“Bi Darmi jangan salah paham, saya selalu memanggilkan diri saya pada anak asuh dengan sebutan ibu, hanya ingin lebih dekat dan menyayangi anak asuh saya, hanya itu.”
Bibi Darmi memandang Sekar tanpa lepas. Jantung Sekar pun maraton, dia masih deg-degan jika apa yang dijelaskannya itu tak membuat bibi Darmi percaya. Sekar terus saja berharap dengan diamnya. Matanya berotasi, begitu dalam keinginan agar bibi Darmi tak curiga dengan apa yang dijelaskannya itu.
“Ya sudah, aku hanya ingin menunjukkan tempat s**u dan juga makanan pendamping untuk Pras.”
“Baik, Bi.”
“Kamu bisa akut aku.”
Sekar kemudian menaruh bayi itu di tempat tidurnya. Dia lalu mengikuti langkah Bibi Darmi yang akan mengantarkannya untuk mengetahui tempat-tempat yang akan sering dikunjunginya.
***
Toni yang mendengar bahwa sang istri telah memecat Fina dari pekerjaannya. Membuat Toni dengan cepat segera mengkonfirmasi hal tersebut pada Fina. Dia menelepon wanita yang dulu pernah ada di masa lalunya itu, sayangnya sama sekali tak ada respon yang diberikan dari Fina.
Panggilan telepon yang selalu ditolak, pesan yang diabaikan dan juga tak ada jawaban apa pun yang keluar dari mulut Fina. Semua hanyalah sebuah kediaman tanpa ada riuh gaduh yang diperlihatkan oleh Fina.
Wanita itu memilih menerima kenyataan dengan berlapang d**a. Dia pun mencoba untuk berpikir positif bahwa dengan dirinya dikeluarkan dari pekerjaan itu, setidaknya tak ada lagi masa lalu yang terus menghantuinya lagi.
Fina mencoba lagi untuk mencari sebuah pekerjaan baru, tanpa harus bergantung pada keluarga Toni. Fina harus bisa bangkit dari kepiluan yang pernah dirasakannya. Baginya diberhentikan dari pekerjaan memang bukan keinginan. Akan tetapi semua jalan cerita sudah ditentukan.
Toni yang tenagh bersiap-siap untuk pergi ke luar kota. Dia menata beberapa barangnya untuk dibawa selama kurang lebih tiga sampai empat hari. Tempat tidur itu masih saja berhias baju-bajunya. Toni tak segera memasukkannya ke dalam koper.
Merasa lelah, Toni pun memilih untuk istirahat sejenak di sofa. Sembari bermain alat komunikasinya itu dengan merebahkan tubuhnya telentang. Toni nampak tersenyum-senyum manis dengan apa yang dilihatnya di layar ponsel itu.
Dia sedang melakukan panggilan video dengan seseorang. Permbicaraan itu berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya Ningrum masuk ke dalam kamar dengan wajah garang. Toni yang menyadari seseorang masuk di dalam kamarnya, dengan cepat Toni segera mematikan panggilan yang masih berlangsung itu.
“Telepon siapa Mas, kenapa langsung dimatikan?”
“Hanya rekan kerja.”
“Harus dengan panggilan video?”
“Karena memang ada berkas yang perlu aku lihat, jadi memang harus dengan cara itu.”
“Bohong, pasti kamu teleponan sama Fina, kan?”
“Fina lagi, Fina lagi. Memangnya ada apa dengan Fina?”
“Sudah jangan mengelak lagi Mas, sebenarnya kamu ada main kan sama Fina.”
“Tidak, sama sekali tidak. ”
“Kamu masih belum mau mengaku juga?”
“Ngaku apa lagi. Lagian mana mungkin aku suka dengan wanita model baby sitter begitu, coba kamu pikir.”
“Sudahlah Mas, ngaku saja apa salahnya sih. Apa cantiknya wanita itu daripada aku?”
“Kamu sudah gila Ningrum, jika aku mau selingkuh pastinya aku akan mencari yang lebih cantik dari Fina, dan pastinya lebih berkelas, ngerti kamu!”
“Lalu untuk apa kamu beli kalung dengan liontin F, inisial nama Fina, kan?”
Suara Ningrum terus meninggi. Sedangkan tiba-tiba saja Toni tertawa geli mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya itu. Toni bahkan tak henti-hentinya menggerakkan bibirnya itu, sembari memandang istrinya.
“Kamu ternyata masih seperti anak kecil saja.”
“Maksudmu apa, Mas?”
“Kamu nanti akan tahu sendiri jawabannya.”
Toni kemudian memilih untuk meninggalkan Ningrum seorang diri di kamarnya. Dia beranjak dengan membawa kontak mobil yang baru saja diraihnya dari atas meja itu. Ningrum masih diselimuti emosi yang meledak-ledak. Seakan tak terima dengan sikap suaminya yang seolah tak peduli itu.
“Mas, mau ke mana kamu? Mas!!”
Ningrum berteriak sekencang mungkin, dia seolah tak peduli dengan seisi rumahnya. Kemarahan yang sudah membungkus diri seolah tak bisa lagi mengendalikan mulutnya. Ningrum terus mencaci dengan suara yang tak bisa lagi ditahan.
Bibi Darmi dan Sekar yang juga tinggal satu rumah dengannya seolah hanya menatap dengan penuh keheranan. Suara Ningrum seolah memecah keheningan, semua nampak terdiam dan sama sekali tak berani ikut campur dengan apa yang terjadi pada sang majikan.
***
Menangis dengan sendu. Di atas tempat tidurnya Ningrum mengeluarkan sejuta air mata. Rasa cemburu nan marah ditambah lagi kekecewaan yang menggumpal seolah bercampur jadi satu. Selama masa pernikahan, serasa inilah masa paling tersulit bagi Ningrum.
Hadirnya parduga akan orang ketiga, membuatnya merasa dalam lara yang tak bisa dipertanyakan lagi. Suara ketukan pintu dari kamarnya itu membuyarkan isak tangisnya, namun Ningrum tetap saja tak mau membukanya.
“Bu, ini Darmi. Ada tamu yang mencari Ibu.”
Suara bibi Darmi sedikit lirih terdengar di telinga Ningrum. Dia memilih untuk tetap memilih memeluk gulingnya dengan erat. Tak peduli lagi dengan apa yang tengah dikatakan asisten rumah tangganya yang masih berada di depan pintu rumahnya itu.
“Bu, ibu apa sedang tidur. Tamunya sdah menunggu, Bu.”
Lagi-lagi Ningrum tetap saja tak peduli dengan suara itu. Dia masih saja merasa nyaman dengan dekap pada benda yang empuk itu. Sembari pikirannya melayang kesana – kemari. Nestapa kini telah hadir dalam balutan sebuah ujian rumah tangganya.
***
Bibi Darmi yang sudah berusaha untuk memberikan informasi itu kepada majikannya. Sayangnya, dia tak bisa mendapatkan hasil yang diinginkan. Terpaksa bibi Darmi harus kembali dengan tangan hampa untuk mengatakan pada tamunya akan kondisi yang sedang terjadi.
“Maaf Bu, sepertinya bu Ningrum sedang istirahat, saya sudah mengetuk pintunya berkali-kali, sayangnya beliau tidak membukakan pintu.”
“Baiklah kalau begitu, saya titip pesan, jika bu Ningrum sudah berkenan untuk ditemui mohon untuk menghubungi kami di nomor ini.”
Wanita itu memberikan secari kartu nama yang berisi nomor telepon. Bibi Darmi pun menerimanya dengan tersenyum lebar. Kemudian tamu itu pun segera melenggang pergi.
***
Bude yang kesepian di rumah setelah tak ada lagi Sekar yang menemaninya. Biasanya di dalam rumah itu, ada pembicaraan antara keduanya. Jadi tak ada kata sepi, bude harus kembali menyesuaikan diri dengan keadaan sebelum-sebelumnya.
Bude memasuki kamar Sekar, seperti ada sebuah kenangan yang dirindukan. Bude nampak memandang semua sudut kamar itu. Melangkah untuk masuk ke dalam, lalu dudk di atas tempat tidur.
Bude merasakan betapa rindunya dengan Sekar. meskipun baru beberapa hari mereka tinggal bersama, seolah sudah terjalin sebuah ikatan yang tak terlihat kasat mata.
Tiba-tiba kedua pandangan bude tertuju pada sebuah benda yang berada di atas meja. Beberapa hasil rajutan itu nampak membuat mata bude begitu penasaran. Dia segera beranjak untuk mendekatkan pandangannya itu.
Kedua tangannya pun seolah ikut andil untuk melihat apa yang telah membuat hati seakan penasaran. Senyum itu kemudian mengembang, setelah tahu bahwa hasil karya rajutan Sekar itu membuatnya begitu mengagumi.
Dua pakaian untuk bayi yang dibuat dari hasil kedua tangannya sendiri. Bude pun nampak bahagia, dia tahu jika pakaian kecil itu pasti dibuatnya untuk sang anak. Bude memeluk pakaian kecil itu dengan penuh kerinduan pada sang pembuat.
“Mi, ternyata di sini, Teguh cari-cari dari tadi ternyata sembunyi di sini.”
Suara Teguh menghilangkan apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. menatap wajah keponakannya itu dengan sungguh, dan senyum pun mengembang.
“Ada apa cari Ami?”
“Teguh mau keluar, jadi mau pamit Mi.”
“Coba kamu lihat, Sekar pintar ya bisa buat pakaian kecil yang bagus begini.”
Teguh mengegrakkan matanya pada sebuah pakaian kecil yang tergenggam di tangan budenya itu. Terbesit sebuah pujian untuk Sekar, meskipun hanya dalam hatinya saja.
“Itu Sekar yang buat, Mi?”
“Iya, dia pintar sekali merajut, hasilnya juga tak kalah dengan barang rajutan yang dijual di butik-butik mewah itu.”
“Memangnya Sekar terima pesanan pakaian rajut?”
“Ngawur saja kamu, Sekar buat pakaian ini untuk anak semata wayangnya.”
“Oh begitu, ya kan Teguh tidak tahu, Mi.”
“Ami rindu dengan Sekar, andai saja dia bisa terus tinggal di sini sama anaknya, pasti Ami senang dan tidak kesepian kalau kamu tinggal kerja.”
“Sudahlah, Ami jangan mikir begitu lagi.”
“Kalau gak begitu, kamu cepat cari istri untuk menemani Ami di sini, kalau bisa seperti Sekar, cantik, baik dan juga penuh dengan perhatian.”
Teguh seketika terdiam dengan ucapan Aminya. Dia hanya mendengar tanpa mengomentari lagi. Sembari memilih untuk mengecup tangan untuk berpamitan. Setelah itu Teguh tak lagi berbincang, dia segera berangkat menunaikan kewajibannya.
Di dalam perjalanan, Teguh terus saja memkirkn apa yang dikatakan budenya. Tentang kriterian calon istri yang diinginkan oleh bude. Cantik, baik dan pengertian, setidaknya sebelas dua belas dengan Sekar.
Teguh yang tiba-tiba memikirkan nama Sekar, ada sebuah getaran yang terasa mengguncang dadanya. Dia merasakan sebuah kehadiran Sekar di sampingnya. Bayangan akan senyuman, serta pandang kedua bola matanya yang tajam, membuat Teguh memejamkan mata sejanak, merasakan apa yang kini berada dalam hatinya.
“Aku seperti rindu kamu, Sekar.”
Ucapan itu lirih terucap dari bibir Teguh, hingga senyuman menutup pemikirannya. Tercengang ketika dering ponsel mengganggunya. Membuyarkan setiap pikiran yang berkelana itu.
***
Ningrum yang tertidur karena rasa kesal yang sudah membuatnya tak lagi bisa mengontrol hatinya. Dia terbangun, melihat jam kecil yang ada di meja riasnya itu. Daia pun tersadar bila sudah dua jam dirinya berteman dengan bantal dan guling.
Ningrum segera membangunkan badannya. Kemudian membersihkan tubuhnya ke kamar mandi. Mencoba untuk kembali bangkit dari rasa kesal yang membelenggunya itu.
Ningrum yang kemudian merasa perutnya begitu sangat lapar. Dia kemudian menuju ke meja makan, mencari makanan yang bisa mengisi kekosongan perutnya. Cacing-cacingnya itu sudah protes dengan berdendang begitu keras.
“Bi, ada makanan apa?”
“Bibi sudah masak sesuai dengan apa yang ibu tadi pesan.”
“Hangatkan makanannya, saya mau makan.”
“Baik, Bu.”
Sembari menunggu bibi menghangatkan makanan. Ningrum menuju ke kamar sang anak. Berjalan dengan pelan, lalu masuk ke dalam kamar itu penuh dengan keheranan.
“Riska, apa yang kamu lakukan itu?”
“Saya hanya membacakan dongeng untuk Pras, Bu.”
“Masak iya bayi didongengin, aneh-aneh saja.”
Ningrum dengan wajah tak segan. Dia segera mengambil anaknya itu dan didekap serta dikecup beberapa kali pipinya. Sekar yang melihat apa yang berada di depannya itu pun hanya bisa diam tanpa membantah apa pun. Dia cukup tahu diri dengan apa yang dijalani sekarang.
“Riska, ingat ya, saya tidak mau anak saya lecet sedikit pun, kamu harus menjaganya dengan baik.”
“Siap, Bu.”
“Satu lagi, jangan sampai lupa makanan pendamping dan s**u diberikan tepat waktu, jangan sampai lupa atau kelewat, jika itu terjadi aku akan memecatmu.”
“Siap, Bu.”
Sekar yang harus memerankan penyamaran sebagai Riska itu pun hanya menunduk sembari mengiyakan apa pun yang dikatakan oleh Ningrum itu. Tak ada perlawanan, karena baginya suatu anugerah bisa dekat dan mengasuh anak kandungnya sendiri. Meskipun harus melakukannya dengan diam-diam.
Ningrum kemudian memberikan bayinya kembali pada Sekar. Dia melenggang kembali ke meja makan, merasakan perutnya yang diujung lapar. Seolah terasa hingga ke ubun-ubun.
“Bu, makannya sudah siap.”
Suara bi Darmi terdengar di telinga Ningrum, membuat dirinya semakin semangat untuk menambah langkahan kakinya dengan cepat. Ningrum segera mengambil kursi lalu menyantap beberapa menu yang ada di meja makan.
“Bu, maaf sebelumnya. Tadi ada tamu mencari ibu.”
“Siapa?”
“Kalau tidak salah dari toko perhiasan.”
“Saya tidak ada janji dengan toko perhiasan hari ini.”
“Mbaknya tadi memberikan saya ini, Bu.”
Ningrum kemudian menerima kartu nama yang diberikan bibi Darmi itu. Ningrum pun membacanya dengan seksama. Toko perhiasan yang sama sekali tak dikenalinya. Nigrum mengernyitkan dahinya, sembari berpikir keras akan hal itu.
“Ada pesan untuk saya, Bi?”
“Iya ada, Bu. Kata Mbaknya kalau Ibu sudah bangun disuruh menghubungi nomor itu, nanti mbaknya akan datang lagi ke sini.”
Ningrum melanjutkan kembali makannya. Setelah selesai, dia baru mengikuti apa yang dikatakan oleh bibi Darmi itu. Di layar ponselnya itu, Ningrum memencet beberapa angka yang merupakan nomor telepon dari toko perhiasan tersebut.
Setelah berbincang sejenak, pegawai toko itu pun akan segera datang ke rumah Ningrum. Menunggu hingga apa yang akan diketahui dari sebuah pertemuan yang dinantinya itu.
***
“Bu Ningrum, sebelumnya kami minta maaf atas kelalain kami.”
“Maksudnya apa?”
“Tiga hari lalu, Pak Toni memesan kalung dengan liontin huruf N, tapi kami malah mengirimkan liontin F ke kantor beliau, kami mohon maaf atas kekeliruan ini, dan sebagai permohonan maaf kami, kami akan memberikan diskon khusus untuk pembelian kalung tersebut.”
“Maksudnya tokonya salah kirim kalung, begitu?”
“Iya, benar sekali, Bu.”
“Kenapa baru bilang sekarang?”
“Kami baru saja mendapat komplain dari pemesan kalung dengan inisial huruf F tersebut, jadi ternyata kami salah mengirimkan kedua kalung itu.”
Ningrum melepaskan napas panjang. Dia seketika teringat akan suaminya. Betapa dirinya merasa menyesal atas apa yang sudah dilakukannya itu. Ningrum sudah marah besar dan bahkan menuduh suaminya bermain serong di belakangnya.
Ningrum tak berpikir panjang. Dia segera mengambil ponselnya untuk menghubungi sang suami. Akan tetapi, kenyataan pahit diterimanya. Toni menolak panggilan dari Ningrum. Mencoba lagi, namun panggilan itu tak mendapatkan respon sedikit pun.