Part 28 - Puncak Kesedihan

1615 Words
Dengan cepat, Toni mengambil Pras dari dekapan Fina. Tak ada yang dilakukannya setelah itu selain membuka pintu dan tampak seorang asisten rumah tangga yang bernama Bibi Darmi. Melihat wanita itu, Toni pun berubah wajahnya menjadi sangat garang. “Mau apa ke kamar anakku?” “Maaf Pak, cuma ada perlu sebentar sama Fina.” “Fina harus kasih jaga Pras, kamu kerjakan saja pekerjaanmu sendiri.” Bibi Darmi sama sekali tak berani menatap kedua mata Toni lagi. Dia pun segera memohon diri untuk membalikkan badannya dan kembali menuju ke dapur. Sedangkan Fina masih saja berada di dalam ruangan dengan perasaan berdebar-debar tak karuan. Toni kembali mengunci pintu dan langkah kakinya mendekat ke arah Fina. Dia segera menidurkan Pras yang baru saja terpejam matanya. Toni menatap ke arah Fina tajam. Sedangkan Fna seolah menahan napas karena jantungnya yang berdetak semakin kencang. “Fin, apa kamu tidak ingin menikah lagi?” tanya Toni tanpa basa-basi. “Maaf, Pak. Saya harus membuatkan s**u untuk Pras, permisi.” Fina ingin menghindari pertemuan dirinya dengan sang majikan yang dilakukan berdua di dalam kamar Pras, si bayi mungil yang masih tak bersuara karena lelap tidurnya. Akan tetapi, Toni tak bisa diam begitu saja. Dia menarik tangan Fina dengan sangat erat, bahkan Fina hampir saja terjatuh karena tak bisa menyeimbangkan tubuhnya sendiri. “Fin, apa kamu lupa dengan kisah kita di masa lalu?” “Lepaskan tanganku, Toni.” SuaraFina semakin menggarang. Dia sama sekali tak menyukai perangai dari laki-laki yang berada di sampingnya itu. Fina berusah untuk segera keluar kamar, sayangnya pegangan tangan yang sangat erat dari Toni sangat menyulitkannya. “Fin, jika kamu mau aku akan memberikanmu banyak uang dan kamu tidak perlu bekerja lagi seperti ini.” “Jika aku tahu rumah ini adalah rumahmu, aku pastikan untuk tidak menerima pekerjaan di sini.” “Kamu semakin cantik, Fin. Rasaku padamu masih sama seperti yang dulu.” “Cukup! Kamu sudah sangat kelewatan.” Toni tersenyum lebar. Dia seakan semakin senang jika Fina sudah dalam kondisi yang begitu tak nyaman. Dia tetap saja berusaha. Toni sama sekali tak melepaskan tangannya untuk memegang erat tangan Fina. Tiba-tiba saja, suara ketukan pintu kembali terdengar lagi. Sejurus, Fina merasa semakin takut dengan suara itu. Apalagi pintu yang terkunci dari dalam seolah membuat konotasi yang tidak baik. “Lepaskan aku, Pak. Aku harus membuka pintu itu.” “Tidak perlu, dia pasti Darmi.” Belum sempat Fina mengeluarkan pendapatnya. Terdengar dengan begitu jelas suara Ningrum yang memanggil Fina dengan sangat keras. Toni pun seketika melepaskan Fina. Ada guratan penuh dengan kecemasan. Toni tak mau menunda lagi. Dia segera melangkah menuju pintu dan membuka pintu itu tanpa berlama-lama. Dilihatnya sosok sang istri dengan wajah masam dan menatapnya tajam. “Kenapa pintunya dikunci Mas? Apa yang kalian lakukan di kamar ini?” “Aku baru saja membetulkan pintu ini, tadinya tidak bisa ditutup karena gagang pintunya bermasalah.” “Sejak kapan pintu ini rusak?” Ningrum seakan tak mudah mempercayai apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Bahkan pandangan matanya tertancap dengan sangat fokus pada gagang pintu yang masih terlihat baik-baik saja menurutnya. “Tadi pagi rusaknya, sekarang sudah bisa lagi karena sudah aku perbarui.” “Kenapa tidak panggil tukang pintu saja, Mas. Tumben Mas mau betulkan barang yang rusak.” “Tadi aku sudah telepon tukang pintu, orangnya bilang lagi sakit dan aku tak punya kenalan lagi.” “Mana alat-alat untuk membetulkan pintu ini? kenapa aku tidak melihatnya sama sekali?” Ningrum semakin menyudutkan Toni. Hal itu membuat Toni merasa geram dalam hatinya. Dia sudah mengeluarkan banyak sekali alasan tapi Ningrum terus saja mencari celah atas jawaban yang disuguhkannya itu. “Sudah aku kembalikan Sayang, semuanya sudah selesai dan aku mau siap-siap berangkat kerja.” Toni berlalu dari hadapan Ningrum. Dia memilih pergi agar kecurigaan Ningrum tidak semakin bertambah dan tentunya agar tak banyak lagi pertanyaan yang akan dilontarkan kepadanya. Ningrum masih saja berdiri dan melihat Fina yang tengah sibuk dengan urusan bayinya. *** Sekar yang merasa privasinya sedikit terganggu karena selembar foto yang dilihat oleh Teguh. Setelah kejadian itu, Sekar memilih untuk diam dan sama sekali tak ingin atau tak bersedia untuk menatap wajah Teguh. Ada secuil rasa kecewa yang membelenggunya, pun rasa malu yang tiba-tiba saja bergelayut ketika tanpa sengaja dia menatap wajah Teguh. Saat itu Teguh yang baru saja melintas di depan Sekar, dengan cepat Sekar menunduk dan berpura-pura sedang fokus pada tumpukan piring yang siap untuk kembali ditaruh pada tempat yang bersih. Teguh pun nampaknya sangat mengerti dengan apa yang dirasakan oleh Sekar. Dia akhirnya berjalan lurus tanpa berhenti atau bahkan menyapa Sekar. Teguh mencoba untuk tetap bersikap tenang dan bahkan dia tak mau membuat Sekar semakin marah kepadanya. Baru saja Teguh akan berbelok arah ke ruangan. Tiba-tiba saja Sekar menjerit saat suara pecahan piring itu nampak membuat telinga berdengung. Teguh dengan cepat berbalik badan dan dia melihat dengan rasa penasarannya. Sekar telah terkena pecahan piring dan membuat kakinya dilumuri darah. Teguh pun berteriak memanggil anak buahnya untuk segera menyediakan kotak P3K. Dengan cepat, Teguh sendiri yang mengobati luka di kaki Sekar. Beberapa pegawai pun tak merasa aneh, karena Teguh adalah atasan yang sangat ramah kepada siapa pun. Terutama dengan pegawainya sendiri. Dengan cermat, Teguh menutup luka Sekar dengan perban, setelah dibersihkan dan diberi obat. “Untuk sementara lukanya jangan sampai terkena air dulu, kamu bisa istirahat untuk tidak cuci piring atau kamu bisa mengerjakan pekerjaan lainnya.” Sekar mengangguk dan patuh dengan instruksi itu. Meskipun sebenarnya dalam hatinya sendiri masih begitu terhalang rasa kesal yang sejak semalam menyelimuti dadanya. “Terima kasih sudah membantuku.” “Iya, sekarang lebih baik kamu ke kamar dan istirahat saja, biar pekerjaan ini dikerjakan orang lain.” Teguh berdiri dan melangkah untuk meninggalkan Sekar. Dia masih merasa canggung untuk bisa membuat Sekar tidak marah kepadanya. Dan saat itu Teguh hanya bisa berbicara tak banyak, tak ada cukup keberanian untuk melakukannya lebih daripada itu. Sekar menahan rasa sakit yang ada di kakinya. Bahkan saat dia melangkah tak sengaja, satu kakinya tak bisa menopang tubuhnya sendiri. Hingga tak sengaja, Sekar hampir saja terjatuh, dengan sigap Teguh yang maish berada di dekat Sekar segera menengadahkan tangannya dan membuat Sekar jatuh dalam dekapan Teguh. Kedua mata mereka saling bertaut. Kecanggungan semakin tak bisa dibendung lagi. Detak jantung berpacu sangat cepat. Hingga Sekar segera membuang wajahnya untuk bisa mengendalikan jantungnya yang semakin tak karuan itu. “Maaf Sekar, aku sama sekali tak bermaksud apa pun, aku hanya menolongmu agar tidak sampai terjatuh.” “Iya tidak apa-apa.” Teguh pun segera melepaskan tangannya ketika dia sudah bisa membuat Sekar berdiri dengan sendirinya. Teguh pun menawarkan bantuan untuk mengantarkan Sekar ke rumah yang biasa dihuni oleha banyak pegawainya itu. Akan tetapi Sekar menolak, Sekar kemudian melangkah dengan susah payah. Seorang diri menuju rumah yang akan dibuatnya untuk melepaskan penat dan juga beban dalam hati yang semakin tak terarah. *** Hanum yang kini merasa sangat kesepian. Dia tinggal dikontrakan seorang diri. Perjuangan untuk membesarkan anak semata wayangnya kini telah berakhir dengan takdir yang tak bisa ditolak. Hanum merasakan kehampaan hidup yang teramat dalam. Hari-harinya yang tak lepas akan kehadiran sang permata hati. Kini semua sirna, Hanum harus kehilangan sebuah tempat untuk mencurahkan setiap kasih sayangnya. Hanya memori kebersamaan yang bisa diingat dan disimpan dalam lubuk hatinya yang dalam. Setiap hari Hanum tak melewatkan sedikit waktu untuk tidak mengunjungi makam anaknya yang masih basah itu. Hiasan bunga setaman masih menghiasi gundukan tanah yang terlihat masih sangat baru. Hanum melampiaskan sejuta kesedihannya di atas pusara. Meskipun tak mampu untuk menentang sebuah ketetapan yang digariskan dalam hidupnya. Hanum tak punya semangat lagi untuk menjalani pekerjaannya. Dia memilih untuk mundur, Hanum tak ingin lagi menjalani kehidupan di luar rumah. Dia nampak senang melakukan semua aktifitas di rumah. Sepulang dari makam, Hanum menyibukkan diri dengan menjadi seorang dropsiper baju yang dijual secara online. Tak ada lagi target rupiah untuk menyukupi kebutuhannya sendiri. Tak ada lagi yang diperjuangkan, selain hanya keberlangsungan hidupnya. Dia hanya butuh waktu satu jam untuk bekerja dari rumah. selebihnya Hanum akan terlena kembali dengan kepiluan yang melanda hatinya. Tak berujung sebuah penyesalan, pula tak bisa dipastikan kapan semuanya akan berganti menjadi senyum merekah lagi. Terpuruk dengan sangat dalam. Hanum masih belum bisa menatap keindahan dunia, karena dia masih merasa dalam sebuah mimpi buruk yang kini terjadi dalam kehidupan yang sungguh membuatnya tak bisa memutar waktu lagi. Sendiri dan penuh dengan kesunyian. Hal itu sangat disenangi Hanum. Dalam sepi dan sendiri itu dia seakan bisa merasakan kehadiran sang anak dalam pelukannya. Meskipun Hanum tahu, jika apa yang dilakukan hanya sebuah ilusi belaka. Anaknya tak akan bisa untuk kembali lagi di sisinya. Semua kebersamaan sudah berakhir, karena garis waktu telah merubah semuanya. Hanum tak henti-enti meneteskan air mata, saat senyum manis sang buah hati kembali meracuni pikirannya. Betapa berat ujian yang dialami oleh wanita itu. Dia tak bersuami dan kini dia pun harus kehilangan malaikat kecilnya. Tuhan telah mengambil anugerah terbesar dalam hidupnya. Hanya bisa mengiyakan, menerima dengan terus mencoba untuk pasrah. Meskipun tangga ikhlas itu belum dicapainya secara maksimal. Hanum maish ingin berusaha untuk tetap bisa berdamai dengan hatinya sendiri. Memandangi foto sang anak tanpa henti. Sang jagoan yang akan terus membuatnya tak mudah untuk menepis sebuah bayang-bayang yang suda terpatri dalam kalbunya. Seketika suara dering telepon membuat Hanum harus mengakhiri lamunannya. Dimas menelepon berkali-kali. Hanya saja, Hanum masih tak mengangkat panggilan itu. Dia bahkan hanya memandanginya tanpa lepas. Tak lama berselang, Hanum pun mendapati sebuah pesan. Dia membukanya segera. Kamu tak perlu bersedih, Tuhan mengambilnya pasti suatu saat akan menggantinya. Masih ada kesempatan untuk mendapatkan malaikat kecil lagi. Hanum membuang ponselnya. Dia tak membalas pesan itu. Isak tangisnya semakin tak terbendung lagi. Semua tak semudah dalam nasehat yang diutarakan. Pipinya terus saja basah, seolah tak ada jeda untuk mengentikan kesedihan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD