Part 34 (Nyaris Menyerah)

1303 Words
‘Haruskah kuteruskan niatku malam ini atau pulang saja dan mencari waktu yang tepat?’ batin Bara. Kehadiran Dokter Irham di antara mereka membuat nyalinya untuk mengutarakan niatnya akan melamar Rania menjadi pudar. Suasana yang diharap bisa tenang untuk berbicara berdua dengan gadis itu, mendadak berubah 180 derajat. “Dokter Irham kenapa ke rumah sakit malam ini?” tanya Rania yang sedari tadi sudah tidak sabar menunggu alasan lelaki di hadapannya itu muncul di tempat ini. Dokter Irham pun mengalihkan pandangan dari Bara ke Rania. “Ah, iya. Tadi saya keluar ada urusan. Kebetulan lewat sini, jadi saya singgah saja. Ini, buat kamu. Malam ini sangat dingin. Jangan terlalu lama berdiri di luar,” ujar Dokter Irham sambil memberikan sebuah plastik hitam. Rania menerima bungkusan tersebut, lalu bertanya, “Apa ini, Dok?” Ia merasakan panas yang keluar dari dalam bungkusan itu. “Wedang jahe. Tugas malam harus tetap jaga kesehatan. Jangan sampai masuk angin,” tutur lelaki itu lagi. Rania hanya mengangguk dan mengucap terima kasih. Ia sendiri merasa sedikit risi dengan perhatian yang diberikan oleh Dokter Irham kepadanya. Rania merasa tak sepantasnya lelaki yang paham akan agama itu memperlakukannya seperti itu. Ia tidak berhak menerima perhatian dari laki-laki yang bukan mahramnya. Apalagi sudah jelas-jelas Rania tidak mau melanjutkan proses taaruf kepada lelaki yang berprofesi sebagai dokter bedah tersebut. Suasana kembali canggung. Hanya angin yang menyapa ketiganya di halaman rumah sakit itu. Dokter Irham masih tak beranjak dari tempatnya berdiri. Ia sendiri sangat penasaran mengapa Rania dan Bara bisa berada di tempat ini malam-malam begini, dan hanya berdua saja. ‘Apa yang sedang mereka bicarakan?’ pikir Dokter Irham. Rania juga tak mungkin mengusir Dokter Irham secara langsung agar ia dan Bara bisa kembali melanjutkan pembicaraan yang tertunda. Namun, lelaki itu masih juga mematung di hadapannya. Rania bingung harus bersikap bagaimana di antara dua lelaki di dekatnya itu. Sementara di sampingnya, Bara merasa semakin minder atas sikap Dokter Irham. Lelaki yang sangat jauh berbeda dengannya itu, dari segala aspek, membuat Bara benar-benar tak punya hasrat lagi untuk melanjutkan niatnya. “Rania ... saya pulang dulu,” ucap Bara pada akhirnya. Rania menoleh padanya dan menatap heran. Ia ingin sekali bertanya apa yang mau dikatakan oleh lelaki itu. Namun, sosok Dokter Irham yang masih berdiri di hadapan mereka membuat Rania enggan untuk menanyakannya. Ia tak ingin dokter seniornya itu mendengar percakapan mereka. Ia juga tahu kalau Bara pasti sungkan berbicara karena ada orang lain selain mereka. Rania menghela napas dari balik cadarnya. Ia terpaksa mengiyakan permintaan Bara. “Hati-hati di jalan,” ujar Rania pelan, tetapi mampu tertangkap oleh indra pendengaran Bara. Sebuah kalimat singkat dan sederhana yang membuat hatinya sedikit bercahaya karena merasa diperhatikan oleh sang gadis. Entah itu hanya perasaan Bara saja yang terlalu terbawa perasaan. Ia sendiri tidak begitu paham, tetapi tetap ingin menikmati setia kalimat yang diucapkan gadis itu untuknya. Bara mengangguk pelan dan mengucap salam pada Rania dan Dokter Irham, lalu melangkahkan kaki menuju tempat ia memarkirkan kendaraan roda duanya dengan perasaan tak menentu. Sedih, kecewa, rendah diri, dan berbagai perasaan lainnya yang membuat dadanya merasa terimpit. Ia lantas mengucap istigfar berkali-kali agar Allah melapangkan kembali perasaannya. Rania dan Dokter Irham masih tak beranjak dari tempatnya saat Bara melewati mereka dengan motornya. Rania terus memperhatikan lelaki itu hingga tidak terlihat lagi, menghilang di ujung jalan, ditelan oleh kegelapan malam. Dokter Irham yang sejak dua tahun lalu mengetahui ada sesuatu antara Rania dan Bara, hanya diam dengan hati yang juga seperti dicubit keras. Ternyata, gadis di hadapannya itu tidak bisa melupakan Bara meski sudah dua tahun keduanya tidak pernah bertemu dan berkomunikasi. Kesempatannya untuk kembali melanjutkan taaruf dengan Rania pun kini menjadi terasa semakin sempit. Padahal, selama ini ia masih setia menunggu Rania membuka hati untuknya. Namun, penantiannya seolah-olah tidak berarti apa-apa. “Masuklah,” pinta Dokter Irham dengan suara parau. Rania mengangguk. “Assalamualaikum,” ucapnya, lalu melangkah ke dalam rumah sakit, meninggalkan Dokter Irham yang berdiri menatap punggungnya dengan hati tergores sembilu. *** Di ruangannya, Rania hanya menatap secangkir minuman jahe hangat pemberian Dokter Irham dengan pandangan kosong. Pikirannya terus melayang kepada sesuatu yang membuatnya penasaran. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan Bara padanya tadi? Sungguh, gadis itu merasa tidak sabar untuk bisa bertemu lagi dan mendengar apa yang akan diutarakan Bara. Belum pernah ia merasakan perasaan seperti ini. Lelaki itu benar-benar mampu membuat hatinya terombang-ambing di lautan rasa. *** Bara menepikan motornya di halaman masjid. Setelah menggunakan kunci ganda untuk keamanan kendaraannya itu, ia berjalan menuju kamar Pak Amin. Bara mengangkat tangan hendak mengetuk pintu kamar orang tua itu untuk mengecek kondisi tubuhnya. Namun, kembali ia turunkan dan mengurungkan niatnya. Bara takut Pak Amin sudah tidur dan kehadirannya justru akan mengganggu istirahat orang tua itu. Ia pun akhirnya memilih untuk di serambi masjid sambil memandangi langit. Tak lama, suara pintu terdengar dari kamar Pak Amin. Pintu kamar terbuka dan orang tua itu keluar dari kamarnya. Melihat hal itu, Bara segera beranjak menghampirinya. “Pak Amin, mau ke kamar mandi?” tanya Bara sambil memegang lengan orang tua itu. Pak Amin menggeleng. “Tidak. Tadi saya dengar suara motor kamu. Tapi saya tunggu-tunggu kamu masuk, tidak ada jawaban. Jadi saya keluar untuk melihat apa benar kamu sudah pulang,” tutur orang tua itu. Bara terharu mendengarnya. Sampai sekarang pun, Pak Amin selalu memberikan perhatian kepadanya seperti anak sendiri, tidak ada yang berubah. Ia kemudian membantu orang tua itu kembali ke kamar dan berbaring di ranjang. “Bagaimana dengan Rania. Sudah kamu utarakan niatmu?” tanya Pak Amin. Bara menghela napas, lalu duduk di tepi kasur sambil memijat kaki orang tja itu. “Kenapa ekspresimu begitu?” tanya Pak Amin heran. “Sepertinya saya dan Rania memang tidak ditakdirkan untuk bersama, Pak. Ada jarak yang begitu luas membentang di antara kami, yang tidak mungkin bisa saya lampaui,” tutur Bara, terdengar putus asa. Pak Amin yang tadi berbaring, langsung duduk setelah mendengar kalimat menyerah dari pemuda itu. Kini mereka duduk bersebelahan di tepi kasur. “Memangnya apa yang terjadi tadi, hingga semangatmu hilang total setelah pulang dari sana?” Bara bergeming. Ia bingung harus bercerita dari mana. “Rania menolakmu?” tebak orang tua itu. Bara menggeleng, lalu menatap Pak Amin. “Ada lelaki yang jauh lebih pantas untuknya. Dan aku baru menyadari setelah melihatnya langsung.” Kali ini Pak Amin yang menghela napas mendengarnya. “Siapa?” tanya orang tua itu. “Seorang dokter juga. Dia juga begitu perhatian kepada Rania.” “Jadi, kamu belum berbicara dengannya?” Bara menggeleng pelan. “Bara.” Pak Amin menepuk pundak pemuda itu. “Kalau belum mencoba, jangan dulu menyimpulkan. Kenapa kamu selalu menyerah setiap kali mengejar cinta? Kenapa tidak semangat seperti kamu menyambut kehidupanmu yang baru?” Bara menatap heran pada orang tua itu. “Apa perlu saya temani dan datang langsung ke rumah orang tua Rania?” tawar Pak Amin. “Ti-dak usah, Pak. Saya malu.” “Malu kenapa? Bukankah kita berniat baik datang ke sana? Orang tau Rania juga sangat baik. Dan nantinya, saat melamar kamu juga tidak bisa datang sendiri. Saya pasti akan menemani kamu,” jelas Pak Amin. Bara tersenyum. “Terima kasih, Pak.” “Jangan hanya terima kasih. Berusaha! Berjuang!” ucap orang tua itu dengan penuh semangat sampai mengepalkan satu tangannya ke depan. Bara tertawa kecil melihatnya. “Sepertinya Bapak sudah sembuh.” Pak Amin pun turut tertawa. “Itu karena kamu. Kamu yang muda, kenapa saya yang lebih semangat. Haha.” Keduanya tertawa bersama. Bagai sebuah keluarga kecil, yang selalu bisa mengakhiri sebuah masalah dengan derai tawa bersama. “Berusahalah. Jangan menyerah sebelum tahu hasilnya. Kalau pun dia bukan jodohmu, berarti dia bukan yang terbaik untuk hidup dan agamamu,” nasihat orang tua itu lagi sebelum kembali berbaring di kasurnya. Bara mengangguk, lalu menyelimuti tubuh tua Pak Amin. ‘Baiklah. Mungkin aku harus menemuinya lagi. Apa pun hasilnya, setidaknya aku sudah berusaha.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD