21

1776 Words
“A?” Tidak, Jana bukan yang kehilangan kata-kata sehingga hanya satu huruf saja yang bisa keluar dari mulutnya. Gadis itu sedang bertanya dalam bahasa ibu-nya. Dalam bahasa Minang, apa adalah apo atau bisa juga hanya dengan satu huruf saja, yaitu a. “Pernikahan yang gimana yang kamu mau?” ulang Raja. Jana menyatukan kedua alisnya. Sejak kapan rupanya aku-kamu ini muncul? Gadis itu sama sekali tidak akan menyadarinya jika barusan Raja tidak mengulang pertanyaan paling aneh yang pernah ia lontarkan. “Kalau aku tidak keliru, kamu ingin men-downgrade statusku dari yang awalnya Nenek menjadi istri kamu?” tanya Jana yang berusaha untuk duduk. Raja dengan sigap membantu gadis itu meskipun selanjutnya dia mendapat ceramah panjang. Raja mangap kemudian mingkem, mangap lagi dan mingkem lagi. Bukan karena tidak tau jawaban yang harus ia berikan melainkan karena merasa ada yang aneh. Kenapa Jana merasa bahwa Raja sedang menurunkan statusnya padahal bagi Raja yang terjadi adalah sebaliknya? Jana masih lemah sebetulnya tapi dia tidak bisa untuk tidak mengatakan ini. “Minum dulu, minum dulu,” ucapnya dan dalam sekejap Raja sudah menyodorkan bibir gelas padanya. “Ini yang terakhir ya, Ja! Kamu tidak boleh melamar orang yang baru saja gagal bunuh diri. Kenapa? Karena siapa yang tau apakah dia masih tertarik dengan dunia ini atau tidak. Dan yang paling tidak masuk akal adalah, cewek mana di dunia ini yang mau dilamar saat dia lagi terbaring di ranjang rumah sakit. Untung kamu latihannya sama aku,” ucapnya setelah menelan dua tegukan air. “Tapi gaya bicara kamu sekarang aku suka. Begitu lebih sopan sama Ne-eh, aku bukan Nenek lagi ya,” ucap Jana sadar sendiri. Tidak ada yang bicara di antara keduanya untuk beberapa saat sampai Raja berujar, “Bulan ini aku sudah dua puluh tujuh. Aku seumuran sama Abi. Aku masih kelihatan kaya cucu kamu meskipun kamu bukan Nenekku? Maaf, aku bukan sengaja mengingatkan kamu.” “Ga usah sungkan,” kekeh Jana meskipun hatinya masih terasa berat. Gagal mati rupanya juga gagal mengangkat beban di hatinya. Jana kembali menemukan tangannya di dalam telapak tangan pria itu. Raja tidak pernah menyentuhnya dengan cara ini sebelumnya. Kini Jana meneguk ludah kasar. Raja membawa tangan Jana pada pipinya. Ini bukan gejala karena kehilangan Nenek kandungnya, bukan? tanya Jana membatin. Jujur saja, tingkah pria ini sanggup mengalihkan pikiran Jana walau sejenak. “Di surat itu kamu mengaku merasa ga punya siapa-siapa lagi. Bisa ga aku jadi seseorang yang bikin kamu untuk tetap hidup?” “..” “Kamu mau ninggalin semuanya, ‘kan? Aku dan kamu bisa hidup berdua di tempat yang ga ada yang kenal sama kita. Aku ga lagi latihan, Jan. Aku akui lamaranku terlalu cepat, karena aku ga mau ngeliat kamu dalam kondisi diambang maut lagi untuk yang kedua kalinya.” Jana memberanikan diri untuk menatap Raja yang berarti juga menatap tangannya sendiri di pipi pria itu. “Apa boleh? Kamu ngorbanin diri sendiri biar aku bisa hidup? Aku sendiri yang untung disini.” “I got you, no?” tanya Raja sambil menatap tepat pada kedua manik Jana. Deg. Empat kata saja dan hal itu lebih dari sekedar cukup untuk membuat Jana tidak bisa memikirkan hal apapun kecuali Raja. Bahkan fakta bahwa dia sedang berada di London tidak lebih mengganggunya dari pada empat kata tersebut. Pertanyaan lain yang mungkin muncul adalah apakah Jana yang terganggu dengan ajakan menikah Raja tidak ingat bahwa dia sudah punya tunangan? Gadis itu tidak lupa sama sekali dengan Shadiq. Hanya saja, untuk bisa bersama Shadiq, dia harus menjadi Puti Jana dulu. Karena yang paling membuat orang tua pria itu bangga memiliki Jana sebagai calon menantu adalah karena Jana keponakan dari Sultan Ramdan. Orang nomor satu di Minangkabau. Bukan berarti Jana tidak pernah diperlakukan baik tanpa memandang keluarganya. Hanya saja, Jana tidak tega. Jika dia tetap egois melanjutkan hubungannya dengan Shadiq, lalu apa yang keluarga mereka dapatkan? Menantu yang ternyata anak hasil hubungan gelap? Dan lebih dari itu, Jana tidak hanya menyerah pada hubungannya dengan Shadiq. Dia bahkan sudah menyerah pada hidupnya sendiri. Dan kalau bukan karena Raja yang menemukannya, Jana tidak mungkin masih berada di bumi. >>> Meskipun tidak terlalu pintar, Jana berhasil melalui satu hari di rumah sakit tersebut karena dia bisa berbahasa Inggis. Kuliah ke Jerman, jurusan yang diambilnya adalah Sastra Inggris. Apapun lah jurusannya yang penting satu kampus dengan Shadiq, begitulah dulu prinsip Jana. Pintu terbuka, Jana langsung panik karena berpikir Raja yang kemaren pamit pergi ke Silverstone kembali lagi. Ternyata yang masuk adalah dokter. Jana baru saja hendak bicara ketika pria itu lebih dulu buka suara. “Gue bukan dokter lo,” ucap Nanda. Kemaren dia hanya membantu Raja untuk memastikan keadaan Jana pada rekan Dokternya. Karena di antara Raja yang tampak ketakutan setengah mati dan Nanda, Nanda lah yang paling paham dunia kesehatan ini. Siapa yang menyangka jika setelah terbang ribuan kilometer pun Jana masih bisa bertemu dengan orang Indonesia. Lagi-lagi, saat Jana hendak bertanya, pria itu kembali bicara lebih dulu. “Gue bertugas memantau elo supaya ga bunuh diri lagi atau temen gue bakal repot nantinya.” Jana menatap pria itu lama. Jelas-jelas dia yang merupakan teman raja adalah dokter karena penampilannya sama persis dengan dokter yang menjenguknya semalam. Tapi kenapa mulut dokter yang satu ini begitu kasar? Mau tidak mau, Jana langsung membandingkannya dengan Raja. Pria itu menyerahkan dirinya pada Jana agar tidak memikirkan untuk bunuh diri lagi tapi si Dokter ketus ini mengucap kata bunuh diri seperti mengucapkan tiket konser yang jika gagal di dapatkan, bisa diusahakan lagi nanti. “Apa lihat-lihat?!” tanya Nanda garang. Nanda adalah pria yang begitu mencintai negaranya. Dia menyukai semua tentang Indonesia kecuali perempuan negaranya sendiri karena pernah dibuat sakit sesakit-sakitnya oleh salah satu perempuan berkewarganegaraan Indonesia. Jana mengeritingkan bibirnya kesal. Tapi dia tetap harus meminta informasi pada dokter ini mengingat hanya dia yang saat ini bersama Jana. “Kalau boleh tau, sekarang sudah tanggal berapa?” tanya Jana tanpa perlu bertanya nama. Jana tersenyum karena tidak mendapat respon apa-apa. “Kapan Raja tanding?” >>> Di saat Jana kesulitan mencari tau kapan kejuaraan motor Grand Prix yang Raja ikuti akan dimulai, semua orang yang mengenalnya dengan baik justru sedang panik karena tidak menemukan gadis itu dimana-mana. Mulanya Aini menurut saja pada sang suami. Mereka pulang ke Padang dan menunggu Jana untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf seperti biasa. Tapi setelah berhari-hari menunggu, putri pertamanya itu sama sekali tidak muncul. Aini tidak bisa menggunakan cara Fateh karena hal tersebut hanya membuatnya kehilangan kesabaran sehingga disinilah dia berada. Di rumah cucunya, Bilal, dan tidak menemukan Jana sama sekali. Sekarang Aini ketakutan karena setelah menemui Bilal dan istrinya, keanehan pada Jana hanya mengarah pada satu hal saja. “Nenek ga mau makan dulu?” tanya Bilal pada Neneknya yang hanya untuk memegang ponsel saja tangannya gemetar. “Teh aja,” ucap Aini pada sang cucu dan ia melihat istri Bilal langsung menyiapkan teh untuknya dengan sigap. Aini mengutuk sang suami yang selain masih tidak sadar bahwa istrinya sudah tidak ada di rumah sejak semalam, sampai sekarang dia bahkan belum bangun tidur. Kalau pria itu sudah bangun, pasti dia bisa menjawab telfon Ai dari tadi. “Gara-gara ka lapau tiok malam ko! Koa ka koa taruih!” omel Aini yang membuat Bilal tersenyum samar. Barusan sang Nenek mengutuk Datuk yang rupanya doyan ke warung tiap malam dan rupanya pria kota yang beruntung memperistri Neneknya Bilal itu juga gemar bermain koa atau ceki. “Cicitku mana?” tanya Aini mencoba mengalihkan perhatiannya dari Fateh yang masih mengorok di jam sebelas siang. Pasti. Hanya tidur yang membuat pria itu mengabaikannya di tahun-tahun akhir pernikahan mereka. Dulu apalagi saat hamil Nilam, jangan ditanya bagaimana sigapnya Fateh. Sedang tidur nyenyak pun kalau Aini ingin makan telur puyuh, Fateh pasti akan mengupaskan telur itu untuknya. Bilal menghela napas panjang, “Cicit Nenek namanya Raja. Dia lagi di Inggris. Dia salah satu peserta kejuaraan motor Grand Prix tahun ini.” “Raja sehebat itu?” tanya Aini kagum. “Tidak hebat sama sekali,” ucap Bilal tegas. Kalau bukan mendapatkan juara, yang paling mungkin didapatkan anaknya adalah luka-luka, cacat atau yang paling parah adalah nyawanya melayang. Rizka mengulurkan segelas teh hangat pada Nenek Aini kemudian berujar bahwa jika saja Raja masih ada di Indonesia, mereka bisa menggunakan Raja untuk membantu mencari Jana. Meskipun tidak tau kemana Jana pergi, setidaknya Raja adalah orang paling dekat dengan Neneknya itu selama beberapa bulan terakhir. “Kita ga perlu ganggu Raja. Biarkan cicitku fokus dengan kejuaraan itu.” Dua belas menit kemudian akhirnya Aini mendapat telfon dari Fateh. Buru-buru, wanita itu minta ruangan untuk bicara dengan sang suami. Rizka, istri dari cucunya membawa Aini ke kamar Jana selama beberapa bulan terakhir. “Makasih Rizka,” ucap Aini pada wanita itu. “Sama-sama, Nek.” “Kamu dimana?” tanya Aini pada sang suami. Jika semalam Fateh tidak menyadari bahwa istrinya tidak ada di rumah, berarti semalam sang suami menginap di rumah Om Bayu. Pokoknya, semua orang termasuk Gilang dan Azka, jika mereka bertengkar dengan istri mereka atau terlambat pulang dan menyadari bahwa dengan mereka yang tetap masuk ke rumah tanpa rasa bersalah pasti akan memancing pertengkaran, semuanya pasti pulang ke rumah Om Bayu. “Kamu yang dimana?” tanya Fateh balik. Oh, ucap Aini membatin. Berarti sang suami sudah pulang dan menemukan bahwa Aini tidak ada di rumah. “Aku di rumah mendiang Kak Siti-” “-Ngapain kamu kesana-” “-Dengar aku baik-baik, Teh! Jana punya Nia! Ak-” “-Apa maksud kamu Sayang?” tanya Fateh tidak pernah seserius ini. Sudah puluhan tahun sejak mereka membahas nama yang barusan Aini sebutkan. “Jana punya Nia-nya sendiri. Aku kemari untuk mengajak putriku pulang karena sudah tidak tahan dengan permainan keras kepala suami dan putriku itu. Tapi Jana sudah tidak ada disini dan Bilal bilang saat pertama kali datang ke rumah mereka, Jana bilang dia dijodohkan paksa. Kamu mengerti sekarang?” “Bilal siapa?” “Fateh! Bisa kamu fokus dul-” “-Bilal siapa dulu! Siapa yang kasih izin kamu datang ke rumah laki-laki lain saat aku masih bernapas dengan sangat baik disini?” “Bilal adalah cucuku yang dua minggu lalu baru saja kehilangan Ibunya.” “Oh.. dia cucu kita,” ucap Fateh mengerti. “Jadi kenapa Jana mengaku dijodohkan paksa dengan Shadiq padahal dia lah yang memaksa aku untuk membuat mereka bertunangan selepas SMA?” “Karena bukan dia yang memaksa tunangan. Karena sekarang bukan Jana yang sedang bangun,” ucap Aini akhirnya berani mengatakan ketakutan terbesarnya. Wanita itu tidak takut karena anaknya memiliki kepribadian seperti dirinya. Yang Aini takutkan adalah anaknya tidak tau harus menyikapinya seperti apa. “Tunggu aku disana!” ucap Fateh dan Aini langsung mendengar nada bahwa sambungan telfon sudah diputuskan.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD