Sekar yang kini terhimpit dalam kondisi yang benar-benar menyulitkannya. Dia tak habis pikir jika ayahnya melakukan hal senekad itu. Memanggil seorang dukun bayi secara diam-diam untuk menggugurkan janin yang ada di kandungan Sekar.
Sekar yang terus terpojok di sudut ruangan. Dia seolah berpikir keras untuk bisa menyelamatkan janin yang kini masih berusia sangat muda itu.
“Ayah, berhenti! Jangan lakukan ini padaku, Ayah.”
“Sekar, ini yang terbaik untukmu, jangan melawan kata ayah.”
Sekar semakin bingung. Langkah sang ayah semakin dekat dengannya. Sekar harus segera bisa mendapatkan cara agar apa yang kini mencekik dirinya itu segera berubah menjadi jalan terang.
“Stop! Sekar akan laporkan Ayah dan juga ibu itu ke kantor Polisi, jika sampai kalian mengambil janin ini dari rahimku.”
Sekar berkata dengan sangat tegas. Seolah dirinya tak mau jika ayahnya akan terus memaksakan kehendaknya itu. Sekar berjuan untuk melindungi dirinya dan juga janinnya. Matanya berotasi, masih berselimutkan ketakutan yang dalam.
“Kamu tidak akan bisa melakukannya, Sekar!”
“Kenapa tidak, aku tidak akan peduli dengan kehidupan ayah, seperti ayah yang juga tidak peduli dengan calon anakku, polisi akan melindungi seorang ibu yang tak berdaya, demi menyelamtkan calon bayinya. Sekaran Sekar minta, Ayah dan Ibu keluar dari kamarku. Sebelum aku melompat dari jendela ini dan pergi ke kantor polisi.”
Pak Surya terdiam dan memikirkan apa yang dikatakan Sekar kepadanya. Ada sedikit ketakutan yang juga menyelubungi dirinya. Mendengar ancaman tentan polisi, tentunya memuat mentalnya pun seketika terganggu.
Pak Surya tak ingin menjalani kehidupan di penjara. Apalagi dia nantinya akan meninggalkan kekayaan yang telah melekat dalam kehidupannya. Beum lagi stereotip dari masyarakat yang nantinya akan sangat berdampak buruk bagi kehidupannya sendiri.
Pak Surya tak mau bila hidupnya akan berubah menjadi sangat buruk dengan keinginannya untuk menggugurkan calon bayi yang ada di rahim Sekar. Pikiran yang melayang ke mana-mana itu membuat Pak Surya akhirnya mengurungkan niatnya.
Dia lalu pergi bersama dukun bayi itu. Keluar dari kamar Sekar secepatnya. Sedangkan Sekar masih saja terhuyung dengan kondisinya yang semakin melemah.
Tetes air mata selalu saja mengiringi langkahnya. Ujian hidup Sekar seolah tak kunjung berakhir. Dia menatap perutnya dengan linangan air mata yang begitu deras.
“Nak, kamu harus kuat hadapi semua ini bersama dengan ibu ya.”
Sekar mengelus perutnya dengan sangat lembut. Pikirannya terasa buntu. Namun, Sekar berjanji bahwa dia akan menjaga janinnya dengan sangat berhati-hati. Meskipun dia harus bertaruh nyawa sekalipun.
***
Hari demi hari berlalu dengan sangat cepat. Kini kehamilan Sekar pun sudah semakin kentara. Dia harus menerima kondisi itu dengan lapang d**a. Sekar menjalaninya dengan bersusah payah. Apalagi di tri semester pertama, rasanya hampir saja ingin menyerah, namun niat yang kuat itu dijunjung tinggi dan dia bisa melewatinya meski tetap dengan tetes air mata.
“Yah, Sekar semalam merasa perut ini kram sekali, bolehkan Sekar meminta uang ayah untuk memeriksakan kandungan ini ke klinik, Yah.”
“Tidak, ayah tak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk anak itu!”
Pak Surya berlalu, dia tak ingin lagi menatap wajah Sekar. Membuat Sekar harus merasa dalam keadaan yang begitu memprihatinkan. Dia tak tahu harus pada siapa meminta uang jika tidak kepada sang ayah.
Akan tetapi sikap pak Surya yang terus saja emnyudukan Sekar, seakan membuat wanita itu untuk berpikir seribu kali lagi untuk meminta bantuan kepada orang tua satu-satunya itu.
Sekar mencoba untuk mencari solusi atas permasalahannya sendiri. Dia sama sekali tak ingin bergantung dengan ayahnya. Terdiam mengunci pintu di dalam kamar. Sekar tak tahu harus dari mana dia berpikir untuk mendapatkan uang.
Kehamilan yang seharusnya mendapat perhatian penuh, tapi tidak dengan kehamilan yang dialaminya. Sekar harus berjuang seorang diri, membawa calon bayi itu untuk tetap bisa hidup dengan dunia yang akan memberikan berjuta pelajaran dalam setiap perjalanan.
Semilir angin yang menerpa kulit Sekar, seakan memberikan sebuah ide yang sangat tak disangka sebelumnya. Sekar yang tiba-tiba saja teringat akan celengan yang dulu selalu digunakannya untuk menyimpan uang.
Kakinya dengan semangat melangkah untuk membuka lemarinya. Dan kedua pandang matanya telah menemukan apa yang dicarinya itu. Wajah Sekar berbinar-binar, senyum pun mengiringi. Sekar segera mengambil benda yang digunakan untuk menyimpan uang itu.
Sekar pun tak berpikir panjang lagi. Dia segera membuka celengan itu dan terlihat beberapa lembar uang tampak menghiasi kedua mata Sekar. Menghitungnya dengan cermat, meskipun hanya bernilai dua juta rupiah. Setidaknya Sekar sedikit lega, bisa memeriksakan kandungannya ke klinik.
Sekar tak mau menunda lagi, dia yang semalam suntuk merasakan kram pada perutnya. Sekar oun ingin mengetahui kondisi kesehatan dan juga perkembangan janinnya. Sekar yang diam-diam keluar dari rumah tanpa sepengetahuan ayahnya.
***
Berada di klinik yang lumayan dekat dengan rumah. Sekar berjalan seorang diri. Pikirannya hanya tertuju pada kondisi janinnya. Dia yang baru saja sampai di klinik itu pun segera mengambil nomor antrean.
Sekar duduk diam dengan pandangan yang berkelana. Dia melihat seorang ibu hamil yang perutnya lebih besar darinya. Ibu-ibu itu ditemani seorang laki-laki yang sudah jelas adalah suaminya. Sekar tak beralih dari pandangan itu.
Ada rasa iri yang bergelantung dalam benak Sekar. Dia bahkan membayangkan jika Dimas selalu siap sedia dan siaga untuk menemani proses kehamilannya itu. Sayangnya, apa yang dipikirkan Sekar hanya sebuah bayangan semu.
Air mata Sekar kembali menetes, beberapa orang yang datang ke klinik itu tak ada yang sendiri seperti dirinya. Semua bergandengan mesra dengan sang suami untuk memeriksakan kondisi kehamilan yang membahagiakan.
Sekar menundukkan wajahnya. Lagi-lagi dia harus berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri. Demi sebuah masa depan yang ingin dilalui bersama dengan keluarga kecilnya.
Sekar mengusap kristal bening yang menghiasi pipinya. Dia harus terus berusaha untuk tetap berdiri kokoh. Ini hidupnya, dan dia yakin akan bisa menaklukkan semua rasa yang tak mengenakkan itu pada hatinya sendiri.
“Mbak, datang sendiri ke sini?”
“Iya, Bu.”
“Hebat ya, kalau saya selalu sama suami, maklum anak pertama. Mbaknya hamil anak ke berapa?”
“Saya juga anak pertama, Bu.”
“Kok suaminya tidak ikut, hati-hati ya mbak. Saya punya teman dalam kondisi hamil dan dia selalu periksa kehamilannya sendiri. Dan ternyata, saat ditelusuri si suami itu selingkuh dengan wanita lain.”
Sekar menelan ludah dengan apa yang didengarkannya itu. Saat kata selingkuh itu terucap begitu sangat jelas, hati Sekar seakan hancur berkeping-keping. Dia tak bisa memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dengan suaminya sendiri.
Bayangan akan perselingkuhan pun tak ayal harus hinggap dalam pikirannya, setelah apa yang didengar dari seorang wanita yang sama sekali tak dikenalnya itu.
“Mbak, saya duluan ya. Saya sudah dipanggil.”
“Iya, silakan.”
Sekar pun meneteskan kembali air matanya. Sedihnya seakan tak berujung. Sekar menahan rasa sesak yang berada di dadanya. Betapa tidak, semua yang dikatakan wanita tadi benar-benar membuatnya seolah diterjang badai yang begitu dahsyat.
Cepat-cepat, Sekar kembali mengusap air matanya itu. Dia tak ingin jika orang disekitarnya akan mengetahui kesedihannya. Sekar terus saja memotivasi dirinya sendiri. Dia harus bangkit, demi bayi yang akan diperjuangkannya itu.
Sekar yang merasa ingin ke kamar mandi. Dia segera berdiri dan dengan cepat melangkah menuju tempat yang sedang dicarinya itu. Setelah dirinya menemukan apa yang dicari. Sekar segera masuk ke dalam ruangan kecil.
Beberapa saat kemudian, setelah Sekar selesai dengan urusannya, dia pun segera keluar dan hendak kembali mengantre untuk periksa. Tiba-tiba Sekar terkejut, saat dia berjalan di koridor tatapannya tertancap pada sosok wanita yang juga dikenalnya.
“Sekar.”
“Ami.”
“Gak nyangka kita ketemu di sini, ya.”
“Iya, Ami. Kamu lagi periksa kandungan?”
“Iya, tapi sudah selesai dan ini mau pulang.”
Wanita bernama Ami itu adalah teman Sekar saat dia duduk di bangku SMA. Di samping Ami, berdiri seorang laki-laki gagah nan perkasa. Sekar menatapnya, namun sedetik kemudian dia mengalihkan pandangannya pada Ami kembali.
“Sekar, usia kehamilannya sudah berapa?”
“Jalan empat, Ami.”
“Semoga ibu dan bayinya sehat.”
“Perut kamu sudah besar sekali, kapan hpl?”
“Kalau menurut prediksi sih tinggal menunggu hari, Sekar.”
“Senangnya, semoga semua berjalan dengan lancar, ya.”
“Sekar sama siapa ke sini?”
Lagi-lagi Sekar harus mendengar pertanyaan itu lagi. Dan dia harus bisa menghadirkan jawaban sesegera mungkin pada wanita yang kini menatap matanya tajam.
“Aku sendiri.”
“Gak masalah periksa sendiri atau sama suami, soalnya suami juga punya kewajiban untuk mencari nafkah, kadang pekerjaannya gak bisa ditinggal, iya kan, Sekar?”
Sekar mengangguk. Dia seolah emnahan hatinya yang miris dengan apa yang didengar dari mulut temannya itu. Ami berhias senyum dan dia beranjak pergi terlebih dahulu, meninggalkan pandang matanya pada Sekar.
Sekar terus saja terngiang dengan apa yang dikatakan Ami kepadanya. Tentang laki-laki yang bertugas mencari nafkah untuk kebutuhan keluarga, seolah dia sekarang tak mendapati itu semua pada diri sang suami.
Sekar sama sekali tak mendapat kabar, jangankan nafkah. Sebatas menyapa dalam kejauhan pun tak pernah dilakukan. Sekar matanya kembali berkaca-kaca. Sungguh terasa hampa hati dengan pikiran yang terus merajuk untuk meratapi.
Sekar harus kembali merasakan rindu yang menggebu pada suaminya. Keinginan untuk kembali menjalani bahtera rumah tangga yang hanya hitungan hari seakan tak mudah untuk dikembalikan. Sekar terngiang-ngiang akan janji suci Dimas yang pernah terucap untuknya.
Sayangnya, semua hanya tinggal kenangan yang harus ditepis secara perlahan. Karena jika Sekar kembali mengingat laki-laki itu, hatinya pasti akan remuk redam. Genangan air mata pasti akan tumpah dengan sejuta penyesalan yang ada.
Andai saja, jika dia tak mengijinkan kepergian Dimas pastilah tak akan ada perpisahan seperti sekarang, dan andai saja dia ikut ke mana pun sang suami pergi, pastilah gandeng tangan akan terus terlaksana.
Ah, itu hanya bayangan yang berkelana tanpa asa yang jelas. Sekar menarik napas panjang dan membuangnya. Dia sudah terlanjur memilih jalan hidupnya, dan Sekar tak boleh menyerah dan mundur dengan segala permainan kehidupan.
Seorang petugas kesehatan nampak memanggil namas Sekar, sepertinya kini sudah gilirannya untuk diperiksa. Sekar pun menyeka air matanya dan melangkah dengan cepat. Sekar seolah sudah tak sabar untuk memeriksakan kondisi kandungannya itu.
Dokter yang kini tersenyum penuh kehangatan, mencoba untuk memeriksa kondisi janin Sekar dan pastinya juga dengan kondisi sang ibu. Dua elemen itu tak dapat dipisahkan. Ibu dan bayi yang ada dalam kandungan saling berpengaruh satu sama lain.
“Ada keluhan Mbak Sekar?”
“Perut saya kering kram, dok.”
“Apa sering melakukan pekerjaan berat?”
“Tidak.”
Pemeriksaan terus saja berlanjut. Bincang dua arah itu terlihat begitu intim. Bahkan dokter yang begitu hangat mampun membuat Sekar menumpahkan seluruh beban yang ada di dalam hatinya. Tak tanggung Sekar pun kembali menangis dengan tumpuan masalah dalam dirinya.
“Mbak Sekar, dengan berat hati saya harus menyampaikan ini kepada mbak Sekar?”
“Apa dokter, cepat katakan kepadaku. Aku ingin tahu bagaimana perkembangan janinku.”