8

1085 Words
Raja mendorong pinggang Jana menjauh ketika merasakan gadis itu keroncongan perutnya. “Mau makan apa?” tanya nya yang sedang mencoba berdamai dengan perasaan dan kenyataan. Lagi pula Jana sudah mengeringkan rambutnya pagi ini. Mana dia membiarkan Raja menyentuhnya meskipun tentu saja gadis itu merasa sedang di sentuh oleh cucunya, bukan pria dewasa. “Kamu mau masakin Nenek apa?” tanya Jana ceria. Raja yang menawarkan makanan apa yang Jana inginkan bukan lah hal yang biasa. Ini justru bisa menjadi awal dari hubungan baik keduanya. Ini juga yang sudah Jana rencanakan jauh-jauh hari. Jana melihat Raja membuka kabinet yang berada beberapa centimeter di atas kepalanya dan mengambil sebungkus mie instan. Gadis itu kemudian tersenyum dan Raja mendapatinya tersenyum. “Kenapa?” tanya Raja yang kini meraih pisau setelah mendapatkan dua siung bawang merah dan satu siung bawang putih. Raja sudah sangat hapal resep mie instan andalan Neneknya. “Gimana rasanya jadi anak pemilik pabrik mie instan terbesar kedua di Indonesia?” tanya Jana. Saat memutuskan untuk kabur ke rumah Kakak sepupunya ini, Jana sama sekali tidak mengetahui usaha keluarga mereka sampai beberapa minggu yang lalu. “Ga ada rasanya.” “Sombong,” cibir Jana. “Huh..” Raja mendengus kemudian menunjukkan kemasan mie instan yang telah ia buka. “Ini bukan mie-nya Papa,” ucapnya. Jana berdiri di samping Raja dan mengamati apa pun yang pria itu lakukan. Dia tampak sudah akrab dengan pisau dan kompor dan teman-temannya, tidak seperti Jana. “Kamu dendam banget sama Om Bilal sampe ga makan mie keluarga kalian sendiri?” “Di mata lo, gue anak yang durhaka banget kali, ya,” ucap Raja kesal. Dia membuka lebar kabinet yang tadi dan menunjukkan bahwa ada segala jenis mie instan di dalam sana termasuk yang pabrik Papanya buat. “Gue ga makan mie Papa dibilang durhaka, apa kabar lo yang kabur cuma karena dijodohin?” “Cuma?” ulang Jana dengan kedua mata dibuat memicing sedemikian rupa seolah dia sedang tersinggung. Raja menaikkan kedua bahunya kemudian mencibir. Jana mengelus punggung pria itu dan berkata, “Tunggu sampai Nenek nyariin kamu jodoh, terus kita bahas ini lagi.” Setelahnya Jana duduk meja makan, menunggu sarapannya selesai. Tak lama kemudian Siti bergabung bersama dua anak muda tersebut. Kedua Kakak-beradik tersebut duduk bersisian. Satunya memakan mie rebus buatan Raja dan satunya meminum teh yang Raja seduh. Sedang Raja duduk di depan mereka. Awalnya pria itu ingin kembali ke kamarnya tapi karena Nenek yang belakangan sakit akhirnya keluar dari kamar, dia memutuskan untuk tinggal lebih lama. “Nek,” panggil Raja sehingga dua perempuan tersebut menoleh padanya. Sedang Raja langsung mendengus keras. Kenapa Jana selalu merasa bahwa Raja selalu menggunakan kata itu untuk memanggilnya. Pasti ada yang salah dengan otak gadis itu. “Papa bilang Nenek ga mau dibawa ke rumah sakit.” “Dokter Papamu bukannya sudah datang ke rumah?” tanya Siti yang sengaja memegang gelas tersebut dengan kedua telapak tangannya. Wanita tua itu suka sensasi hangat yang menjalar dari permukaan luar gelas pada tubuhnya yang memang akhir-akhir ini terasa tidak seperti biasanya. “Ya tetap aja, rumah sakit peralatannya lebih lengkap.” “Ga usah lah. Ini penyakit orang yang udah tua. Bukan yang ke rumah sakit terus langsung sembuh.” “Ga baik ngomong begitu, Kak,” ucap Jana. Bukannya Kak Siti adalah orang paling positif di rumah ini? “Kakak ini sudah calon mayik, Jan,” kekeh Siti yang semakin membuat Jana kehilangan nafsu makannya. Bukan kali pertama Jana mendengarkan kata tersebut. Calon mayik berarti calon mayat atau orang yang sebentar lagi akan meninggalkan dunia ini. Kata yang sama yang almarhum Kakek buyutnya gunakan untuk melabeli dirinya sendiri. Jana menyentuh lengan atas Kakak sepupunya yang terasa lunak. Pertanda bahwa dia memang sudah tua. Tapi kalau dibandingkan dengan ingatan Jana tentang Datuk Medan, Kak Siti belum ada apa-apanya. “Omongan jelek begitu kalau didengar malaikat diitung doa, loh, Kak. Ga boleh pokoknya.” Sedangkan Raja yang tidak mengerti apa yang sedang keduanya bahas hanya bisa tersenyum. Apalagi melihat bagaimana akrabnya Jana dengan orang yang paling ia sayangi. Lagi-lagi hati kecilnya berandai-andai. Andai Jana bukan Nenek muda-nya. “Tuh, Nek. Kalo Nenek ga mau dengerin kata aku. Lebih baik Nenek dengerin omongan sesama Nenek-nenek.” Jana mengangguk setuju dan memutuskan bahwa siang ini dia dan Raja akan menemani Kak Siti ke rumah sakit. “Tidak ada yang boleh punya janji lain hari ini,” begitu katanya. Tak lupa mengancam Kak Siti bahwa ia bisa saja membuat Makdang Ramdan-nya yang menegur beliau. Walau bagaimanapun, Kak Siti pasti tidak mau berurusan dengan pria yang juga adalah Mamak-nya itu hanya untuk disuruh ke rumah sakit. “Minum, Ja,” ucap Jana saat sarapannya habis. Raja kembali menatap Jana dengan mata yang dibuat memicing. Tidak tau saja bahwa sampai kapanpun, dia tidak akan pernah terlihat sangar di mata Jana. “Sama Nenek ga boleh pilih kasih. Ada dua Nenek disini, Ja,” ucap Jana sok tegas. Seolah sedang mengajari cucunya untuk adil dalam hal berbakti pada Nenek-Neneknya. Raja menaikkan satu ujung bibirnya, hendak memaki tapi tidak jadi. Entah kenapa, dirinya selalu marah jika Jana selalu mengungkit status bodohnya itu. Hanya saja, karena Nenek kandungnya, wanita yang paling ia sayangi selain Mamanya, ada di meja yang sama dengan mereka, Raja tidak ingin membuat masalah. Pria itu bangkit kemudian mengisi gelas dan meletakkannya tepat di samping mangkuk Jana. Kemudian dengan satu tangannya, pria itu menarik kedua rahang Jana agar menatapnya. “Raja!” ucap Siti yang kaget. Selain perlakuan barusan yang sama sekali tidak lembut, kini Raja terlalu dekat dengan wajah Jana. Wanita itu mengelus d**a dan sempat-sempatnya bersyukur karena tidak punya gejala jantung. “Lo bangunin gue jam sebelas siang, ya, Nek! Jangan koar-koar doang lo! Kita ke rumah sakit dan bawa Nenek berobat!” begitu ucap Raja setelah membuat bibir Jana monyong karena telunjuk dan ibu jarinya menekan pipi bagian bawah gadis itu. “Kamu ga apa-apa, Jan?” tanya Siti pada adiknya itu. “Ga apa-apa. Aku sama sekali bukan tandingan cucu Kakak. Lihat aja nanti. Kalo dia ga bertekuk lutut dihadapanku, Kakak boleh kencingin kuburanku.” “Astaga Jana!” ucap Siti yang kembali merasa pusing pagi ini. Dia yang sudah hampir masuk kubur ini mana mungkin bisa menyaksikan adik sepupunya masuk liang lahat. Apalagi mengencingi kuburannya. “Aku ga becanda. Cucu satu aja ga bisa aku kendalikan apalagi nanti nambah lagi cucu-cucuku yang lainnya. Aku harus lebih garang, harus lebih licik dan lebih pintar lagi dari cucu-cucuku. Kakak lihat? Ini air panas banget. Dia sengaja mau bikin lidahku melepuh?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD