BAB 24 - Trust Me!

1586 Words
Ana bergerak gelisah dalam pelukanku, perlahan-lahan ia bergeser untuk menyingkir dari pangkuanku menuju kursi di sebelah, aku menahannnya namun ia tetap bersikeras bergeser ke sebelah dan aku membiarkannya. “Bagaimana..” “di apartemen saja Ana.” Ana memalingkan wajahnya dengan bibir mengerucut, memalingkan wajahnya ke arah jendela. Kedua alisku terangkat ketika pandangannya kembali mengarah padaku, kedua matanya menyipit menaruh curiga, apa yang berada di dalam pikirannya saat ini membuatku penasaran. Tiba-tiba saja bibirnya tertarik membentuk senyum simpul tapi matanya tetap menaruh curiga padaku, ia memalingkan wajahnya kembali menatap ke arah jendela. “tidak apa-apa. Aktingmu semakin bagus setiap harinya.”aku tidak mengerti dengan apa yang Ana katakan, apa maksudnya dengan akting dan kekesalannya terhadapku yang terlihat jelas dari ekspresi wajahnya saat ini. Saat kami tiba di apartemen aku keluar lebih dulu mengulurkan tangan untuk menolongnya namun Ana mengabaikanku. Saat di lift dia berdiri di ujung dengan tubuh bersandar pada dinding lift sementara kedua tangannya berpegangan pada tiang di sisi lift. Tubuhnya terlihat sangat lemah namun dia bersikeras untuk tidak mendapat pertolongan dariku. Aku melirik ke belakang saat lift terbuka dia mengikutiku masuk, mengekoriku di belakang. Aku berjalan menuju kamarku dan mendengarkan mengatakan sesuatu. “minta kakekmu untuk tidak melakukan kekerasan seperti itu, jika dia melakukannya lagi. kontrak ini batal. Aku tidak mau nyawaku terancam karena berdekatan denganmu.”perkatannya membuat langkah kakiku terhenti, tubuhku menyamping untuk bisa menoleh ke arahnya yang saat ini tengah berlari dengan langkah terpongah-pongah menuju ke kamarnya, aku takut dia terjatuh karena laju larinya yang tak beraturan tapi dia sampai dengan selamat karena bunyi pintu kamarnya yang cukup keras. Aku harap dia tidak terjatuh di dalam sana, atau tersandung karpet di dalam kamarnya karena berlari seperti itu. Aku memutuskan untuk mandi lebih dulu sebelum mengurus masalah lain yang tertunda. Setelahnya pergi menuju ruang kerja dimana Ray sudah menungguku di ruang tengah, ia mengekor mengikutiku masuk ke dalam ruang kerjaku. Aku mendudukan diriku di kursi sementara ia berdiri dua meter dari meja di hadapanku. “bagaimana?.” “tidak sulit untuk membuatnya buka suara, namun dia tidak disuruh langsung oleh keluarga Shitler, seseorang memintanya melakukannya. Berusaha untuk menutupi jejak namun kita bisa langsung mengkonfirmasinya.”Ray memiliki orang dalam di bagian kelompok Shitler, sulit untuk membuatnya dapat bekerja sama sebelum ini hingga akhirnya mereka setuju dengan negosiasi yang panjang, cukup rumit dan membuatku kesal. Tetapi bayarannya cukup setimpal dengan informasi yang bisa kudapatkan tentang apa saja yang akan dilakukan oleh keluarga Shitler. “kemungkinan akan lebih dari ini, nona Shitler sepertinya tidak akan menyerah dan melepaskan Ana begitu saja.”aku tahu itu, pertemuan kami dan keluarganya di malam pesta kebun tidak berjalan dengan baik. Ia merasa sakit hati karena aku menolak lamarannya, siapa yang akan menyetujui lamaran itu, aku bahkan tidak ingin meneruskan apa yang kakek mulai, Alice lebih cocok dengan itu, walau ia perempuan sesungguhnya ia lebih bisa bersikap kejam di bandingkan aku. Alice tidak mengenal kesempatan kedua jika dia benar-benar sudah kecewa dan tak menyukai orang itu maka dia akan langsung menghabisinya tanpa mengenal ampun. “lalu dimana dia sekarang?.” “masih di bawah, kau ingin menemuinya?.”kepalaku menggeleng, menolak ajakan itu. aku tak ingin melihatnya ataupun bertemu dengannya. Aku tetap ingin mendapatkan informasi lebih dariya namun orang luar sepertinya tidak tahu apapun, untuk orang dalam yang Ray miliki aku tidak percaya sepenuhnya ia mengatakan apapun yang Shitler rencanakan. Walaupun ia berkhianat namun aku masih yakin ia tak benar-benar berpaling sepenuhnya. “cari tahu lebih dalam apa yang akan ia lakukan untuk menyakiti Ana dari lewat orangmu, aku serahkan padamu untuk orang ini. Apa yang akan kau lakukan padanya! Jika dia dilepaskanpun orang Shitler akan membunuhnya untuk menutupi mulutnya. Apalagi mereka tahu kita berhasil mendapatkannya, biarkan dia bebas, jangan mengotori tanganmu dengan luka kecil.” “baik sir.” “ada lagi yang ingin kau katakan?.” “tidak ada.” “kau boleh pergi.” ** Aku bangun pagi-pagi sekali karena tidak bisa tidur dan memutuskan untuk berolahraga pagi, setelahnya mandir dan memutuskan untuk melihat email pekerjaan seraya menunggu waktu. Masih terlalu pagi dan masih terlalu jauh dari jam biasanya kami berangkat, aku menyerutput kopiku dan mataku beralih pada jendela di kantorku yang tirainya terbuka dan mendapati Ana, sepertinya wanita itu juga sama sepertiku, tidak bisa tidur mengingat ia cukup syok dengan peristiwa semalam. Aku menyeruput kopiku lagi lalu memutuskan untuk menyusul Ana yang sudah turun lebih dulu, tak lupa membawa jasku yang tersampir di punggung sofa. Saat aku tiba di bawah ia sudah lebih dulu pergi menggunakan taksi, langkah kakinya begitu cepat hingga aku tidak bisa menyusulnya, tubuhnya kecil kenapa jalannya cepat sekali. Aku memanggil Ray untuk segera menjemputku dan menyusul Ana, wanita itu meminta penjelasan kemarin dan mengira kakek berada di balik semua ini, aku ingin meluruskannya dan membuatnya tak berpikir yang macam-macam mengenai keluargaku, aku tak berniat untuk melukainya begitu pula keluargaku. Saat aku tiba, aku baru saja melihat taksinya pergi melewatiku dan mencari-cari keberadaan Ana. Dia berasa di salah satu Café, aku mengikutinya pergi menuju Café dan mendapatinya tengah duduk bersandar pada dinding dengan kedua mata terpejam. Ada kantung mata berwarna kehitaman di bawah matanya, jelas sekali terlihat jika Ana mengalami kurang tidur. Aku menarik kursi di hadapannya dan duduk, tiba-tiba saja dia membuka matanya dan ekspresinya berubah kesal. Dia terlihat marah padaku dan aku tak mengerti kenapa, jika karena pemikiran salah pahamnya maka aku akan membuatnya tahu. Tapi yang Ana lakukan adalah berdiri dan berniat pergi dari hadapanku. Ana mengambil jaketnya lalu mengambil satu langkah pergi untuk meninggalkanku, aku menahan dirinya dengan memegang pergelangan tangannya yang membuatnya berhenti. “Jangan menghindariku, bukankah kau penasaran dengan apa yang terjadi semalam?.” Helaan nafas lelah lolos dari bibirnya, ia membalikan tubuhnya menghadap ke arahku agar bisa menatapku. Ana memutuskan untuk kembali duduk di kursi di hadapanku, jelas sekali ekspresinya menunjukkan betapa penasarannya dia akan hal ini. Matanya menyipit, memberikanku tatapan curiga. “Bagaimana kau tahu aku di sini? Sekarang jujur padaku Tristan,”Ia melototiku dengan kedua tangan bersedekap. “dimana kau taruh alat pelacaknya?.” Sebelah alis ku terangkat, lalu mendengus seraya memalingkan wajah menahan tawa. Sementara ia melemparkan tatapan sengit ke arahku. Ia membuatku ingin tertawa, bibirku berdekut dan aku berusaha untuk menahan diri. Aku tak menyangka dia akan bertanya tentang hal itu. “aku tidak menduga jika hal itu yang keluar dari bibirmu.”Kedua matanya mengerjap bingung, ia menyeruput kopinya dan menatapku dari balik bulu matanya. “ini salah satu hal yang juga membuatku penasaran! Bagaimana bisa kau bergentayangan ke sana kemari di sekitarku, kau seperti cctv. Lalu untuk kejadian semalam.. apa itu ulahmu?.”Bergentayangan dia bilang, apa aku terlihat seperti hantu. Pemilihan katanya benar-benar lucu, selera humornya cukup bagus dan aku tak bisa menahan bibirku untuk tidak tersenyum. Wajahnya sangat ekspresif, apakah dia sadar jika ia memiliki ekspresi yang lucu. Bagaiamana perasaannya saat ini, ia menunjukkan nya melalui mata dan ekspresinya. “bukan. Juga bukan keluargaku.”ekspresinya berubah menjadi kebingungan, ia tampak ragu menatapku dengan mat aitu, penuh dengan kecurigaan. Aku mulai bertanya-tanya apa yang saat ini tengah dipikirkannya. Mencoba menilai apa isi pikirannya saat ini dengan ekspresi yang ia tunjukan saat ini. “lantas siapa? Kau pikir aku percaya jika ada mafia yang mengincar nyawaku selain dirimu.” Benar, dia tidak memercayaiku. Bukankah seharusnya yang bisa dia percayai hanya aku. Karena jelas-jelas aku berusaha melindunginya, tapi yang ku dengar darinya adalah keraguan. Menyadari keraguannya membuatku furstasi. “kenapa kau tidak bisa mempercayainya?.” “jangan main-main denganku!.”dia memberiku ancaman dengan peringatan, jujur saja Ana kau salah orang jika berkata begitu padaku. Aku mendengus lagi dan memalingkan wajah ke sekitar, berada di public seperti ini membuatku selalu berada dalam mode waspada. “Apa aku pernah berbohong padamu?.”aku mencoba untuk meyakikannya tapi sulit untuk membuatnya percaya, ekspresinya masih berkata jika dia masih merasa ragu terhadapku. Keraguan yang membuatku jengkel, apa dia tidak bisa percaya saja dan berpikir tentang apa yang telah ku lakukan untuknya agar membuatnya yakin. “kau bahkan membohongi satu kota apa kau lupa! Aku partnermu dalam melakukan kebohongan itu.”bisa-bisanya dia berkata begitu. Walaupun perkataannya barusan ada benarnya tapi, tidak bisakah dia menyamakannya pada hal lain, aku memiliki alasan yang sangat kuat kenapa harus melakukan hal itu. “padamu! aku tidak peduli dengan mereka.”aku butuh kepercayaannya, kenapa sulit sekali untuk mempercayaiku Ana Wren, kau membuatku furstasi dan jengkel secara bersamaan. “kau jelas-jelas berbohong, kau pikir aku akan percaya,”Ia mendesah frustasi di hadapanku, sangat berlebihan. Bukankah seharusnya aku yang bersikap begitu. “Tsk! Mana mungkin kau tidak membohongiku! Aku tidak percaya. Katakan saja siapa dia!.” Seharusnya dia bisa tahu siapa dalang di balik ini, jelas-jelas dia menantangnya di pesta malam itu. Aku mencondongkan tubuh ke arahnya hingga membuat sebelah alisnya terangkat tinggi, menatapku bingung. Menghindari percakapan yang bisa di dengar oleh orang lain. Café mulai ramai dan membicarakan hal ini di tengah keramaian memiliki resiko. “Apa kau lupa nona Wren! Kau membuat seorang wanita kesal di pesta kebun waktu itu.” Ana tersentak kaget, keningnya mengerut. Matanya melirik ke sisi kanan lalu kembali menatapku, beberapa kali seolah mencoba mengingat-ingat akan sesuatu yang terlupakan. Ia dengan mudah meluapakan hal itu tapi mengingat jelas jika aku berniat untuk membunuhnya saat pertama kali bertemu. Yang patut ia waspadai adalah keluarga Shitler bukan aku. Kedua pupil mata Ana membesar, aku tahu dia mulai mengingat apa yang ia alami dan aku paham keterkejutannya. “Jessica?.” Tebakannya tepat dan aku sadar ia mengingat apa yang terjadi padanya dan apa yang ia alami di pesta kebun waktu itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD