Part 33 (Dilema Bara)

1203 Words
Part 33 (Dilema Bara) Di ruang tunggu pasien, Bara tampak duduk dengan bahasa tubuh yang tidak tenang. Ia menunggu pertemuannya kembali dengan Rania dengan perasaan tak karuan. Tapak kaki kanannya terus saja menepuk-nepuk lantai keramik berwarna putih rumah sakit besar itu. Ia menoleh ke kanan dan kiri, untuk mencari sosok yang ia tunggu-tunggu kehadirannya. Tak lama, sebuah suara mengejutkannya dari arah belakang. "Assalamualaikum." Suara lembut itu seolah-olah seperti angin sepoi-sepoi yang membuat kegelisahannya sirna, digantikan oleh sebuah kesejukan. Bara menoleh ke belakang, lalu segera bangkit berdiri untuk menghadap kepada seorang gadis bercadar yang masih mengenakan jubah putih profesinya. Jantung pemuda itu semakin berdetak tak karuan melihat gadis yang selama ini bertengger di hatinya, yang selama ini ia rindukan, kini berdiri tak jauh di hadapannya. "Waalaikumussalam. Rania—“ "Bagaimana keadaan Pak Amin?" potong Rania sebelum Bara menyelesaikan kata-katanya. Ia tak ingin ada percakapan yang tidak penting di antara mereka, yang akan membuat suasana menjadi canggung dan tidak nyaman. Terlebih, Rania memang benar-benar mengkhawatirkan kondisi Pak Amin saat ini. Bara bisa menangkap rasa khawatir dari sorot mata gadis itu. Ia paham, Rania mungkin menganggap kedatangannya kembali malam ini ke rumah sakit karena kondisi Pak Amin yang gadis itu khawatirnya. "Pak Amin baik-baik saja, alhamdulillah,” jawab Bara. “Sekarang beliau sedang beristirahat.” “Syukurlah. Saya pikir terjadi sesuatu dengan Pak Amin hingga Kak Bara datang lagi malam-malam begini ke rumah sakit.” Bara tersenyum mendengarkan ucapan Rania. Terlebih, sebutan “Kakak” yang kembali ia dengar dari bibir gadis itu, membuat hatinya kembali bersemi dipenuhi oleh berbagai macam bunga berwarna-warni. “Maaf jika membuatmu khawatir,” ucap Bara. Rania mengangguk. Ia tidak mengatakan apa pun karena menunggu pemuda di hadapannya itu segera mengutarakan niatnya menemui dirinya tanpa harus ia tanyakan terlebih dahulu. Beberapa detik hening menyelimuti keduanya. Benar-benar terasa canggung. Rania terus menunduk, menatap kursi tunggu di hadapannya. Sedangkan Bara, masih terus mengumpulkan segenap keberaniannya untuk mengatakan niatnya kepada gadis yang sudah menjadi seorang dokter itu. "Rania ... aku ingin mengatakan sesuatu,” ujar Bara setelah berhasil mengumpulkan seluruh keberaniannya dan mengalahkan rasa minder di dalam dirinya terhadap gadis itu. Rania melirik ruangan tunggu pasien tempat ia dan Bara berdiri. Ada beberapa orang keluarga pasien rawat inap yang sedang duduk di kursi tunggu lainnya. Ia juga melihat ke tempat pendaftaran. Di sana, perawat yang sedang bertugas malam ini tampak sedang memperhatikan dirinya dan Bara. Rania jadi merasa tidak enak karena beberapa pasang mata memperhatikan mereka. Ia takut menimbulkan kabar di rumah sakit ini tentang dirinya dengan seorang pria. "Ada apa?" tanya Rania pelan. "Bisa bicara berdua?" Bara turut melihat sekeliling. Ia juga merasa itu bukan tempat yang tepat untuk menyampaikan niatnya. Bara butuh tempat yang tenang, yang tidak ada seorang pun yang akan mendengar apa yang akan ia katakan kepada gadis itu. “Maaf, memangnya Kak Bara mau bicara apa? Kenapa tidak di sini saja?” Rania mencoba bernegosiasi. Ia takut jika hanya berbicara berdua dengan seorang pria, akan menimbulkan fitnah baginya dan juga pemuda itu. “Tidak bisa di sini. Bisakah kamu memberikan waktu untukku, Rania? Kalau pun tidak malam ini, apa besok aku bisa berbicara denganmu?” ujar Bara dengan wajah yang tampak memelas. Rania mengernyitkan dahi mendengar penuturan lelaki di hadapannya itu. Memangnya, hal penting apa yang akan diutarakan oleh lelaki itu? Batin Rania terus bertanya-tanya, juga berdebar-debar tanpa sebab. Penasaran dengan apa yang akan dikatakan Bara, akhirnya Rania memutuskan untuk memberikan waktunya kepada lelaki itu untuk mengutarakan niatnya. "Tunggu sebentar," pinta Rania kepada Bara, lalu ia melangkah menuju tempat pendaftaran pasien dan membuka atribut dokternya. "Saya titip sebentar, ya. Kalau ada pasien, tolong telepon ke ponsel saya saja," pintanya kepada perawat seraya memberikan jubah putihnya. "Baik, Dok,” jawab perawat seraya mengambil jubah dokter Rania, lalu menyimpannya di laci bagian bawah meja pendaftaran pasien. "Terima kasih,” ucap Rania kepada perawat itu, lalu kembali menghampiri Bara yang masih menunggunya di ruang tunggu. Dokter muda itu pun kembali berdiri menghadap Bara. "Ikut saya, Kak,” pintanya, lalu melangkah menuju halaman rumah sakit, yang tak jauh dari tempat parkir. Bara pun mengikuti Rania dengan berjalan satu meter di belakang gadis itu. Rania sengaja memilih lokasi itu. Sebab, selain terang, juga ada banyak orang di sekitar situ. Beberapa keluarga pasien tampak duduk sambil mengobrol, sekuriti yang berjaga di posnya, juga pedagang-pedagang makan yang membuka lapak dagangannya di depan area rumah sakit. Dengan begitu, ia yakin tidak akan menimbulkan fitnah antara dirinya dengan seorang lelaki yang bukan mahramnya seperti Bara. Juga, tidak akan ada yang mendengar apa yang akan dikatakan oleh pria yang kini berdiri dengan jarak satu meter di sampingnya. "Kita bicara di sini saja, Kak,” ujar Rania. Bara mengangguk. Ia juga merasa lokasi yang dipilih oleh gadis itu merupakan lokasi yang tepat untuknya berbicara dengan Rania. “Rania ... saya ke sini ingin—“ “Rania!” Panggilan dari arah tempat parkir membuat Rania dan Bara terkejut. Keduanya menoleh secara bersamaan ke sumber suara yang memanggil nama gadis itu. “Dokter Irham?” gumam Rania melihat sosok lelaki yang datang ke rumah sakit dan berjalan menghampirinya. “Dokter Irham, apakah ada jadwal operasi malam ini?” tanya Rania heran melihat kedatangan dokter bedah itu ke rumah sakit. Setahu gadis itu, malam ini tidak ada jadwal operasi apa pun di rumah sakit itu. Selain dokter jaga seperti dirinya dan beberapa dokter umum lainnya yang sedang piket malam, tidak ada dokter lain, apalagi dokter spesialis bedah di rumah sakit malam ini. “Tidak ada. Saya kemari untuk menemuimu,” jawab Dokter Irham, yang membuat Rania merasa aneh. Malam ini, ada dua orang lelaki yang sengaja datang ke rumah sakit untuk menemuinya. Sementara, Bara yang berdiri di samping gadis itu, tiba-tiba merasa kembali rendah diri melihat sosok lelaki tampan dan berwibawa di hadapan mereka, datang untuk menemui gadis pujaan yang akan ia lamar. “Ada apa, Dokter?” tanya Rania. “Apa kamu sibuk? Oh ya, kenapa kamu berdiri di sini?” Dokter Irham menoleh ke arah Bara yang mematung di antara mereka. Ia mencoba mengingat-ingat wajah pemuda yang ia rasa tak asing itu. Rania bingung harus menjawab apa atas pertanyaan lelaki di hadapannya itu. Ia tahu betul bahwa Dokter Irham diminta sang kakak untuk mengawasinya agar tidak menemui Bara selama pemuda itu dirawat di rumah sakit dua tahun lalu. Belum sempat Rania menjawab, Dokter Irham tampaknya sudah mengingat siapa lelaki yang berdiri di sampingnya. “Apakah kamu ... Bara?” tanya Dokter Irham yang kembali mengingat wajah pemuda itu. Wajah yang sering ia lihat ketika Bara dirawat di rumah sakit ini setelah tragedi penculikan Rania. Seorang pemuda yang dilarang oleh Pandu untuk bertemu dengan gadis itu. Bara mengangguk, lalu mengulurkan tangannya. “Saya Bara. Apakah Dokter mengenal saya?” tanyanya. Dokter Irham pun menyambut uluran tangan pemuda itu dan menyebutkan namanya. “Saya hanya tahu kamu adalah orang yang dirawat di rumah sakit ini dua tahun lalu,” ujar dokter itu setelah keduanya melepaskan jabatan tangan mereka. Ucapan Dokter Irham membuat Bara mengingat kembali masa dua tahun lalu itu. Masa yang membuat Rania nyaris saja celaka. Bara kembali merasa bersalah dan begitu rendah atas kejadian tersebut. Nyalinya untuk mengutarakan niatnya untuk melamar Rania, mendadak menciut setelah kembali mengulas kejadian itu. Haruskah Bara mundur saja atau terus maju dengan segala konsekuensinya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD