Tatapan mata Ningrum begitu menakutkan, selama bekerja di rumah itu Fina belum pernah sama sekali mendapatkan perlakuan seperti apa yang kini harus dihadapinya. Sebuah pertanyaan yang memang mengguncang hatinya.
Fina sama sekali tak menyangka jika majikannya akan menanyakan tentang apa yang pernah terjadi antara dirinya dengan Toni. Fina pun dilanda kebingungan dengan apa yang harus dikatakan itu. Fina kedua matanya masih saja berotasi untuk mencari sebuah jawaban yang pas.
“Fin, aku tanya sekali lagi. Ada hubungan apa kamu dengan suamiku?”
Pelan-pelan, Fina mulai merangkai kata. Dia berusaha membawa diri dengan tenang. Fina tak mau jika apa yang terjadi akan membuat suasana nampak gaduh.
“Bu, saya dan pak Toni sama sekali tak memiliki hubungan apa pun. Hanya sebatas bawahan dan juga atasan.”
“Kamu tidak mau mengatakan yang sejujurnya, Fin.”
Fina kembali terdiam. Dia merasa seolah apa yang dijawabnya itu tak mendapati sebuah kepercayaan dari Ningrum. Fina hanya menelan ludah, sembari dia masih berpikir untuk memberikan sebuah jawaban kembali.
“Maaf Bu, saya sudah berkata jujur, memang saya sama sekali tidak ada hubungan dengan pak Toni.”
“Kamu gak usah menutupi semuanya Fin, kamu dan suami saya bermain di belakang saya, kan.”
“Sumpah, Bu. Hal itu sama sekali tidak benar.”
“Aku sudah tidak percaya lagi sama kamu, mulai detik ini juga kamu saya pecat.”
Mendengar kata-kata itu, Fina pun nampak terkejut. Dia memohon dengan sangat agar Ningrum tidak memecatnya. Fina butuh sekali pekerjaan itu untuk membantu ekonomi keluarga kecilnya. Masih ada dua anak yang harus diperjuangkannya, biaya sekolah dan juga biaya hidup harus ditopangnya.
Bahkan saking membutuhkan sebuah pekerjaan, Fina sama sekali tak malu bersujud di kaki Ningrum, semua dilakukan hanya untuk memperjuangkan kehidupan anak-anaknya. Kedua air mata itu pun tumpah, Fina tak ingin melepaskan pekerjaan begitu saja, harapannya masih sangat tinggi untuk bisa melihat anak-anaknya sukses di masa depan.
Hanya saja, Ningrum yang sudah dilanda cemburu karena kalung itu pun begitu dilanda emosi yang sangat kuat. Dia sama sekali tak peduli dengan apa yang kini dilakukannya pada baby sitter itu. Dia masih saja bersikukuh dengan keputusannya.
Sedangkan di balik dinding putih itu, berdiri bibi Darmi dengan senyum merekahnya. Dia seolah senang dengan pemandangan yang dilihatnya itu. Cepat-cepat bibi Darmi melenggang saat pandangan mata Ningrum mulai mengarah ke arahnya.
“Bu, saya sangat butuh pekerjaan ini untuk menghidupi dua anak saya, tolong jangan pecat saya, bu. Saya mohon.”
“Semua sudah terlambat, silakan kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumahku.”
“Tidak, Bu. Fina masih ingin bekerja di sini.”
Ningrum seolah menutup kedua telinganya. Dia sama sekali tak mau mendengarkan lagi perkataan Fina yang sudah dianggapnya seperti sampah itu. Ningrum kemudian mengambil sebuah amplop dan melemparkannya ke arah Fina.
“Ini gaji terakhirmu dan aku tak mau lagi melihatmu ada di rumahku.”
Fina terisak dengan tangisnya. Sedangkan Ningrum yang benar-benar diliputi kemarahan maha dahsyat itu. Segera mengambil tindakan. Dia bahkan segera menyeret Fina keluar rumahnya. Fina hanya bisa diam dan pasrah.
“Bi Darmi, cepat kemasi barng-barang w***********g ini.”
Suara itu melengking dengan sangat keras. Sejurus Bi Darmi yang mendengar ucapan itu segera meninggalkan pekerjaannya dan mengikuti instruksi dari majikannya itu. Dia beranjak ke kamar Fina dan mengamasi seluruh barang-barang Fina.
Setelah selesai, Bi Darmi segera menyerahkan pada majikannya yang kini berada di depan teras rumah itu. Fina nampak terlihat masih saja memohon, dia tak ingin kehilangan pekerjaannya, semua dilakukannya hanya untuk keberlangsungan hidup kedua anaknya.
Sayangnya, Ningrum sudah tak bisa ditawar lagi. Dia segera mengambil tas yang diberikan bibi Darmi. Lalu membanting dengan cepat ke arah Fina. Sejurus Fina pun menangkap barangnya itu, disertai rasa sedihnya yang menggelora.
Tak ada lagi kesempatan kedua, sebuah permohonan yang dilantunkan itu tak mendapatkan respon yang baik. Kini Fina hanya bisa menerima keadaan, meskipun sebenarnya di lubuk hati yang terdalam, Fina sangatlah tak ingin hal yang menimpanya itu menjadi kenyataan pahit baginya.
Namun semuanya sudah berakhir. Dirinya memang harus segera pergi dan melepaskan semua yang sudah didapatnya itu, dengan tetap berusaha melapangkan dadanya.
***
Teguh dan juga Sekar yang melihat baby sitter yang dipekerjakan Ningrum itu diusir dari rumah. Seolah kini telah membuka jalan lebar bagi Sekar. Teguh yang sudah memberikan sebuah gambaran akan ide cemerlang yang diberikan kepada Sekar.
“Sekar, kamu sudah siap dengan semuanya?”
“Ya, aku sangat siap.”
“Aku akan mendoakanmu, semoga kamu berhasil.”
“Terima kasih ya Mas Teguh, sudah mau membantuku.”
“Ini ponsel untukmu, kabari aku jika kamu butuh bantuan apa pun.”
“Tidak perlu, Mas.”
“Sekar, tolong terima dan jangan ditolak.”
“Saya sudah terlalu banyak merepotkan mas Teguh.”
“Jangan bilang begitu, terimalah. Aku tidak mau jika terjadi apa-apa padamu, Sekar.”
Sekar kemudian mengambilnya dengan sedikit rasa tak enak dalam hatinya. Belum cukup dengan itu, Teguh yang tanpa tahu akan rencana dadakan Sekar, saat Sekar melukai wajahnya sendiri dengan benda tajam yang sudah dibawanya dari tadi.
“Sekar, apa yang kamu lakukan. Ini sangat berbahaya, aku akan membawamu ke rumah sakit.”
“Jangan Mas, jangan.”
Sembari menahan perih yang dirasakan itu. Sekar menolak apa yang dikatakan Teguh. Kesengajaan yang dilakukannya membuat Teguh geleng-geleng kepala. Dia tak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh Sekar itu.
“Apa maksudmu, Sekar?”
Teguh semakin terlihat panik. Dia mencari sebuah kain untuk bisa menjadi penutup luka di wajah Sekar. Dia ingin menghentikan darah yang keluar dari pipi wanita di sampingnya itu. Sayangnya, Teguh tak mendapatkan apa pun.
Dia dengan cepat merobek kemeja yang dikenakannya untuk bisa dijadikan penutup luka. Sayangnya Sekar tetap saja menolak. Hingga Teguh memaksanya tanpa bisa berkata apa-apa lagi.
“Jelaskan padaku, kenapa kamu melukai wajahmu sendiri, Sekar?”
“Aku hanya ingin penyamaranku berhasil, Mas. Aku sudah sangat ingin memeluk dan merawat anakku.”
“Tapi tidak dengan cara melukai wajahmu, kan? Penyamaran bisa dengan apa pun, bukan dengan cara begini.”
“Tapi ini adalah cara alami, agar Ningrum tak mengenaliku.”
Teguh hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia sama sekali tak bisa menalar dengan apa yang dilakukan Sekar. Sungguh hal itu di luar dugaannya. Sekar nampak tersenyum. Dia kemudian memegang tangan Teguh dengan kelembutan yang begitu bisa dirasakan.
“Mas, sekali lagi terima kasih. Aku akan selalu mengingat kebaikanmu. Aku harus pamit, ya. Ini adalah waktu yang tepat untukku.”
“Tapi bagaimana dengan lukamu?”
“Aku bisa mengobatinya nanti.”
“Baiklah Sekar, pakailah ini. Supaya penyamaranmu semakin sempurna.”
Teguh menyerahkan rambut palsu untuk bisa membuat penyamaran Sekar lebih sempurna. Dan Sekar dengan senang hati menerimanya. Dia segera mengaplikasikan rambut palsu itu pada kepalanya.
Dia seakan siap dengan apa yang sudah dipikirkan sebelumnya. Keduanya saling senyum hingga tiba waktunya, Sekar harus segera beraksi demi sebuah tujuan yang masih digenggam erat itu.
***
“Permisi, Bu.”
“Cari siapa?”
“Saya seorang baby sitter dari sebuah agen penyalur, saya dapat info jika pemilik rumah ini sedang butuh pengasuh anak?”
“Duduk dulu di sini, saya panggilkan majikan saya dulu.”
“Terima kasih, Bu.”
Bibi Darmi yang tadinya sedang memebersihkan teras itu pun menerima tamu yang tak lain adalah Sekar. Sekar pun masih menunggu dengan perasaan tak menentu. Duduk diam dengan sekujur tubuh terasa sangat ngilu. Akan tetapi, Sekar mencoba untuk menenangkan dirinya semaksimal mungkin, agar apa yang diinginkannya itu dapat terwujud dengan mudah.
“Kamu baby sitter yang dikirim agen ke rumahku?”
”Betul, Bu.”
“Cepat sekali sampainya, padahal aku baru saja lima menit yang lalu teleponnya.”
Suara ciri khas Ningrum itu membuat Sekar harus bisa membawa diri. Bahkan Sekar pun memainkan nada suaranya. Dia lebih memperbesar suaranya daripada biasanya. Sembari dirinya lebih suka menunduk dan tak berani menatap Ningrum secara gamblang.
“Namamu siapa?”
“Saya Riska, Bu.”
“Sudah menikah atau kamu janda?”
“Saya punya suami, Bu.”
“Baiklah, karena saya tidak mau mempekerjakan janda atau wanita yang belum menikah.”
“Iya, Bu.”
Sekar yang jantungnya seakan mau copot, menjawab sebuah pertanyaan yang sama sekali tak pernah terbayangkan sebelumnya.
“Bi Darmi, antarkan Riska ke kamarnya, lalu setelah itu bawa dia ke kamar Pras.”
“Baik, Bu.”
Ningrum berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumahnya. Sebelum Sekar masuk ke rumah Ningrum, dia tampak melihat Teguh dari kejauhan. Pandangan mereka pun bertemu. Saling melempar senyum. Hingga akhirnya Sekar harus mengakhiri pandangan itu.
Sekar terus saja mengikuti langkah asisten rumah tangga yang akan mengantarkannya ke kamar juga ke kamar sang bayi. Hati Sekar seolah bergejolak dalam.
Saat Sekar mendengar nama Pras, jantungnya seakan maraton. Dia sudah sangat ingin berjumpa dengan bayi itu. Seolah tak mau memperlambat waktu. Hanya saja, asisten rumah tangga itu mendadak sakit perut.
Dia harus segera ke kamar mandi untuk mengatasi masalah perutnya. Sekar pun menunggu dengan rasa was-was. Dia sudah sangat ingin tahu di mana kamar bayinya. Hanya saja, Sekar harus tetap menunggu dalam penantiannya.
“Kamu siapa?”
Ningrum menoleh ke arah sumber suara. Dia melihat Toni yang baru saja masuk dari pintu ruang tamu. Sekar yang kembali harus menundukkan kepalanya, agar dia bisa tetap menjaga penyamaran itu.
“Saya Riska, Pak.”
“Untuk apa datang ke sini?”
“Saya baby sitter baru di sini, Pak.”
”Apa?!”’
Toni kemudian dengan cepat beranjak dan memanggil nama Ningrum berkali-kali. Sekar seolah tak peduli dengan hal itu. Sekarang yang terpenting baginya adalah sang bayi. Dia sudah sangat tak sabar untuk bisa bertemu dan menggendongnya.
“Riska, ayo ikut aku.”
***
Toni masuk ke dalam kamarnya. Dia mencari Ningrum untuk menanyakan tentang seorang perempuan yang bernama Riska itu. Hanya saja, Toni tak mendapati istrinya berada di dalam kamar. Bahkan dia memanggil dengan cukup keras, tetap saja istrinya tak ada.
Toni mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Dia segera menghubungi Ningrum. Dan tak lama panggilan itu pun tersambung dengan sangat cepat.
“Kamu di mana?”
“Aku lagi di jalan, ini baru saja keluar.”
“Aku nanti malam luar kota, pulanglah.”
“Apa keluar kota, bersama Fina?”
Toni seolah tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh istrinya itu. Toni hanya diam, dan tetap saja pikirannya tak bisa sampai pada apa yang tengah didengarnya itu.
“Ini urusan pekerjaan, gak ada hubungannya sama sekali dengan Fina, lagian Fina itu siapa? Aneh-aneh saja kamu. Cepat pulang, dan satu lagi siapa lagi Riska yang ada di rumah kita itu?”
“Dia baby sitter, pengganti Fina.”
”Pengganti Fina? Memanggnya Fina ke mana?”’
“Aku memecatnya, kenapa kaget jika w***********g itu aku pecat?!”
Ningrum mematikan panggilan itu secara sepihak. Emosinya seolah belum stabil. Dia membiarkan saja apa yang kini berada dalam pikiran suaminya, yang jelas Ningrum yang masih dilanda cemburu itu pun tak mudah untuk dibohongi. Apalagi semua bersumber dengan kalung inisial huruf “F” yang sebenarnya belum diklarifikasi terlebih dahulu pada suaminya.
***
Riska adalah nama samaran yang digunakan Sekar untuk mengelabui seisi rumah. Dia pun nampak begitu bersemangat. Melangkahkan kakinya dengan enteng, hingga sebuah kamar berada di depannya.
“Ini kamar bayinya bu Ningrum, kamu bisa masuk dan kamu harus bekerja dengan baik.”
“Baik, Bu.”
“Panggil saja saya dengan sebutan Bi, atau Bibi Darmi, karena saya bukan ibumu yang harus dipanggil Bu.”
“Baik, Bu. Eh Bi.”
“Ya sudah kamu masuk, aku masih harus menyelesaikan tugasku.”
“Sebentar Bi, siapa nama bayi bu Ningrum.”
“Namanya Pras.”
“Lengkapnya siapa?”
“Waduh saya kurang tahu, sudah kerja saja jangan banyak tanya.”
Sekar mengangguk, lalu bibi Darmi pun segera beranjak pergi. Dalam benak Sekar, mendengar nama Pras, dia sangat yakin jika seorang bayi yang ada di dalam kamar itu berjenis kelamin laki-laki. Seperti apa yang dulu suster bilang kepadanya.
Sekar tak sabar, dia segera memegang gagang pintu dan membukanya dengan cepat. Sekar melangkahkan kakinya penuh dengan semangat membara. Dilihatnya seorang bayi laki-laki berkulit putih, badannya pun nampak sangat gemuk.
Tak terasa kedua pipi Sekar banjir air mata. Dia masih saja memandang tanpa lepas. Tak menyangka, jika bayinya begitu sangat tampan. Bahkan seolah wajah Dimas kini berada di wajah bayinya.
Sekar segera mengambil tubuh bayi itu yang ada di box bayi. Dia menciumnya berkali-kali, menggendongnya penuh dengan kerinduan yang dalam. Memeluknya dengan sebuah kehangatan cinta yang dimiliki seorang ibu.
Ketulusan sebuah pancaran dari kedua mata itu, membuat sang bayi tersenyum lebar. Tawanya begitu sangat mengagumkan bagi Sekar. Dia begitu sangat terharu.
Sekar kembali mendekap sangat erat. Bahkan seolah tak ingin melepaskan dekapan itu, meskipun hanya hitungan detik saja. Kerinduan yang sudah lama memuncak itu akhirnya kini terjawab sudah. Dia tak henti-hentinya tersenyum, sembari hiasan air mata yang tak kunjung terhenti.
“Nak, ibu sudah datang, di sini bersama kamu. Ibu janji, ibu akan terus menjagamu, ibu tak akan pernah melihatmu menderita, ibu akan berjuang demi dirimu, sayang. Ibu janji.”
“Ibu, apa maksudnya dengan Ibu?”
Sekar terkejut melihat bibi Darmi yang tiba-tiba masuk ke kamar tanda memberikan tanda sebelumnya. Pandangan Sekar berubah, dia teramat takut dengan apa yang telah dikatakannya itu.