Sekar segera mengambil foto yang masih tergenggam di tangan Teguh. Dia masih sangat terkejut jika foto yang dimilikinya itu tengah berpindah tangan. Bahkan Teguh pun merasa tak enak hati ketika dirinya tahu jika Sekar tengah terbangun.
“Kenapa kamu mengambil fotoku?”
Suara Sekar menyalak galak dengan apa yang dilihat. Foto yang awalnya digenggamnya itu tengah berpindah tangan. Teguh pun mencoba untuk menjelaskan dengan sebaik-baiknya.
“Maaf Sekar, aku tadi melihat sesuatu jatuh dari genggaman tanganmu, aku mengambilnya dan ingin menaruhnya di dekatmu, tapi ternyata kamu telah terbangun terlebih dulu.”
“Jangan ambil apa pun dariku.”
Sekar segera berdiri dan dia pergi meninggalkan Teguh. Hatinya masih merasa sangat tak bisa menerima dengan apa yang telah dilakukan Teguh. Dia kembali menyimpan foto itu dengan sangat hati-hati. Tak ingin jika ada lagi yang mengetahui akan selembar foto yang sangat berharga itu.
***
Hanum yang tak bisa lepas dari sang anak. Untung saja dia tengah libur kerja. Sehingga bisa menemani sang buah hati yang tengh terbaring lemah. Kondisi sang anak semakin menurun. Membuat Hanum tak henti-hentinya meneteskan air matanya.
Hanum sendiri dalam sebuah harapan. Dokter datang untuk kembali memeriksa anakn Hanum secara berkala. Sayangnya tiba-tiba saja kondisi sang anak tiba-tiba kritis. Hal itu membuat Hanum tak bisa melihat sang anak yang tengah merasa kesakitan.
“Bu, silakan ditunggu di luar dulu. Kami akan melakukan pemeriksaan dulu.”
“Dokter, tolong selamatkan anak saya.”
Raut wajah yang penuh dengan kekhawatiran itu semakin terlihat. Hanum tak bisa tenang, pikirannya berkecamuk dengan sangat sulit. Ketakutan pun ikut serta menjadi sebuah boomerang dalam doanya.
Terduduk sendiri, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasa cemas semakin menjulang tinggi. Isak tangis itu pun secara perlahan keluar dari sumbernya. Hanum begitu sangat mengkhawatirkan anak satu-satunya itu.
“Hanum, bagaimana kondisi anakmu?”
Suara itu seketika membuat Hanum dengan cepat membuka kedua matanya. Dia melihat jika di sampingnya telah duduk seorang laki-laki dan menatap ke arahnya dengan penuh keseriusan.
“Anakku kritis, Mas.”
Dimas menatap Hanum dengan rasa yang semakin membuatnya dalam getaran yang sangat menyiksa. Dia sangat takut jika sesuatu yang tidak diharapkan itu akan kembali menekuk hatinya sendiri.
“Hanum, tetaplah berdoa dengan yakin. Jika semuanya akan baik-baik saja.”
“Tapi bagaimana jika ...”
“Sudahlah, kamu harus percaya jika semua akan seperti apa yang kita doakan, tetaplah berdoa Hanum.”
Dimas memotong kata yang keluar dari mulut Hanum. Dia tak mau jika wanita itu semakin merasakan kekhawatiran. Dimas pun memberikan perhatian penuh, dia ingin Hanum tak begitu berbebani dengan apa yang terjadi pada anaknya.
Tak lama, dokter keluar dari ruangan dan berdiri di depan pintu. Seta pandangan matanya menatap ke arah Hanum. Hal itu dengan cepat membuat Hanum segera berdiri dan melangkah ke tempat sang dokter.
“Dokter, bagaimana kondisi anak saya.”
Sang dokter menggeleng dengan wajah lesunya. Hal itu membuat Hanum semakin tak bisa berpikir dengan baik. Rasa khawatirnya memuncak hingga ke ubun-ubun. Hanum memilih untuk segera masuk ke dalam ruangan.
Melihat sang anak telah terpejam dengan tak ada daya upaya. Hanum mendekat dan mencoba untuk mnegajak sang anak berbicara. Hanya saja, tak ada respon sedikit pun dari sang anak. Hal itu semakin membuat Hanum tak bisa menerima apa yang dilihatnya itu.
Suara jeritan begitu sangat keras. Memanggil anaknya yang masih terhias selimut. Hanum semakin tak sanggup dengan tangisan yang membanjiri kedua pipinya. Menganak sungai tanpa henti. Sang anak, sudah tak bisa lagi diajak berkomunikasi.
Hanum keluar ruangan dan mencari keberadaan dokter. Memanggil nama dokter dengan sangat keras, bahkan dirinya tak menghiraukan banyak sekali orang yang melihat aksinya itu.
Dimas pun mencoba untuk menenangkan Hanum, yang tengah histeris dengan tangisan yang mengikuti setiap langkahnya.
Hanum yang tak menemukan keberadaan dokter, dia kembali lagi ke ruangan sang anak. Melihat anaknya yang masih dengan posisi sama, tak bergerak. Dan di samping sang anak, Hanum melihat suster yang berdiri dengan menekuk wajahnya.
“Suster, kenapa anak saya masih saja diam dan tak menjawab panggilan saya, sus.”
Suara Hanum seperti begitu menghantam kepada suster yang masih menjaga anak Hanum. Dia kemudian menatap wajah Hanum yang semakin histeris itu.
“Maaf, Bu. Anak ibu tidak bisa tertolong lagi.”
“Tidak, tidak mungkin!”
Histeris itu semakin tak bisa dibendung lagi. Rasa kehilangan yang tak pernah diinginkan oleh seorang ibu. Tangisan yang membahana pun kini semakin terdengar ditelinga Dimas.
Dia merasa tak tega dengan apa yang dilihat. Hatinya mengiba dengan sebuah kondisi yang membuat Dimas seakan merasakan apa yang Hanum kini terima. Sebuah takdir yang sama sekali tak bisa ditolak. Meskipun sebenarnya hal itu begitu sangat sulit untuk menerima dengan lapang d**a.
Kematian membuat dunia seakan runtuh. Tak ada lagi kebersamaan yang mengiringi di setiap langkah yang akan kembali dinaungi secara kasat mata. Kini dimensi pun telah berubah, semuanya telah berakhir.
***
Toni yang baru saja membangunkan matanya, kala pagi menyapa dengan kondisi badan yang lelahnya sedikit berkurang. Dia menatap jam kecil yang berada di atas meja samping tempat tidur, menunjukkan pukul enam pagi.
Ningrum terlihat masih saja membungkus badannya dengan selimut. Toni membiarkan sang istri untuk tetap menikmati tidur lelapnya. Dan bahkan dia berusaha untuk tidak membuat Ningrum terbangun.
Toni memutar otaknya. seperti ada sesuatu yang ingin dilakukannya saat itu. Toni pun membangunkan badannya dan dengan cepat dirinya melangkah ke kamar mandi. Setelah itu, Toni nampak berjalan mengendap-ngendap. Dia tak mau jika Ningrum mengetahui bahwa dirinya telah keluar dari kamar.
***
“Fina.”
“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
Suara Fina begitu sangat santun saat dirinya melihat sang majikan masuk ke kamar sang bayi. Fina yang baru saja memberikan makan untuk Pras dan masih menggendongnya.
Toni segera menutup pintu kamar itu. Dan terlihat di pandangan mata Fina, jika Toni tengan mengunci pintu kamar itu. Fina pun seperti diselimuti kekhawatiran, saat dirinya mengetahui apa yang dilakukan oleh Toni.
“Jangan panggil aku dengan sebutan Pak, Fin. Sama sekali tak enak di dengar.”
Fina masih terlihat diam, dengan tetap menatap Toni tanpa lepas. Fina sama sekali tak menjawab dengan ucapan itu. sayangnya, Toni semakin mendekat ke arahnya. Hal itu membuat Fina seakan tak nyaman.
Fina berusaha untuk mengalihkan pandangannya pada sang bayi. Dia tak ingi jika apa yang ada dalam pikirnya itu akan membuat dirinya semakin merasa takut. Akan tetapi, Toni semakin saja mendekat ke arahnya.
Hingga tak ada jarak lagi di antara keduanya. Fina mencoba untuk mundur dan menghindar dengan tetap menggendong sang bayi.
“Fin, kamu cantik. Bahkan sekarang lebih cantik.”
Fina semakin terjepit dengan keadaan. Jarak antara dirinya dengan Toni semakin tak bisa dihitung lagi. sehingga Fina pun mencari posisi aman. Dia melangkah menuju ke pintu. Akan tetapi Toni tak membeiarkan hal itu terjadi.
Fina yang memiliki rencana untuk keluar kamar. Harus dicegah oleh Toni. Laki-laki itu kini berada di pintu dengan lebih cepat. Sayangnya, saat pandangan Toni mengarah tanpa lepas ke arah Fina. Tiba-tiba saja, terdengar suara ketukan pintu dari arah luar.