Part 32 (Mengejar Cinta)
Dokter wanita itu mematung melihat punggung lelaki yang sangat ia ingat milik siapa. Sosok yang membuat tubuhnya kini sedikit gemetar. Tubuh seorang pemuda muda yang berkali-kali ia sebut namanya dalam doa, agar selalu Allah tuntun di jalan-Nya. Pemuda yang pertama kali membuatnya merasa berdosa akibat memiliki sedikit rindu untuk lelaki yang bukan mahramnya.
Kedua tangannya menyentuh d**a dari balik jilbab besarnya. Ia bisa merasakan debaran yang begitu besar di sana. Rania lantas tanpa sadar menggigit bibir bawah dari balik cadarnya. Kedua matanya terasa menghangat dan ingin menumpahkan air mata yang terus mendesak keluar. Ia merasakan sesuatu di d**a yang belum dirasakan sebelumnya.
Akankah ini menjadi pertemuan mereka kembali setelah dua tahun tidak pernah saling melihat?
Pemuda itu menoleh pada sang dokter. Sepasang mata elangnya terpaku pada kedua bola mata yang selalu ia rindukan. Lidahnya kelu untuk sekadar menyapa dokter muda itu.
Keduanya mematung untuk beberapa detik. Pandangan mereka bertemu tanpa berkedip, hingga sebuah suara menyadarkan keduanya dan membuat mereka tersipu.
"Dokter, Bara sakit apa?" ucap Pak Amin pelan, tetapi bagai sebuah gong yang dipukul di dekat telinga dua insan tersebut. Sementara, seorang perawat hanya bengong melihat situasi canggung di hadapannya.
"Hah?" Bara melongo melihat Pak Amin. Mengapa dirinya yang ditanyakan sakit apa?
"P-Pak Amin, biar saya periksa dulu," ucap dokter bernama Rania itu dengan sedikit gugup. Tangannya sedikit gemetar akibat pertemuan yang tak pernah ia sangka-sangka sebelumnya. Rania mencoba untuk tetap tenang dan bekerja seprofesional mungkin dalam memeriksa kondisi Pak Amin sebagai pasiennya.
Bara menggeser posisinya. Ia berdiri sedikit menjauh dari brankar. Detak jantungnya masih berpacu dengan cepat. Ia belum siap bertemu dengan gadis yang telah mencuri separuh hatinya itu.
"Sebaiknya Pak Amin ditemani malam ini," ujar Rania kepada Bara yang masih berusaha menenangkan detak jantungnya. Sedang ia sendiri juga berusaha setenang mungkin dan berbicara seperti biasa, seperti tidak ada sesuatu yang telah terjadi di antara mereka. "Saya khawatir Pak Amin membutuhkan sesuatu, tidak ada siapa pun di sana," lanjut Rania tanpa menoleh ke arah lelaki itu.
"I-iya, Dokter," jawab Bara gugup. Ia tak berani memandang wajah Rania dan hanya menunduk, lalu melihat Pak Amin yang masih berbaring di brankar.
Pak Amin hanya tersenyum geli melihat sikap canggung kedua insan muda itu. Kemudian ia berkata, "Ada satu pasien lagi, Bu Dokter ...."
Rania mengernyit, begitu juga dengan Bara.
"Siapa, Pak?" tanya Rania heran.
"Orangnya ada di belakang Bu Dokter. Hatinya sudah lama sakit, tapi tak sembuh-sembuh."
Rania menoleh sejenak ke wajah pemuda itu, kemudian menunduk. Detak jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Jika cadar tak menutupi wajahnya, rona merah di pipi akan dapat dilihat dengan jelas.
Bara semakin salah tingkah dibuat Pak Amin. Ia menunduk, lalu menoleh ke arah lain sambil menggaruk hidungnya yang tak gatal.
Pak Amin kembali tersenyum melihat keduanya yang tampak salah tingkah.
Rania kemudian duduk dan menuliskan resep untuk Pak Amin. Ia terlalu gugup untuk menanggapi gurauan Pak Amin yang tak pernah ia sangka.
Setelah menerima resep, kedua lelaki yang sudah seperti ayah dan anak itu keluar dari ruangan tersebut. Sebelum menutup kembali pintu ruang IGD, Bara sempat menoleh ke belakang untuk melihat wajah Rania yang tertutup cadar, yang ia tidak tahu kapan lagi bisa bertemu dengan gadis yang selalu ia sebut namanya dalam doanya itu.
Secara bersamaan, Rania juga menoleh padanya. Keduanya pun tak bisa menghindari tatapan yang tak sengaja bertemu. Membuat debar-debar di d**a Bara dan Rania semakin besar.
Rania segera menunduk untuk menjaga pandangannya. Sedangkan Bara, tersenyum tipis sebelum keluar dan menutup pintu ruangan tersebut.
Di tempat parkir, Bara masih merasakan debar-debar yang tak berhenti di dadanya. Rasa rindu itu kian membuncah. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada. Bara hanya bisa melantunkan istigfar agar Allah menjaga hatinya. Ia sadar ia tidak dapat meluahkan rindu kepada gadis itu, seperti sepasang kekasih halal yang bisa melakukannya dengan naungan dan rahmat Allah.
Pak Amin yang memperhatikan Bara yang tampak bingung dengan ekspresi wajah campur aduk segala rasa, hanya diam menunggu pemuda itu melajukan motornya untuk kembali ke masjid An Nur.
Sesampainya di kamar Pak Amin, Bara menuruti saran Rania untuk bermalam di masjid menamani orang tua itu.
"Kamu kembali saja ke warung. Bapak tidak apa-apa," ujar Pak Amin.
"Biarkan saya malam ini menemani Bapak. Warung bisa saya tinggalkan. Ada orang yang bisa saya percaya untuk menangani semuanya,” jawab Bara setelah ia menghubungi seorang karyawan kepercayaan di warungnya untuk menginap di sini.
"Kalau begitu, pergilah temui dia."
Bara mengernyit. Ia tak mengerti maksud ucapan Pak Amin. "Siapa?"
"Jangan pura-pura, Bara. Bapak tahu sekali apa yang ada di hati kalian," ucap Pak Amin. "Dua insan saling memendam perasaan, kenapa tidak segera dihalalkan saja?" lanjut orang tua itu.
Bara menghela napas, lalu meneguk air. "Saya tidak berani, Pak. Siapalah saya, yang hanya lelaki biasa, dari jurang yang gelap, dibandingkan dengan bidadari seperti Rania," lirih pemuda itu. Ia merasa benar-benar tidak pantas untuk mendampingi Rania menjalani bahtera rumah tangga menuju rida-Nya.
Pak Amin tersenyum.
"Allah tidak memandang hamba-Nya dari status sosial, rupa, atau pun masa lalunya. Allah memandang hamba-Nya dari ketakwaan," tutur orang tua itu lembut seraya merebahkan tubuhnya di kasur.
"Tapi—“
"Rania menolak lamaran beberapa lelaki," potong Pak Amin. “Sudah berapa banyak yang taaruf dengan, tetapi Rania tidak pernah mau melanjutkan. Padahal semuanya tergolong pria baik dan paham agama, juga memiliki pekerjaan yang terbilang bagus. Mereka itu bahkan direkomendasikan oleh orang tua dan ustazahnya,” jelas Pak Amin lebih panjang kali ini.
"Kenapa?" Bara antusias dengan pernyataan yang baru saja ia dengar. Namun, ia justru merasa semakin rendah diri. Jika lelaki-lelaki pilihan seperti itu saja ditolak oleh Rania, bagaimana pula dengan dirinya yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka?
"Karena ada seseorang yang hingga saat ini ditunggunya, meskipun ia tidak tahu di mana lelaki itu." Pak Amin menatap lekat kedua manik hitam pemuda yang duduk di lantai kamarnya. Memastikan bahwa pemuda itu mengerti siapa lelaki yang dimaksud.
Bara menelan ludah. Ia sedikit menggeser posisi duduknya. Namun, masih bergeming dan tak berani menatap wajah Pak Amin.
"Kamu masih mau berpura-pura bodoh?" sindir orang tua itu.
Bara menoleh, memandang wajah teduh orang tua yang sangat dekat dengannya.
"Saya merasa tidak pantas dengannya, Pak. Sungguh, saya tidak berani melamar gadis sebaik Rania.”
"Tapi kau menginginkannya!"
Bara tertegun, lalu menatap lantai keramik. Benar apa yang dikatakan orang tua itu. Bara merasa tak pantas, tetapi juga menginginkan gadis itu.
"Jangan membuatnya menunggu lagi, atau dia akan menerima lamaran lelaki lain."
Bara mendongak. Dadanya bergemuruh. Mendengar Rania akan menerima lamaran lelaki lain, ada sesuatu yang memberontak di hatinya.
"Segera halalkan dia. Jangan sampai setan terus membuatmu mengingat wanita yang belum halal."
Kata-kata yang terus meluncur dari mulut Pak Amin mampu membangkitkan semangatnya. Semangat untuk segera menjadikan Rania ratu di istananya.
Pemuda tampan bertubuh tinggi itu bangkit, lalh menyambar kunci motor di meja. Ia lantas memakai jaket yang disampirkan pada sebuah paku di dinding kamar Pak Amin.
"Saya akan kembali lagi, Pak. Assalamualaikum," ucapnya dan berlalu meninggalkan Pak Amin setelah menutup pintu.
"Waalaikumussalam." Pak Amin tersenyum, "Alhamdulillah, semoga Allah mudahkan urusanmu," ucap orang tua itu.
Bara melajukan motornya menuju rumah sakit. Nama Rania terus melintas di benaknya. Malam ini, ia akan mengatakan sesuatu pada gadis itu. Ia tak ingin melewatkan kesempatan emas yang ada di depan mata.
***
Hari semakin larut. Suasana di rumah sakit juga mulai sepi. Belum ada pasien baru yang datang ke sana. Hanya terlihat beberapa orang keluarga pasien rawat inap yang lalu lalang di lobi. Beberapa orang tampak berbaring di kursi panjang yang tersedia di beberapa lorong rumah sakit.
"Maaf, apakah Dokter Rania ada?" tanya Bara pada salah satu perawat yang bertugas di bagian pendaftaran, begitu ia tiba di rumah sakit.
"Dokter Rania ada. Bapak sudah pernah berobat ke sini?" tanya perawat tersebut seraya mengeluarkan kartu pasien.
"Maaf, saya tidak sakit. Saya hanya ingin bertemu dengan Dokter Rania. Apakah beliau sibuk?"
"Dokter Rania ada di ruangannya. Maaf, ada perlu apa?"
"Saya ingin bicara dengannya. Saya Bara. Bisa minta tolong panggilkan Dokter Rania, Mbak?"
"Sebentar. Silakan tunggu di situ, Mas." Perawat menunjuk pada kursi tunggu yang tak jauh dari tempat pendaftaran pasien.
"Terima kasih." Bara pun menurut. Ia duduk di kursi tunggu dengan d**a berdebar-debar menanti pertemuannya dengan gadis yang selama dua tahun ini belum pernah ia lihat lagi.
Perawat itu berlalu menuju ruangan Dokter Rania. Ia mengetuk pintu.
"Masuk,” sahut Rania dari dalam ruangannya.
"Permisi, Dok, ada yang mencari dokter," ujar perawat setelah masuk ke ruangan itu.
"Keluarga pasien?" tanya Rania penasaran.
"Bukan, Dok. Lelaki, masih muda," ucap perawat itu dengan tersenyum.
Rania mengernyit. "Siapa?"
"Katanya namanya Bara, Dok."
Mendadak d**a Rania berdebar kencang mendengar nama lelaki itu disebut. Baru saja ia memikirkan pertemuan mereka beberapa waktu lalu di ruang IGD, kini, lelaki itu datang lagi untuk menemuinya.
‘Kenapa dia harus datang ke sini malam ini?’ batinnya. Rania sangat penasaran mengapa Bara mendatangi di rumah sakit malam ini juga. Mendadak ia teringat akan kondisi Pak Amin. Ia takut terjadi sesuatu pada kesehatan orang tua itu.
"Dia di ruang tunggu, Dok. Permisi." Perawat itu kembali ke tempatnya.
Rania bergegas mengenakan jubah dokter berwarna putih yang ia gantungkan di balik pintu ruangannya. Hatinya berdetak tak karuan. Bukan hanya karena takut akan kondisi kesehatan Pak Amin yang mungkin saja tiba-tiba memburuk, tetapi juga pertemuannya kembali dengan Bara yang mungkin akan membuatnya merasa canggung seperti saat memeriksa Pak Amin di ruangan IGD tadi.