Dimas yang hampir akan mengatakan yang sejujurnya pada sang ibu. Tentang apa yang telah dilakukannya, dia tak bisa lagi hidup dalam kondisi dengan hati yang semakin riuh. Kebohongan yang diciptakan hanya untuk sebuah keamanan untuk sementara waktu.
Saat itu, Dimas yang baru saja keluar dari kantornya. Dia melihat Hanum nampak tersenyum dan memandangnya dengan penuh. Dimas seolah tak menyangka jika Hanum bertandang ke kantornya. Tanpa sepengetahuannya lebih dulu.
“Hanum, kamu ke sini.”
“Tadi saya lewat sini, dan tidak sengaja motor saya bermasalah lagi, jadi saya bawa ke sini, Mas. Dan baru saja selesai dibetulkan.”
“Oh begitu.”
“Iya.”
Dimas merasa hatinya seperti berdesir dengan pandangan yang ditancapkan pada wanita itu. Entah mengapa, seolah tak ada kebosanan untuk menatap wanita itu. Dimas bahkan sangat sulit untuk mengontrol dirinya sendiri.
Salah tingkah. Dimas seolah gugup dengan pandangannya sendiri. Hanum hanya menatap dengan penuh keseriusan. Sembari senyumnya terus saja merekah di bibir.
“Mas Dimas mau pulang.”
“Iya sudah, silakan. Hanum juga akan pulang.”
Hnaum berbalik badan. Tiba-tiba saja, bibir Dimas seolah bergerak sendiri tanpa diperintah. Dia pun seolah tak menyangka dengan apa yang dilakukannya itu.
“Hanum.”
“Iya, Mas. Kenapa?”
Dimas melangkah maju, menatap kedua mata bening Hanum yang meneduhkan. Bibirnya tiba-tiba saja sedikit kelu untuk kembali membuka pembicaraan. Namun, Dimas mencoba untuk bisa mengatakan apa yang tengah dirasakannya itu.
“Sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu, Num.”
“Kenapa Mas?”
“Aku sudah membawamu dalam masalahku.”
“Ya, Hanum tahu itu.”
“Andai saja ada secercah harapan agar aku tidak membohongi ibuku, aku ingin melakukannya.”
Suasana nampak hening seketika, senja yang sudah beralih. Bengkel itu pun sudah tutup. Hanya tinggal beberapa orang yang masih lembur di dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Di halaman bengkel besar itu, Hanum dan Dimas saling memandang satu sama lain. Tak melepaskan tatapan yang sudah saling menyatu. Merasa bahwa di dalam d**a ada sebuah getaran yang memaksa untuk bisa diatur dengan sebaik-baiknya.
“Tentu saja ada caranya, Mas.”
“Apa kamu bisa memberitahuku, bagaimana aku bisa melakukannya Hanum?”
Hanum menundukkan kepalanya. Seperti ada beban yang dia simpan. Namun, Dimas terus saja menunggu dengan apa yang tertuju pada pikirannya itu.
“Jadikan sebuah kebohongan menjadi kebenaran.”
“Maksudmu bagaimana, Num? Aku tidak mengerti.”
Hanum tersenyum malu. Kemudian dia berbalik badan. Seolah tak berani untuk melanjutkan kata-katanya. Jantungnya berdegup kencang, berusaha untuk berpikir lebih dalam akan apa yang telah dilakukannya itu.
“Num, tolong jelaskan kepadaku apa yang kamu maksud itu!”
Dimas merasa sangat penasaran. Dia tak mau menerka dalam pikirannya sendiri. Dia ingin tahu apa arti sejujurnya dari ucapan Hanum yang begitu menggelitik hatinya.
“Apa aku harus mengatakannya, Mas?”
“Iya, kumohon Num.”
“Hanum yakin, Mas Dimas pasti tahu apa yang Hanum maksud.”
Dimas terdiam sejenak. Pembicaraan itu terjeda. Kedua mata Dimas berotasi. Sedangkan Hanum, dia sama sekali tak berani untuk menatap wajah Dimas. Dia hanya menyibukkan kedua pandang matanya untuk menatap sekitar.
“Num, tolong lihat aku!”
Ucapan Dimas seakan membuat Hanum semakin merasa malu, dia begitu sulit untuk membawa dirinya sendiri. Meskipun begitu, Hnaum masih saja tak percaya diri. Dia tetap mengalihkan pandangannya di luar wajah laki-laki yang ada di depannya itu.
“Num, apa maksudmu kamu setuju dengan sebuah kebohongan yang harus dijadikan kenyataan yang sebenarnya?”
Hanum hanya memberikan sebuah sinyal pada senyum tipis di bibirnya. Dia benar-benar merasa malu, hingga anggukan kepalanya itu terlihat dan tertangkan pada pandangan Dimas.
“Jadi, kita akan meresmikan hubungan ini?”
Hanum tak menjawab, dia memilih untuk berbalik badan dan mengambil motornya. Dimas berusaha untuk mengejar Hanum, dia ingin memastikan akan apa yang diucapkannya itu.
“Hanum pulang dulu, Mas.”
“Num, kenapa tidak menjawabnya?”
Hanum sudah berlalu dengan mengendarai kendaraannya. Dimas menangkap sebuah sinyal positif dari senyum Hanum yang begitu menghipnotisnya. Tanpa sadar, Dimas pun tersenyum simpul. Dia seolah tak menyangka akan apa yang terjadi dengan hatinya itu.
***
Hanum tak langsung pulang, dia memilih untuk datang ke panti, menemui sahabatnya Naya. Hanum tak bisa membohongi perasaannya sendiri. Dia memang sedang merasakan hadirnya cinta dalam hatinya.
Senyum penuh keceriaan itu hadir dengan tanpa jeda. Membuat Naya seolah menangkap tanda-tanda yang begitu kentara dari wajah sahabatnya.
“Siapa yang membuatmu tersenyum lama seperti ini, Num.”
“Apa sih, Nay.”
“Kamu tidak akan bisa berbohong kepadaku, siapa dia?”
“Bukan siapa-siapa.”
“Jadi kamu mau main rahasia denganku, apa kamu sengaja memancingku agar aku mau menebak isi hatimu itu?”
“Sudahlah Nay, cukup kamu mengejekku begitu.”
“Kalau sudah siap, disegerakan. Menikah kan ibadah paling utama.”
“Tapi aku tidak tahu akan perasaannya.”
“Kalau tidak tahu kenapa tidak ditanya?”
“Ya kan aku wanita, mana mungkin harus bertanya begitu.”
“Susah deh, lagian gak ada salahnya jika wanita yang maju duluan.”
“Enak saja.”
Pembicaraan itu membuat Naya tertawa dengan apa yang dirasakan oleh sahabatnya itu. Cinta telah membuat logika seakan tak dapat dikendalikan. Naya pun mencoba mengore informasi dari sahabatnya itu. Dia masih sangat penasaran dengan sebuah nama yang masih disembunyikan darinya.
“Num, apa aku mengenalnya?”
“Aku tidak tahu.”
“Ayolah Num, aku kenal tidak?”
“Sepertinya iya.”
Naya terdiam. Dia mencoba untuk berpikir keras akan apa yang dikatakan oleh Hanum. Mencoba untuk memainkan logikanya, hingga akhirnya Naya memiliki cara untuk mengoreknya lebih dalam lagi tanpa disadari oleh Hanum.
“Num, aku sangat terkejut, ternyata engkau suka sama dia.”
“Memangnya kamu tahu siapa dia?”
“Iya, aku tahu.”
“Kamu serius, Nay?”
“Kenapa kamu bisa mencintainya?”
“Aku tidak tahu, tapi sepertinya dia laki-laki yang baik, dan yang paling penting dia begitu mencintai anak-anak, apalagi dia memperlakukan ibunya dengan sangat baik. Aku salut itu!”
“Oh begitu, anak-anak mungkin adalah dunianya, Num.”
“Sepertinya begitu, kamu tahu bagaimana dia mencurahkan perhatiannya pada anak-anak panti di sini, aku kagum itu.”
Mendengar penjelasan itu. Naya seolah tersenyum lirih, pikirannya mulai berputar. Dengan sebuah ungkapan yang diutarakan oleh Hanum kepadanya.
“Oh jadi yang kamu maksud itu Dimas?”
“Naya, kamu memancing aku ya?”
Naya kembali lagi tertawa dengan terpingkal-pingkal. Sahabatnya itu sama sekali tak curiga dan bahkan tak sadar atas penggiringan opini yang telah dilakukan oleh Naya. Begitu mudahnya membuat wanita yang jatuh cinta terhipnotis dengan rasanya.
“Ya, aku memang memancingmu. Siapa lagi laki-laki yang sering datang kemari dan bermain dengan anak-anak selain Dimas, yang lain kan sudah beristri, jadi aku rasa kamu tidak mau di poligami, dan pastinya hanya Dimas satu-satunya laki-laki yang masih sendiri. Bukan begitu?”
“s**l, aku tertipu lagi!”
Hanum yang terpaksa harus mengakui kebodohannya. Dia pun merasa malu atas apa yang telah diungkapkannya itu. Hingga Hanum memilih untuk pulang tanpa berlama-lama lagi berada di tempat itu.
***
Selang beberapa menit kemudian. Ternyata Dimas datang dengan membawa beberapa bungkus makanan. Serasa takdir begitu saling menyapa. Naya menyambut dengan baik kedatangan Dimas. Membiarkan laki-laki itu menghabiskan waktunya untuk bermain bersama anak-anak panti asuhan.
Meskipun hari sudah malam, Naya tak membatasi jika Dimas yang berkunjung. Apalagi Dimas adalah salah satu donatur tetap yang memberikan banyak sekali sumbangsih untuk panti asuhan yang dikelolanya itu.
“Saya mau pamit, bu Naya.”
“Sudah selesai Pak Dimas?”
“Sudah, Bu.”
“Terima kasih sudah menyempatkan waktunya untuk berkunjung kemari.”
“Tadi ibu sudah masak di rumah, dan saya hanya disuruh untuk mengantarkan makanan itu saja, Bu.”
“Baik, Pak. Sekali lagi terima kasih.”
Dimas membalas dengan senyum, kemudian dia berbalik badan dan hendak untuk keluar pintu. Namun, tiba-tiba saja Naya teringat akan sahabatnya, Hanum.
“Pak Dimas, sebentar.”
Dimas menghentikan langkahnya dan dia kembali lagi berbalik badan untuk mengetahui apa yang membuat wanita pengelola panti itu memanggilnya lagi.
“Ada apa, Bu?”
“Maaf pak jika saya lancang, apa saya bisa bicara dengan bapak mengenai hal lain.”
Dimas nampak berpikir dengan ucapan yang didengarnya itu. Dimas pun tak bisa menolak, dia yakin apa yang akan dibicarakan oleh pengelola panti itu adalah suatu hal yang sangat penting.
“Ada apa ya, Bu?”
“Bisa kita duduk sebentar, Pak.”
“Bisa.”
“Tapi di luar ruangan saja ya, Pak.”
Keduanya kemudian duduk bersama di ruang tamu, di tempat terbuka yang banyak sekali penghuni panti berlalu lalang dengan kegiatan masing-masing.
Naya mengambil tempat duduk agak jauh dari Dimas. Kemudian dia seakan menatap sebuah kalimat sedemikian rupa agar apa yang akan dikatakannya itu tidak menyinggung perasaan laki-laki yang menjadi lawan bicaranya itu.
“Ada apa ya, Bu?”
“Begini Pak, jika tidak keberatan bolehkah bapak memberitahu saya tentang Hanum?”
“Hanum?”
“Iya, maksud saya bagaimana penilaian bapak kepada Hanum sejauh ini? tapi jika bapak tidak berkenan untuk menjawabnya tidak masalah, saya tidak akan bertanya apa pun lagi.”
Dimas seolah tak mengerti dengan apa yang ditanyakan itu. Akan tetapi Dimas begitu yakin, jika ada maksud tertentu yang masih tersirat dalam hati seorang wanita yang kini sedang menatapnya itu.
“Maaf bu Naya, ada apa sebenarnya ini?”
“Sekali lagi ini hanya pertanyaan yang tak wajib dijawab dan ini juga hanya saya dan bapak yang tahu, saya akan mengatakan sesuatu setelah bapak bersedia untuk menjawab pertanyaan saya, namun jika bapak memilih untuk tidak menjawabnya, maka saya rasa pembicaraan ini akan berakhir dan hanya dinding ini sebagai pendengarnya.”
Dimas kembali menerka dalam hatinya. Dia sangat tahu, jika apa yang dikatakan oleh Naya itu pasti akan terjawab setelah dirinya memberikan argumen tentang penilaian dirinya kepada Hanum.
“Hanum, dia baik.”
“Sebatas baik, Pak?”
“Selebihnya dia wanita yang tangguh, itu yang saya tahu, Bu.”
“Apa Hanum cantik, Pak?”
Dimas begitu kikuk untuk menjawab pertanyaan terakhir dari Naya. Dia tersenyum simpul, sembari merasa ragu untuk menjawab akan apa yang ditanyakan kepadanya itu.
“Diam berarti tanda setuju ya, Pak.”
Dimas mengangguk perlahan. Naya terus saja mengawasi gerak-gerik Dimas. Dia seolah yakin dengan apa yang dipikirkannya itu.
“Pak, Hanum wanita baik, dia wanita yang tangguh dan bertanggung jawab penuh, jika bapak mempunyai perasaan yang lebih dari sekadar teman, mungkin lebih baik Hanum tahu tentang itu.”
“Maksudnya bagaimana Bu?”
“Kita sudah sama-sama dewasa, setidaknya saya tahu tentang Hanum, karena dia sahabat saya, dan saya yakin pak Dimas adalah laki-laki yang tepat untuk dia.”
“Kenapa bu Naya bilang seperti itu.”
“Karena sebenarnya Hanum sudah menunjukkan perasaanya tentang pak Dimas. Saya harap jangan buat harapan palsu jika bapak tidak ingin menyakitinya, namun jika harapan itu akan berubah menjadi masa depan, saya sangat mendukungnya.”
“Jadi, maksud bu Naya ...”
“Ya, perjuangkan atau tinggalkan, Pak.”
Dimas tersenyum lebar. Dia seperti mendapat sebuah petunjuk yang membuatnya seolah diterangi cahaya yang begitu terang. Dimas kemudian beranjak untuk pulang, di perjalanan pikirannya terus saja tertuju pada Hanum. Seolah tak sabar untuk segera mengatakan apa yang kini menjadi candu dalam hatinya.
***
Sekar yang tengah menggendong buah hatinya, merasa sangat bahagia sekali. Kebahagiaan yang dinantikan selama berbulan-bulan. Kini Tuhan telah mengabulkan apa yang diharapkannya. Sekar seolah tak ingin meninggalkan sang bayi sedetik pun.
Dia merawat penuh dengan kasih sayang, cinta dan kasihnya tercurah penuh pada bayi laki-laki yang membuat kekuatan dalam dirinya seolah tumbuh tanpa tersadari. Sekar teringat akan kebohongan yang dulu pernah direkayasa oleh Ningrum. Adiknya itu mengatakan jika bayi Sekar berjenis kelamin perempuan, bukan laki-laki seperti yang sedang digendongnya itu.
Sekar membuka jendela kamar, bersama sang bayi yang sedang tertidur pulas itu, dipandanginya wajah yang sangat tampan. Semua yang ada pada bayinya benar-benar mengingatkannya pada sang suami, Dimas.
Sekar merogoh saku bajunya, dia mengeluarkan secarik foto kecil. Foto yang diambil saat pernikahan yang penuh dengan kebahagiaan itu. Dia menatap foto itu tanpa lepas, lalu beralih lagi kedua pandang matanya pada wajah Raja Prasetya, yang tak lain adalah buah cintanya dengan Dimas.
***
Sebelum berangkat kerja, Dimas sudah tak bisa menahan perasaannya lagi. Dia yang seolah mendapat dukungan penuh dari pengelola panti yang tak lain adalah sahabat dekat Hanum. Dimas memilih untuk menemui Hanum sebelum dirinya menuju ke tempat kerjanya.
Dimas memencet bel pagar rumah Hanum dengan segera. Tak lama, dia melihat Hanum keluar rumah dan mendekat ke arah pagar rumah.
“Mas Dimas, maaf saya tidak bia memepersilakan mas Dimas untuk masuk ke dalam rumah, saya takut.”
“Ya, tidak apa-apa, setidaknya saya bisa ngobrol sebentar sama Hanum di balik pagar ini.”
“Ada apa Mas?”
“Saya kepikiran dengan apa yang Hanum katakan kemarin?”
“Apa itu?”
“Merubah sebuah kebohongan menjadi kenyataan, itu artinya Hanum mau kan menjalin hubungan serius denganku? Aku sangat berharap Hanum mau untuk merubah kebohongan itu, dari kekasih bohongan menjadi kekasih beneran.”
Hanum tersipu malu mendengar apa yang dikatakan oleh Dimas kepadanya. Hanum menunduk, dia seolah tak mudah untuk mengiyakan, detak jantungnya seakan terdengar kencang. Sesekali Hanum melihat wajah Dimas dan ternyata kedua pandang matanya terus saja menatapnya.
“Hanum, aku tidak memaksamu untuk menjawab sekarang, aku juga tak akan marah jika jawabanmu tak seperti apa yang aku harapkan.”
Hanum masih saja mengunci mulutnya. Dia tersipu atas ucapan itu. Dimas pun semakin canggung setelah menyatakan perasaannya.
“Kalau begitu, aku pamit dulu, ya.”
Dimas berbalik badan. Dia mulai melangkah untuk menuju mobilnya dan meninggalkan rumah Hanum. Akan tetapi tiba-tiba Hanum memanggilnya dengan sebuah panggilan yang tak biasa.
“Mas Dimas, tunggu!”
Dimas berbalik badan lagi, melihat sosok wanita cantik yang terhalang pagar besi itu. Menatap dengan penuh keseriusan.
“Mas, Hanum mau merubah kenyataan itu.”
Seketika senyum keduanya saling bersatu teriring pandangan yang saling mengisi. Sayangnya, di saat bersamaan. Sekar yang memegang foto pernikahannya itu, tiba-tiba saja terbang tertiup angin kencang dan terlepas dari genggaman tangannya. Seketika Sekar begitu panik, dia takut jika foto itu dapat membongkar penyamarannya.