Sekar yang masih menutup wajahnya itu pun merasa sedikit aneh. Seseorang yang menyentuh pundaknya masih saja terasa dan tidak bergerak sedikit pun.
“Kamu mau ke mana?”
Dengan diselimuti rasa takut yang membumbung tinggi. Sekar pun berusaha untuk menghadapi sebuah pertanyaan yang membuatnya jantungnya berdetak lebih kencang. Sekar mulai melepskan kedua tangan dari wajahnya.
Perlahan Sekar mulai membalikkan badannya, lalu dia melihat siapa seseorang yang masih saja berdiri di dekatnya itu. Sekar terkejut dengan sosok laki-laki yang ternyata pernah dijumpai sebelumnya.
Napas Sekar seolah terengah-engah, putus nyambung karena sedari tadi dia berusaha lari untuk menyelamatkan diri. Raut wajah Sekar nampak sangat diselimuti ketakutan.
“Tolong aku, Mas. Aku dikejar penjahat.”
Laki-laki pemilik warung yang tadi pagi telah memberikan dirinya makan gratis itu pun menatap Sekar dengan penuh rasa iba. Teguh segera membawa Sekar untuk masuk ke dalam mobilnya, mengamankan Sekar terlebih dahulu dari para penjahat yang nampak sedang mencari Sekar.
“Mas, to-long bawa saya pergi dari sini, sa-ya takut.”
Suara Sekar nampak terbata-bata. Teguh seolah mengerti akan apa yang Sekar katakan, dia dengan cepat segera menancapkan gas mobilnya, memanuver mobil itu dengan sangat cepat. Sekar menundukkan kepalanya. Dia berusaha untuk tidak terlihat oleh para penjahat yang nampak masih berada di sekitar tempat itu.
Teguh pun semakin membawa mobilnya dengan kecepatan tambahan. Dia yang melirik ke arah Sekar dan melihat wanita itu masih menutup wajahnya dengan kedua tangannya sangat rapat. Teguh pun memahami jika Sekar dalam ketakutan yang mendalam.
Setelah beberapa kilo meter menyusuri jalan. Teguh pun membawa mobilnya berhenti di salah satu rest area. Dia melihat Sekar yang masih saja tak menggerakkan kedua tangannya beralih dari wajahnya.
“Sekar, kamu tak perlu takut, kita sudah aman dari para penjahat tadi.”
Perlahan, Sekar melepaskan kedua tangannya yang menutupi wajahnya. Kemudian Sekar nampak melihat di sekelilingnya. Dia masih berada di dalam mobil Teguh. Sekar kemudian menatap wajah Teguh tanpa lepas.
“Terima kasih sudah menyelamatkanku, aku permisi!”
Sekar mencoba untuk membuka pintu mobil. Dia berniat untuk segera mengakhiri kebersamaan dengan Teguh. Dia tak terbiasa semalam itu pergi dengan seorang lelaki. Apalagi di dalam benak Sekar, dia masih seorang istri dari Dimas.
Tak menyangka, ternyata Teguh menahan Sekar dengan menarik tangan kanan Sekar. Hal itu membuat Sekar seolah tak mudah untuk bisa segera pergi.
“Tunggu Sekar, kamu akan pergi ke mana? Biar aku yang mengantarkanmu.”
“Tidak perlu, aku bisa pergi sendiri.”
“Sekar, tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu, aku hanya ingin kamu tidak diganggu oleh penjahat seperti tadi, bicaralah! Aku akan mengantarkanmu pulang hingga kamu aman.”
Sekar terdiam dengan ucapan yang baru saja didengarnya itu. Dia sama sekali tak mengerti arah. Bahkan ke mana langkah akan membawanya pergi, dia pun masih belum bisa untuk menjawabnya. Diam dan kedua matanya nampak berputar tanpa tujuan.
“Sekar, kamu dengar aku, kan?”
Sekar mengangguk. Namun, dia juga tak bisa mengatakan apa yang dirasakan olehnya. Sekar nampak menunduk, wajahnya sayu dengan segala beban yang kini dipikul sendiri olehnya. Teguh pun seperti ada keanehan dengan wanita yang kini duduk di sampingnya itu.
Dia tampak membelokkan sedikit badannya, lalu berusaha untuk mendekat ke arah Sekar. Dia hanya ingin memastikan jika wanita yang ada di dalam mobilnya itu dalam keadaan baik-baik saja.
“Sekar, maaf jika aku lancang, apa kamu sedang ada masalah dan tidak tahu kamu akan pergi ke mana?”
Sekar sekilas menatap wajah Teguh, kedua matanya nampak berkaca-kaca. Sedetik kemudian, air mata itu tumpah dengan sendirinya. Membuat Teguh semakin merasa terenyuh dengan apa yang dilihatnya.
Teguh sangat ingin sekali untuk menyeka air mata yang menghiasi pipi Sekar. Sayangnya, dia sama sekali tak memiliki keberanian untuk melakukan hal itu. Hanya diam dengan segala rasa hatinya yang dipenuhi rasa penasaran.
Sesaat, Sekar semakin terisak dengan rasa yang membuatnya tak mudah untuk bisa mengatakan apa yang kini sedang dirasakannya itu. Tak ada kata-kata yang keluar di antara Teguh dan juga Sekar. saling diam dengan gejolak hati masing-masing.
Teguh kemudian menarik sebuah tisu yang berada di atas dasboard mobilnya. Dia dengan cepat mengulurkan tisu itu kepada Sekar. Hanya ingin berusaha untuk bisa membuat Sekar tak menambah kesedihan dengan mengeluarkan banyak air mata.
Sekar tak menampik pemberian dari Teguh. Justru dia segera mengambil tisu itu dan diaplikasikan segera untuk mengusap air mata yang menganak sungai tanpa jeda.
Tak hanya itu, Teguh pun memberikan sebotol air mineral kepada Sekar. Sekadar untuk membuat Sekar bisa sedikit tenang.
“Minumlah, Sekar!”
Teguh dengan wajah penuh kesopanan. Membuat Sekar nampak merasa tak enak hati dengan kebaikan yang Teguh berikan kepadanya. Sekar tak segera mengambil sebotol air mineral itu. Dia masih ragu. Namun Teguh memaksanya dan akhirnya Sekar pun segera meminum air itu dengan perasaan yang bercampur aduk di benaknya.
“Jika kamu sudah tenang, dan kamu mau bercerita apa pun kepadaku, dengan senang hati aku akan mendengarkan apa yang kini menjadi beban dalam dirimu.”
Suara Teguh mengalun penuh perhatian. Sekar pun nampak merasa malu dengan ucapan Teguh yang baru saja didengarnya itu. Tak mudah baginya untuk menceritakan apa yang terjadi dalam hidupnya pada orang yang baru saja dikenalnya itu.
Sekar menelan ludah. Dia merasa bingung dengan langkah yang akan diambilnya. Dia tak tahu akan berteduh di mana untuk malam yang pastinya semakin mencekam baginya.
“Sekar, aku antar kamu pulang, ya.”
“Aku tidak punya rumah, Mas.”
Teguh nampak terkejut dengan apa yang baru saja didengar olehnya. Apalagi Teguh pun mengamati baju Sekar yang seakan lusuh, sepertinya Teguh pun mempercayai apa yang dikatakan oleh Sekar.
“Kamu tinggal di mana di sini?”
“Aku tidak punya tempat tinggal, dan aku juga tak tahu akan pergi ke mana.”
Air mata Sekar kembali jatuh, membuat Teguh semakin dalam rasa ibanya. Dia menatap wajah Sekar tanpa jeda, ada rasa yang tak biasa dirasakan olehnya. Teguh, pun berusaha berselancar dengan hatinya sendiri.
Pikiran Teguh berkelana, dia mencoba mencari cara untuk bisa membantu wanita yang nampak sangat kebingungan untuk mencari tempat berteduh. Teguh masih terdiam, sembari kedua matanya sama sekali tak bisa berpaling dari wajah Sekar.
“Sekar, bagaimana kalau kamu tinggal di warungku.”
Seketika Sekar menatap kembali wajah Teguh dengan rasa tak percaya yang teramat tinggi. Dia tak langsung menjawab ucapan itu. Sekar menggunakan pikirannya untuk bisa segera memberikan jawaban atas apa yang kini menjadi sebuah keraguan dalam dadanya.
“Memangnya di warung mas Dimas, eh maaf. Maksudku mas Teguh tidak ada yang tinggal di sana?”
“Maksudku di belakang warung itu ada satu rumah yang sengaja aku sewa untuk para pegawaiku, jika kamu mau kamu bisa tinggal di situ, Sekar.”
“Tapi, aku tidak punya sepeser uang pun untuk membayar sewa rumah itu.”
“Kamu tidak perlu membayar sepeser pun, Sekar.”
“Tapi aku tidak ingin merepotkan orang lain.”
“Ya sudah begini saja, sebagai bayarannya kamu bisa bantu-bantu di warungku, bagaimana?”
Sekar terdiam dan sibuk berpikir dengan tawaran Teguh. Dia terhimpit keadaan, Sekar tak mengenal siapa pun di tempat itu. Apalagi jika Sekar bertemu dengan seseorang yang tidak baik. Maka dapat dipastikan Sekar akan celaka.
Kini Sekar telah bertemu dengan Teguh, laki-laki bak malaikat yang telah menolongnya. Sekar pun sangat yakin, jika dirinya akan aman jika berada dalam lindungan Teguh. Akhirnya Sekar pun mengiyakan atas tawaran yang diberikan Teguh kepadanya.
Setelah itu, Teguh pun kembali membawa mobilnya dan untuk menuju ke rumah sewa yang sudah dijadikan tempat berkumpul para pegawainya. Sebelum sampai di tempat itu, Teguh membelokkan mobilnya di salah satu toko baju.
“Sekar, kamu tunggu di sini sebentar, ya. Aku tidak akan lama.”
“Iya, Mas.”
Teguh pun dengan cepat melangkah masuk ke dalam toko baju itu. dia memintai pegawai toko untuk mencarikan baju ganti untuk Sekar. Bahkan tak hanya itu, Teguh juga meminta pegawai toko untuk mengambilkan dalaman untuk Sekar.
Teguh sama sekali tak malu untuk melakukan kebaikan. Dia hanya ingin menolong seseorang dengan tulus hatinya. Saat Teguh sedang antre di kasir. Pikirannya nampa berputar ke memori yang baru saja berlalu.
Teguh sempat merasa penasaran dengan nama Dimas. Saat Sekar memanggilnya dengan nama itu. Teguh pun seolah yakin, jika Dimas bukanlah orang sembarangan. Pastinya lelaki yang disebut oleh Sekar itu sangatlah berarti di kehidupan wanita yang kini sedang bersamanya itu.
“Sekar, terimalah ini. Kamu bisa menggunakannya.”
Sekar nampak terkejut dengan paper bag yang telah diberikan Teguh kepadanya. Awalnya Sekar enggan untuk menerima, tetapi Teguh terus saja menyodorkan benda itu ke arah Sekar dan membuat Sekar tak bisa menolak lagi.
“Ini apa, Mas?”
“Buka saja, Sekar.”
Sekar pun menurut dengan apa yang dikatakan Dimas. Dia segera membuka dan melihat isi dari paper bag itu. Meskipun sedikit tak menyangka dengan apa yang dilakukan Teguh kepadanya. Sekar tersenyum lebar. Seolah Teguh benar-benar menjadi malaikat penolong baginya, setela dirinya keilangan pakaian satu tasnya yang raib tanpa jejak.
“Mas, terima kasih banyak. Padahal kita baru saja kenal, tapi Mas Teguh sudah sangat baik padaku.”
“Sudahlah Sekar, ini tak ada nilainya. Kamu gak usah panggil aku Mas, panggil saja Teguh.”
“Maaf, sepertinya kurang pantas jika aku memanggil Mas t Teguh begitu.”
“Ya sudah, terserah kamu saja. Kita berangkat, ya. Supaya tidak terlalu malam.”
***
Ningrum dilanda rasa marah yang berkobar-kobar. Dia sama sekali tak bisa mengetahui di mana keberadaan suaminya. Semua akses untuk menghubungi suaminya sama sekali tak berfungsi. Membuat Ningrum semalaman susah sekali untuk tidur.
Pagi bersambut dengan sinar mentari yang terlihat begitu cerah. Ningrum bangun dengan kondisi perutnya yang sangat lapar. Dia melangkah menuju ke dapur. Ningrum kembali tersadar bahwa asisten rumah tangga yang sudah diminta untuk datang masih juga belum menampakkan diri.
“Fina, apa kamu bisa masak?”
“Bisa, Bu.”
“Masakin aku, dong. Aku sangat lapar sekali.”
Fina nampak tertegun dengan ucapan Ningrum yang tak lain adalah atasannya itu. Fina yang seharusnya mengurus segala keperluan sang bayi, ternyata kini juga harus mengurusi urusan perut dari mamanya sang bayi.
Fina pun berubah raut wajahnya, saat Ningrum berlalu dari kedua pandang matanya itu. Fina dengan setengah hati melakukan pekerjaan itu. Saat dirinya sedang menanak nasi, Fina mendengar suara sang bayi sedang menangis.
Dengan sigap, Fina pun segera melangkah pergi dari dapur dan segera menuju ke ruang bayi. Fina segera membawa bayinya itu dengan menggendongnya. Mencoba untuk menenangkan sang bayi yang tengah menangis dengan sangat keras.
Fina pun segera memberikan s**u formula agar sang bayi segera diam. Dan ternyata, di tangan Fina yang sudah ahli mengurusi bayi itu, Pras bisa diam dan akhirnya tertidur lagi.
Fina kembali dengan perintah majikan untuk menyediakan makanan. Dia melihat isi kulkas yang sama sekali tak ada sayur atau pun lauk. Sedikit cabe dan juga tomat, sembari dua butir telur yang masih terlihat oleh pandangannya.
Fina tak berani banyak bertanya. Dia segera mengeksekusi telur itu untuk digorenganya menjadi telur mata sapi. Lalu Fina mengulek cabe dan tomat hingga menjadi sambal yang sangat pedas. Baru saja pekerjaan itu selesai dilakukan, Fina kembali mendengar suara bayi yang menangis dengan sangat keras.
Fina pun nampak gugup dan diselimuti kekhawatiran. Dia berlari dengan cepat. Hingga tak snegaja menabrak Ningrum yang baru saja berbelok ruangan.
“Fina, kalau jalan itu pakai mata.”
“Maaf, Bu. Saya gugup karena mendengar bayi Pras menangis.”
“Ya sudah cepat kamu atasi dia.”
“Baik, Bu.”
“Sebentar, Fin. Apa makananku sudah matang?”
“Sudah, Bu. Sudah saya letakkan di atas meja makan.”
Ningrum tak menjawab lagi penjelasan Sekar. Dia segera melenggang ke ruang makan dan Fina dengan cepat menuju ke kamar bayi.
Saat Ningrum melihat menu makanan yang disajikan. Raut wajahnya nampak sangat tak suka. Apalagi sebuah menu sederhana itu sama sekali tak menggugah selera makannya. Ningrum kembali berbalik badan, tak ada keinginan sedikit pun untuk mencicipi makanan hasil masakan Fina.
“Fin ... Fina ...”
Ningrum yang sudah tak mendengar suara sang bayi menangis. Dia segera memanggil Fina dengan sangat keras. Seolah kegeraman itu sampai di puncak ubun-ubunnya.
“Finaaaa... cepat kemari!”
Suara teriakan itu semakin membahana. Hingga Fina semakin gugup langkahnya. Dia berlari dengan sangat cepat menuju sumber suara yang mengaung seperti sambaran petir.
“Ada apa, Bu?”
“Fin, aku itu minta kamu masak bukan menu sederhana seperti itu, kamu samakan makananku sama makanan pembatu?”
“Maaf, Bu. Saya hanya memasak sesuai dengan bahan yang ada di kulkas, dan kebetulan hanya ada telur, cabe dan juga tomat.”
“Kalau tidak ada bahan, kan kamu bisa belanja dulu.”
“Maaf Bu, tadi Pras juga nangis, jadi saya sempat bingung.”
“Alasan saja kamu, kalau disuruh sama majikan itu jangan banyak membantah, kamu di sini kerja untuk aku bayar, bukan malah menyajikan banyak alasan, mengerti kamu!”
Fina hanya mengangguk. Namun, ada sesuatu yang masih memngganjal di benaknya. Dia yang harusnya bekerja untuk mengurusi bayi, bukan malah menjadi juru masak. Fina pun seolah kecewa dengan perlakuan sang majikan kepadanya.
Hanya saja, Fina yang mengingat kedua anaknya yang perlu biaya banyak untuk pendidikannya. Hal itu, membuat Fina menelan semua kemarahan Ningrum kepadanya.
Tiba-tiba di tengah kemarahan Ningrum, nampak terdengar suara ketukan pintu dari arah ruang tamu. Hal itu membuat Ningrum merasa gerah dengan kehadiran Fina di depannya.
“Cepat kamu buka pintu, Fin.”
“Baik, Bu.”
Fina pun melangkah, dengan hati yang seolah masih tersayat dengan ucapan Ningrum yang begitu tak beraturan menurut pribadinya. Sedangkan Ningrum menyalakan televisi di ruang tengah dengan terus menggerutu.
Fina memegang gagang pintu. Menarik kunci dan akhirnya dia membuka pintu ruang tamu. Dia terkejut melihat seseorang yang mengingatkan akan memori masa lalunya.
“Fina.”
“Toni.”