20

2236 Words
Apa yang sebenarnya terjadi? Ini adalah kalimat yang membuat kepala dan d**a pria itu panas. Kenapa dia yang beberapa hari lalu menggenggam tangannya seolah Raja adalah anak kecil yang kehilangan arah, memastikan semua sanak keluarga yang datang saat Nenek berpulang merasa nyaman berada di rumah, melayani mereka selama dua hari satu malam padahal Mama yang sedang berkabunglah yang harusnya melakukan hal tersebut, sekali lagi, kenapa orang yang sama yang melakukan semua itu bisa mengakhiri hidupnya sendiri? Pintu terbuka dan Raja langsung mendekat. “Lo gila ya!” bentak pria itu padanya. Dia belum sempat memaki Raja sejak pria itu datang dengan wanita yang masih keracunan yang dia bawa dalam penerbangan puluhan jam dari Indonesia. Raja tidak bisa berkilah. Ya, dia memang gila. Raja menemukan Jana dalam keadaan tidak sadar saat dirinya harus berangkat ke Inggris demi mengikuti kejuaraan motoGP tahun ini. Jana adalah Nenek mudanya, Jana juga masih satu-satunya orang yang pernah membuatnya jatuh hati dan Raja baru saja kehilangan orang yang disayangi di bulan yang sama. Dan karena semua itu, setelah memastikan sang Puti Sumatera melewati masa kritisnya, Raja membawa Jana terbang bersamanya ke Inggris. Bukan untuk menculik Neneknya sendiri melainkan karena tidak ingin gadis itu melakukan percobaan bunuh diri untuk yang kedua kalinya. Benar, percobaan bunuh diri. Kamu tidak salah membaca. Jana yang pamit pada keluarganya sehari setelah keluarga dari Padang pulang, dia yang pamit dengan alasan bahwa orang tuanya sudah mengetahui bahwa si putri sulung berada di rumah Raja merasa dirinya tidak bisa untuk tinggal lebih lama, malah mencoba untuk menghabisi nyawanya sendiri di apartemen milik Raja dengan hanya meninggalkan sepucuk surat. Apartemen Raja loh ini. Tapi tetap saja pria itu bersyukur dari sekian banyak tempat bunuh diri seperti jembatan atau dari atap gedung tinggi, Jana memilih apartemennya. Kalau tidak, Raja mungkin tidak akan pernah bertemu dengan Nenek mudanya lagi. “Gimana dia?” tanya Raja pada temannya yang memang berprofesi sebagai Dokter. Nanda nama pria yang berprofesi sebagai Dokter yang dulunya adalah teman SMA Raja menatap temannya tajam. Beberapa jam yang lalu saat Nanda menerima telfon dari teman lamanya itu, Raja hanya mengatakan kalimat tidak jelas yang terdengar seperti, “Nda, gue baru aja landing. Gue bawa cewek yang tiga hari lalu baru aja nyoba bunuh diri. Please tolong gue.” “Siapa dia?” tanya Nanda yang masih tidak bisa percaya bahwa Raja, temannya yang semala ini terkenal tidak doyan perempuan ternyata benar-benar membawa pasien percobaan bunuh diri. Raja teringat dengan selembar kertas yang Jana tinggalkan, yang meskipun Raja sudah mengetahui isinya, tetap saja pria itu tidak mengerti. “Dia siapa!?” bentak Nanda yang sedang berusaha menyusul brangkar yang didorong oleh beberapa perawat. “Gue ga tau siapa dia sekarang.” Dan Raja memang tidak tau harus menganggap apa Jana karena di surat wasiat bodohnya itu, Jana mengatakan bahwa dia bukan Nenek Raja. Atau bahasa Jana-nya, dia bukan anak Puti Aini. “Lo beruntung karena walaupun masih ga baik-baik aja, setidaknya cewek ini masih bisa bernapas.” Raja menghela napas lega mendengar hal tersebut. “Gimana caranya lo bawa pasien keracunan yang baru 72 jam lalu ditanganin dokter kemari?” tanya Nanda tidak habis pikir. “Gue bawa satu dokter yang gue biayain pulang pergi plus keperluannya selama liburan disini,” aku Raja. Dokter yang dia maksud adalah mantan Nanda sendiri. Kalau dokternya bukan teman Raja, mana bisa ia membawa Jana kemari. “Maskapainya ijinin?” “Pesawat punya keluarga Abi.” Raja harusnya berangkat bersama kru yang lainnya sehari setelah ia menemukan Jana dengan mulut berbuih. Tapi kemudian dia memutuskan untuk datang belakangan dengan alasan masih dalam suasana berduka. Dan Raja tau bahwa ia sudah berhutang beberapa pukulan dari sang sahabat karena sampai saat ini Abi bahkan tidak tau bahwa Raja membawa adik kesayangannya. “Pesawat pribadi huh,” cibir Nanda. “Lo becanda? Pesawat pribadi harus dapat izin Abang sama Papanya dulu,” balas Raja yang jujur saja sudah mulai tenang. Jauh lebih tenang dari tujuh puluh dua jam terakhir. Walaupun begitu Nanda tetap berujar, “Gue lupa siapa elo dan siapa teman baik lo.” “Kita ga sehebat elo,” ucap Raja segan. Kalau bukan karena yang ia geluti sekarang, Raja pasti masih bergantung pada harta orang tuanya. Sama lah dengan Abi. Tapi Abi sih yang paling tidak tau malu karena selain menemani Mamanya, pria itu tidak punya pekerjaan sama sekali. Membantu di perusahaan pun tidak. Nanda menepuk pundak Raja kemudian pamit. Ternyata dia belum pulang sejak dua puluh jam terakhir karena keadaan rumah sakit yang cukup sibuk sejak kemaren. Raja masuk ke ruangan Jana dengan rasa canggung. Terkhir kali bertemu dengan Jana, suasana diantara mereka tidak mengenakkan. Pertama Raja tau bahwa Jana menjebaknya dengan Sabine sehingga pria itu sengaja mengabaikan Jana dan terakhir kepergian Nenek. Pria itu membuka kemudian menutup pintu dengan begitu pelan. Setelah mendapati Jana masih menutup mata, Jana kembali bernapas lega. Tapi kemudian ringtone ponselnya membuat Raja panik dan buru-buru keluar. Pria itu bersandar di dinding luar ruangan Jana sambil mendengarkan amarah menejernya setelah mengatakan bahwa dia masih di London. Sang menejer mengharuskan Raja untuk sudah berada di Silverstone hari ini juga sebelum mata hari berada di puncak kepala yang mana tidak mungkin. Raja tidak bisa meninggalkan Jana begitu saja. Meskipun tadi pria itu lega Jana masih tidur, tapi tetap saja dia harus berhadapan dengan Jana yang sadar terlebih dahulu sebelum dia berangkat ke Silverstone. “Bisa ga kali ini gue ga ikut aja?” “Gue gantung diri kalo sampe lo ga ikut! Lo itu masih rookie, Raja!” pekik pria di seberang sana. Dia juga menambahkan bahwa dari total tiga belas putaran yang sudah diselenggarakan, Raja hanya menang tiga kali. Tiga kali dan sudah banyak tingkah. “Hm,” gumam pria itu kemudian memutuskan sambungan sebelum masuk kembali ke ruangan yang tadi. >>> Jana kembali merasakan tangan hangat tersebut. Meskipun dia sendiri tidak bisa merasakan tubuhnya dengan benar, tapi Jana tau bahwa tangan yang sama sudah menggenggamnya berkali-kali dalam beberapa hari terakhir. Jika beberapa waktu yang lalu Jana selalu pura-pura tidur tiap kali orang tersebut berada di sekitarnya, kali ini sang Puti sengaja membuka matanya. Hanya saja Jana sangat kaget karena mendapati wajah Raja juga kenyataan bahwa Raja lah yang menggenggam tangannya. Tidak ada sedikitpun terlintas di benaknya bahwa setelah gagal bunuh diri, Jana akan bertemu Raja lagi. Bukankah seharusnya Bunda lah yang ada di sisinya saat ini? Tapi kemudian gadis itu tersenyum lemah. Mana mungkin hal itu terjadi. Setelah akhirnya jenazah Kak Siti dimakamkan, Jana sebagai anak perempuan yang paling mengenal rumah Om Bilal melayani keluarganya sendiri. Memastikan mereka mendapatkan makan bagi yang lapar, minum bagi yang haus, kamar bagi yang mengantuk. Semua orang yang awalnya berselisih perkara tempat akhirnya kembali berbaikan karena memang mereka hanya menginginkan yang terbaik saja bagi Kak Siti. Tapi ada tepat dua orang saja yang menolak Jana. Ayah dan Bundanya. “Kita ga perlu menginap di sini, ‘kan Ai?” tanya Ayah pada Bunda saat Jana menghidangkan teh hangat untuk beliau. “Abi!” panggil Ayah begitu Jana beranjak. Gadis itu beranjak karena juga ingin memberikan teh hangat untuk Makdang-nya. Gerakan gadis itu berhenti saat mendengar ucapan Ayah yang meminta Abi untuk memberikan teh miliknya pada Mama Fay. Jana yang sudah dalam keadaan berdiri melirik ke belakang dan menemukan Ayah juga melakukan hal yang sama. Sedang Aini yang menyadari anak dan suaminya sedang adu mata segera menengahi dengan mengatakan bahwa dia yang akan meminum tehnya. “Ga usah!” ucap Fateh menahan tangan istrinya. Jana berbalik kemudian berjongkok di depan kedua orang tua, well, setidaknya kedua orang tua yang telah membesarkannya kemudian berkata. “Ga apa-apa, Bund. Kalo Ayah ga mau, aku bisa langsung antarkan ke Mama Fay.” “Anak kamu?” tanya Fateh menatap istrinya dengan tatapan bingung. Sengaja sekali berkata seperti itu. Kalau memang Jana masih menganggap mereka orang tua, dia tidak akan membohongi mereka. Fateh sudah tau semuanya, saat tadi jenazah dimandikan, pria itu menelfon pria yang semua orang ketahui dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi menantunya. Dan Shadiq mengakui bahwa sejak beberapa bulan yang lalu Jana sudah tidak mengikuti perkuliahan lagi. Tujuan Fateh bertanya seperti barusan memang karena ia sudah tidak mengenal lagi gadis belia di depan mereka saat ini. Jana yang ia kenal, sebandel apapun anak itu, tidak mungkin akan melakukan sesuatu tanpa membiarkan Fateh dan Aini tau apa yang ia lakukan. Sedang Jana menangkapnya berbeda. Pertanyaan barusan justru terdengar seperti sindiran baginya. Jana merasa seperti disiram dengan seember air dingin, merasa dipermalukan oleh Ayahnya di depan semua orang. Jana tau bahwa dia bukan anak Bunda tapi apakah perlu Ayah membocorkan hal ini di depan semua orang? Saat kembali ke dapur untuk membuatkan minuman untuk Etek-etek yang lain karena semua pria sudah mendapatkan teh dan kopi mereka, Jana diikuti oleh Bang Abi. Jujur saja, hal itu sempat membuatnya tenang. “Kamu ingat siapa cucu yang dari tadi pagi kamu pegangin kaya orang buta yang perlu di papah itu?” tanya Abi bersandar pada dinding. “Aku baru tau,” ucap Jana malu. “Menurut kamu, gantengan Abang, cucu kamu atau tunangan kamu?” tanya Abi yang selalu wajib menanyakan hal ini setiap kali bertemu dengan Jana. Jana menyatukan kedua alisnya seperti sedang berpikir keras kemudian dengan sengaja menjawab. “Gantengan Raja.” Abi mendengus mendengarnya. “Jangan sampai calon Sultan yang di Jerman tau.” “Tau pun dia mau apa? Asal Tau ya.. bagi aku dan Nenek-nenek lainnya di dunia ini, cucu kami adalah pria paling tampan di dunia. Ngalah-ngalahin sodara ataupun calon suami sendiri.” Abi mengangkat kedua alisnya. Tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti barusan dari Jana. Dengan kelakuan Jana selama ini, Abi tidak menyangka bahwa anak Om Fateh akan bisa memperlakukan seseorang seperti barusan. Selama ini bagi Jana, yang penting hanyalah dirinya sendiri + adiknya. Justru Abi berpikir bahwa Jana tidak rela ada yang memanggilnya Nenek karena hal itu akan membuatnya terdengar tua. “Berapa tahun kamu tunangan sama Shadiq, dek?” “Satu tahun empat bulan, kenapa?” Abi menggeleng kemudian mengatakan bahwa Shadiq benar-benar bisa mengubah Jana. “Shadiq emang yang terbaik, ya, Bang?” ucap Jana sambil menyengir meskipun dia sendiri tau bahwa bukan karena Shadiq dia bisa menjadi seorang Nenek melainkan karena Raja dan juga Kak Siti. “Ga lebih baik dari Abang tapinya,” kekeh Abi yang langsung diangguki oleh Jana. Kedua saudara sepupu itu keluar dari dapur dengan cekikikan tapi ketika sampai di ruang tempat semua orang berkumpul, Jana mendapati Ayah dan Bundanya sudah pamit pulang ke rumah Mama Fay dengan alasan Ayah ingin beristirahat. Jana segera mendekat begitu dipanggil oleh Om Bilal. Beliau meminta Jana untuk menyiapkan kamar untuk Ayah dan Bundanya, atau Nenek dan Kakek bagi Om Bilal. Tapi niat baik Om Bilal langsung ditolak dengan tegas oleh Ayah. Menyisakan Jana, Om Bilal yang terdiam begitu saja. Gadis itu melihat Bundanya di bawa pergi oleh Ayah meskipun beliau ingin kembali sekedar untuk menghindari kesalah pahaman pada Om Bilal. Jana dan Om Bilal yang notabene lebih tua dari Fateh masih berdiri canggung meskipun sepasang suami istri tersebut pergi. “Maafin Ayahku, ya, Om. Harusnya dia ga sekasar itu sama orang yang sudah menampung aku selama ini,” ucap Jana dengan kedua mata memanas. Tapi Bilal tau bahwa yang paling tersakiti dari reaksi pria itu bukan dia melainkan gadis yang berdiri bersisian dengannya. Hanya Bilal saja yang mengetahui bahwa hari itu setelah semua orang mulai nyaman dan beristirahat, Jana kembali menangis. Tapi pria itu tidak bisa ikut campur karena selain Jana bukan anak atau ponakannya, orang yang harus ia nasehati karena memaksa menjodohkan anak mereka adalah Kakek dan Neneknya sendiri. “Kamu baca kertasnya,” ucap Jana. Tiga kata barusan, alih-alih untuk Raja, Jana mengatakan hal tersebut untuk diri sendiri. “Hm.” “Kenapa masih nyelamatin aku padahal ternyata aku bukan keluarga kamu?” tanya Jana masih dengan suara serak. “Karena pertama, kamu salah pilih lokasi bunuh diri. Harusanya ga di apartemen orang. Kedua, kamu masih bisa jadi keluargaku meskipun tidak dengan pertalian darah ataupun pertalian adat.” Masih bisa dengan pernikahan, lanjut Raja dalam hati. “Aku malu kalo di tempat terbuka,” ucap Jana merajuk. Jika dia melompat dari tempat tinggi, wajahnya akan tampil di layar TV nantinya yang mana hanya akan mencoreng wajah keluarga yang sudah membesarkannya. Jana menatap lekat wajah pucat yang mulai sedikit berseri itu. Dalam suratnya, Jana mengatakan bahwa ia merasa tidak punya siapa-siapa. Ia ingin mencari Ibu kandungnya tapi seberapa jauhpun mencari, tetap tidak menemukan apapun. Dia juga menuliskan bahwa setelah melihat Ayah dan Bundanya di pemakaman hari itu, jika sekiranya Jana diberi kesempatan untuk bertemu dengan wanita yang melahirkannya, dia akan menolak. Karena mungkin bagi Bunda dan Ayah, akan lebih baik jika wanita tersebut tidak lagi muncul di kehidupan rumah tangga mereka. ...Karena walau bagaimanapun, yang besarin Jana dari bayi adalah Bunda. Jangan sampai kasih sayang yang Bunda berikan berbalas air mata hanya karena Jana pengen kenal sama Mama-nya Jana. Begitu tulisnya. Kini Raja tau bahwa selama ini Jana bukan mencari jodoh melainkan mencari Ibunya. Sewaktu menemaninya ke Kalimantan, Raja pernah menganggap Jana sebagai cewek tidak tau malu karena datang ke rumah orang dan langsung mau melamar anak orang. Setelah mengetahui rahasianya, Raja merasa sedih sekali untuk cewek ini. “Kenapa?” tanya Jana yang mulai risih ditatap seperti itu. Mana kini tangannya masih berada di dalam telapak tangan Raja yang hangat. Mereka berdua sudah sama-sama tau bahwa tidak ada lagi hubungan Nenek dan cucu. “Pernikahan yang gimana yang kamu mau, Jan?” tanya Raja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD