Part 39 - Adu Domba

2151 Words
Sekar merasa tak sabar dengan keinginan yang membelenggu dalam hatinya. Dia laksana sudah ingin memeluk bayinya. Bahkan saat itu, Sekar sudah ingin keluar mobil dan segera ingin menemui Ningrum. Hanya saja, Teguh mencoba untuk berpikir realistis. Dia tak mau bila Sekar bertindak gegabah malah akan membahayakan keadaan. Belum tentu dirinya bisa untuk mendapatkan bayinya, justru Ningrum yang akan melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan bayi itu. “Mas, aku menemui Ningrum dulu, ya. Aku harus mengambil bayiku sekarang.” “Sekar, bermainlah dengan strategi, kamu tidak bisa melakukan apa pun sesuai dengan keinginannmu.” “Tapi aku akan mengambil bayiku, mumpung aku sudah menemukan rumah Ningrum, dia tak bisa lari lagi jika aku akan segera menemuinya, Mas.” Sekar mulai tak tenang. Kepanikan itu membuat Teguh seakan harus bisa membuat Sekar lebih tenang. Teguh memberikan gambaran yang lebih rinci agar Sekar bisa menerima apa yang kini berada dalam jangkauan pikirannya. “Sekar, coba kamu pikirkan, seseorang untuk mendapatkan juara di kelas, dia perlu belajar yang sungguh-sungguh. Dan tentunya jika kamu ingin menjadi juara dalam hidupmu kamu juga harus menerapkan strategi.” Sekar nampak diam. Dia berusaha untuk memikirkan apa yang dikatakan laki-laki yang berada di sampingnya itu. Mencoba mendalami lebih serius, hingga akhirnya Sekar pun bisa menguasai dirinya sendiri. “Sekar, kita tak bisa berada di sini terus, kita harus pergi agar tak ada yang mencurigai keberadaan kita yang terus mengawasi rumah Ningrum itu.” Sekar yang sudah bisa berpikir jernih. Hingga akhirnya dia mengikuti apa yang dikatakan oleh Teguh. Dia mengangguk dengan yakin. Teguh membawa mobilnya untuk segera kembali pulang dengan tetap memikirkan langkah apa yang akan diambilnya untuk bisa mendapatkan bayi Sekar lagi. *** Sudah satu minggu Toni berada di luar kota. Bahkan Ningrum tak tahu ke kota mana suaminya itu pergi untuk urusan pekerjaan. Tak hanya itu, Toni yang sudah meninggalkan rumah satu minggu yang lalu itu, sangat jarang menghubungi Ningrum. Dalam sehari, Ningrum hanya akan mendapati suaminya untuk memberikan kabar padanya ketika pagi, dan setelah itu tak akan ada lagi kontak melalui panggilan udara. Bahkan Ningrum yang mencoba untuk menghubungi Toni sangatlah sia-sia. Ponsel Toni dimatikan. Hari ini, Ningrum pun menyambut kedatangan suaminya. Dia meminta Bibi Darmi untuk mempersiapkan makanan-makanan lezat kesukaan suaminya. Nampak wajah sumringah yang diperlihatkan. “Bu, memangnya untuk apa masak sebanyak ini?” tanya bibi Darmi. “Bapak mau pulang, jadi saya harus menyambutnya.” “Oh begitu.” Bibi Darmi yang hanya sebagai asisten rumah tangga itu pun menuruti dan patuh akan apa yang dikatakan oleh majikannya. Dia menyiapkan semua masakan itu dengan sangat rapi. Meskipun dalam hatinya, ada sedikit rasa yang mengganjal. Namun dirinya tak berani untuk mengungkapkan. *** Berhias koper yang menghiasi tangannya. Toni tengah masuk dengan senyum yang mengembang. Disambut oleh sang istri tercinta. Nampak sebuah kebahagiaan yang terpancar dari pertemuan itu. Ningrum memeluk mesra suaminya, seolah satu minggu yang dilalui tanpa suami itu pun terasa begitu sangat menyedihkan. “Bi Darmi, tolong bawa koper ini ke belakang.” Bibi Darmi yang mendengar suara majikannya melengking dengan begitu keras. Membuat langkah kakinya juga semakin cepat. Meraih koper itu segera dari sang majikan. Menunduk penuh hormat dan mengikuri apa pun yang telah diperintahkan. “Jangan lupa, langsung dicuci ya, Bi untuk pakaian kotornya.” “Baik, Bu.” Toni melepaskan kopernya, Bibi Darmi segera membawa barang itu untuk segera dikerjakan sesuai dengan perintah yang didapatinya itu. Dengan diselimuti rasa lelah yang melanda karena tugas rumah yang tak ada habisnya, membuat Bibi Darmi menggerutu dalam kesendiriannya. “Bibi, mau Fina bantu?” Bibi Darmi melirik ke arah Fina yang baru saja datang dengan menawarkan bantuan kepadanya itu. Namun Bibi Darmi oun tak serta merta menerima apa yang dikatakan oleh Fina. Dia hanya melirik ke arah Fina tanpa sebuah jawaban yang keluar dari mulutnya. “Bibi, mumpung adik bayi sedang tidur, Fina bisa membantu Bibi Darmi.” “Ya sudah, mending kamu goreng saja ikan di dapur.” Jawaban dari bibi Darmi pun akhirnya keluar juga. Fina lalu melangkah dengan senyuman. Dia segera mengikuti apa yang sudah dikatakan oleh rekan kerjanya itu. Dia nampak melihat beberapa lauk yang memang harus digoreng. Tanpa berpikir lama lagi. Fina segera mengambil celemek lalu mekeksekusi apa yang akan dikerjakannya itu. “Darmi apa yang kamu lakukan pada Fina.” Bibi Darmi yang tengah membuka koper majikan itu nampak terkejut dengan suara yang keluar dari mulut Toni. Bibi Darmi hanya diam dan menundukkan kepalanya. “Masak dan semua urusan dapur dan rumah ini itu tugasmu, Fina hanya melayani anak saya, mengerti kamu!” Toni memberikan sebuah teguran yang tak main-main kepada bibi Darmi. Hal itu seolah menambah sebuah rasa yang begitu merusak hatinya. “Maafkan saya, Pak. Fina sendiri yang mau mengurusi pekerjaan dapur. Saya tidak pernah menyuruhnya.” “Jika kamu mengulanginya, aku tak akan segan-segan untuk memecatmu.” Ancaman yang baru saja terucap itu tengah membuat bibi Darmi semakin geram dengan apa yang tengah didapatkannya itu. Fina sang rekan kerja yang sudah mendapatkan tempat di hati majikan laki-laki yang begitu menjengkelkan bagi bibi Darmi. Toni yang baru saja berkata dengan nada tinggi itu pun segera meninggalkan bibi Darmi. Hal itu spontan membuat bibi Darmi semakin menggerutu dalam kesendiriannya. Dia seolah tak senang, jika Fina mendapatkan sebuah perhatian khusus dari majikannya itu. Saat bibi Darmi mengeluarkan beberapa pakaian dari dalam koper. Dia tiba-tiba terkejut telah mendapati sebuah kotak perhiasan yang berada di dalam saku jas majikannya. Dengan diselimuti rasa penasaran yang tinggi akhirnya, bibi Darmi segera membuka kotak itu dengan cepat. Dia telah mendapati sebuah kalung emas dengan lionting berinisial huruf “F”. Dalam kediamannya, pikiran-pikiran bibi Darmi berkelanan. Ada sebuah tanda yang menjurus pada sosok wanita yang membuat kecurigaannya itu semakin besar. Nama Fina adalah salah satu nama yang begitu kuat dalam praduganya. Apa yang telah disaksikannya beberapa hari yang lalu, saat Toni menyuruh bibi Darmi pergi membeli rokok di tempat yang lumayan jauh dari tempatnya. Hal itu menjadikan bibi Darmi semakin diselimuti keyakinan yang kuat, jika Fina adalah wanita yang akan mendapatkan sebuah kalung yang begitu sangat indah itu. Bibir Darmi segera menaruh kembali kalung itu di tempatnya. Lalu menyingkirkannya dari tempat cucian. Dia akan kembali lagi pada tugasnya, setelah itu dia berencana untuk membawa kotak itu pada pemiliknya. *** Toni yang baru selesai mandi dan tak disangka, dia akan kembali menggeluti rutinitas yang tak akan pernah ada habisnya itu. Sang istri pun seolah tak menyangka dengan penampilan suaminya yang sudah lengkap dengan jas dan juga pakaian kerjanya. “Mas, mau ke kantor lagi?” “Iya, ada meeeting yang tak bisa ditinggalkan.” “Kamu kan baru saja sampai rumah, kok sudah kerja lagi, apa tidak ada yang bisa mewakilimu?” “Inginku juga istirahat di rumah, tapi bagaimana lagi. Pekerjaan ini sangat penting.” “Kamu ini pimpinan loh, Mas. Harusnya kan tinggal menyuruh para anak buahmu saja.” “Sudahlah masala kecil tidak usah dibesarkan. Aku berangkat dulu.” Berakhir dengan kecupan kening. Toni menyisakan sebuah rasa yang tak mudah untuk dikatakan oleh Ningrum. Mengantar keberangkatan suami dengan senyum yang seakan tak mampu untuk menghiasi bibirnya secara indah. Mobil Toni sudah tak nampak lagi di pelupuk matanya. Ningrum kembali lagi masuk ke dalam rumah. Dia sepertinya melangkah menuju kamar bayi, dia hendak bertemu dengan Pras, anak laki-laki yang telah diambil secara paksa dari saudaranya sendiri. Namun, tiba-tiba saja saat Ningrum baru akan memegang gagang pintu kamar sang bayi. Terdengar suara bibi Darmi yang begitu sangat keras memanggilnya. “Bu Ningrum.” Ningrum menoleh dengan cepat. Memandang Bibi Darmi penuh dengan diamnya tubuh dan mematung tanpa sadar. “Ada apa Bi?” Dengan menahan napas terengah-engah karena berlari tanpa mengatur napasnya. Bibi Darmi mencoba untuk menenangkan dirinya. Pandangan matanya terus tertancap penuh pada majikannya itu. “Bu, bibi menemukan benda ini di koper bapak.” Bibi Darmi segera menyerahkan benda itu pada Ningrum. Dan dengan diselimuti rasa pensaran, Ningrum pun segera mengambil benda itu dari tangan bibi Darmia. Ningrum yang seolah sudah bisa menebaik isi dari kotak itu. Sebuah perhiasan menjadi hal yang begitu lumrah yang menghiasi isi dari kotak berbenuk hati dan berwarna merah beludru itu. Di depan bibi Darmi, Ningrum pun segera membuka kotak yang sudah tergenggam di tangannya. Dia begitu sangat yakin, jika suaminya sedang membelikan sebuah perhiasan untuknya. Ningrum tak mau berlama-lama lagi. sayangnya ketika dirinya mendapati sebuah perhiasan dengan inisial huruf “F” seketika mimik wajah yang awalnya senyum kini berubah menjadi datar. Ningrum tak beralih pandangannya. Dia tetap saja tak lepas dari perhiasan yang kini digenggam erat-erat itu. Dia begitu tak percaya jika suaminya telah membuat dirinya patah hati tanpa sebuah penjelasan yang didapatnya. Bibi Darmi yang melihat Ningrum pun seolah mengerti dengan apa yang tengah dirasakan oleh majikannya itu. Bibi Darmi yang tiba-tiba saja pikirannya berputar kembali, dirinya yang baru saja ingat akan ancaman yang tengah dikeluarkan Toni kepadanya, membuat bibi Darmi pun seolah tak suka dengan sikap yang ditujukan oleh Toni itu. “Bu, ibu baik-baik saja, kan?” Ningrum seolah tersentak dengan apa yang didengarnya itu. Pandangan mata yang kosong itu seketika mendadak terenyuh dengan apa yang ditanyakan oleh bibi Darmi itu. “Iya, saya baik-baik saja, Bi.” “Maaf sebelumnya Bu, jika saya lancang.” “Kenapa?” “Saya yang mendapati inisial kalung itu, seolah saya menaruh kecurigaan yang sangat besar pada seseorang, Bu.” “Seseorang, siapa yang kamu maksud itu?” “Fina, Bu.” “Kenapa Fina?” Bibi Darmi mengambil napas panjang. Dia tak serta mereta menyeletuk begitu saja. Bibi Darmi perlu untuk merangkai kata yang bagus, agar apa yang dkatakannya itu akan membuat majikan perempuannya itu percaya dengan apa yang keluar dari mulutnya itu. “Beberapa hari yang lalu, saya melihat Fina sedang menggoda bapak, Bu.” “Apa?!” “Saat itu ibu pergi, saya tak sengaja melihat Fina yang merayu bapak di ruang tamu, Bu.” “Apa yang mereka lakukan?” “Bibi tidak tahu, Bu. Karena bibi harus mendiamkan Den Pras yang tengah menangis. Fina sama sekali tak peduli dengan tangisan Den Pras, jadi Bibi yang membantu mendiamkan Den Pras, Bu.” “Kamu tidak bohong, Bi Darmi?” “Tidak, Bu. Maaf jika saya lancang. Saya hanya mengatakan tentang apa yang saya lihat. Apalagi inisial kalung itu F, siapa lagi Bu kalau bukan Fina. Karena jelas sekali jika Finalah yang suka menggoda Bapak. Ibu harus hati-hati, semoga saja bapak tidak pindah ke lain hati dan tergoda dengan Fina.” Mendengar kata-kata itu. Seakan darah Ningrum naik secara drastis. Kemarahan kini telah menyelimutinya. Dia sama sekali tak menyangka dengan apa yang telah dilakukan Fina di belakangnya itu. Dengan membawa kotak perhiasan. Ningrum kembali berkonsentrasi lagi pada kamar bayinya. Dia haru segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan apa yang tak diketahuinya selama ini. Bibi Darmi kembali melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan Ningrum, membuka pintu kamar bayinya tanpa berpikir lama lagi. Ningrum begitu terkejut, saat dirinya mendapati Fina yang tengah tidur di samping Pras, bayinya itu. Seketika Ningrum mendekat ke arah Fina dan emosinya pun meledak-ledak. Apa yang dilihatnya itu begitu sangat tak patut untuk dilakukan Fina. Harusnya Fina bekerja dengan baik untuk menjaga Pras, akan tetapi yang dilihatnya adalah sebaliknya. Fina nampak sedanga tertidur dengan begitu pulas. Tak menunggu lagi. Ningrum dengan wajah garangnya sudah siap untuk mengobarkan api kemarahannya itu. “Fina, bangun kamu!” Fina pun tercengang dan dia segera membuka matanya. Fina sama sekali tak menyadari jika dirinya tengah tertidur. Fina yang awalnya hanya merasa lelah dan kepalanya pusing, dia sama sekali tak tahu jika dirinya tengah ketiduran di samping bayi yang harusnya dijaga itu. “Maaf Bu, saya tak sengaja tertidur.” “Enak sekali ya kamu. Saya pekerjakan kamu di sini untuk menjaga anak saya, bukan malah asyik tidur sesukamu!” “Maaf, Bu. Saya hanya merasa kepala saya sedikit pusing, jadi saya tertidur, itu pun saya tidak sengaja, Bu.” “Alasan, ikut saya sekarang!” Ningrum menyeret paksa Fina untuk keluar kamar. Fina pun tak bisa menyangkal apa pun. Dia menurut saja dengan apa yang akan diterimanya. Fina memang salah karena telah tidur di waktu kerja, dia menyadari hal itu. Namun, dia memang tak bohong jika kepalanya seperti sedang ditusuki jarum. “Darmi, cepat jaga Pras!” Suara keras Ningrum itu membuat bibi Darmi mengakhiri cuciannya. Dia dengan cepat menuju ek arah sumber suara yang tak begitu jauh darinya. Bibi Darmi segera mengikuti apa yang diperintahkan majikannya itu. “Katakan dengan jujur, apa hubunganmu dengan suami saya?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Ningrum. Dengan wajah garang seperti singa, Ningrum nampak seperti akan menerkam Fina yang tak lain adalah mangsanya. Sedangkan Fina yang juga mendengarkan pertanyaan itu dengan sangat cukup jelas. Fina masih saja terdiam dengan pandangan kedua matanya yang tetap tertuju pada Ningrum. Hanya saja bibirnya masih terkunci untuk menjawab pertanyaan yang begitu tak pernah dibayangkan olehnya sebelumnya. “b***k ya kamu, cepat jawab. Apa kamu bermain belakang dengan suamiku, Fina!” Lagi-lagi pertanyaan itu seperti cambuk yang kini tertancap keras dan begitu menyayat hatinya. Fina terus saja diam, dengan sejuta polemik hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD