Part 12 - Gadis Bukan Janda Bukan

1440 Words
“Mbak Sekar, apa selama kehamilan banyak masalah yang dipikirkan?” Sekar terdiam dengan pertanyaan itu. Dia mencoba mengalihkan pandanga. Sekar ingin menjawab, sayangnya dia masih ragu untuk mengutarakan apa yang kini ada dalam pikirannya itu. “Tidak apa-apa kalau misalnya mbak Sekar tidak mau bercerita, tapi saya sarankan kurangilah stres, karena ini akan menganggu perkembangan janin.” “Tapi janin saya baik-baik saja kan, dok?” Kini giliran dokter yang diam. Seolah ada sesuatu yang tersimpan dalam benaknya. Sekar menancapkan pandangan itu. “Kondisinya akan baik, jika Mbak Sekar bisa mengontrol emosinya, usahakan selalu rileks, ya.” “Baik, dok.” *** Sekar kembali pulang dengan sejuta perasaan yang bercampur aduk. Sesampainya di rumah, Sekar mendapati Fauzi yang sedang bertandang di ruang tamu. Tak banyak yang Sekar lakukan, dia hanya sebatas senyum lalu dia hendak melangkah menuju ke kamarnya. “Sekar, tunggu!” Suara sang ayah, membuat langkahan kaki Sekar secepatnya berhenti. Dia seolah menunda keinginannya untuk segera masuk ke dalam kamarnya. “Ada apa, Yah?” “Tolong temani Fauzi, ayah mau mandi sebentar!” Sekar yang belum sempat menjawab, pak Surya ternyata sudah melangkah terlebih dahulu. Hal itu membuat Sekar terpaksa melakukan apa yang dikatakan sang ayah tanpa sebuah persetujuan terlebih dahulu dari dirinya. Duduk dengan sangat terpaksa. Sekar mengalihkan pandangan pada lantai putih yang menjadi pijakan kakinya. Sedangkan Fauzi tak lepas pandangannya hanya pada wajah cantik wanita yang ada di depannya itu. “Bagaimana kabarmu Sekar?” “Baik.” “Usia kandunganmu sudah berapa?” “Empat.” “Dimas masih belum pulang juga selama empat bulan ini?” Sekar menggelengkan kepalanya lesu. Dia yang sebenarnya sama sekali tak menginginkan sebuah pembicaraan dengan laki-laki yang kini terus saja menatapnya itu. Akan tetapi, keadaan seakan memaksanya. Sekar hanya bisa mengikuti dengan penuh tekanan. “Kamu masih mencintai Dimas, Sekar?” Lagi-lagi sebuah pertanyaan yang menohok hatinya harus kembali di dengar dengan setengah hati. Cintanya memang masih tergadaikan pada Dimas. Belum sepenuhnya kembali pada dirinya. Hanya saja apa yang dipertanyakan pada Sekar sangat riskan untuk dijawabnya. “Mas Fauzi, kalau misal aku tinggal ke dalam bolehkah? Aku sedang kurang enak badan.” “Ya, silakan.” Sekar tak membuang waktu lagi. Dengan cepat dia melangkah, tak peduli lagi dengan apa yang ayahnya perintahkan kepadanya. Bagi Sekar yang terpenting saat ini adalah kenyamanan hatinya. *** Pak Surya nampak marah besar, setelah dia tahu bahwa Sekar meninggalkan Fauzi sendiri di ruang tamu. Setelah kepulangan Fauzi, lagi-lagi pak Surya tak bisa menahan gejolak kemarahan yang ada di dadanya. Pak Surya bahkan segera masuk ke kamar Sekar tanpa permisi, setelah mengetahui bahwa kamar Sekar tidaklah dikunci itu. “Maksud kamu apa, meninggalkan Fauzi sendirian?” Sekar yang merebahkan tubuhnya lemas, dengan sangat terpaksa dia mencoba untuk membangkitkan kembali tubuhnya yang terasa sangat berat itu. “Sekar kurang enak badan, Yah. Jadi Sekar pamit ke mas Fauzi, dia juga tidak keberatan dengan apa yang Sekar bilang.” “Banyak bantah ya kamu, Sekar. Seharusnya kamu itu ngaca pakai kaca pembesar Sekar.” “Maafkan Sekar, Yah.” “Harusnya kamu bersyukur masih ada laki-laki yang mau dengan janda sepertimu.” “Yah, aku masih bersuami.” “Kata siapa? Lebih dari tiga bulan Dimas meninggalkanmu tanpa kabar dan tanpa nafkah, kamu sudah menjadi janda, Sekar.” “Tidak, Dimas akan terus jadi suami Sekar, sampai kapan pun.” “Buat aturan sendiri, kamu akan menikah dengan Fauzi ketika anak yang kamu kandung itu telah lahir.” Bka tersayat sembilu, ketika Sekar harus menerima kondisi yang lagi-lagi membuat pikirannya terasa ingin pecah. Dia ingin sekali tak menangis, tapi apa yang dikatakan pak Surya membuat beban dalam hidupnya kembali bertambah. Jika Sekar menangis, tak lama dia pasti merasakan perutnya kram. Seperti ada sinyal pada janinnya. Buru-buru Sekar menarik napas panjang dan dia mencoba untuk mengolah emosinya. Dia tak boleh stres, supaya janin yang ada di dalam perutnya bisa berkembang dengan baik. *** Usia kehamilan yang terus bertambah. Sekar mulai memikirkan acara tujuh bulanan yang biasa diselenggarakan untuk sang bayi. Sekar pun dalam kebimbangan yang dalam. Dia seolah buntu pikirannya, caranya mendapatkan uang untuk mewujudkan acara itu sangatlah sulit. Sekar yang membawa dirinya sendiri saja tak mudah, apalagi bila dia harus bekerja atau melakukan suatu hal yang bisa menghasilkan uang, tentu itu adalah hal yang begitu sangat membuatnya berpikir seribu kali. “Yah, tak lama lagi usia kandungan Sekar akan masuk tujuh bulan, bolehkan Sekar mengadakan acara syukuran tujuh bulanan, yah?” “Terserah. Tapi ayah tak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk acara itu.” “Tapi, Yah!” “Anak yang ada di kandunganmu itu bukan tanggung jawab ayah.” “Tapi dia cucu ayah.” “Ayah akan pertimbangkan, jika kamu mau mengikuti apa yang ayah inginkan.” “Apa itu?” “Menikah dengan Fauzi setelah anakmu lahir.” Sekar kembali dihadang sebuah bata besar di depannya. Syarat yang diajukan sang ayah benar-benar membuatnya sangat sulit untuk menerima. Selain tak ada rasa cinta untu laki-laki yang beranak satu itu, Sekar masih ingin mempertahankan janji suci pernikahannya dengan Dimas. “Pikikan itu, jika kamu setuju semua keinginanmu akan ayah wujudkan.” Pak Surya berlalu dari hadapan Sekar. Kini wanita itu dalam gundah gulana yang menyelimuti dadanya. Seperti dalam kubangan yang sulit keluar. Sekar memahami posisinya yang seakan tak mudah untuk bisa cepat mengambil keputusan. *** “Mbak Sekar kasihan ya.” “Iya, dibilang gadis sudah bersuami tapi dibilang janda juga tidak cerai.” “Bahkan dia harus menjalani kehamilan seorang diri.” “Kemarin saya lihat Fauzi ke rumah mbak Sekar.” “Oh iya, sepertinya Fauzi masih ada rasa sama mbak Sekar.” “Tapi kan mbak Sekar masih bersuami.” “Tapi suaminya gak pernah kelihatan.” Beberapa ibu-ibu yang berbelanja sayur di pagi hari itu nampak membicarakan tentang Sekar. Dan tanpa sengaja, Sekar yang juga ingin belanja sayur itu pun mendengar semua celoteh tentang dirinya. Sekar yang maish berdiri dengan jarak sepuluh meter. Sekar mengetahui apa yang dibicarakan ibu-ibu itu dalam pandangan matanya. Sekar yang ingin saja berbalik badan dan kembali llagi ke rumah. Sayangnya salah satu dari ibu yang menggunjingkan diirnya itu, mengetahui keberadaan Sekar. “Mbak Sekar, mau belanja sayur. Ayo mbak Sini!” Kata-kata itu membuat Sekar tak berani membalikkan badannya. Dia meneruskan langkahan kakinya dan kedua pandnag matanya hanya tertuju pada tumpukan sayur yang akan menjadi pilihannya. “Mbak Sekar, kehamilannya sudah membesar ya, kapan ini ayah dari baby nya pulang?” “Doakan saja, bu.” Sekar tak banyak bicara. Bahkan dirinya menahan rasa yang bergejolak dalam dadanya. Sekar memilih satur dengan sangat cepat. Bahkan tak peduli apa yang dibelinya. Dia ingin cepat-cepat pergi dari kerumunan ibu-ibu yang suka bergosip itu. Sekar tetap berhias senyum, membayar total pembelanjaan sayurnya. Dia yang diberikan uang sedikit dari ayahnya untuk membeli sayur. Bahkan jumlah uang yang dibayarkan itu masih saja kurang, sehingga Sekar harus mengembalikan lago beberapa sayur yang sudah berada di dalam plastik itu. “Saya duluan ibu-ibu.” Sekar memilih untuk menghindari gunjingan yang akan membuat isi pikirannya seakan bertambah. Sekar tak mau bila apa yang dikatakan ibu-ibu tadi akan menjadi sebuah beban yang membuatnya harus merasakan kembali pilunya hati. *** Seiring berjalannya waktu, kini sudah dekat pada usia kehamilan tujuh bulan. Sekar yang tak punya apa pun untuk bisa membuat acara kecil untuk merayakan acara sakral itu. Sekar tak ada lagi tabungan, semua sudah habis untuk biaya kontrol kandungannya. Lagi-lagi Sekar mengingat akan tawaran sang ayah, untuk menerima kembali Fauzi dan semua biaya yang berhubungan dengan kehamilannya itu pasti akan beres. Seperti satu kedipan mata, seolah semua akan teratasi dengan sangat mudah. “Sedang apa bengong di sini?” Suara sang ayah seolah membuat Sekar terkejut dengan kehadiran laki-laki itu secara tiba-tiba. Sekar pun menatap wajah ayahnya dengan penuh perhatian. Tatapan matanya seolah penuh harapan. “Bingung saja yah, sebentar lagi usia kehamilanku masuk tujuh bulan.” “Bingung biaya untuk acara maksudmu?” Sekar mengangguk lesu, dia yang sangat berharap jika sang ayah bisa sekadar bersimpati kepadanya. Lalu memberikan jalan yang terang untuknya. “Gak usah dibikin repot Sekar, terima lagi Fauzi, semua urusanmu akan beres di tangan Ayah, bagaimana?” Sekar terdiam, dia mengolah pikirannya sedemikian rupa. Sekar bahkan sangat takut jika dirinya tak bisa membuat sebuah kebiasaan yang sudah turun temurun menjadi tradisi keluarga. Bagaimana mungkin jika anak pertamanya tak mendapatkan apa yang seharusnya diperjuangkan oleh orang tuanya. Pilihan yang sangat sulit untuk Sekar. Antara bayi yang harus mendapatkan perhatian penuh dari sang ibu dan juga cinta yang membelenggu hatinya. “Bagaimana Sekar, apa kamu terima tawaran ayah?” Sekar tetancap pada wajah pak Surya. Mulutnya bergeming, kelu itu hilang dan Sekar akan segera menjawab pertanyaan yang sangat membingungkan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD