Part 26 - Bisikan Hati

2099 Words
Toni, suami Ningrum yang baru saja pulang itu nampak memandang Fina dengan tatapan tajam. Bahkan dia seolah menahan kedip matanya, saat berdiri di depan wanita yang sudah dikenalnya sejak lama itu. Dari ujung kaki hingga ujung kepala tak luput dari penglihatan Toni. Hal itu membuat Fina merasa kurang nyaman. Dia kemudian menunduk dan tak lama terdengan suara Ningrum yang menggelegar memanggil nama suaminya. Saat itu pula, kesempatan Fina untuk lari dari pandangan Toni. Fina segera menuju ke kamar bayi untuk mencoba menghindar dari pandangan Toni padanya. Sedangkan Ningrum yang menyambut kedatangan suaminya nampak diselimuti wajah yang penuh dengan kebencian. Ada kemarahan yang berkobar dalam tatap matanya itu. Terkuak dengan ucapan sinis yang semakin menyalahkan. “Kenapa baru pulang?” suara Ningrum sudah terdengar tinggi. Toni tak menggubris apa yang dikatakan sang istri. Dia melangkah saja menuju ke kamarnya. Sembari membuka dasinya yang melilit di leher itu. Membuka pintu kamar begitu keras, hal itu membuat Ningrum semakin menyalak tanduknya. “Mas, kamu ini kenapa sih gak bisa menghargai aku sedikit pun.” Toni malah terlihat mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Dan bahkan pintu kamar mandi itu dibanting dengan sangat keras. Ningrum semakin naik darah. Dia membanting beberapa barang yang berada di atas meja. Ningrum sama sekali tak suka dengan sikap sang suami yang seolah tak memperdulikan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya itu. Ningrum menunggu Toni keluar dari kamar mandi. Dia masih saja diselimuti sejuta perasaan yang sudah sangat ingin ditumpahkan pada suaminya. Hampir setengah jam, Ningrum duduk di tepi ranjangnya. Dia lalu mengarahkan pandang matanya ke arah kamar mandi di dalam kamarnya itu mulai terbuka pintunya. Sosok laki-laki yang sudah menemaninya beberapa tahun. Ningrum berdiri dengan tatapan garang. Dia seperti tak bisa menunda lagi. Kobaran api yang ada di dalam hati sudah meluap-luap. Seakan sudah siap untuk dikeluarkan tanpa menunggu lama lagi. “Mas, aku ini mengajakmu bicara, tapi kenapa kamu seperti tak peduli dengan apa yang aku katakan?!” Kini Ningrum menambah rasa emosinya dengan memaksa sang suami untuk menatap kedua matanya. Tangan Ningrum memegang erat pundak Toni. Namun dengan cepat Toni menepisnya. Ningrum pun semakin tak bisa tinggal diam. “Mas, mau kamu apa sih, Mas!” “Ningrum, aku ini lelah. Kenapa aku datang kamu malah marah-marah, harusnya kamu melayaniku dengan baik tidak seperti ini!” “Mas, kalau kamu mau dilayani dengan baik, kenapa semalam tidak pulang dan bahkan kamu matikan ponselmu!” Toni nampak tersenyum dengan apa yang dikatakan Ningrum kepadanya. Lalu dia terduduk di sebuah kursi sembari memandang sang istri tanpa lepas. “Harusnya kamu bisa menanyakan dengan baik-baik, tidak perlu marah. Apalagi sampai membanting banyak barang seperti ini.” “Sudahlah, Mas. Jangan banyak alasan lagi. Apa yang kamu lakukan di luar sana, sampai kamu lupa dengan istrimu sendiri.” “Baiklah, sekarang giliran aku yang bicara dan diamlah untuk mendengarkan apa yang akan aku katakan padamu.” Suara Toni masih terdengar sangat lembut. Bahkan laki-laki itu terlihat tampak tenang menghadapi istrinya yang penuh dengan kemarahan itu. Toni bahkan melangkah untuk duduk di samping Ningrum, menatap wajah sang istri degan sangat serius nan penuh kasih. “Ponselku hilang, aku harus menghadiri acara tiga kali dalam sehari. Dan bahkan aku sama sekali tak sempat untuk membeli ponsel baru.” “Lalu kenapa kamu tidak mencoba menghubungiku dengan nomor hotel tempatmu menginap?” “Aku kan sudah bilang, tiga acara itu sudah sangat menguras tenagaku. Aku sampai hotel sudah lelah dan tidur, tak bisa melakukan apa pun, sayang.” “Aku tanya ke Irma, katanya kamu tidak ke kantor.” “Awalnya aku berangkay ke kantor, tetapi di perjalanan tiba-tiba saja relasiku mengajak rapat di luar, dan aku juga tidak bisa mneghubungi Irma karena ponselku yang sudah tidak ada di tangan.” “Kamu tidak bohong, kan?” “Untuk apa aku bohong, lebih baik sekarang kita pergi berdua, temani aku beli ponsel dan kita akan bersenang-senang.” Seketika suasana pun mencair. Ningrum sudah meleleh hatinya dengan penjelasan yang diungkapkan oleh sang suami. Kini Ningrum pun akhirnya tersenyum sembari mereka segera bersiap-siap untuk pergi. Toni adalah sosok lelaki yang sangat romantis. Kala dia membuat sang istri marah, maka tak heran jika Toni mempersembahkan sebuah hadiah untuk membuat sang istri kembali ceria lagi. Dan ternyata kali ini, Toni pun kembali melakukannya. Dia memberikan satu set perhiasan emas untuk Ningrum. Betapa tak percayanya Ningrum, di pusat pembelanjaan itu, setelah membeli ponsel baru untuk sang suami. Tiba-tiba saja, kejutan itu kembali di terima Ningrum. Senyum merekah pun mengiringi, membuat Ningrum semakin menaruh rasa cinta dan kepercayaan penuh kepada suaminya. Toni tak pernah pelit dengan barang mewah, apa pun bisa dibelinya dengan mudah, dan pastinya bisa membuat keadaan keduanya kembali membaik seperti sedia kala. “Oh, iya. Siapa wanita yang ada di rumah kita tadi?” “Dia Fina, baby sitter.” “Sejak kapan dia bekerja di rumah kita?” “Ya sejak kamu pergi, kan aku kesal sama kamu, Mas. Gak cepat-cepat dapatkan pengasuh untuk Pras.” Suara Ningrum terlihat sekali dengan nada kesalnya. Meskipun begitu, dia tidak marah lagi. Karena Toni sudah memberikan apa yang membuat hatinya merekah. “Dia sudah menikah dan punya anak, kan?” “Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas. Kamu mau main-main di belakangku?” “Kamu ini pikirannya negatif terus, hatiku sudah milikmu dan tak akan pernah berpaling.” Kini giliran Toni yang kesal dengan apa yang dikatakan Ningrum kepadanya. Melihat hal itu, Ningrum pun seakan mengakui kesalahannya atas apa yang dikatakan kepada suaminya itu telah menyinggung hati. “Ya, maafkan aku. Lagian kamu sih tanya statusnya.” “Aku hanya tidak mau dia membawa Pras pergi, seperti berita yang kian marak. Baby sitter membawa anak majikannya dan diperjual belikan di luaran sana.” “Apa? yang benar, Mas?” “Tentu saja, makanya apa aku salah bertanya seperti itu kepadamu? Aku hanya khawatir dengan anak kita, bukan hal lain.” Lagi-lagi Ningrum kembali merasa bersalah. Dia tersenyum simpul pada suaminya. Seakan mengakui jika apa yang dikatakannya itu benar-benar hanya sebuah pikiran negatif saja. “Tenang saja, Mas. Dia sudah punya anak. Tapi dia janda karena suaminya meninggal.” “Jadi dia tidak punya suami? Tapi syukurlah kalau dia sudah punya anak dan pastinya Pras akan aman.” “Iya.” *** Sekar kini menjalani aktivitas barunya. Baru kali pertama dirinya bekerja. Sebelum-sebelumnya, setelah lulus sekolah, Sekar hanya membantu mengurus perkebunan milik ayahnya. Namun, hanya sebantas mengatur keuangan, tanpa harus bekerja kasar. Kini dirinya harus mulai menerima keadaan yang memang sangat menyulitkan. Tidak seperti dulu, Sekar yang dipandang bermartabat dengan harta orang tuanya yang melimpah dan seakan tak pernah habis, jika hanya untuk mencukupi kebutuhan dirinya dan sang ayah. Sekar yang cantik wajahnya itu tak begitu percaya diri jika menghadapi orang. Sehingga saat di warung, dia memilih untuk mnegerjakan pekerjaan di balik layar. Padahal wajah cantik yang dimilikinya itu membuat beberapa pegawai menyarankan untuk Sekar berada di barisan utama. Sekar menolak dengan rendah hatinya. Dia memilih untuk menjadi tukang pencuci piring. Sekar menikmati pekerjaan itu yang tidak berhubungan dengan banyak orang. Sayangnya, Teguh yang melihat Sekar nampak sangat serius itu, terlihat ada rasa yang tak biasa di dalam dadanya. “Sekar, jika kamu mau, kamu bisa mengambil pekerjaan yang lain. Misalnya menawarkan menu kepada pengunjung, supaya kamu tidak terlalu berat berada di belakang begini.” “Tidak apa-apa, Mas. Saya sangat lebih suka di sini.” “Kamu melakukannya dengan tidak terpaksa, kan Sekar?” “Tidak, aku sangat senang dengan pekerjaan ini.” “Baiklah, kalau begitu aku tidak akan memaksamu.” Teguh segera berlalu. Namaun, sesekali dalam langkahan kakinya terbesit bayangan akan Sekar dan membuat Teguh kembali memandang Sekar secara diam-diam. Ada rasa penasaran yang bergelayut di d**a Teguh. Hanya saja, Teguh yang baru menengal Sekar dalam hitungan hari itu, tak berani untuk mengetahui lebih dalma lagi akan kehidupan Sekar. Teguh mencoba untuk mengerti hal itu. Ada batasan yang harus tetap dijaga. *** Malam itu, setelah semua pegawai warung telah pulang dan warung sudah tutup. Nampak Sekar seorang diri, dia tertidur tanpa sengaja di sebuh kursi panjang yang ada di belakang. Tak sengaja, saat Teguh akan mengambil barang yang ketinggalan. Dia melihat sosok Sekar yang terlelap, mungkin rasa lelah yang dirasakannya karena bekerja seharian. Teguh masih sibuk memandang wajah cantik Sekar. Dia sama sekali tak berani untuk membangunkan wanita yang dalam tidurnya itu masih sangat terlihat cantik. Bahkan Teguh merasa bahwa Sekar adalah satu-satunya gadis yang paling cantik, di antara para perempuan-perempuan yang pernah dijumpainya. Tiba-tiba saja, pandangan mata Tegu tertuju pada genggaman tangan Sekar. Ada selembar foto di antara jari jemari Sekar. Teguh hanya diam tanpa melakukan apa pun. Tak lama, genggaman tangan itu terlepas. Membuat Foto itu terjatuh dari tangan Sekar. Teguh yang diselimuti rasa penasaran itu pun segera mengambil foto yang sangat membuatnya ingin tahu. Ditatapnya foto itu dengan pandangan lurus. Nampak wajah Sekar dengan seorang laki-laki dan foto itu ternayata adalah foto pernikahan. Dengan demikian, Teguh pun sangat yakin jika foto yang sekarang ada padanya itu adalah foto pernikahan Sekar dengan suaminya. Teguh tak henti-hentinya menatap foto itu. Bahkan dia terkejut saat Sekar terbangun dan menatap Teguh dengan pandangan nanar. *** “Dimas, Ibu merasa jika umur Ibu tak lama lagi, Nak.” “Kenapa Ibu harus berkata seperti itu lagi, Ibu akan terus menemani Dimas.” “Carilah pendamping sebelum Ibu meninggal, Dim.” Malam itu sebelum Dimas tidur. Lagi-lagi sang ibu memberikan sebuah pesan yang sangat memberatkan bagi hidupnya. Mencari pasangan hidup bukan seperti membeli baju di pasar, yang apabila suka bisa langsung dibawa pulang. Dimas menarik napas panjang. Sepertinya dia memang harus berusaha untuk memulai kehidupan yang baru lagi. Sekar memang masih memenuhi isi hatinya. Namun, dia sadar bahwa hubungan itu tak akan bisa kembali dengan baik. Dimas tak bisa memaksakan takdis, yang sudah membawanya menjauh dari Sekar. Kini hanya kepingan kenangan yang juga harus dikuburnya dalam-dalam. Dimas pun berusaha untuk memejamkan matanya. Akan tetapi, ponselnya berdering secara tiba-tiba dan membuat Dimas tak bisa melancarkan keinginannya untuk segera terpejam. Menatap layar ponsel itu seperti dalam ketidakpercayaan. Dia melihat nama konta yang disimpan dengan nama Hanum itu telah meneleponnya. Terbesit pertanyaan yang ada dalam hatinya. Dimas pun tak mengerti akan maksud Hanum meneleponnya di waktu orang yang banyak beristirahat karena malam yang menggenggam. “Halo, ada apa Hanum?” “Mas, apa aku boleh minta tolong?” “Minta tolong apa?” Dimas yang awalnya terbaring dengan berselimutkan kain tebal. Dengan cepat membangunkan diri dan mengfokuskan pikirannya pada pembicaraan yang sedang berlangsung dengan Hanum. Dan bahkan sebuah isakan tangis itu, seperti didengan Dimas dengan cukup jelas. “Mas, anakku badannya panas sekali. Aku ingin bawa dia ke rumah sakit, aku dari tadi sudah memesan taksi onlin, hanya saja selalu tertolak, tolong aku, Mas. Aku tak tahu lagi harus minta tolong ke siapa lagi.” “Baik, Hanum. Aku akan segera ke rumahmu.” Dimas segera mengakiri panggilan itu. Dia dengan cepat segera mengambil kunci mobilnya. Dimas ingin sekali berpamitan dengan sang ibu. Hanya saja, dia takut bila membangunkan sang ibu yang pastinya sudah tertidur. Dimas pun memutuskan untuk segera melenggang ke rumah Hanum. Ingatan tentang suara isak tangis Hanum, membuat Dimas menambah kecepatan mobilnya. Dia ingin segera sampai ke rumah Hanum dan membawa anaknya untuk ke rumah sakit. *** Berkat bantuan Dimas, kini Hanum bisa bernapas sedikit lega. Dia bisa membawa anaknya untuk segera ditangani oleh dokter. Hanum pun berhias senyum dan terus mengucapkan kata terima kasih kepada Dimas. Meskipun masih ada rasa khawatir di benak Hanum, karena dokter masih memeriksa sang anak dan belum juga terlihat keluar dari ruangan. Hanum pun merasa gejolak hatinya terus membuatnya semakin tak tenang. “Hanum, kita duduk saja dulu.” “Mas Dimas kalau misalnya mau pulang silakan, aku sudah merepotkanmu.” “Sama sekali tidak repot, justru aku senang bisa membantumu.” “Aku hanya bisa membuat orang disekitarku merasa susah.” “Jangan berpikir seperti itu, Hanum.” Nampak kristal bening meghiasi wajah Hanum. Ketakutan dan kekhawatiran itu semakin memuncak dalam dadanya. Hanum sangat terbebani dengan apa yang kini menimpa sang anak. Rasa sakit yang dialami sang anak, pastinya tiga kali lebih sakit dari apa yang dirasakan oleh, Hanum yang tak lain adalah sang ibu. Secara tak sadar, Dimas mengulurkan tangan kanannya untuk menyeka air mata yang menghiasi pipi Hanum. Sayangnya, Hanum merasa malu dengan apa yang telah dilakukan Dimas kepadanya. Hanum dan Dimas pun saling memandnag. Keduanya tak tahu bagaimana bisa terpaut dalam pandangan yang sama. Dimas dengan cepat menghentikan gerak tangannya dan membuat Hanum semakin tak bisa mengontrol perasaannya, dia tertunduk layu dan Dimas pun sekejap merasa kaku dengan apa yang tengah terjadi padanya dan juga Hanum, dalam sebuah pandangan yang saling mengisi namun masih belum dimengerti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD