Part 38 - Benih Cinta

1946 Words
Semakin sang ibu menanyakan tentang sosok Hanum. Di setiap detik seolah pikiran Dimas tak pernah berhenti untuk tidak memikirkan wanita itu. Pdahal saat bekerja, Dimas juga sangat ingin fokus dengan pekerjaannya. Namun kenyataan seolah berkata lain. Bayangan akan wajah wanita itu selalu berputar-putar di pelupuk matanya. Rasa itu membuat Dimas seakan tersiksa. Dia tak bisa dengan mudah menjalani hari-harinya. Dimas pun seolah ingin segera mengakhiri akan apa yang telah diciptakannya itu. Dimas bertekad, saat dirinya pulang dari kantor. Dimas bertekad untuk segera menemui Hanum. Dia harus menceritakan apa yang telah dirasakannya ini. Merasa bersalah dengan apa yang telah dilakukan pada sang ibu kandungnya sendiri. Sore, terlihat rumah Hanum nampak sangat sepi. Dimas telah berdiri di depan pagar rumah. Dia mengetuknya dengan sangat keras. Namun, tak segera mendapati Hanum keluar untuk membukakan pintu. Dimas sudah sangat lama berdiri. Pikirannya semakin tak karuan. Dia kemudian memberanikan diri untuk menelepon Hanum. Mengambil ponselnya dengan sedikit gugup, seolah dia juga masih belum yakin dengan langkah yang diambilnya itu. Namun, karena bayangan akan kesalahan selalu menghantuinya, akhirnya Dimas tak banyak berpikir lagi. Dia mencari kontak nomor Hanum, dengan segera Dimas menghubungi wanita itu, dan tak lama panggilan itu pun tersambung. “Ada apa Mas?” “Aku berada di depan pagar rumahmu, apa kamu di rumah?” “Iya aku di rumah.” “Bisakah kamu membukakan pintu untukku, Hanum?” “Maaf Mas, tidak bisa!” Dimas tersentak dengan jawaban itu. Dia seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Hanum. Sempat menjeda pembicaraan beberapa detik. Kemudian Dimas kembali melanjutkannya lagi. “Hanum, ada hal penting yang harus segera aku sampaikan ke kamu.” “Apa tidak bisa lewat telepon, Mas?” “Tidak bisa, Hanum. Begini saja, setelah aku mengatakan ini, aku tidak akan mengganggumu lagi.” Hanum nampak mengernyitkan dahinya. Dia seolah dibuat penasaran dengan kata-kata yang terlontar dari mulut Dimas itu. “Kalau begitu kita ketemu di luar saja, Mas.” “Baiklah, aku tunggu kamu di depan, ya.” “Tidak perlu, aku akan berangkat sendiri saja.” “Tapi aku sudah berada di depan rumahmu, Hanum.” “Tolong, Mas. Biarkan aku berangkat sendiri saja.” Dimas pun ingin menghargai keputusan Hanum. Dia membiarkan Hanum dengan apa yang dipilihnya itu. Dimas tak memaksa, dia segera masuk ke dalam mobilnya dan dengan cepat memanuvernya meninggalkan rumah Hanum. Sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari rumah Hanum itu menjadi tempat yang dipilih Dimas. Laki-laki itu telah meminum dua minuman yang sama. Dia tak peduli jika Hanum menyukai atau tidak minuman yang telah dipesannya itu. Dimas sengaja tak memesan makanan, dia menunggu Hanum saja untuk memilihnya. Berkali-kali Dimas nampak menatap jam tangan yang melingkar dengan erta itu. Dia sudah cukup bosan menunggu. Hampir satu jam, Hanum tak kunjung menampakkan dirinya. Sedangkan minuman yang dipesan Dimas telah habis. Dia memanggil pelayan lagi untuk mengambilkan minuman kedua untuknya. Dan setelah itu, Dimas nampak melihat Hanum berjalan dengan sangat pelan. “Maaf bila menunggu terlalu lama.” “Tidak apa-apa, Num.” “Kamu mau pesan minum atau makan apa? kebetulan minuman yang aku pesankan sudah sejak tadi, mungkin rasanya sudah berubah, pesanlah lagi untukmu.” “Tidak perlu, Mas. Katakan saja apa yang ingin engkau bicarakan padaku.” Hanum seolah berkata langsung pada poinnya. Mimik wajah datar itu, membuat Dimas penuh dengan pertanyaan yang berkecamuk dalam benaknya. Tentang sebuah perubahan pada diri Hanum. “Apa kamu sedang sibuk, Num?” “Mas, kumohon tak usah mengalihkan pembicaraan, langsung saja pada intinya.” Jawaban itu terasa menohok bagi Dimas. Sama sekali tak terpikirkan dengan sikap Hanum yang begitu berubah. “Baiklah, Num. Aku merasa jika apa yang sudah aku ceritakan pada ibuku adalah suatau kesalahan terbesar tentang hubungan yang kita ciptakan dari kebohongan ini.” “Ya, memang ini bukanlah ide yang bagus.” “Maafkan aku, Num. Aku telah mengajakmu pada hal yang tidak baik, aku akan segera menyelesaikan semua ini.” Hanum tersenyum tipis. Dia seolah mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Dimas itu. Hanum kemudian meraih gelas di depannya. Akan tetapi, gelas itu tak tepat mendapat genggaman yang baik dari Hanum, hingga tak sengaja isi gelas itu pun tumpah. Dengan cepat, Dimas pun seolah melakukan gerak refleks. Dia mencoba untuk mengambil gelas yang hampir saja jatuh. Akan tetapi Hanum segela menggenggam kembali gelas itu dengan sangat erat. Tiba-tiba saja, kedua wajah mereka saling berdekatan. Embus napas itu nampak tak bisa dikendalikan, tatapan keduanya pun tajam seperti elang. Ada sesuatu yang dirasakan tanpa harus diucapkan. Dalam hati masing-masing, sebuah kata itu hadir dengan malu. *** Sepulang dari kafe, Hanum tak memilih untuk segera pulang ke rumah. Dia memilih untuk berkunjung kembali ke panti asuhan. Entah mengapa dalam perjalanan itu, perasaannya seperti sedang tidak tenang. Ada hal yang mengganjal dalam hatinya. Dia tak tahu apa yang dipikirkannya, hanya saja pikirannya hanya berkelibat tentang Dimas. Hanum merasakan keanehan pada dirinya sendiri. “Num, kamu baik-baik saja?” “Iya, Nay.” Hanum yang hanya bengong, sangat terlihat bahwa dirinya sedang melamun. Tapi Hanum sendiri tak sadar dengan apa yang dilakukannya itu. “Aku mengenalmu, Num. Dan aku rasa sekarang kamu sedang jatuh cinta.” “Enak saja, sembarangan kamu, Nay.” “Dari dulu aku menjadi sahabatmu, dan seperti inilah tanda yang selalu engkau tunjukkan saat hatimu berbunga-bunga.” “Sok tahu, kamu.” “Siapa dia?” “Bukan siapa-siapa, aku juga tidak sedang dekat dengan siapa-siapa kok.” “Dimas bukan?” Mendengar nama Dimas disebut oleh sahabat yang tak lain adalah pengelola panti itu, Hanum seperti salah tingkah sendiri. Dia tak mudah untuk mengiyakan ataupun menampik hal itu. pandangannya nanar dan nampak kosong. Naya pun yang sepertinya sudah hapal tentang Hanum, dari saat mereka menjadi teman di bangku SD hingga mereka duduk di bangku kuliah yang sama. Naya pun sangat yakin dengan apa yang dirasakan oleh sahabatnya itu. Naya tersenyum tipis, melihat apa yang kini menjadi pandangan matanya. Naya tak menganggu pikiran Hanum. Dia membiarkan Hanum terus bergelayut dengan kediamannya. *** “Ini untukmu, Sekar.” Sekar terkejut melihat bude yang memberikan beberapa benang rajut kepadanya. Pandangan Sekar begitu menunjukkan sebuah keterharuan dengan apa yang kini dipandangnya. “Bude belikan semuanya ini untuk aku?” “Iya, supaya kamu tidak jenuh di rumah.” Sekar pun mengambil beberapa bennag rajut itu dari tangan bude. Dia sangat tak menyangka, jika keinginannya saat berada di swalayan seolah tersampaikan dengan apa yang tengah diinginkannya itu. Bude memberikan kejutan yang sangat tak disangka sebelumnya. Sekar menerimanya dengan kebahagiaan yang tiada terkira. Bude pun nampak tersenyum. Sekar segera melihat satu persatu peralatan itu untuk digunakan merajut. Sayangnya, jarum yang ada di dalam wadah yang juga diberikan bude itu nampak patah. Ada sedikit goresan kesedian dalam wajahnya. Dia tak bisa merajut tanpa jarum. Bude yang melihat hal itu pun ikut dalam suasana hati Sekar. “Maaf ya Sekar, nanti biar bude belikan lagi jarum yang baru.” “Tidak apa-apa bude, biar Hanum saja nanti yang pergi.” “Jangan, kamu di rumah saja. Bahaya jika kamu pergi lagi. Bude takut jika ayahmu dan laki-laki itu berhasil menemukanmu.” Sekar terenyuh dengan perhatian yang bude berikan kepadanya. Sama sekali tak pernah menyangka jika kasih sayang wanita paruh baya itu kepadanya begitu sangat tulus. Rasa haru pun seolah mengiringi dengan kekuatan hati masing-masing. Saat pembicaraan itu terjeda. Tiba-tiba saja Teguh datang dan membuat fokus pandang mereka segera beralih. Teguh pun nampak begitu aneh melihat dua sosok wanita yang secara langsung diam tanpa kata itu. “Bude, Sekar, ada apa? sepertinya ada hal yang sedang dipikirkan?” “Iya, Teguh mumpun kamu sudah di rumah. Belikan jarum rajut untuk Sekar.” Teguh pun seolah tak mengerti dengan apa yang sedang dikatakan bude kepadanya. Seumur-umur Teguh sendiri tak pernah tahu atau bahkan memegang benda itu. Sekar yang merasa tak enakan itu pun berusaha untuk tidak merepotkan siapa pun. “Bude, mas Teguh, tak perlu repot-repot. Nanti biar Sekar sendiri saja yang pergi,” pinta Sekar. “Pokoknya jangan, bahaya di luar sana Sekar. Begini saja, kamu pergi sama Teguh, nanti biar Teguh yang beli, kalau tidak cocok bisa langsung dikembalikan ke tokonya.” Teguh yang sebenarnya sedang sangat lelah itu, tak bisa menolak apa pun yang diperintahkan bude kepadanya. Meskipun Sekar sudah mengajukan penolakan secara halus, agar dia tak merepotkan yang lain, tapi bude tetap saja bersikukuh dengan argumennya sendiri. Sejurus, Sekar dan Teguh pun tak bisa menolak apa yang sudah dikatakan oleh bude. Keduanya kemudian berangkat untuk pergi membeli jarum rajut. Di tengah perjalanan. Sekat sempat bercerita tentang dirinya yang sedang dikejar ayah dan juga laki-laki yang mencintainya itu. Teguh yang mendengar cerita itu pun nampak hatinya begitu gelisah. Dia taku jika dua orang laki-laki yang membahayakan itu akan membuat Sekar. semakin tak bisa tenang. Dengan begitu, Teguh pun bertekad untuk bisa melindungi Sekar. Mobil yang dikemudikan Teguh telah berhenti di depan toko jahit. Teguh meminta Sekar untuk tetap tenang dan berdiam di mobil. Teguh yang akan melangkah untuk membelikan jarum rajut itu untuk dirinya. Awalnya, Sekar kembali menolak. Dia sangat ingin untuk tidak merepotkan orang lain. Akan tetapi Teguh tak bisa dinego. Dia seperti bude yang tak pernah bisa dibengkokkan argumennya. Sekar pun akhirnya menurut, meskipun dia tetap merasa tak enak telah merepotkan Teguh. Menunggu beberapa menit di dalam mobil. Sekar diam dan memandangi lalu lalalang orang yang lewat dengan banyak tujuan yang ditempuh. Mobil itu terbuka pintunya, terlihat Teguh telah membawa satu benda berwarna putih, yaitu plastik bungkus jarum rajut. Teguh memberikan bend itu pada Sekar. Hal itu membuat Sekar tersenyum lebar. Sembari melihat jarum rajut itu tanpa lepas. “Mas Teguh, terima kasih ya, sudah mau membelikan jarum rajut ini untukku.” “Iya, Sekar. Sama-sama.” Tiba-tiba saja Sekar mengalihkan pandangannya, saat dirinya menaruh benda itu di dasbord mobil. Pandangan kedua matanya itu berubah sangat nanar. Dia menatap dengan fokus yang begitu serius. “Mas Teguh, coba lihat di sana.” Sekar menunjukkan seorang wanita yang sedang memasuki mobilnya. Sayangnya, Teguh tak mengerti dengan tnjuk jariSekar yang mengarah pada sosok wanita itu. Teguh hanya melihat punggung wanita itu dari kejauhan. “Memangnya ada apa dengan wanita itu, Sekar?” “Dia Ningrum, Mas. Adik aku.” “Apa?!” Teguh kembali menamatkan pandangannya pada wanita yang sudah tak terlihat wujudnya itu, karena telah masuk ke dalam mobil dan tak bisa dijumpai lagi. Mobil itu perlahan keluar parkir dan menjauh dari pandangan Teguh dan juga Sekar. “Mas, bisakah kita mengikuti Ningrum?” “Ya bisa.” Teguh pun segera memanuver mobilnya tanpa berpikir lama lagi. Untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh Sekar, Teguh pun membawa mobilnya dengan sangat cepat. Dia tak mau kehilangan jejak Ningrum. “Mas, jangan terlalu dekat. Takutnya Ningrum nanti curiga dengan mobil kita.” Lagi-lagi apa yang dikatakan oleh Sekar itu memang adalah sebuah kebenaran. Perlahan Teguh sedikit mengambil jarak lebih dari mobil itu. Harap-harap dalam kecemasan. Sekar sangat menginginkan jika dia bisa menemukan tempat tinggal Ningrum. Setelah melakukan perjalanan yang tak begitu lama. Kini nampak Ningrum memasukkan mobilnya ke dalam halaman rumah yang begitu besar, mewah dan sangat memukau mata. “Mas, sepertinya ini adalah rumah Ningrum yang baru.” “Ya sepertinya begitu.” Sekar dan Teguh masih saja melihat dari kejauhan. Keduanya tak melepaskan pandangannya sedikit pun. Masih tertancap tanpa lepas. Hingga kedua pandang mata itu pun menyaksikan bahwa Ningrum telah keluar dari mobilnya dan masuk ke dalam rumah. Bebeapa detik kemudia, Sekar menundukkan kepalanya. Seperti ada hal yang tengah mengganggu pikirannya itu. Teguh tampak memperhatikan dengan sangat jelas. “Sekar, apa yang akan kamu lakukan?” “Masuk ke dalam rumah itu, bagaimana pun caranya. Aku harus melihat bayiku dan aku harus bisa membuatnya ikut denganku.” Teguh mencoba mencerna kata-kata itu. Sembari otaknya berputar untuk memikirkan apa yang tengah menjadi sasaran utama itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD