18

2264 Words
“Ja,” panggil Sabine untuk yang ke sekian kalinya. Pria itu sudah berusaha untuk membuat percakapan yang Sabine mulai hanya bertahan beberapa menit tapi seperti biasa, Sabine masih orang yang tidak akan pernah menyerah dengan mudah. “..” Bukannya merespon dengan suara, Raja justru hanya melirik gadis itu sekilas. “Kamu canggung ya sama aku?” “Lo kali yang canggung. Lo temen kecilnya Abi, gue udah anggap lo sodara.” Sabine melotot mendengar satu kata yang tidak akan pernah mungkin ada di antara ia dan Raja. Saudara? Cukup Jana saja yang menjadi keluarga Raja. Kalau pria itu ingin Sabine masuk ke keluarga ya harus lewat jalur pernikahan dong. “Aku ga mungkin sodaraan sama kamu.” “Yah.. padahal Mama gue udah nganggap lo kaya anak bungsunya beliau. Mama suka banget sama lo.” “Serius? Tante bilang begitu? Dari sisi mana aku bisa dianggap anak bungsu Mama kamu? Cocokan Jana yang jadi anak bungsu karena dia enam tahun lebih muda dari kita.” “Jana itu Nenek gue. Emang ada Nenek-nenek yang bisa jadi anak bungsu istri dari ponakannya sendiri?” Bicara soal nenek-nenek, Raja jadi ingin menyusul Jana ke toilet sana. Beruntungnya beberapa saat kemudian Jana masuk ke restoran tersebut dalam keadaan puas karena perutnya sudah kenyang. Dan selain kenyang, dia juga berhasil menepati janjinya pada Sabine. Meskipun sejak awal berjanji tidak akan memihak Raja ataupun Sabine, Jana tetap merasa harus berlaku adil. Tiga hari terakhir ia membuat Raja tidak bisa bertemu Sabine maka hari ini sudah seharusnya ia membantu Sabine. “Maaf lama, aku diare parah,” keluh Jana sambil mengelus perutnya. Raja terdiam setelah mendengar perkataan tersebut. Terdiam dalam artian bukan hanya gerakan fisiknya saja yang terhenti, paru-parunya juga. Raja barusan hendak menarik napas tapi tidak jadi karena menyadari bahwa Jana mengerjainya. Sialan banget punya Nenek! ucap pria itu membatin. Raja benar-benar berpikir Jana sembelit parah karena nyaris dua jam tidak kembali. Sedang di sisi Sabine, awalnya dia ingin mendahului Jana dengan berkata, ‘Lo makan apa semalam sampe bisa sembelit,’ tapi jarak gadis itu terlalu jauh sehingga ada kemungkinan Jana tidak menangkap petunjuk darinya mengingat suasana restoran yang cukup ramai. Bicara sembelit dengan suara besar juga akan membuat beberapa orang hilang nafsu makannya, bukan? Tapi ternyata Jana sudah mendahuluinya. Melirik pada pria yang sejak tadi bersamanya, Sabine menggigit bibir gugup. “Ja-” “-Gue balik duluan. Habisin makan siang lo, Nek.” “Kok langsung pulang?” tanya Jana yang kedua tangannya berada di perut, bibirnya yang berminyak karena makan sudah di seka dan Jana bahkan sempat membeli pewarna bibir yang membuatnya tampak lebih pucat dari biasa. “Karena yang janjian lunch bareng itu kalian, bukan gue.” Sabine meneguk ludahnya kasar. “Gue ga pernah dengar dia ngomong seketus barusan. Lo kenapa ga tunggu gue ngomong duluan? Gue yang dua jam terakhir sama Raja dan otomatis gue yang ngarang alasan sedangkan lo ngikut!” ucap Sabine sambil melihat punggung tegap Raja yang terus menjauh tiap detiknya. “Aku yang ke toilet kenapa kamu yang ngarang alasan?” tentu saja Jana tidak mengerti karena dia tidak tau bahwa Sabine sempat datang ke toilet cewek untuk mengecek keadaan Jana yang bahkan tidak ada di tempat itu. Sabine menatap Jana dengan mata penuh kebencian kemudian berteriak kesal, “Lo tanggung jawab kalo Raja ga mau ketemu lagi sama gue!” Kemudian dia meninggalkan Jana begitu saja. Berbeda dengan Raja dan sabine yang emosi, Jana justru terlalu santai. Dia yang ditinggal kedua orang itu justru mendapat celah untuk kembali mencari tau keberadaan Nia. Toh kalau nanti Raja ditanya kenapa Neneknya belum pulang, pria itu punya alasan yang kuat. >>> Jana pulang setelah keluarga Om Bilal selesai makan malam. Jana berinteraksi seperti biasa dengan keluarga Om Bilal sebelum naik ke kamarnya dan mandi. Dia tidak menyadari sesuatu yang aneh sama sekali, mereka masih mengobrol walaupun Raja tidak banyak omong terutama di depan Papanya. Keesokan harinya mereka masih berangkat bersama dengan tujuan berbeda tentu saja. Jana baru menyadari ada yang tidak beres saat Raja tidak muncul di tempat janjian. Sabine juga tidak muncul sama sekali. Setelah menunggu keduanya sampai gadis itu mengantuk karena bosan, akhirnya dia pulang sendiri. Dan hal yang sama terus berulang selama beberapa hari ke depan. Karena sudah lebih dari sekali, Jana memutuskan untuk menanyakan hal ini pada Sabine. Karena Sabine lah yang paling aneh. Raja tidak bertemu dengan Sabine tentu tidak merasa rugi sedikitpun. Tapi Sabine berbeda, anak Mami Popon menyimpan rasa pada cucu Jana tersebut. “Kenapa Jan?” tanya Sabine ramah. “Kamu udah ga mau ketemu sama Raja lagi?” “Siapa bilang?” Jana mengingatkan teman rasa musuh atau terkadang musuh rasa teman itu bahwa tidak ada satupun dari Raja atau Sabine yang datang ke tempat janjian mereka. “Oh.. gue sama Raja ketemuan berdua aja. Kita ketemuan tiap hari kok, hari ini kita bahkan nonton,” terang Sabine yang tentu saja membuat Jana tidak mengerti. Apa yang terjadi pada Raja? Atau lebih tepatnya apa yang terjadi hari itu ketika Jana meninggalkan mereka agar bisa makan siang bersama? Di saat yang sama, Raja sedang memijit kaki Neneknya. Pagi ini Nenek memintanya untuk tidak pulang terlalu sore dan sampai sekarang beliau masih ingin ditemani Raja. “Ja,” panggil Siti pada sang cucu. “Hm?” “Ada yang perlu Nenek kasih tau sama kamu.” “Soal Papa?” Siti mengangguk. Raja bangkit kemudian mengunci pintu kamar sang Nenek agar Papanya tidak menguping. Papa tidak pergi bekerja sejak beberapa hari belakangan sehingga bukan tidak mungkin beliau yang kebetulan lewat ikut menguping. Siti yang melihat kelakukan cucunya itu hanya bisa terkekeh geli. Dia meminta Raja untuk duduk di ranjangnya. Kemudian setelah cucunya duduk, wanita itu mengambil kedua tangan Raja dan memberikan pijitan ringan. “Tangan ini udah mijitin Nenek seumur hidup kamu, meskipun wajah kamu tampan, tetap saja Nenek paling sayangnya sama tangan ini,” ucap Siti. Wanita tua itu teringat bagaimana sepasang tangan yang kini lebih besar dari tangannya itu dulunya hanya sepasang tangan mungil yang selalu ia ciumi. Tangan yang sama yang dulu sering menyentuh wajahnya saat Siti menggendong sang cucu. Tangan yang sama yang dulu selalu meminta digendong saat dia sudah lelah merangkak. Kemudian seiring berjalannya waktu, ketika sang cucu beranjak dewasa, tangan ini lah yang sering memeluknya. Siti tersenyum lemah menyadari bahwa tidak hanya tangan raja saja yang berubah tapi tangannya juga sudah keriput. Waktu berlalu terlalu cepat, wanita itu setuju. “Nenek kenapa senyum-senyum sendiri? Papa pernah bikin hal memalukan, ya?” “Banyak,” jawab Siti sebelum kembali pada apa yang ingin ia katakan. “Nama kamu Nenek yang kasih. Nama Raja maksud Nenek. Papamu ga suka tapi dia juga ga sanggup menolak Nenek. Makanya biarpun nama kamu Khaleef Akarsana Syahzad, di rumah kamu dipanggil Raja. Dari dulu, Papamu memang ga pernah mau bikin Nenek kecewa. Itu kenapa meskipun kamu cucu kesayangan Nenek, Papamu selamanya akan jadi anak kebanggaan Nenek.” Raja memerah kupingnya saat mengetahui hal ini karena bukan sekali atau dua kali dia mengeluh akan namanya. Terutama saat Papa benar-benar dalam mode Raja tirani yang apapun perintahnya tidak bisa dibantah. Beliau akan memerintah ini itu dengan tetap memanggil Raja dengan nama “Raja” padahal nama itu paling cocoknya untuk beliau. “Tapi kenapa baru dikasih tau sekarang?” tanya Raja tidak terima. Kalau dia tau bahwa tiap kali mengungkit nama kecil yang tidak ada hubungan sama sekali dengan nama resminya hanya akan menyinggung perasaan Nenek, mana berani Raja mengungkit hal tersebut terus menerus. Siti tersenyum pada sang cucu. “Karena Papa ga mau bikin Nenek kecewa, ya?” ucap Raja mengerti setelah melihat senyum tersebut. Karena walau bagaimana pun nama Raja Nenek yang kasih. Raja meneguk ludahnya kasar kemudian bergumam, “Aku ga bisa bayangin seberapa geramnya Papa sama aku dua puluh enam tahun belakangan karena ga bisa jelasin asal-usul nama ini.” Meski tidak sepanjang tahun selama dua puluh enam tahun terakhir, tetap saja Papa selalu menerima amukan untuk hal yang tidak beliau kerjakan. Beliau tidak tega mengatakan kalimat seperti, “Salahkan Nenekmu yang kasih nama’ tapi Raja yakin beliau pasti juga tidak tahan untuk tidak menyumpah serapah diam-diam pada Raja. “Kamu ini! Terlalu jauh penilaian kamu sama anak Nenek. Kamu anak semata wayangnya, kenapa kamu yakin Papamu menyumpah serapah?” Siti kemudian menceritakan bagaimana Bilal tidak tega meninggalkan rumah setiap hari untuk bekerja karena anaknya selalu menangis melihat sang Ayah dengan setelan kerjanya. “Masa aku segitu nempelnya sama anak Nenek,” cibir Raja setengah tidak percaya. Siti tertawa kemudian berkata, “Kamu memang secinta itu sama Papamu. Dulu pernah Nenek sama Mamamu gantiin celana kamu karena kamu pipis tapi kamu guling-guling di lantai. Minta pasangin celana yang udah basah kena pipis itu kembali biar Papamu yang gantiin.” “Ih, masa iya.” “Iya.” “Ya udah, jangan diungkit-ungkit lagi, ya, Nek.” Dan Raja tidak tau bahwa justru sore itu adalah kali terakhir sang Nenek punya kesempatan untuk mengungkit hal-hal di masa lalu. Karena kini jangankan menceritakan kekonyolan Raja saat anak-anak, beliau bahkan sudah tidak bisa membuka matanya lagi. Atau tersenyum seperti semalam. Pagi yang biasanya selalu dilalui dengan ocehan di meja makan, pagi ini harus di lalui dengan ratapan. Om Bilal menangis, Tante Rizka, Raja bahkan Jana sendiri tidak ada yang tidak menitikkan air mata. Semuanya terlalu cepat dan tidak terduga bagi Jana. Semalam saat ia pulang dan selesai mandi, Jana langsung mencari Raja untuk meminta maaf. Tapi ternyata Raja berada di kamar Kak Siti. Alih-alih membahas Sabine, Jana justru bergabung dengan sepasang Nenek dan cucu itu mengobrol sampai pukul sepuluh malam. “Jana ga betah di rumah, ya?” tanya Siti. Tidak ada yang meminta Jana memijitnya tapi melihat Raja memijit kakinya, Jana yang baru datang langsung duduk di sisi ranjang dan melakukan hal yang sama pada tangannya. “Betah banget, rumah Kakak udah aku anggap rumahku sendiri.” “Kalau cucu Kakak?” goda Siti pada sang adik. “Juga sudah kuanggap cucuku sendiri walaupun sejak hari pertama udah ngasih kesan jelek. Cucu mana yang biarin Neneknya nunggu di bandara berjam-jam coba? Cuma cucu Kakak aja yang berani.” Karena jana duduk menghadap Siti dan Raja berada di belakang Jana, hanya si Nenek tua saja yang menyaksikan bagaimana Raja memutar bola matanya mendengar keluhan Jana barusan. Wanita tua itu tidak bisa menahan senyum tiap kali melihat ekspresi yang Raja tunjukkan saat berinteraksi dengan Jana. Menonton keduanya setiap hari tidak pernah terasa membosankan. “Jan, bantu Kakak jagain Raja, ya.” “Ga kebalik tuh, Kak? Selain badan dia yang lebih besar, dia juga lebih tua umurnya. harusnya aku yang dijagain.” “Ya udah. Raja, kamu bantu jagain Jana, ya. Jangan sampai Nenek kamu diambil orang,” kekeh Siti yang membuat Raja melotot. Tetap hanya Siti yang bisa melihat karena posisinya Jana berada di antara dia dan Raja. Selain itu, Jana juga membelakangi Raja. “Tuh, Ja. Kamu harus jadi tamengku dari cowok-cowok yang pengen ngerayu Nenekmu ini. Harus siap sedia pasang badan kalo ada yang mau macam-macam sama Nenek yang cantik ini.” ucap Jana melirik pada cucunya itu sambil menyembunyikan anak rambutnya ke belakang telinga ketika mengucapkan betapa cantiknya dia. “Heh, seinget gue, justru Nenek ini yang tiap hari keluar rumah biar bisa ngerayu semua cowok di jalanan. Bukan elo, tapi cowok-cowok sasaran lo lah yang harus gue lindungin.” Kembali pada Kak Siti, Jana meminta Kakanya untuk mengerti karena cucu mereka tersebut tipe yang dikejar-kejar cewek. Dia tidak perlu berusaha seperti Jana karena Raja justru didatangi oleh mereka. “Lagian kata orang-orang tua dulu, jodoh itu ga melulu menunggu. Harus usaha juga. Sama kaya Sabine yang lagi usaha memikat kamu, aku juga lagi usaha. Bedanya-” “-Kocak lu!” ucap Raja sengaja memotong omongan Jana atau Neneknya akan semakin pusing mendengar obrolan paling tidak penting tersebut. Satu per satu pelayat mulai berdatangan ke rumah mereka. Hal tersebut semakin menyadarkan keluarga yang ditinggalkan bahwa hal ini bukan mimpi. Apalagi saat Pak RT bertanya dimana jasad Kak Siti akan dikebumikan pada Om Bilal. “Kita tunggu keluarga saya dari Padang dulu, Pak,” ucap Bilal pada Pak RT karena beberapa kerabat ingin membawa pulang Mamanya. Jana melihat bagaimana Tante Rizka menangis semakin keras. Mengingat bagaimana dekatnya beliau dengan sang mertua, Jana bisa mengerti kenapa Tante Rizka bisa sesedih itu. Om Bilal seperti biasa selalu menjadi orang paling tangguh di keluarga. Jana bisa melihat meskipun sedang berduka karena ditinggal mati oleh wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini, Om Bilal tetap menjadi Om Bilal yang ia kenal selama hampir lima bulan ia mengenal beliau. Selalu menjadi orang yang paling diandalkan dalam keluarga. Jana kemudian beralih pada Raja yang sejak tadi menangis dalam diam. Tidak seperti Tante Rizka yang dirangkul dan dipeluk oleh Om Bilal, Raja hanya duduk di depan jasad Neneknya dan menangis sambil terus menyeka air matanya yang turun. Jana mendekat kemudian mengusap punggung pria itu sehingga ia menoleh. Jana ingin mengatakan sesuatu seperti, “Bisakah kamu berhenti menangis? Aku akan menangis lebih banyak untukmu asalkan hal itu bisa mengurangi kesedihanmu” tapi Jana justru tidak bisa mengatakan sepatah katapun. Melihat wajah Raja yang penuh duka justru membuat tangisnya semakin kencang. Sedang Raja yang mendapati Jana menangis seperti itu hanya bisa meraih tangannya kemudian meletakkan jemarinya di antara jemari gadis tersebut. Raja tidak punya kekuatan untuk menenangkan Jana saat ini tapi ia harap hal ini bisa membantu. Jika Raja menggenggam tangan Jana untuk menenangkan gadis itu, Jana justru berpikir Raja butuh pegangan tangan ini untuk diri pria itu sendiri. Karenanya, Jana tidak melepaskan tangannya dari telapak tangan besar Raja sekalipun beberapa jam kemudian Ayah, Bunda dan keluarga Mama Fay datang melayat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD