8

1642 Words
Kedua mata Nieve mengernyit saat merasakan sinar matahari mengganggu tidurnya. Dia melenguh saat kepalanya terasa berat. Hingga Nieve memaksakan diri untuk membuka kedua matanya. Pandangan Nieve menyipit saat memperhatikan sekeliling kamar. Dia menoleh ke arah dua wanita berseragam pelayan yang baru menggeser gorden jendela. Mereka menundukkan kepalanya sejenak lalu berjalan keluar kamar. Nieve bangkit duduk. Sebelah tangannya masih menyanggah kepalanya yang tertunduk akibat rasa pusing. Dia kembali menutup matanya lalu menarik napasnya dalam-dalam. Sampai akhirnya dirinya mulai sadar jika kemarin malam tidak berada di kamar itu, melainkan di sebuah kamar dalam penthouse di gedung Torre Del Dio. Nieve kembali mengingat bagaimana caranya dia mabuk kemarin malam. Emosi yang disebabkan oleh sikap menjengkelkan Enzo membuat Nieve berusaha mencari minuman alkohol di dalam penthouse itu. Nieve belum bisa mempermalukan dirinya di depan pria itu untuk bersikap layaknya wanita malam. Tidak tahu sejak kapan Enzo membawanya ke mansion. Nieve tidak sadarkan diri setelah melakukan percintaan hebat dengan Enzo. Sebuah seks yang membuat dirinya menenggelamkan rasa malunya dan bersikap layaknya seorang p*****r. Melengking tanpa malu setiap desahan kenikmatan yang keluar dari bibirnya. Lamunan Nieve teralihkan saat menyadari ponselnya bergetar di atas nakas. Dia pun segera meraih ponsel tersebut lalu mengecek sebuah pesan masuk. Pesan itu dari Teresa yang menanyakan perihal hubungannya dengan Fabio sejak kemarin malam. Nieve kembali mendesah, mimpi indahnya menjalin hubungan dengan Fabio kandas begitu saja akibat ulah Enzo. Dan ketika kenyataan itu menghantam hatinya, ada kenyataan lain yang lebih dalam memukul hatinya, yaitu kenyataan jika dirinya adalah p*****r milik Enzo Giovinco. Nieve bangkit dari ranjang. Dirinya mengenakan gaun tidur berbahan tipis. Nieve tidak mengingat jika dirinya memakai pakaian itu, dan mungkin saja Enzo yang telah memakaikannya. Nieve mencoba untuk tidak terkejut dengan hal itu. Dirinya harus terbiasa menerima jika tubuhnya telah dibeli oleh pria itu. Dan mengembalikan lima juta euro sangat sulit bagi Nieve. Langkah Nieve memasuki kamar mandi. Setelah menyiapkan air di dalam bathtub lengkap dengan sabun aroma cloudberries yang manis, dipadukan petals bunga daisy dan chasmere musk, memberikan kesan hangat. Nieve duduk di stand bathtub berbentuk kotak dengan marmer putih. Sebelah tangannya masuk ke dalam genangan air. Dia tersenyum tipis saat tangannya mulai bermain dengan air. Nieve sengaja menyiapkan air hangat supaya dapat merilekskan tubuhnya yang terasa tegang serta pikiran penatnya. Beberapa menit kemudian Nieve pun mulai melepas gaun putih polosnya dan meletakkannya di atas stand lalu masuk ke dalam bathtub. Bathtub kotak itu mempunyai luas dua meter sehingga terasa berendam di kolam renang kecil. Nieve menutup kedua matanya, merasakan aroma wewangian sabun yang mengisi indra penciumannya. Entah mengapa sabun itu membuat pikirannya sedikit lebih tenang. Dan Nieve merasa menyukai aromanya. Kedua tangan Nieve mulai menggosok lembut tubuhnya. Sesekali dia tersenyum tipis bermain dengan sabun, meniupkan busa-busa yang menggumpal dalam genggamannya. Usai dengan aktivitas mandinya, Nieve pun berjalan menuju ruangan walk in closet. Dia memilah pakaian yang akan dikenakannya hari ini untuk pergi ke kantor. Nieve tersenyum tipis melihat kemeja cokelat dengan polkadot hitam. Dia pun meraih kemeja tersebut lalu mencari bawahan yang cocok untuk dipasangkan dengan kemeja itu. Lima belas menit kemudian Nieve sudah keluar dari kamar. Dia berjalan di sepanjang koridor lalu menuruni anak tangga. Mansion itu mempunyai dua tangga dengan banyak sekali koridor dan ruangan kamar. "Buongiorno, Signorina," sapa Agusto saat Nieve sudah berada di lantai bawah. Agusto berjalan menghampiri Nieve lalu berdiri di depannya. "Anda ingin sarapan menu apa?" "Maaf, aku sudah terlambat. Aku harus berangkat kerja sekarang," pamit Nieve dengan senyum yang dipaksa. Nieve mengambil langkah lebar melewati Agusto. Dirinya berjalan cepat menuju pintu depan. Gelagatnya terlihat seperti sedang melarikan diri. Namun Nieve masih belum terbiasa mendapat sapaan dari Agusto. Wanita itu berjalan cepat di sepanjang jalanan aspal yang terlihat sepi tersebut. Nieve ingin cepat-cepat sampai di pertigaan jalan di depan sana supaya bisa naik taksi menuju kantor tempatnya bekerja. Lima belas menit lagi dirinya akan terlambat masuk. *** Enzo hanya diam saat membaca sebuah pesan singkat yang dia dapatkan dari seseorang. Tanpa ada keinginan membalas, Enzo justru memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana. "Enzo." Enzo menoleh ke arah Rery. Pria itu menundukkan kepalanya sejenak. Sedangkan Enzo menjatuhkan perhatiannya ke depan dengan kedua tangan dia masukkan ke dalam saku celana. "Alva ingin bertemu dengan Anda secara pribadi," lapor Rery. "Biarkan dia datang ke tempat ini," jawab Enzo. Rery pun menundukkan kepalanya lalu menjauh dari Enzo. Selang beberapa menit dia datang bersama seorang wanita yang berusia empat puluh lima tahun. Wanita itu melenggok-lenggokkan tubuhnya saat mendekat ke arah Enzo. Syal berbulu tebal yang mengalung di pundaknya menjadi ciri khas wanita itu. "Buon pomeriggio, Enzo," sapa Alva sembari menundukkan kepalanya. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Enzo to the point. "Saya ingin menyampaikan jika saya melihat Garcia Jerald." Enzo hanya diam mendengar nama wanita itu disebut. Sebuah nama yang telah memberikan luka tusuk di pinggangnya. "Kemarin malam saya melihat Garcia menculik Lorena." "Bukankah kau mengatakan jika Lorena sudah kau buang ke Roma dua minggu yang lalu?" Alva mendesah pelan. Dirinya mulai cemas karena tidak mencegah Garcia menculik Lorena. Namun jika dia tidak mengatakan hal ini, Alva semakin khawatir jika Garcia menemukan sebuah informasi dari otak Lorena yang mungkin saja masih tertinggal di dalam memorinya. "Maafkan saya, Enzo—" "Apa kau sudah memastikan jika Lorena tidak mengingat apapun tentangmu ataupun aku saat kau membuangnya?" "Saya sudah memastikan hal itu, Enzo. Bahkan saya sangat yakin jika eksekusi yang aku lakukan padanya telah membuatnya benar-benar gila." "Waktu itu Lorena ikut denganku ke pertemuan penting tiga minggu yang lalu. Dia sempat mendengar percakapanku dengan Jon. Jika informasi itu bocor, penyebabnya tak lain adalah kau karena tidak becus melakukan tugas," ujar Enzo. *** "Jadi dia orangnya ...." gumam seorang pria berjas rapi yang berdiri di depan jendela ruangannya. Dia memperhatikan seorang wanita yang baru saja keluar sari taksi dan selembar foto di genggamannya bersamaan. Wanita itu mulai masuk ke dalam gedung perusahaan bertuliskan De Marche Group.. Langkahnya masuk ke dalam lift lalu menekan lantai nomer dua. Beberapa menit kemudian Nieve pun sudah sampai di ruangan kerjanya. Nieve berjalan menuju meja kerjanya lalu duduk di sana. Diletakkannya tas branded yang dia ambil dari walk on closet milik Enzo di atas meja. Nieve mulai menyalakan komputernya. Jam kerja pun di mulai. Nieve nampak sibuk bergulat dengan setumpuk pekerjaannya. Meskipun syal yang dikenakannya terasa mencekik leher karena kesibukannya bekerja, Nieve tidak mempunyai niat untuk melepaskannya. Nieve terperanjat saat mendengar seseorang menggubrak meja kerjanya. Dia pun mendongak ke atas dan melihat managernya berdiri dengan tatapan tajam tertuju padanya. Setengah jam yang lalu Nieve sudah mendapat amukan dari managernya tersebut karena membolos kerja kemarin. Dan sekarang wanita bertubuh sedikit gempal itu kembali memberikan tatapan tajam. "Se-selamat pagi, Mrs. Mazzinghi," sapa Nieve saat bangkit berdiri di depan managernya. Nieve menundukkan kepalanya saat wanita itu memperhatikannya dari atas sampai bawah seolah menelitinya dengan seksama. "Mr. Carlos De Marche menyuruhmu datang ke ruangannya," ucap Mrs. Mazzinghi dengan nada yang terdengar tidak senang. "A-apa?!" Nieve membelalakkan kedua matanya tak percaya. Untuk apa Wakil Ketua menyuruhnya datang ke ruangannya? "Cepat. Jangan buat Mr. De Marche menunggumu!" seru Mrs. Mazzinghi lalu menghentakkan kakinya menjauh dari meja kerja Nieve. Nieve berjalan cepat menuju lift. Tangannya gugup saat menekan tombol lift lalu masuk ke dalam. Lift pun mengantar Nieve menuju lantai ruangan Carlos De Marche. Pintu lift terbuka. Nieve pun keluar dan memandangi koridor ruangan yang nampak sepi dan tenang. Dia melirik sekilas ke arah pintu lift yang dikhususkan untuk Carlos. Lalu berjalan ragu mendekati meja sekretaris. "Se—" "Silakan masuk. Mr. De Marche sudah menunggu Anda," potong Jeeda Mendez, wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang menjadi sekretaris Carlos. "Iya?" Nieve menaikkan kedua alisnya merasa terkejut. Dia pun tersenyum kaku dan memperhatikan sekretaris itu sekilas lalu membuka salah satu daun pintu yang menjulang tinggi. Nieve melongok ke dalam. Dia melihat Carlos menatapnya sembari tersenyum. Nieve menjadi gugup, dia pun masuk ke dalam ruangan dengan ragu-ragu. Ini adalah pertama kalinya setelah bekerja hampir setengah tahun di perusahaan itu bisa melihat Wakil Ketua sekaligus putra Massimo De Marche yang bernama Carlos De Marche. Nieve menundukkan kepalanya saat berhenti di depan Carlos. Dia tersenyum kaku sembari menyapa Carlos membuat pria itu semakin tersenyum lebar. Carlos bangkit berdiri lalu memutari mejenya. Dia mendekat ke arah Nieve. "Per favore," ucap Carlos mempersilakan Nieve menyusul duduk di sofa. "A-apa ada sesuatu yang—" "Carlos," ucap Carlos menyebutkan namanya seraya mengulurkan sebelah tangan. "Maaf?" Nieve terkejut melihat Carlos mengulurkan tangan. "Apa ... kau tidak mengenalku?" tanya Carlos dengan raut wajah menunjukkan kebingungan. Nieve tertawa kaku. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Raut wajah Nieve tidak jauh berbeda dari Carlos. "Sepertinya kau memang tidak mengenalku, Kakak Ipar." "Ka—" Nieve mengernyitkan kening. Dirinya semakin bingung dengan panggilan asing yang ditujukan padanya. "Maafkan saya, tapi ... apa maksud Anda?" tanya Nieve merasa tidak ingin semakin dibuat bingung oleh bos besarnya tersebut. "Bukankah kau kekasih barunya Enzo?" "Iya?" Nieve membelalakkan kedua matanya. Wajahnya merah padam mendengar pertanyaan Carlos. Bukan rasa malu karena dikira adalah kekasih Enzo, namun Nieve merasa malu jika mengingat posisinya sebagai wanita jalang di depan Carlos. "Aku adalah adiknya Enzo," ucap Carlos yang semakin membuat Nieve menjadi pusing mendengar penuturan tersebut. "Adik?!" "Sì," jawab Carlos enteng diiringi senyum ramahnya. Tubuh Nieve lemas seketika. Dirinya hampir saja pingsan. Punggung Nieve bersandar di kepala sofa membuat Carlos bangkit berdiri dan mendekat ke arahnya. "Kakak Ipar, kau baik-baik saja?" tanya Carlos dan duduk di samping Nieve dengan kedua tangannya memeluk tubuh Nieve, seolah takut jika wanita itu benar-benar pingsan. "Sa-saya baik-baik saja," jawab Nieve gugup dan menahan kedua tangan Carlos supaya melepas pelukannya. "Sepertinya kau sangat terkejut," ujar Carlos lalu tertawa pelan. Seolah ekspresi terkejut Nieve terlihat seperti bahan olokan. "Sepertinya Anda salah. Saya tidak ada hubungan apapun dengan ... kakak Anda. Kalau begitu ... saya permisi," pamit Nieve dan segera bangkit berdiri. Nieve menundukkan kepalanya sejenak sebelum akhirnya melangkah menjauh dari Carlos. Carlos menahan niatnya mencegah Nieve pergi dari ruangan saat wanita itu semakin dekat dengan pintu keluar ruangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD