juga. Makanya saat Fateh si Ayah cemburuan itu hendak menarik putri sulungnya ke sisinya, Ramdan dan Aini langsung menahan bahu pria itu di sisi kanan dan kiri. “Nanti!” ucap Ramdan yang direspons dengan anggukan setuju oleh Aini. “Abang ga lihat dimana tangan bocah itu?” tanya Fateh tidak terima. “Aku justru menangkap sebaliknya, kamu ga lihat di mana tangan anakmu?” tanya Ramdan balik. Memang benar jemari Jana berada di antara jemari pria muda tersebut tapi mereka juga tidak bisa melihat dari satu sisi saja. Jemari pria itu juga berada di antara jemari Jana dan mereka tidak sampai cukup awal untuk mengetahui siapa yang mulai menyentuh siapa. Berbeda dengan Sultan Ramdan, Puti Aini tidak ingin membuat Fateh lebih panas lagi. “Anak laki-laki itu cucunya Siti. Itu artinya Jana sedang pegangan tangan sama cucunya sendiri.” “Oh ya? Kaya Jana paham banget sama adat,” cibir Fateh. Dalam keluarga mereka, Jana benar-benar hanya menumpang lahir dari seorang Puti Aini. Maksud Fateh, terlepas dari Jana yang lahir dan besar di ranah Minang, anak itu sama butanya dengan Fateh akan adat istiadat. Semua orang bahkan tau bagaimana Puti Jana adalah pembuat masalah. Tidak mungkin anak ini melek adat dalam waktu semalam. Fateh tidak percaya sama sekali. “Dibanding kau? Jawabanku iya, Jana memang lebih paham dengan adat dari pada Ayahnya yang barusan hendak mempermalukan dirinya sendiri.” “Kenapa orang ini masih saja ikut campur urusan keluarga kita?” ucap Fateh kesal. Tidak ada yang mengajak Ramdan bicara barusan. Fateh hanya bicara pada istri tercintanya saja. “Karena keluarga kita yang kau maksud itu adalah keluargaku. Kau lupa kalau kau yang bergabung paling akhir dengan keluarga kami?” tanya Ramdan yang mulai kesal. Fateh selalu menantangnya tidak peduli mereka sedang di hajatan orang atau justru di tempat kematian seperti sekarang. “Bukannya istri Abang yang paling akhir bergabung?” tanya Fateh, mengingatkan sang Abang ipar bahwa dia lah yang paling telat menikah dibandingkan Aini dan Azka. Fateh tidak senang sama sekali karena dua hal, pertama pemandangan di depannya dan kedua, suara dari samping kirinya atau suara Ramdan. Saat itulah Abizard muncul dari belakang, tepatnya di antara dirinya dan Aini kemudian berbisik, “Kenapa Jana mesra-mesraan sama temanku, Om?” tanya Abi. Dia sudah mengode baik Jana ataupun Raja dari beberapa menit yang lalu tapi tidak ada yang menghiraukannya. Abi tau bahwa Raja sedang berkabung tapi setidaknya Jana bisa menjelaskan sesuatu bukan? “Temanmu?” ulang Fateh. “Iya, itu yang sedang mesra-mesraan sama Jana namanya Raja, temanku dari kecil,” jelas Abi. “Dan kamu masih tanya kenapa teman baik kamu memegang-megang adikmu? Apa saja yang kamu lakukan selama ini, Abizard?” tanya Fateh kesal. Dimarahi di pertemuan pertama tentu membuat Abi tidak kuasa menahan mulutnya, “Anak Om loh itu si Jana. Aku nanya karena semua orang selalu menyanjung anak Om yang katanya anak pertama dari keluarga kita yang bisa kuliah di luar Negeri bahkan ngalah-ngalahin Abangku yang pintarnya ga ada tandingan. Anak Om yang sedang kita bicarakan, yang harusnya Om lebih tau kenapa bukannya belajar di Jerman, dia justru ada di sini dan mennodai tangan temanku yang ga pernah pacaran seumur hidupnya.” “Abi..” ucap Aini kemudian menggeleng pelan. Kalau Abi terus bicara, bukan tidak mungkin Fateh akan mengambil anaknya sehingga dia lah yang memegang tangan anaknya itu. “Teman kamu adalah cucunya Jana. Ga usah pakai kata mesra-mesraan lagi atau Om kamu akan meledak disini.” Abi melotot mendengar bahwa adik yang lebih muda enam tahun darinya adalah Nenek dari teman baiknya sendiri. Sempit sekali dunia ini. >>> Jana bisa mendengarkan suara Makdang Ramdan-nya setelah merasakan beliau terus memandang Jana sedari tadi. Sebenarnya bukan Makdang saja tapi Ayah, Bunda dan bahkan Bang Abi dan keluarganya juga tidak berhenti melirik sedari mereka datang. Makdang memberikan sedikit petatah sebelum kemudian menyampaikan bahwa Bako Kak Siti ingin menanam jenazah di kampung sebagaimana Ayahnya Kak Siti juga dimakamkan disana. Jana tidak pernah tau bahwa Ayah dari Kak Siti berasal dari Dharmasraya sampai beberapa saat yang lalu. Om Bilal selaku anak hanya bisa mengikut pada keinginan dari keluarga Mamanya apalagi saat mereka beralasan bahwa selama ini Mama tidak pernah pulang. Mereka sudah membiarkan Mama merantau selama yang Mama inginkan dan kali ini mereka akan membawa beliau ke kampung halaman. Jana merasakan Raja mencengkeram tangannya saat Om Bilal setuju jika Kak Siti dimakamkan di kampung. Jana menatap Raja yang ternyata sedang melirik tajam sang Papa. “Aku boleh bicara?” tanya Jana, membuat semua orang yang mengenalnya langsung was-was. Jana bukan orang yang diizinkan bicara di depan masyarakat meskipun statusnya adalah seorang Puti. Baik Aini ataupun Ramdan merasa bahwa Jana belum punya cukup kapasitas untuk melakukan hal tersebut. Tidak seperti Aini yang dari kecil memang sudah terdidik, Jana justru lebih banyak mainnya. Bukan hanya Fateh saja yang memanjakan Jana, tapi Makdang Ramdannya juga. “Jenazah Kakakku sudah menunggu Bako sejak lima jam yang lalu. Aku paham kalo keterlambatan disebabkan oleh perjalanan yang tidak dekat. Lalu Bako memaksa untuk membawa Kakakku pulang. Artinya lima jam perjalanan untuk sampai ke padang ditambah lima jam ke Dharmasraya. Apa Bako tidak kasihan pada Kakakku?” “Puti-” ucap Ramdan menyela. Tidak memanggil dengan nama karena Jana tidak sedang bicara sebagai keponakannya saat ini. “Lagian keluarga dari pihak Ibu tidak memaksa membawa pulang padahal kalau mereka mau, mereka yang lebih berhak. Terlepas dari mereka memang tidak peduli atau justru tidak ingin jenazah merasa tersiksa.” Ramdan menghela napas panjang mendengar kalimat barusan. Keluarga Ibu yang ponakannya maksud adalah Ramdan dan Bundanya sendiri. Pria itu paham apa yang Jana inginkan dan dia khawatir akan respon yang Jana dapatkan setelahnya. Walau bagaimana pun Jana terlalu kecil untuk berhadapan dengan para pemuka adat ini. “Kita semua peduli pada jenazah dan menginginkan yang terbaik. Kalau Puti kurang setuju, kenapa kita tidak coba dengarkan apa yang terbaik versi Puti?” Jana tersenyum lirih pada Makdang-nya dan menyampaikan bahwa dia sebagai adik dari almarhum memastikan bahwa semasa hidupnya, sang Kakak tidak punya permintaan khusus seperti ingin dimakamkan di kampung. Seseorang dari keluarga Ayah mendiang langsung emosi mendengar Jana bicara demikian. “Kami minta begitu supaya cucu dan cicit tidak lupa dengan asalnya! Tidak ada yang mengharapkan materi atau harta dengan kemalangan ini.” “Aku Neneknya dan aku pastikan kalo cucuku ini ataupun ponakanku dan istrinya tidak akan pernah melupakan asal mereka. Aku akan pastikan mereka pulang. Bako tidak perlu khawatir karena Nenek yang ini masih hidup dan belum akan mati dalam waktu dekat!” “Jana!” tegur Ramdan. Kalimat Jana barusan akan sangat sempurna kalau bocah tersebut tidak menambahkan bahwa dia belum akan mati dalam waktu dekat. Sedang Abizard yang dari tadi hanya bisa menjadi penonton tidak bisa untuk tidak terkesima. Adik kesayangannya bicara pada orang-orang yang Abi bahkan tidak bisa membayangkan dirinya berada di situasi yang sama. “Jana mengakui kalo dia Nenek-nenek, ya, Tan, barusan?” tanya Abi. Aini mengangguk setelah menoleh pada ponakannya tersebut. “Aku lupa kalo adikku bukan orang biasa,” aku Abi pada sang Tante.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD