Suara ketukan pintu dengan irama cepat terdengar. Membuat seorang wanita yang sedang berkutat dengan laptopnya tertegun. Dia mendengar namanya dipanggil. Mengetahui siapa yang menggedor pintunya berulang kali, dirinya hanya berjalan santai menuju pintu.
"Iya," jawab Teresa menjawab panggilan berulang kali dari luar. Dia pun langsung membuka pintu.
"Hai," sapa Teresa dan memeluk Nieve. Namun Nieve hanya tersenyum tipis dan langsung masuk ke dalam apartemen studio milik Teresa.
Nieve menjatuhkan tubuhnya di atas kasur Teresa disusul temannya. Belum ada kalimat sapaan atau sebagainya dari Nieve, wanita itu justru terlihat berbaring dengan tenang sembari menutup kedua matanya.
"Ada apa?" tanya Teresa melihat Nieve terlihat tak bersemangat. Teresa menutup laptop dan meletakkannya di atas meja. Dia menyusul kembali berbaring di atas ranjang.
"Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan Fabio?" tanya Teresa merasa penasaran. Dia menyanggah kepalanya dengan satu tangan dan menghadap ke arah Nieve.
Nieve membuka matanya. Pandangannya memperhatikan langit-langit kamar. Dia menghela napas pelan lalu memberikan tas selempang miliknya pada Teresa. Teresa pun langsung menerimanya. Dia bangkit duduk dan memeriksa isi tas itu.
"Oh mia Dio?! Apa ini?! Kau ... Sejak kapan kau suka membeli tas harga selangit?" pekik Teresa saat menyadari jika tas yang dikenakan Nieve bukanlah tas branded KW.
"Ceritanya panjang," gumam Nieve pelan.
"Coba ceritakan padaku," pinta Teresa dan mendapat lirikan datar dari Nieve. Dia membalikkan tubuhnya membelakangi Teresa namun langsung ditarik Teresa untuk kembali menghadap ke arahnya, "Cepat ceritakan. Aku sangat penasaran sampai kau bisa mendapatkan tas branded ini."
"Kau masih ingat tentang ibuku yang mempunyai hutang?" tanya Nieve.
Teresa menganggukkan kepalanya semangat. "Iya aku mengingatnya."
"Itu ceritanya," ucap Nieve membuat Teresa menatapnya bingung.
"Maksudnya?"
"Aku lelah. Bangunkan aku satu jam lagi, okay," pinta Nieve dan berniat pulang ke mansion jam lima sore.
"Nieve. Tunggu, hei ceritakan yang jelas. Nieve!" pinta Teresa dan masih menggoyang-goyangkan tubuh Nieve.
Nieve sangat ingin menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya selama ini. Dia pun ingin menceritakan tentang Fabio yang tahu jika dirinya adalah wanita jalang. Namun Nieve tidak bisa mengatakan hal itu karena itu adalah rahasianya. Dan dalam perjanjian itu pun sudah diberi peringatan supaya tidak mengatakan hal tersebut pada orang lain.
Lalu kenapa Enzo mengingkari perjanjian itu? Mengapa dengan mudahnya dia mengatakan jika dirinya adalah p*****r miliknya?
Nieve membuka kedua matanya mengingat kejadian memalukan kemarin malam. Sedangkan Teresa sudah tidak ada di sampingnya. Nieve melihat Teresa sedang pergi ke dapur untuk mengambil sesuatu.
"Kau ingin makan?" tawar Teresa saat melihat Nieve terbangun.
"No," jawab Nieve dan membelakangi Teresa. Dia memeluk guling lalu kembali memejamkan kedua matanya.
***
Enzo pulang ke mansion tepat pukul lima sore. Kini dirinya duduk di rooftop mansion. Tatapannya memperhatikannya pemandangan sore hari. Perhatiannya teralihkan saat merasakan ponselnya berdering di dalam saku celana.
Jari Enzo mematung seolah berpikir sejenak. Haruskah dia kembali mengalihkan panggilan telepon tersebut. Sudah hampir lima kali sebuah nama itu mengganggu pikirannya hari ini.
Enzo menggeyer layar ponselnya. Dia menempelkan ponsel tersebut ke arah telinga.
"Halo, Enzo," terdengar suara wanita dari seberang. "Kenapa kau tidak membalas pesan dariku?"
"Aku sedang sibuk," jawab Enzo singkat.
"Sibuk bersenang-senang? Yang mengurus perusahaan Carlos dan kau hanya sibuk dengan kesenanganmu sendiri."
Enzo hanya diam mendengar ucapan wanita itu.
"Oh yah, apa kau bisa datang? Aku dan Carlos hendak mengadakan makan malam untuk menyambut kedatanganku."
"Aku tidak bisa," jawab Enzo dan langsung mematikan sambungan telepon.
Dia memperhatikan ponselnya sejenak dan kembali memasukkannya ke dalam saku. Dia menghela napas pelan untuk menetralkan perasaannya setelah mendengar suara wanita itu setelah hampir lima tahun.
Gelsomina Trapolese, wanita berusia dua puluh delapan tahun itu akrab dipanggil Somi. Dia adalah kekasih Carlos, adiknya. Namun tak bisa dipungkiri sangat sulit untuk tetap mengontrol perasaannya terhadap Somi. Sebuah perasaan cinta tak terbalaskan karena nyatanya wanita itu lebih memilih menjalin hubungan dengan Carlos.
Enzo terakhir bertemu dengan Somi tepat lima tahun yang lalu saat wanita itu memutuskan untuk pergi ke Amerika demi mengejar cita-citanya. Somi tinggal bersama keluarganya di Amerika. Dan entah sejak kapan Somi kembali ke Milan. Mungkin sekitar dua atau tiga hari yang lalu saat Enzo mendapat pesan darinya yang mengabarkan kepulangannya.
Pria itu mendesah. Tidak ingin semakin larut memikirkan Somi. Karena jika terlalu lama nama wanita itu bersarang dalam otaknya, kenangan buruk masa lalu akan kembali mengusik pikiran Enzo.
Enzo mengambil ponselnya. Dia menelepon sebuah nama yang selalu dijadikan pelarian jika masa lalu menghantuinya. Sebuah nama yang bisa membuat Enzo tidak bisa berpikir tanpa gairah jika di sampingnya.
Kening Enzo mengernyit saat panggilan teleponnya tak terjawab. Dia pun mengetuk menu pesan lalu mengetik sesuatu dan mengirimkannya. Enzo semakin tidak suka saat wanita itu tidak membalas pesannya. Dia pun kembali menghubungi Nieve sampai tiga kali namun masih belum ada jawaban.
***
Tiga jam berlalu. Nieve menguap saat tersadar dari tidurnya. Dia mengucek kedua matanya merasa silau dengan cahaya lampu. Pandangan Nieve memperhatikan sekeliling, sampai akhirnya dirinya sadar jika sekarang sudah petang.
Sontak Nieve bangkit dari ranjang. Dia meraih tas lalu memakai heels. Sedangkan Teresa memperhatikannya dalam diam, sesekali dia menikmati tontonan televisi acara favoritnya.
"Cazo!" umpat Nieve karena merasa kesal.
"Perchè?" tanya Teresa saat mendengar umpatan Nieve.
"Kenapa kau tidak membangunkan ku?!" seru Nieve.
"Aku lupa," jawab Teresa diiringi kekehan.
"Jam berapa sekarang?"
"Jam delapan," jawab Teresa.
"Cazzo! Cazzo!" Nieve langsung pergi melewati Teresa tanpa mengatakan apapun.
Langkahnya terburu-buru menuruni anak tangga. Dia berlari saat menuju jalan depan dan menghentikan sebuah taksi yang lewat. Nieve segera masuk ke dalam taksi dan duduk bersandar dengan napas tersenggal-senggal. Tak lupa dia pun mengatakan tempat tujuannya.
Sepanjang jalan Nieve merasa cemas. Dia takut jika Enzo akan marah kalau dirinya belum kembali ke mansion. Tidak tahu sampai batas waktu jam berapa dirinya harus sudah ada di mansion. Nieve berharap jika dirinya tidak terlambat pulang.
Nieve membuka tas lalu mengambil ponselnya. Dia membelalakkan kedua matanya saat ada panggilan tak terjawab beberapa kali dari Enzo. Dia pun segera membuka pesan masuk.
Di mana? (5.22 pm)
Wanita itu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas tanpa ada keinginan untuk membalas pesan tersebut.
Dua jam kemudian taksi pun berhenti di pertigaan jalan. Nieve segera turun dari taksi setelah membayar ongkos. Dia berjalan cepat menyusuri jalan sepi yang hanya disinari lampu jalanan di setiap tiang.
Nieve berlari. Dia tidak ingin terlalu malam pulang ke mansion. Rasa cemas menyelimutinya saat ingat bagaimana kejamnya Enzo saat sedang emosi. Nieve tidak mempedulikan keadaannya, dia hanya peduli pada ibunya, Janira.
Tanpa keinginannya, heels sepatu Nieve terjebak di dalam lubang kecil membuatnya terjatuh. Tubuh Nieve tersungkur di atas aspal. Dia bangkit duduk seraya meringis merasakan perih di bagian lutut dan lengannya.
"Aakkhhh ...," ringis Nieve saat mengibas kedua lutut dan lengannya. Nieve bangkit berdiri dan jalan dengan pelan karena kakinya terkilir.
Beberapa menit kemudian Nieve sudah sampai di depan gerbang besi yang menjulang tinggi. Dia pun menekan bel pintu yang ada di salah satu dinding pagar.
"Agusto!" teriak Nieve memanggil Agusto. Dia merasa cemas jika Agusto tidak mendengarnya.
Nieve mendesah lega saat melihat Agusto menghampirinya. Dia pun segera membuka gerbang dan mempersilakan Nieve untuk masuk.
"Apa ... dia ...." Nieve menahan langkahnya dan berdiri di depan Agusto. Dia menatap bingung karena tidak bisa melanjutkan pertanyaannya. Nieve masih bingung harus memanggil Enzo apa jika di depan Agusto maupun pelayan lainnya.
"Giovane Maestro sudah pulang sejak sore tadi, Signorina," jawab Agusto seraya menunjuk ke arah rooftop mansion.
"Che cosa?!" Kedua mata Nieve membelalak mendengar jawaban Agusto. Dia mengikuti arah tangan Agusto dengan ragu. Samar-samar Nieve melihat sosok bayangan seseorang sedang berdiri memperhatikan dirinya dan Agusto.
Nieve kembali menatap Agusto. "Ka-kalau begitu ... a-a-aku ... langsung ke sana," jawab Nieve gugup.
Nieve berjalan pelan memasuki mansion. Sesekali dia meringis kesakitan karena lututnya semakin perih. Terlebih kakinya sangat sulit untuk berjalan seperti biasa. Karena Nieve tidak ingin berjalan pincang di depan Agusto maupun pelayan lainnya. Dia pasti akan merasa malu jika Agusto tahu dirinya terjatuh akibat terkilir heels.
Membutuhkan waktu hampir lima belas menit untuk Nieve sampai di rooftop karena dia selalu berhenti di setiap anak tangga.
Nieve menarik napasnya dalam-dalam saat membuka pintu rooftop. Dia melihat Enzo masih berdiri membelakanginya. Pria itu nampak asyik memperhatikan halaman depan dari arah rooftop.
"Bu-buonasera," sapa Nieve gugup dan melanjutkan langkahnya. Dia berhenti tepat lima meter dari arah Enzo.
Pria itu membalikkan tubuhnya. Sorot mata tajamnya langsung tertuju pada Nieve membuat wanita itu menundukkan kepalanya, seolah ingin menghindar.
"Mendekat," perintah Enzo tiba-tiba.
Suara pria itu terdengar lembut di telinga Nieve membuat wanita itu perlahan kembali menatap Enzo. Langkah Nieve mengalun pelan menuju Enzo. Sesekali dia menyembunyikan ringisannya.
Enzo terdiam di tempatnya. Tatapannya nampak teliti memperhatikan cara Nieve berjalan ke arahnya. Sesekali perhatiannya tertuju ke arah wajah Nieve yang dengan sangat ketara menyembunyikan rasa sakitnya.
"Ma-maaf, aku terlambat pulang," ucap Nieve saat berhenti di depan Enzo.
Bukan ucapan yang keluar dari mulut Enzo. Pria itu justru menarik Nieve lalu mengalungkan salah satu lengan Nieve pada pundaknya. Nieve memekik terkejut saat pria itu menggendong tubuhnya di depan d**a.
"E-Enzo ...," panggil Nieve bingung dan malu dalam waktu bersamaan.
"Kakimu terkilir. Aku tidak mungkin menyuruhmu berjalan ke kamar," jawab Enzo saat menatap wajah Nieve tepat di depan wajahnya.
Nieve tersenyum tipis melihat pria itu tersenyum padanya. Dia pun mengalungkan lengannya yang lain di pundak Enzo.
"Terima kasih," ucap Nieve pelan.
Nieve tersenyum lagi. Entah mengapa dirinya merasa senang melihat sikap lembut Enzo. Mungkin karena ini adalah pertama kalinya dia melihat pria itu bersikap lembut padanya. Biasanya Enzo akan selalu mengucapkan hinaan atau sesuatu yang merendahkan dirinya secara terang-terangan.
Enzo dan Nieve sudah sampai di dalam kamar. Enzo membawa Nieve masuk ke dalam kamar mandi. Dia menurunkan Nieve lalu melepaskan pakaian wanita itu dengan telaten. Kedua pipi Nieve memerah karena malu saat Enzo mengelus permukaan payudaranya.
"Kau hanya akan mandi dan aku membantu melepaskan pakaianmu," ucap Enzo berniat menghilangkan rasa malu Nieve. "Masuklah," perintah Enzo dan menunjuk ke arah bathtub.
Nieve menoleh ke arah bathtub. Dia menundukkan wajahnya saat melewati Enzo masuk ke dalam bathtub. Setelah memastikan seluruh tubuh polos Nieve terendam dalam air hangat dengan aroma sabun yang menenangkan, Enzo pun keluar dari kamar mandi.
Selang sepuluh menit Enzo melihat Nieve sudah keluar dari kamar mandi. Tubuhnya terbungkus bathrobe putih dan mendekat ke arah Enzo dengan langkah pelan.
"Duduklah," perintah Enzo lalu menepuk-nepuk permukaan ranjang.
Nieve duduk di depan Enzo. Tatapannya tertuju pada kotak obat yang ada di atas meja. Enzo duduk di sofa sedangkan Nieve di tepi ranjang.
Nieve memekik kesakitan saat Enzo menarik kakinya yang terkilir dan meluruskannya di atas pahanya. Sebelah tangan Enzo menyibak ujung bathrobe yang menutupi lutut Nieve. Enzo nampak teliti mengobati luka di lutut Nieve.
"Aku kira ... kau akan marah padaku karena pulang terlambat," ucap Nieve membuka obrolan setelah beberapa saat keduanya saling diam.
Enzo diam sejenak. Sesekali dia meniup obat merah di lutut Nieve. "Sebenarnya aku lebih senang kau tidak keluar mansion," balas Enzo.
Nieve hanya diam mendengar ucapan Enzo. Sampai akhirnya Enzo melirik ke arahnya membuat tatapan mereka bertemu. "Aku tahu kau ada di mana. Itu sebabnya aku tidak marah," sambung Enzo.
"Kau—" Nieve mendesah pelan. Tiba-tiba saja dirinya merasa kesal, "Apa kau melacak keberadaan ku selama ini?"
"Apa salahnya? Kau milikku," jawab Enzo. Nadanya ikut terdengar kesal mendapat protes dari Nieve.