Pesawat kami baru saja tiba di New York, pandanganku beralih pada Ana yang masih terlelap. Seorang pilot mengungumkan tentang pendaratan dan meminta kami untuk memakai sabuk pengaman, aku pindah ke sebelah Ana dan dengan hati-hati mencoba untuk tidak membangunkannya, aku memakaikannya sabuk pengaman dan menyingkirkan buku itu dari wajahnya. Aku memakai sabuk untukku sendiri, pandanganku tak bisa lepas darinya. Tanpa ku sadari bibirku tersenyum, melihatnya tertidur sepulas itu membuatku ingin menyentuh wajahnya namun aku menahan diri. Setelah kami pesawat mendarat dengan sempurna aku melepaskan seatbeltku dan milik Ana lalu berbisik di telinganya.
“kita sudah sampai, bangunlah.”
Tubuh Ana seolah tersentak kaget, ketika matanya terbuka aku berdiri mengambil barang-barangku dan keluar lebih dulu, sementara ia menyusulku di belakang. Kami hanya terdiam di dalam mobil, sementara Ana terlihat masih mengantuk.
“tidurlah lagi.”ucapku tanpa melihat ke arahnya, mataku tertuju pada email masuk ke dalam ponselku.
“aku sudah terlalu banyak tidur.”ucapnya. Matanya terus tertuju ke arah luar, menatap setiap tempat yang kami lalui hingga mobil terhenti saat di lampu merah. Tiba-tiba saja Ana bergerak di tempatnya duduk hingga membuatku menoleh ke arahnya.
“buka pintunya,”serunya, hingga membuatku menatapnya bingung. Apa-apaan itu. “cepat buka pintunya.”serunya lagi tak sabaran. Saat pintu terbuka Ana langsung pergi begitu saja tanpa menoleh sedikitpun ke arahku, sialan.
“beristirahatlah, aku harus pergi ke suatu tempat. Sampai jumpa nanti malam.”ucapnya tanpa melihat ke arahku sedikit saja. Bukankah ia seharusnya menatap mataku, atau melirikku. Bukannya main pergi begitu saja. Wanita itu benar-benar membuatku frustasi.
“ANA!.”aku berteriak memanggil namanya hingga membuatku ikut keluar dari mobil dan berdiri dengan pintu terbuka. Melihatnya yang berlari ke trotoar ke arah berlawanan. Kalua saja lampu tidak tiba-tiba berubah menjadi hijau aku akan langusng mengejarnya.
“suruh orang untuk mengikutinya.”
“baik sir.”
Aku menyalakan gps, melihat kemana perginya Ana. Aku bisa melacak ponselnya, kemana dia akan menghilang dan pergi. Dia membuatku khawatir, ia tak mengatakan apapun tentang tujuannya. Kekesalanku terbit mencekikku dengan kemarahan, sulit untuk mengaturnya dan bagaimana kami menjalani hidup sebagai pasangan tentu saja Ana tidak akan menurutiku. Jika aku memberikannya ultimatum pun aku ragu apakah dia akan tetap berubah menjadi penurut atau aku akan tetap kesulitan untuk membuatnya patuh.
“Ana pergi menuju ke rumah teman kantornya, namanya Rachel.”aku tahu siapa itu, wanita. Aku menyelidiki semua tentang Ana, rekan kerjanya dan dimana kediaman mereka, aku ingat mengenai satu wanita ini dan aku merasa lega karena bukan pria yang menjadi tujuan kemana ia akan pergi. Namun tetap saja aku tak bisa tidak merasa kesal karena ia pergi begitu saja.
“Ana diikuti.”sialan, baru saja aku merasa sedikit lega. Aku sudah bisa menduganya sejak kami di San Fransisco, genjatan senjata itu sudah ada dan kini dia memulai aksinya. aku benci merasa panik, biasanya aku selalu tenang akan segala hal namun Ana menjungkirbalikan hidup dan perasaanku hingga membuatku merasa kacau.
“tetap awasi. Putar balik mobilnya menuju rumah Rachel.”menjemput Ana dan membawanya kembali ke Apartemen bersama adalah pilihan yang bagus, di bandingkan aku harus menunggunya di Apartemen dengan keadaan uring-uringan karena ingin segera melihatnya dan mengetahui kondisinya.
“baik sir.”
“ciri-ciri.”aku melihatnya berada di kediaman wanita itu, cukup lama sepanjang jalan kami menuju ke sana ia tetap brada di sana. Baguslah, ia tidak sendirian dan orang-orang di sekelilingnya akan melindunginya.
“seorang pria. Tubuh berisi, berjanggut dan bermata coklat tua. Berambut kuning.”rupanya jelas lebih besar dari Ana, akan sulit bagi Ana untuk melakukan perlawanan.
“cepat jemput Ana.”aku mencoba meneleponnya, berdering namun ia tak kunjung mengangkat telepon, membuatku kesal lagi-lagi Ana. Kenapa sulit sekali baginya untuk mengangkat telepon.
“dia sudah bertemu dengan Ana di lantai 18, pria itu juga berada di dalam.”Sial! aku menjadi panik, berharap sesuatu belum terjadi padanya, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak panik.
“bagaimana kondisi Ana?.”pertanyaanku menuntut, Ray menyentuh earphone di telinganya mendengar jawaban dari seseorang di sebrang sana yang saat ini menemukan Ana. Konfirmasi darinya adalah jawaban untukku, dengan tidak sabaran menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya. Apakah wanita itu baik-baik saja atau seseorang telah melukainya.
“Aman.”Ray mempercepat laju mobilnya dan aku menunggu dengan tidak sabaran. Mobil memasuki parker basement gedung. Saat mobil berhenti, dengan panik aku loncat keluar dari dalam mobil berlari menuju lift.
Lift berdenting tepat saat aku sudah berdiri di hadapannya, orangku berhasil melumpuhkannya, kedua tangannya terikat ke belakang dengan posisi berlutut, bersimpuh menghadap ke arah pintu lift. Mataku beralih pada Ana, wanita itu duduk di sudut lift dengan kedua telapak tangan yang menutupi wajahnya. Ia terlihat sangat ketakutan dan aku tak heran dengan apa yang ia alami. Ana sangat takut mengira aku mafia namun kini ia berurusan dengan seseorang yang benar-benar ingin melukainya dan aku tahu bagaimana perasaannya saat ini. Rasa panik dan rasa takut yang membuatnya sampai seperti itu. orangku membawanya keluar sementara Ray menahan pintu lift aku berjalan masuk, mendekati Ana. Berjongkok di hadapannya.
“Ana.”
“JANGAN.”Ana menjerit takut saat aku menyentuh lengannya. Dia benar-benar ketakutan, aku tak ingin menyentuhnya dulu dan membuatnya panik. Wajahku mendekat ke arahnya, lebih mencondongkan tubuhku ke arahnya dan berbisik.
“ini aku Tristan.”
Perlahan-lahan Ana menyingkirkan lengan yang menutupi wajahnya, wajahnya memerah dan air matas mebasahi pipinya, saat pandangan kami bertemu dia menyerbu ke arahku, hampir saja membuatku terjatuh kalua saja aku tak langsung menahan diri untuk menyemimbangkan posisiku. Tubuhnya gemetaran dan dia memelukku dengan erat. Aku bisa merasakan ketakutannya, bagaimana sikapnya saat ini. Aku mengusap bahunya, mencoba untuk menenangkannya.
“aku sudah di sini, kau aman. Kau bisa berdiri?.”Ana menggelengkan kepalanya.
“tubuhku telalu lemas, aku tidak bisa berjalan.”Mendengar suaranya yang gemetar dan merajuk seperti itu membuatku ingin tertawa.
“jangan tertawa. ini tidak lucu.”gerutunya.
“maaf.”Aku mengangkat tubuh Ana, menggendongnya. Kedua tangannya memeluk leherku, kepalanya tenggelam di dadaku. Aku membawanya ke mobil dan meminta Ray untuk menahan pria itu dan mencari tahu dari mulutnya. Satu mobil tiba, dia adalah bawahan Ray dan mereka yang akan mengambil alih laki-laki itu dari sini, sementara Ray tetap akan mengemudi mobil dan membawaku beserta Ana kembali menuju Apartemen. Aku penasaran dengannya namun Ana harus lebih di dahulukan, kondisinya saat ini sangat mnegkhawatirkan. Dia tidak menjauh dariku dan posisinya masih sama, berada dalam dekapanku sepanjang perjalanan. Ana tak berkomentar apapun dan memilih diam, aku menawarkannya minuman tapi dia menolak dan memilih untuk memejamkan mata, memeluk tubuhku erat.