5

1572 Words
Begitu pintu tertutup, Jana langsung membawa kedua tangannya ke d**a. Meski ada perasaan tidak nyaman karena tiap sel tubuhnya mengetahui bahwa Jana baru saja memeluk pria asing demi mendapatkan apa yang ia inginkan, Jana tersenyum lebar karena mendapatkan apa yang ia inginkan. Belum tau saja Raja sepak terjang Nenek mudanya ini. Jana terkenal akan satu hal saja. Bukan kecantikannya, bukan karena gelar atau pun kedudukannya di masyarakat, tetapi karena dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan terlepas dari apakah orang lain bersedia atau tidak memberikan hal tersebut padanya. Sayangnya senyum tersebut hanya bertahan beberapa jam saja. Karena begitu bangun, Jana tidak menemukan Raja di rumah tersebut. Rupanya Jana terlalu meremehkan cucunya itu. Bukannya asal-asalan ternyata pepatah Minang “Aia cucuran atok jatuahnyo ka palambahan juo”. Ini cucunya sendiri yang sedang Jana hadapi. “Jana mau kemana?” tanya Rizka pada gadis yang tampak sengaja bersolek pagi ini. “Mau jalan sama Raja,” begitu jawabnya riang sebelum sang menantu mengatakan bahwa Raja sudah pergi subuh-subuh sekali tadi. “Kamu udah janjian sama Raja?” tanya Bilal yang lebih dulu memulai sarapannya. “Udah. Semalam dia mau ngajak aku jalan.” Bilal menghela napas. “Pandai-pandai lah sama cucumu ini, ya, Jan. Kalau dia licik, jadilah lebih licik lagi.” Bilal juga menambahkan bahwa selain putranya itu memang cadiak buruak atau licik, dia juga terbiasa sendiri sejak dua puluh enam tahun lalu saat dilahirkan. Sekarang tiba-tiba ada seseorang yang lebih muda darinya, mana seseorang tersebut perempuan, yang ingin diajak keluar, bukan tidak mungkin anak ini malu. Raja tidak pernah dekat dengan perempuan muda manapun sejauh ini. “Tapi aku Neneknya.” “Tapi kamu ga kelihatan kaya Nenek-nenek.” “Terus aku harus tua dulu baru Raja mau ngajakin jalan?” “Ga harus tua. Bikin dia merasa kalo kamu memang Neneknya.” “Caranya?” Bilal tersenyum jenaka kemudian menunjuk Mama-nya. “Tanya sama Kakak kamu, gimana dia manjain cucu kesayangannya itu.” Mendesah kesal, Jana terpaksa menoleh pada Kak Siti yang rupanya sudah sangat siap menerangkan bagaimana ia memperlakukan cucu kesayangannya sehari-hari. >>> Jana sudah mondar-mandir di depan pintu. Semalam dia bahkan tidak tidur di kamarnya agar bisa memantau Raja yang pasti ingin kabur lagi darinya. Tapi apa? Jana tidak pernah merasa dikerjai seperti ini seumur hidupnya. Memang yang paling benar adalah tidak menaruh harapan pada manusia sekalipun itu darah dagingmu sendiri. Eh, bukan darah daging betulan sih. “Jana? Om pikir kamu belum bangun,” ucap Bilal yang mendapati Jana bersandar di pintu yang akan pria itu lalui. Biasanya Raja yang membangunkan Jana. Jadi ketika Raja tidak ada, tidak ada pula yang naik untuk membangunkannya pagi ini. “Aku bahkan bisa dibilang belum tidur, Om.” Bilal yang sudah siap kembali dengan setelan kerjanya menatap gadis itu dengan kedua alis menyatu. “Raja ga pulang, ‘kan? Aku udah jadi satpam di depan pintu semalaman dan ga ada orang yang lewat dari pintu ini.” “Astaga!” Bilal kira apa yang terjadi, rupanya masih tentang Raja. “Raja ke Austria.” “Kemana, Om?! Ngapain dia kesana?!” Siapa yang tidak akan meraung mendengar orang yang membuatmu tidak tidur semalaman justru sedang ada di negara yang Jana saja tidak tau itu ada di benua apa. “Om ga takut anak om macam-macam di negara orang? Aku ga mau terima cewek ga jelas ngaku kalo dia mengandung cicitku, ya, Om! Sempat ada yang mengaku hamil anak Raja aku sendiri yang mengantarnya ke tempat aborsi.” Berbeda dengan Jana, Bilal justru akan membuat anaknya meregang nyawa jika sempat hal itu terjadi. Bilal tetap akan membiarkan anaknya bertanggung jawab tapi tentu saja setelah dia membuat perhitungan dengan Raja terlebih dahulu. Kemudian Bilal tersadar bahwa Jana sedang menunggu jawabannya. “Dia mengawani temannya yang sedang mengunjungi Kakeknya.” “Emang temannya itu ga bisa pergi sendiri?” tanya Jana yang masih dalam mode ketus. Dan betul. Bilal juga ingin mengatakan hal yang sama kalau saja bukan Abizard, sahabat baik putranya lah yang berbicara dengannya kemaren. Tau sekali si Raja kalau Papanya tidak akan menampakkan taringnya di depan teman baiknya itu. “Kali ini kamu yang gampar anak itu. Om kasih kamu hak buat menunjuk-ajar dia.” “Ga bisa dong! Om yang marah sama dia dan aku yang bela dia. Kalo ga gitu gimana dia bisa mau dekat sama aku, si satu-satunya Nenek yang dicuekin sama cucunya di dunia ini.” Dan benar saja, tidak ada yang bisa lebih kompak lagi di dunia ini selain Bilal dan Jana. Karena tujuh hari kemudian, Raja yang baru pulang tidak bisa berkata-kata. Bagaimana tidak? Papa diteriaki lebih keras daripada teriakan yang beliau berikan padanya. “Ga ada yang boleh teriak-teriak sama cucu kesayanganku. Kalau Om masih begini jangan salahin aku kalo kubawa Raja keluar dari rumah ini!” “Kamu kaget, ya?” tanya Jana lembut setelah meneriaki Om Bilal. Raja mengangguk. Siapa yang tidak kaget coba? Sekalinya ada yang berani membentak Papa, orang itu justru harus perempuan yang lebih muda darinya. Mana Papa terlihat ciut begitu setelah diteriaki Jana. “Kamu udah makan?” tanya Jana sambil mengelus-elus lengan Raja. Raja tentu saja masih bingung. Juga masih menerka-nerka apa yang sekiranya sudah terjadi selama tujuh hari terakhir. “Jawab pertanyaan orang tua, Raja!” tegur Papa yang terlihat masih ingin menyelamatkan image garangnya. “Om! Aku nanya sama Raja kenapa Om yang buka suara? Mana kelihatan banget masih mau marah.” Jana kembali pada Raja setelah mengerling pada Om Bilal. Untuk ukuran dua orang yang hanya memiliki gambaran kasar tentang apa yang akan mereka lakukan, mana tanpa gladi resik, Jana dan Om Bilal terbilang cukup sukses jika melihat raut yang Raja tampilkan. “Raja udah makan, Sayang?” Dan Raja bersumpah hanya dia sendiri saja yang kaget mendengar satu kata terakhir barusan. “Be- belum,” ucapnya. “Kalau gitu ayo makan.” “A- aku mandi dulu,” jawab Raja yang jangankan Jana, atau yang lainnya, pria itu sendiri bahkan tidak sadar bahwa barusan dia menggunakan kata aku. “Oh mau mandi dulu? Mau dibawakan makan malamnya ke kamar aja?” tanya Jana sambil berlalu menuntunn Raja menuju anak tangga. Satu tangannya memegang lengan Raja sedang tangan yang lain dengan tekun mengelus punggung cucunya itu. Sedang tiga manusia dewasa yang ditinggal begitu saja sibuk dengan pikirannya masing-masing. “Aku merasa Jana memposisikan dirinya kaya istri Raja. Mana pernah Mama nganter makan malam ke kamar.” “Mama justru merasa Jana jauh lebih cocok jadi putri kamu dibandingkan anak kandungmu sendiri.” “Itu Jana ga apa-apa dibiarin menjalankan perannya jadi Nenek? Takutnya anakku jadi baper lama-lama,” ucap Rizka. >>> Raja baru keluar dari kamar mandi dan dia langsung mendapati senyum lebar Jana yang di tangannya terdapat sepiring makan malam. Dan sepertinya dia benar-benar menganggap Raja sebagai cucunya karena tidak ada perasaan risih sama sekali saat melihat pria yang tidak mengenakan atasan atau karena berada di ruangan yang sama dengan pria dewasa. “Ini masih tentang lo yang pengen diajakin jalan?” Masa seminggu ditinggal anak ini tidak keluar rumah sama sekali. “Aku udah keluar kemaren sama Om Bilal, sama Kak Siti.” “Terus kenapa lo tiba-tiba begini?” “Karena aku ga mau Kak Siti sedih. Seminggu kamu ga pulang-pulang, kamu ga tau cemasnya Mama sama Nenek-nenekmu ini, ‘kan? Supaya kamu nyaman tinggal di rumah ini, aku harus bikin Om Bilal sadar kalo dia udah terlalu keras sama kamu selama ini.” Raja yang sedang mengeringkan rambutnya terpaksa berhenti. Ini siapa yang mengarang indah alasan kenapa dia tidak pulang seminggu terakhir? Apa Mama atau Nenek, tidak ada yang memberitahu Jana? “Apapun yang mau kamu lakuin, bilang ke aku. Aku udah ingetin Om Bilal kalau aku ini Etek-nya. Kalau dia merasa bisa mengatur-ngatur kamu karena dia Papamu, aku juga bisa menentukan mana yang boleh dan mana yang ga boleh karena kamu adalah cucuku. Posisiku jauh lebih tinggi dari Papamu.” Jana meletakkan piring yang ia bawa kemudian membuka lemari Raja seolah dia sudah familiar saja. Beruntung Jana bisa menemukan kaos pria itu di pencarian pertama. “Oh jadi ini tentang elo dan Papa. Kalian mau nunjukin siapa yang paling berkuasa dan kalian butuh gue,” ucap Raja yang mau tidak mau menerima pakaian dari Jana. “Aku ngerti kenapa kamu mikir begitu. Tapi kamu harus ingat kalo kami sayang sama kamu, Ja. Kamu pengen yang terbaik buat kamu.” Raja baru saja keramas tapi kulit kepalanya kembali terasa gatal karena kalimat barusan. “Udah terlalu banyak yang sayang sama gue, Jan! Lo ga usah ikutan sayang sama gue.” “Tapi kamu cucuku.” “Iya!! Cucu lo yang udah dua puluh enam tahun. Dan apa lo sadar lo lagi nyoba nyuapin gue? Gue kelihatan kaya bocah banget?” tanya Raja tidak suka saat melihat gelagat Nenek mudanya ini. Seminggu jauh dari wanita ini sempat membuat Raja lupa kalau dia adalah Neneknya. Tapi ternyata seminggu jauh dari sekedar cukup bagi Jana untuk semakin mendalami perannya sebagai seorang Nenek. “Maaf kalo kelewatan,” ucap Jana lemah kemudian meninggalkan kamar tersebut tanpa perlu membanting pintu seperti kebiasaan Raja. Rahang Raja terjatuh melihat yang satu ini. Dia yang beberapa menit yang lalu berteriak pada orang paling galak yang Raja tau, justru terlihat sedih karena ucapan Raja yang bahkan tidak sampai seperempat pekikannya yang tadi. Sedang di luar sana, Jana berteriak dalam diam dan menggelinjang kesenangan. Selesai sudah tugasnya untuk membuat Raja merasa bersalah. “Get Ready, show time!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD