Part 13 - Terusir

2098 Words
Sekar yang tak bisa lagi berpikir dengan jernih. Hingga akhirnya dia mengiyakan apa yang diminta sang ayah kepadanya. Seketika Sekar pun mengangguk, sebuah persetujuan itu hadir di tengah-tengah tatapan mata yang saling bertaut satu sama lain itu. Saking bahagianya pak Surya mengetahui jawaban yang diberikan Sekar, tak butuh waktu lama untuk pak Surya mengabari Fauzi. Dia menelepon laki-laki yang ingin dijadikan menantunya itu. Dan respon Fauzi pun sangat girang, dia bahkan segera pergi ke supermarket untuk membelikan apa yang dibutuhkan Sekar menjelang kelahiran. Sedangkan Sekar kini dalam kondisi tertekan. Dia seolah tak percaya dengan apa yang telah dilakukannya itu. Sekar terdiam cukup lama, terbesit sebuah keraguan yang membuatnya tak mudah untuk mempercayai apa yang sudah ditetapkannya itu. Sekar merasa sesak dadanya. Dia memutuskan untuk mencari udara segar untuk sementara waktu. Jalan-jalan sore dilakukannya, Sekar hanya ingin membuat beban yang dirasakan itu sedikit terkikis. Jalan setapak yang menghubungkan ke jalan raya, Sekar jalan perlahan dengan memegang perutnya yang sudah mulai membesar. Sekar menatap sekeliling pemandangan yang membuat matanya seakan tampak berbinar. “Sekar, mau ke mana?” Sekar menoleh dengan suara yang telah memanggilnya itu. Seorang ibu paruh baya yang membuat dirinya seakan menatap tanpa lepas. “Bu, Hindun.” “Mampir sini, Sekar.” Sekar pun mengikuti apa yang wanita itu katakan kepadanya. Bu Hindun adalah salah satu teman ibu Sekar, mereka dulu bersahabat sangat erat. Saling menopang satu sama lain, tempat berbagi suka dan duka. “Bu Hindun tinggal di sini lagi?” “Tidak, hanya sementara di sini, kamu apa kabar, Sekar?” “Baik, Bu. Ibu sendiri bagaimana? Sudah sangat lama Sekar tidak berjumpa dengan ibu.” “Ibu juga sehat.” Keduanya berhias senyum. Saling menatap dengan tatapan kasih. Bu Hindun nampak memegang perut Sekar yang nampak membuncit itu. “Sekar sudah besar ya perutnya, hamil anak ke berapa ini?” “Anak pertama, Bu.” “Pasti senang ya, anak yang dinanti-nanti membawa kebahagiaan tersendiri bagi keluarga.” Seketika mimik wajah Sekar berubah dengan apa yang didengarnya itu. Dia nampak terihat murung dan bahkan menganggap apa yang dikatakan bu Hindun sama sekali tidak sesuai dengan kehidupannya. Sebagai seorang ibu yang penuh dengan perasaan. Bu Hindun seakan bertanya-tanya dalam hatinya sendiri. Dia yang melihat aura wajah Sekar tak begitu senang dengan kata-kata terakhir yang dilontarkannya itu. “Sekar, apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?” Sekar tak langsung menjawab dengan pertanyaan itu. Dia menundukkan kepalanya dan bahkan tanpa dirasa air matanya sudah menganak sungai. Membuat Sekar hanya diam membisu dan menahan rasa yang bergejolak dalam pikirannya. Bu Hindun pun tak tinggal diam, dia segera mendekap erat tubuh Sekar, bu Hindun bahkan yang sudah menganggap Sekar sebagai putrinya sendiri. Dulu sebelum bu Hindun pindah dari rumah, Sekar kecil sering sekali bermain di rumah bu Hindun dengan sang ibu. Setidaknya di antara keduanya pernah menjalani kemistri yang dalam. Bu Hindun tak melepaskan dekapan itu, dia membiarkan Sekar untuk menumpahkan segala rasa yang kini membuatnya tersedu. Beberapa menit kemudian, Sekar sudah bisa mengontrol emosinya. Dia mengusap kedua matanya yang sedang basah penuh dengan tetes air mata. Sekar lalu menatap wajah hangat bu Hindun dengan senyum getirnya. “Sekar, anggaplah Ibu sebagai Ibumu, Nak. Kamu bebas menceritakan apa pun ke Ibu.” Sekar menelan ludah dan menarik napas panjang. Dia seakan rindu dengan kata-kata yang sangat menghangatkan itu. Dulu, ketika sang Ibu masih hidup, Sekar selalu bertumpu pada sebuah kasih yang tak pernah berkurang, namun waktu yang telah membuatnya menghilang dan tak bisa kembali lagi. “Katakan saja, siapa tahu dengan kamu bercerita, sedikit bebanmu akan berkurang, Nak.” Bu Hindun dengan kata-kata lembutnya, seakan membuat Sekar semakin tak kuasa menahan perasaannya sendiri. Wajah sang ibu seolah berkelibat berbaut dengan sosok bu Hindun yang bersahaja. Sekar mencoba untuk senyum selebar-lebarnya. Entah mengapa seolah Sekar seperti terdorong untuk menceritakan apa yang telah dialaminya kini. Dengan berhias isak tangis, Sekar tak tanggung-tanggung mencurahkan semua beban yang ada dalam benaknya. Dan penuh rasa kasih, bu Hinduan nampak menyimak dengan sangat teliti. Hingga akhirnya dekapan erat kembali lagi terhias dalam pertemuan keduanya. Bu Hindun meninggalakan Sekar sejenak ke dalam kamar. Sekar pun seolah lega setelah menceritakan apa yang kini dirasakannya itu. Kedua mata Sekar nampak sembab. Lalu Sekar menatap jam dinding di ruang tamu itu. Tak terasa, sore telah berganti malam. Sekar tak mungkin berlama-lama lagi berada di rumah bu Hindun. Pasti sang ayah akan memarahinya jika Sekar pulang malam. Sekar pun menunggu bu Hindun untuk berpamitan. Tak lama, sosok wanita bersahaja itu nampak terlihat dengan senyum mengembang di bibirnya. Mengambil posisi duduk di dekat Sekar. “Nak, pakailah uang ini untuk acara tujuh bulanan.” “Jangan, Bu. Aku tidak mau merepotkan.” “Sekar, terimalah. Dulu ibumu juga sering membantu ibu saat ibu kesusahan, ini uang ibu sendiri.” “Tapi Sekar takut, jika tidak bisa mengembalikan secepat mungkin bu.” “Kamu tidak perlu memikirkan untuk mengembalikannya, Sekar. Kamu lebih membutuhkan uang ini daripada ibu.” Sekar menimang-nimang apa yang kini ada dalam dadanya. Bu Hindun begitu sangat hangat, menyambutnya penuh dengan suka cinta. Serasa Sekar kembali merasakan kasih sayang seorang ibu yang sudah sangat lama hilang dalam hatinya. “Sekar tidak tahu harus bilang apa lagi ke Ibu, selain terima kasih sebanyak-banyaknya.” “Nak, kamu bisa kapan saja cerita ke ibu jika ibu ada di sini, Sekar kuat ya, kamu tidak boleh stres, nanti akan mempengaruhi bayimu.” “Iya, Bu. Sekali lagi terima kasih. Sekar harus pulang, bu.” *** Betapa bahagianya hati Sekar, dia seolah telah mendapatkan jalan terang tanpa harus menggadaikan cintanya. Sekar yang baru saja memasuki ruang tamu rumahnya. Lagi-lagi dia dikejutkan oleh keberadaan Fauzi yang sudah bertengger di sofa ruang tamunya itu. Ada rasa terkejut yang tak biasa, dengan apa yang dilihat oleh Sekar. Beberapa barang tergeletak namun nampak terbungkus indah dan sedap dipandang mata. “Sekar, duduklah di sini,” pinta pak Surya. Sekar pun mengikuti apa yang dikatakan sang ayah dengan sejuta perasaan yang hinggap dalam benaknya itu. Melihat wajah ayahnya penuh dengan perhatian, lalu sedetik kemudian, Sekar pun nampak melirik ke arah laki-laki yang bernama Fauzi itu. “Sekar, Fauzi datang ke mari untuk memberikan banyak sekali hadiah untuk calon anakmu.” “Ayah, maaf. Sekar tidak bisa menerima semua ini.” “Apa maksudmu, Sekar?” Sekar dalam sebuah ilusi yang kini semakin membuat dirinya dalam kemantapan hati. Sekar menatap wajah Fauzi dengan tenang. “Sekar menolak permintaan ayah untuk menikah dengan Mas Fauzi.” “Jangan ngomong seenaknya kamu!” Tak bisa menahan emosi. Pak Surya menampar pipi Sekar dengan sangat keras. Tak peduli jika di rumahnya itu sedang ada orang lain yang bertamu. Sekar merasakan kesakitan, bahkan perutnya pun tiba-tiba kram. Sekar mencoba untuk menahan apa yang kini terjadi dalam ketidakkeinginannya itu. Sekar mencoba untuk berdiri dan melangkah menuju ke kamarnya. Pak Surya yang merasa sedang dipermainkan anaknya itu pun menyusul langkah Sekar. Wanita yang kini mengandung itu pun sebenarnya mencoba mengunci pintu kamarnya, hanya saja langkah pak Surya lebih dulu daripada gerak tangan Sekar yang memegang gagang pintu itu. Tak puas dnegan tamparan satu kali di ruang tamu, kini pak Surya menambah kembali tamparan keras pada pipi Sekar. “Pergi kamu dari rumah ini, aku sudah tak mau lagi melihatmu, pergi!” “Yah, tolong jangan usir, Sekar. Harus ke mana Sekar pergi, Yah.” “Bukan urusanku, kamu telah membuatku malu dengan permainan kata-katamu itu, cepat pergi!” Pak Surya seolah tak bisa lagi mengontrol emosinya. Dia menarik tangan Sekar dengan sangat keras. Sekar pun mengikuti langkah secara terpaksa dan berurai air mata itu. Saat pintu ruang tamu itu terbuka, Sekar tak lagi bisa diam di rumahnya sendiri. Sang ayah telah memaksanya untuk berada di luar rumah. Dan tanpa pikir panjang, pak Surya segera menutup kembali pintu dan juga menguncinya dengan erat. Ssekar merintih dengan tangisan yang terus membasahi pipinya. Memanggil ayahnya berkali-kali. Berharap jika hati sang ayah bisa luluh degan usahanya itu. Akan tetapi, ternyata Sekar salah. Justru pak Surya tetap bersikukuh dengan keputusannya. Sekar pun harus segera pergi, dia tak mau lagi berdebat dengan ayah tirinya itu. Dia melangkah dan entah mengapa terbesit dalam bisikan hatinya untuk datang ke rumah bu Hindun. Sekar pun menuruti kata hatinya itu. Dia melangkah dengan semangat juang, dia ingin tetap bisa memberikan rasa aman pada bayi yang tengah di kandungnya itu. Ali-laih, saat Sekar sudah berada di depan rumah bu Hindun, dia segera mengetuk pintu dan memanggil-manggil nama bu Hindun. Akan tetapi Sekar tak mendapati jawaban atas panggilannya. Tiba-tiba saja, keluarlah bu Sri yang tak lain adalah tetangga sebelah rumahnya bu Hindun. “Mbak Sekar, cari siapa?” “Bu Hindun ke mana ya, bu?” “Bu Hindun baru saja kembali ke kota, tadi katanya anaknya kecelakaan, jadinya buru-buru harus kembali katanya.” “Bu Sri tahu alamat rumah bu Hindun di kota?” “Saya tidak tahu, Mbak.” Sekar menghembuskan napas panjang. Dia berdiri dengan kebingungan yang melanda. Mencoba mencari jalan atas apa yang kini membuatnya untuk bisa mempertahankan kehidupannya. Setelah berpikir panjang dan cukup lama, Sekar tiba-tiba saja teringat akan adik tirinya yang tinggal di kota. Sekar yang sangat hapal alamatnya, dan juga alat transportasi yang sangat mudah untuk dijangkau. Akhirnya Sekar pun memutuskan untuk pergi ke rumah Ningrum, setidaknya dia bisa menginap di rumah adik tirinya itu. Sekar berjalan, melewati jalanan dengan gelap malam, namun setidaknya masih ada cahaya lampu yang menyinari. Di ujung jalan, Sekar yang berbekal uang dari bu Hindun, dia nekad untuk mengentikan bus kota jurusan rumah Ningrum. Dia dengan cepat naik ke bus itu. Mengambil tempat duduk yang masih kosong. Sekar merasa kedua matanya diselimuti rasa kantuk yang berat. Setelah dirinya membayar ongkos perjalanan itu, Sekar menyandarkan kepalanya dan tak disadari Sekar telah memejamkan matanya. *** Kernet bus itu segera membangunkan Sekar, saat tujuannya telah sampai di depan mata. Sekar pun terbangun dan membuka matanya lebar-lebar. Sekar segera turun dan menatap jauh arah yang telah membawanya di tempat yang kini menjadi tujuan utamanya. Sekar, melihat tas kecil yang melilit di tubuhnya. Dia merasa sangat terkejut saat Sekar tak mendapati beberapa lembar uang yang disimpannya di tas itu. Ternyata benda yang sangat berharga baginya itu, kini telah raib dan tak tersisa selembar pun. “Tuhan, bagaimana ini bisa terjadi? Aku ingin menggunakan uang itu untuk biaya tujuh bulanan dan juga persalinanku, tapi semua hanya sebatas keinginan.” Seketika pipi Sekar pun basah. Dia menyesali akan kecerobohannya sendiri. Dia kemudian melangkah dengan cepat untuk menuju ke rumah Ningrum. Berjalan sekitar lima ratus meter. Kini Sekar telah berada di depan rumah Ningrum. Tak mau berpikir lama lagi, Sekar segera memncet bel yang ada di pagar hitam rumah Ningrum, beberapa sata kemudian pandangan mata Sekar tertuju pada asisten rumah tangga yang kelua menuju pagar htam dan membukakan pntu pagar itu untuk dirinya. “Mbak Sekar, kok datangnya malam sekali?” “Iya, Bi.” “Mari masuk.” Sekar pun mengikuti langkah asisten rumah tangga itu. Hingga sebenarnya dalam hatinya sama sekali tak pernah menyangka, hingga jam satu dini hari dia telah sampai di rumah sang adik. Dikarenakan Ningrum dan suaminya sudah tertidur, maka asisten rumah tangga itu pun meminta Sekar untuk istirahat di kamar tamu. *** Paginya setelah sang suami berangkat ke kantor. Ningrum yang sudah diberikan informasi oleh asisten rumah tanganya, dengan cepat Ningrum pun menuju ke kamar tamu. Dia melihat kakak tirinya itu terbaring dan masih dalam kondisi tertidur. “Sekar, bangun!” Sekar yang mendengar suara memanggilnya itu pun segera membuka matanya. Wajah Ningrum menghiasi kedua mata Sekar. “Aku tunggu kamu di meja makan.” Ningrum berlalu, Sekar kemudian segera membangunkan tubuhnya dan menuju ke kamar mandi. Setelah bebarapa saat kemudian. Sekar pun mengikuti apa yang telah Ningrum katakan kepadanya. “Kenapa datang ke sini tidak bilang-bilang dulu?” tanya Ningrum. Sekar nampak menangkap aura wajah Ningrum yang seolah tak mengenakkan dipandang mata. “Aku diusir dari rumah, karena aku menolak menikah dengan Fauzi.” “Bukannya kamu sudah bersuami, kenapa mau menikah dengan Fauzi?” “Dimas pergi tanpa kabar, aku tak tahu harus bagaimana lagi, Ningrum. Aku hamil dan bahkan aku tidak bisa melaksanakan tujuh bulan anakku, apa kamu ada pekerjaan untukku Ningrum? Aku ingin menumpulkan biaya persalinan.” “Ya, ada. Tapi sepertinya kamu akan berpikir seribu kali dan bahkan kamu akan menolak apa yang akan aku tawarkan padamu.” “Apa itu? aku sungguh butuh uang, atau jika kamu mau memberikan pinjaman uang kepadaku pasti aku sangat senang.” “Kamu kalau mau pinjam uang di Bank. Bukan di rumahku, Sekar.” Sekar tertegun dengan jawaban Ningrum. Dia terdiam dan nampak melihat kedua bola mata Ningrum yang sangat tajam. “Apa yang harus aku lakukan, Rum?” “Berikan anakmu padaku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD