6

1631 Words
Beberapa hari kemudian. “Kamu nemu teman di luar?” tanya Bilal pada Jana yang pagi ini kembali mengulurkan tangan padanya. Bermaksud untuk salim. Meskipun agak membingungkan karena Tante-nya lah yang mencium tangannya, tapi Bilal tetap mengulurkan tangannya pada Jana yang tampak sangat buru-buru. “Kepo, Om,” kekeh Jana kemudian berbalik hanya untuk menemukan Raja dengan muka bantalnya. Jana memberikan senyum lebarnya kemudian menepuk pundak Raja dua kali. “Om, cucuku biarin tidur lagi setelah sarapan, ya. Dia baru pulang jam dua malam.” Mendengar kalimat barusan baik Bilal ataupun Raja mendengus. Bilal mendengus karena dia jadi tidak bisa memarahi Raja yang memanfaatkan Nenek Mudanya untuk keluyuran sampai subuh karena Jana masih dalam misi untuk mengakrabkan diri. Sedangkan Raja mendengus karena Jana selalu membocorkan hal yang pasti membuat Papa kesal. Apa salahnya hanya meminta Papa membiarkan Raja tidur lagi setelah sarapan? Kenapa harus bawa-bawa dia yang pulang larut? Namun begitu Raja tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Meski sejak beberapa hari terakhir Jana selalu menjadi tamengnya, tetap saja Raja tidak pernah berharap Jana begitu terobsesi menjadi Nenek yang memanjakannya. Sedangkan Rizka yang melihat bagaimana suami dan anaknya menampilkan ekspresi serupa langsung meminta Raja untuk segera duduk. Wanita itu mengambilkan sarapan untuk putra semata wayangnya dan berkata seceria mungkin untuk mencairkan suasana. Suaminya sudah menahan diri terlalu lama karena Raja benar-benar tidak memberikan celah untuk memanfaatkan ‘keuntungan menjadi cucu kesayangan Jana’. “Hm.. Nenek kemana, Ma?” “Nenek lagi ga enak badan. Nanti turun kalo udah lapar aja.” Rizka menjelaskan bahwa tekanan darah mertuaanya kembali rendah. Kemaren mereka, Jana dan Rizka maksudnya, membawa Nenek Raja periksa ke rumah sakit. “Nenek yang satunya lagi?” tanya Raja karena sejak awal yang ia tanyakan memang Jana. Untuk ukuran seseorang yang pernah memeluknya yang telanjang d**a demi diajak jalan, Jana terlihat plin-plan. Dia tidak lagi mendekati Raja untuk hal yang sama. Rizka melirik pada sang suami yang mendecih setelah mendengar kalimat tanya putra mereka barusan. “Jana? Jana emang lagi mengeksplor ibu kota. Katanya sejak dulu kalo ke mari, dia pasti hanya berdiam di rumah keluarga pihak Ayahnya.” “Tapi apalah yang bisa dilihat di sini, ‘kan?” ucap Bilal menimbrung. “Cuma ada gedung, polusi sama kemacetan.” “Justru itu yang ga biasa dia lihat, ‘kan? Padang bukannya cuma sawah gunung sawah gunung?” cibir Raja. “Sawah gunung sawah gunung kepalamu!” Rizka jadi sangat menyayangkan ketidakhadiran Mama mertuanya di meja makan pagi ini. Tanpa Mama, Rizka tidak bisa berlama-lama berada di antara dua pria ini. Mencoba mengalihkan pembicaraan, Rizka malah berakhir membuat kedua pria itu menatapnya dengan tajam. “Apa mungkin Jana kabur dari rumah bukan cuma karena ga mau dijodohkan? Tapi karena dia punya pacar di sini?” Sedangkan yang diduga sedang bermesraan dengan pacar rahasianya justru sedang menuju ke alamat ke empat yang ada di list panjang miliknya. Sama seperti empat hari yang lalu, Jana selalu mulas. Tidak siap mendengar kebenaran dari orang-orang yang akan ia tanyai satu per satu. Namun begitu dia tetap harus mengetahui fakta yang disembunyikan seumur hidupnya oleh semua orang. Mendapatkan alamat demi alamat yang harus Jana kunjungi satu per satu ini tidak lah sulit mengingat Ayah bersekolah di tempat yang terhitung elit. Bagian paling sulitnya adalah mendatangi semua teman-teman Ayah tanpa harus membuat keluarga Om Bilal curiga. Walau bagaimana pun, Jana terhitung gembel sekarang. Dan jika keluarga Om Bilal mengetahui bahwa dia bukan anak dari Puti Aini, mereka pasti akan langsung menendangnya. Lagian kenapa kehidupan pribadi Ayah harus setertutup ini, sih? Pikirnya. Lima hal yang bisa ketahui dari sosial media milik Ayahnya hanya hubungan baiknya dengan keluarga Om Raka, Om Adri, Mama Bian, anak-anaknya Kakek Rama dan juga dengan keluarga istrinya sendiri yaitu Puti Aini. Sayangnya Jana tidak mungkin membuat spekulasi bahwa Mama Bian lah Ibu kandungnya karena itu adalah hal paling tidak mungkin di dunia ini mengingat bagaimana akrabnya beliau dengan Puti Aini. Lagian bukan Ralin Abriana Chavali nama yang tertulis dalam surat-surat rahasia yang ada pada Jana. Dalam hati, Jana terus saja merapalkan, ‘Semoga Tante ini kenal Nia.’ Semakin cepat ia menemukan teman sekolah Ayah yang mengenal Nia, berarti Jana tidak harus mengunjungi semua alamat yang dia susun dalam sheet khusus demi menemukan Ibu kandungnya. >>> Selain Raja dan Bilal, semua orang bisa melihat bahwa keduanya sangat serupa. Raja keras kepala karena Papanya juga keras kepala. Raja nakal juga bukan karena sepenuhnya faktor eksternal. Faktanya bukan hanya wajah tampan saja yang dia dapatkan dari Papanya. Intinya, semua orang bisa melihat seberapa mirip keduanya. Termasuk betapa berlebihan kedua pria itu saat ini. Yang tua duduk dengan kaki yang selalu diketuk-ketukkan sementara putranya mondar mandir di depan pintu. Pertanyaannya, apa yang membuat dua pria itu risau? Jana adalah jawabannya. Tepatnya Jana yang belum pulang padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan ponselnya, tidak ada yang mengetahui nomor ponsel gadis itu. Karena tidak ada yang merasa perlu memiliki nomor ponsel Jana selama beberapa minggu belakangan berhubung dia tidak pergi kemana-mana. Lagian mereka juga ragu apakah Jana masih menggunakan nomor yang sama mengingat dia sedang kabur dari rumah. Saat Raja hendak melampiaskan kekesalannya dengan memukul pintu, benda tersebut dibuka oleh orang yang dikhawatirkannya seharian. “Be- belum tidur, Om?” tanya Jana gugup. Ia tidak perlu diberitahu bahwa Om Bilal sedang menunggunya. Kalau bukan karena dia harus ke- “Kemana lo seharian? Lo tau jam berapa sekarang?” “Ke Bandung.” Jana tidak menemukan teman ayah karena beliau dan keluarganya pindah ke Bandung. Mau tidak mau Jana harus mencari sampai ke Bandung sana. Gadis itu tau resiko bahwa keluarga Om Bilal bisa curiga. Hanya saja ia tidak bisa pindah ke alamat berikutnya karena Jana menyusun list tersebut berdasarkan peluang paling besar menemukan Mamanya. Tapi tentu saja Jana tidak menjelaskan hal tersebut pada Raja dan Om Bilal yang tampak sedang menahan diri untuk tidak meledak. Jana memberikan alasan bahwa tiba-tiba ia ingin mengunjungi Bandung. “Tiba-tiba?” Jana mengangguk. “Aku bahkan pernah kabur ke Pariaman, ngeliat festival Tabuik waktu aku masih kelas 6 SD.” Meskipun bingung kenapa tiba-tiba Raja jadi juru bicara Om Bilal, Jana menahan keingintahuannya itu. “Kamu ga kabur sama pacar kamu kesini, kan, Jana?” tanya Bilal yang baru bisa merasa lega sejak sore ini. Empat hari belakangan Jana pasti pulang sebelum jam enam sore. Hari ini saja anak ini pulang malam. “Kalo aku kabur sama pacarku, pastinya Om juga nerima dia di rumah Om. Judulnya kabur bareng, ya, ‘kan?” Raja melotot tapi Jana yang posisinya membelakangi cucunya itu tersenyum geli pada Om Bilal-nya. “Becanda, Om,” begitu ucapnya dan menekankan sekali lagi bahwa, “Aku belum pernah punya pacar yang ngajak kabur.” Yang mana hal tersebut semakin membuat Raja kesal mendengarnya. “Kamu sudah makan?” tanya Bilal pada Etek nya itu. “Udah. Aku ga mungkin melewatkan makan. Ini telatnya juga karna makan dulu di luar. Sendiri.” Jana merasa perlu untuk mengatakan bahwa ia tidak bersama siapapun atau ia tidak boleh keluar lagi. Apalagi mengingat Raja yang masih gengsi. Cucunya itu belum bisa diajak bekerja sama dalam waktu dekat. “Ya sudah, kamu istirahat aja. Om juga udah ngantuk.” Jana mengangguk mengerti dan langsung masuk. Saat melewati Tante Rizka, dia memberikan kantong berisi makanan yang merupakan bagian dari rencana penyelamatan diri sendiri kemudian berkedip genit pada istri Om Bilal-nya itu. Senyum ceria Jana hanya bertahan sampai dia pintu kamarnya tertutup. Gadis itu bersandar di pintu dan memejamkan kedua matanya. Ia tidak menemukan petunjuk apapun di Bandung. Apa yang terjadi sampai Ayah benar-benar menghapus jejak Nia dari hidupnya? Segitu memalukan kah wanita itu? Apakah dia bukan dari kalangan wanita baik-baik? Namun begitu Jana tetap ingin mengetahui siapa ibu kandungnya. “Sayang,” ucap wanita yang seumur hidupnya Jana panggil Bunda atau kadang Bundo sambil mengelus d**a sang suami. “Lama-lama kelakuannya kaya Nia. Dia pikir dia bisa mengatur semuanya. Sampai mendaftar kuliah ke Jerman sendiri dan ga merasa perlu ngasih tau kamu sama aku sebelumnya.” Fateh mengingatkan istrinya bahwa hari ini, tiba-tiba saja Jana mengatakan bahwa ia akan berangkat minggu depan. “Untung aku ga kasih taunya sehari sebelum berangkat,” cibir Jana, mencoba bercanda seperti biasa. “Diam kamu!” hardik Fateh untuk pertama kalinya. Ayah mana yang tidak kalut jika putri kesayangannya mengatakan bahwa dia akan berkuliah di negara lain. Tidak cukup kah Ayah-nya Fateh saja yang tinggal di negara lain? Fateh semakin geram menyadari bahwa ternyata ia ditipu mentah-mentah oleh putrinya sendiri. Dia jadi penasaran, kemana Jana sewaktu anak-anak seumurannya mengikuti tes masuk perguruan tinggi negri. Fateh sudah tau bahwa seharusnya ia tidak membiarkan Jana berteman dengan Shadiq. Jana ingat kali pertama nama itu keluar dari mulut Ayah. Dan Tuhan seperti sangat sayang padanya karena saat Jana memutuskan tidur di rumah Kakek Bayu, demi membuat Ayah yang menghardiknya semakin kesal, ia menemukan surat-surat yang tidak pernah diberikan padanya. Surat dari wanita bernama Nia. Tentu saja Jana tidak langsung mencurigai bahwa Nia adalah ibu kandungnya hanya karena Ayah menyebut bahwa kelakuannya seperti Nia. Apalagi surat-surat tersebut tidak mengatakan sama sekali bahwa Jana adalah anak Nia. Hanya saja ada satu surat yang sebenarnya ditujukan untuk Om Gilang tapi seolah-olah ditulis khusus untuk Ayah. Disana tertulis bahwa Nia tau bahwa Fateh, Ayahnya, tidak akan mungkin sudi membaca surat darinya. Mata Jana memanas mengingat hal tersebut. Jana sudah menjalani seumur hidupnya sebagai anak sulung Puti Aini. Bagaimanapun caranya, dia akan menemukan Nia dan menghabiskan sisa hidupnya sebagai anak wanita itu terlepas apakah dia akan menerima Jana atau tidak. Karena ada kemungkinan bahwa wanita itu tidak menginginkan Jana, makanya dia membuat Ayah yang memeliharanya. ‘Aku terlahir terlalu cantik, terlalu beruntung karena punya Ayah dan Bunda yang sayang padaku seperti mereka sayang pada Nilam, putri mereka. Makanya aku harus ketemu orang ini. Memastikan dia hidup dalam keadaan baik dan cukup,’ bisiknya pada diri sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD