Tadinya Ibra ingin langsung pergi setelah mengantar Freya pulang, tapi keberadaan mobil sport biru di halaman Seven itu membuatnya berubah pikiran. Tanpa bertanya pun dia tahu pasti siapa pemiliknya.
Dia melirik Freya yang masih duduk terdiam di sampingnya. Wajahnya tampak tegang menatap sosok laki laki yang langsung turun dari mobilnya begitu melihat kedatangan mereka.
"Apa dia sering datang ke sini?"
"Siapa?" Freya justru balik bertanya.
"Jangan pura pura bodoh! Kamu jelas tahu siapa yang aku maksud," ucap Ibra kesal. Freya menoleh, matanya mengernyit menatap Ibra tak suka.
"Bagaimana Bang Ibra bisa tahu tentang Reza?"
"Apa itu penting sekarang? Tinggal jawab saja apa susahnya?!" Freya mendengus. Bukankah seharusnya dia yang marah, tapi kenapa malah Ibra yang mengomelinya.
"Tidak pernah, baru kali ini." Jawab Freya pelan.
Ibra menatap tajam sosok Reza yang tengah berdiri menyandar di mobilnya. Sepasang mata laki laki itu juga terus mengawasi ke arah mobil Ibra berada.
"Bang Ibra pulang saja dulu, aku akan menemuinya sebentar."
Ibra segera mencekal tangan Freya saat wanita itu melepaskan sabuk pengamannya dan hendak membuka pintu mobilnya.
"Kamu tunggu di sini, biar aku yang turun dan bicara dengannya!" titah Ibra.
"Tidak usah, aku bisa menyelesaikannya sendiri." tolak Freya dengan keras kepalanya.
"Frey ..."
"Aku tidak mungkin selamanya terus menghindar, Bang. Ini masalahku dengannya, jadi biar aku sendiri yang selesaikan." sahut Freya.
"Apa yang akan kamu selesaikan dengan wajah pucat pasi dan tangan gemetar seperti ini?!" tanya Ibra sambil mengangkat tangan Freya yang gemetar di genggamannya. Dia ingin sekali marah, tapi mana mungkin tega sedangkan Freya saja sudah begitu ketakutan.
"Selesaikan masalahmu setelah kamu benar benar sudah siap, tapi bukan sekarang Frey. Tunggu di sini dan jangan keluar, biar aku yang bicara dengannya!" Ibra melepaskan tangan Freya setelah melihat wanita itu mengangguk.
"Aku tidak tahu ada apa di antara kalian, tapi mulai sekarang kamu tidak perlu takut lagi. Selama ada aku, dia tidak akan bisa mengusikmu."
Ibra membuka pintu dan bergegas turun dari mobilnya. Sedangkan Reza tampak menyeringai melihat Ibra yang melangkah mendekat ke arahnya.
"Mau apa kamu datang kemari?!"
"Bukan urusanmu! Kenapa Freya tidak turun? Apa dia tidak merindukanku?" ucap Reza begitu menyebalkan.
"Berhentilah membual dan segera pergi dari sini! Tidak seharusnya kamu datang mengusik hidupnya lagi."
Reza diam menatap tajam ke arah mobil merah yang terparkir tak jauh dari tempatnya sekarang. Dia tahu, wanita yang sedang dicarinya ada di dalam mobil itu dan juga sedang melihat ke arahnya.
"Jangan coba coba ikut campur urusanku! Freya milikku, aku tidak akan membiarkan orang lain mengambilnya dariku."
"Termasuk dengan merencanakan perjodohan adikmu dengan anak bungsu Mahesa, iya kan?!" tebak Ibra, tapi pria di depannya itu justru menanggapinya dengan tawa remeh.
"Aku tidak pernah menganggap laki laki ingusan itu sebagai ancaman. Kalaupun dia tidak dijodohkan dengan adikku, keluarga Mahesa tetap tidak mungkin membiarkan hubungan mereka terus berlanjut."
Dua pria itu saling melempar tatapan tajam. Ibra menggeram marah saat Reza mulai melangkah mencoba mendekati mobilnya.
"Berhenti! Jangan harap kamu bisa mendekati Freya lagi. Mulai sekarang aku tidak akan membiarkanmu mengusik hidupnya lagi!"
Reza menghentikan langkahnya saat Ibra menghadang di depannya. Wajahnya mulai memerah karena marah.
"Aku yang seharusnya mengatakan itu padamu. Jauhi Freya! Dia milikku!" bentak Reza keras.
Ibra menaikkan sebelah alisnya, senyum tipis mengambang di ujung bibirnya. Semudah itu memancing emosi laki laki di depannya ini.
"Kalau aku tidak mau, kamu mau apa?!" tantang Ibra.
"Kita tidak pernah punya urusan sebelumnya, jadi aku sarankan jangan coba coba mencari gara gara denganku!" ucap Reza dengan tangan yang mulai mengepal.
"Mulai sekarang semua yang berhubungan dengan Freya akan jadi urusanku. Kamu hanya mantan kakak tiri yang tidak pernah diharapkan akan muncul lagi di hidupnya. Paham?!"
"Diam! Kamu tidak tahu apa apa tentang kami," geram Reza.
"Apapun itu, kamu tidak lebih hanya masa lalu yang menyakitkan sekaligus menakutkan untuk Freya."
Bugh. Reza tiba tiba menghantamkan tinjunya, Ibra yang tidak siap terhuyung ke belakang. Meski tidak sampai jatuh, tapi sudut bibirnya tampak memerah.
"Tutup mulutmu! Mau atau tidak, Freya akan tetap terus di sampingku." Teriak Reza emosi sambil menuding ke arah Ibra yang sedang menyeringai ke arahnya.
Ibra menerjang maju dan balas menghantamkan tinjunya keras. Reza tampak sempoyongan, dengan cepat Ibra menarik kerah kemeja laki laki itu dan menghantamkan tubuhnya ke mobil di belakangnya.
Reza meringis kesakitan, tangan Ibra yang mencengkram kuat lehernya membuatnya kesulitan bernafas. Namun sepertinya laki laki itu masih belum puas meski wajah lawannya sudah memerah dengan nafas tersengal.
"Apa belum cukup keluargamu menyakiti Freya dan mamanya dulu? Sekarang kamu masih ingin menyiksanya lagi dalam ketakutan. Pengecut!" geram Ibra.
"Hentikan! Apa apaan kalian sampai berkelahi seperti orang tak tahu aturan begitu!"
Freya berlari mendekat dan menarik tangan Ibra yang masih mencengkram leher Reza. Mantan kakak tirinya itu terlihat meringis dengan mata berkilat marah.
"Aku sudah menyuruhmu menunggu di mobil, kenapa turun?!" ucap Ibra kesal.
"Kamu pikir aku akan diam saja menonton kalian berkelahi di depanku?!" balas Freya sengit.
"Freya ..."
Ibra menarik Freya ke belakang tubuhnya saat Reza berusaha meraih tangan wanita itu. Keduanya kini berdiri saling berhadapan dengan wajah yang sama sama terluka.
"Minggir! Aku ingin bicara dengannya!"
"Freya tidak mau bertemu denganmu. Kalau kamu ingin bicara dengannya, lain kali saja." tolak Ibra.
"Kamu tidak punya hak mengaturnya," ucap Reza marah.
"Kalau kamu memang menginginkan Freya, datanglah secara baik baik menemui mamanya. Aku akan dengan senang hati bersaing secara jantan denganmu. Bukannya dengan memaksa dan menakut nakuti Freya seperti seorang pecundang," ucap Ibra telak.
Reza diam dan menatap nanar ke arah Ibra yang sedang merangkul Freya di hadapannya. Dia tahu, pria ini sengaja ingin memancing emosinya.
"Pergi sejauh mungkin dari hidupku! Aku sudah bilang tidak ingin berurusan lagi dengan kalian keluarga Aditama dan Mahesa." ucap Freya dengan suara bergetar. Tangannya mengepal menahan rasa takut saat menatap mata Reza yang berkilat marah padanya.
"Dan aku sudah bilang padamu, saatnya kamu kembali padaku Frey!" balas Reza seakan tidak ingin dibantah lagi.
"Jangan dengarkan dia membual! Sekarang kamu masuk dan kemasi barang barangmu untuk besok! Ikut aku pulang ke apartement," perintah Ibra ke Freya.
"Tapi Bang ...."
"Masuk Frey! Sekarang! Atau kamu lebih memilih tinggal di sini bersama mantan kakak tirimu ini." Melihat Ibra yang melotot marah akhirnya Freya memilih berbalik dan segera beranjak ke arah pintu studionya.
"Berhenti Freya! Aku bilang berhenti!" teriak Reza marah melihat Freya yang benar benar pergi begitu saja.
Namun Freya terus melangkah dan segera masuk ke studionya, tanpa peduli lagi teriakkan di belakangnya. Sekarang tinggal mereka berdua yang berdiri berhadapan dan saling melempar tatapan ingin membunuhnya.
"Jauhi Freya! Aku tidak akan berpikir dua kali untuk menghancurkan hotel dan nightclubmu, kalau kamu masih bersikeras mendekatinya!" ancam Reza.
"Coba saja kalau bisa! Aku tidak sebodoh itu berani berurusan denganmu, kalau tidak yakin bisa menghancurkan Aditama dan tempat perjudianmu. Mau bukti?" tantang Ibra dengan senyum miringnya.
"k*****t! Apa sebenarnya maumu?!" Lagi lagi Reza berteriak marah, pria di depannya ini terlalu banyak tahu tentangnya.
"Jangan coba coba berkeliaran di hidupnya lagi!"
"Kenapa aku harus mendengarmu? Kamu bahkan bukan siapa siapanya," cibir Reza.
"Kalau begitu secepatnya aku akan melamarnya, gampang kan?!" sahut Ibra.
Reza menertawakan Ibra yang berkata dengan begitu entengnya, seakan memang semudah itu menaklukkan hati Freya.
"Kamu sepertinya tidak begitu paham tentang Freya. Dia bukan wanita yang akan langsung tunduk karena hartamu."
"Paling tidak aku sudah mendapat restu dari mamanya. Hal sepele yang tidak mungkin bisa kamu lakukan, mendatangi Tante Aida dan meminta Freya secara baik baik. Iya kan?!"
Reza terbungkam marah, rahangnya mengeras saat tahu ternyata Ibra sudah melangkah sejauh itu.
"Kamu akan menyesal karena berani menyentuh milikku!"
Reza menyeringai dan menuding ke arah Ibra dengan kilat matanya yang penuh ancaman. Ibra hanya berdiri menatap sosok Reza yang sudah masuk ke mobilnya. Suara derung mobil biru itu terdengar menguar keras, sebelum kemudian melesat meninggalkan halaman Seven.
Ibra mengeluarkan ponsel dari sakunya, mengetik pesan sebelum mengirimnya ke Naresh. Sesekali dia mendongak menatap ke arah pintu Seven. Sambil menunggu Freya keluar, dia menyempatkan menghubungi sekretarisnya.
Tak butuh lama saat Freya yang akhirnya muncul dari balik pintu Seven dengan mendorong satu koper kecil. Wajahnya tampak masam karena lagi lagi terpaksa mengikuti perintah Ibra.
"Kenapa aku harus menginap di apartement Bang Ibra? Besok aku bisa berangkat pakai taxi ke bandara," protesnya masih tidak terima.
Tapi Ibra tak menggubrisnya. Dia segera mengambil alih koper kecil itu dan memasukkan ke mobilnya.
"Masuk!" Itu bukan ajakan, tapi perintah. Ibra berdiri di samping pintu penumpang yang sudah dibuka lebar dan menunggu Freya masuk.
"Bang ..."
"Aku tidak akan bertanya apa apa ataupun bersikap kurang ajar padamu. Sekarang masuk dan berhentilah menggerutu, Frey!"
Dengan wajah bersungut Freya akhirnya masuk ke mobil dan duduk diam di bangku penumpang. Sepanjang perjalanan tidak ada yang bicara, Ibra benar benar membuktikan omongannya untuk tidak menanyakan apapun.
Namun luka di sudut bibir Ibra itu tak urung justru membuat Freya berkali kali menoleh tak tega. Bekas pukulan Reza itu terlihat memerah dan sedikit membiru.
"Ck, tidak ingat umur ya? Heran, kenapa laki laki suka sekali adu jotos?" Freya mulai menggerutu.
"Aku bukan i***t yang akan diam saja saat dipukul orang," sahut Ibra sambil tetap menatap jalanan di depan sana.
"Ini pasti sakit?"
Tangan Freya terulur menyentuh pelan luka di sudut bibir Ibra. Laki laki itu hanya menggeleng pelan, lalu meraih tangan Freya dan menggenggamnya.
"Nyetir yang bener! Belum juga berangkat ke Bali, bisa bisa malah mampir dulu ke rumah sakit."
Ibra meringis kesakitan saat tertawa terkekeh. Freya menarik tangannya dan mengambil obat dari dalam tasnya. Tanpa repot repot bertanya lagi, dia mengoleskan salep itu di luka sudut bibir Ibra.
"Terima kasih." Sambil terus menyetir, satu tangan Ibra mengacak rambut Freya, membuat wanita itu mendengus kesal.
"Aku bilang nyetir yang bener, kalau mau celaka jangan ajak aku!"
"Tapi kalau diajak nikah mau kan?" goda Ibra.
"Bang Ibra sudah sama gilanya dengan Reza," cibir Freya.
"Bisa jadi," kata Ibra manggut manggut.
Freya kembali duduk menyandar di kursinya, dia menghela nafas panjang saat mengingat kejadian barusan. Reza sudah terang terangan muncul di hadapannya lagi. Dia benar benar tidak dapat membayangkan akan serumit apa hidupnya nanti.
Tadinya dia pikir waktu tujuh tahun yang berlalu, sudah membuat laki laki itu menyerah dan membiarkan dirinya hidup tenang. Ternyata dia salah, Reza kini datang mengusiknya lagi.
Tidak hanya itu, kehadiran Ibra sepertinya akan membuat masalah ini semakin bertambah rumit. Ekor matanya kembali mencuri pandang ke arah laki laki di sampingnya itu, lagi lagi dia menggeleng pelan.
Ibra, bagaimana bisa dia sengaja melibatkan diri dalam pelik hidupnya ini. Padahal Freya sudah berusaha sebisa mungkin mendorongnya menjauh.
Mobil masuk ke area parkir bawah tanah di sebuah apartemen mewah di tengah kota. Freya bahkan tidak bisa membayangkan, berapa uang yang harus orang rela keluarkan untuk bisa tinggal di sini.
"Ayo turun!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, Freya turun dari mobil dan mengikuti langkah Ibra. Laki laki itu berjalan santai di depannya dengan koper kecil di tangannya.
Lift yang mereka naiki berhenti di lantai dua puluh. Tak jauh dari lift Ibra berhenti di depan pintu besar apartemennya.
"Sini!" panggi Ibra sambil menarik tangan Freya untuk mendekat.
"Apa?"
"Ingat sandi pintunya supaya lain kali kamu bisa membukanya sendiri!" ucapnya sambil mulai menekan beberapa angka di sana.
"Ini pertama dan terakhir aku datang ke apartemen Bang Ibra. Lagipula kenapa gampang sekali memberikan sandi pintu rumah ke orang lain?" protes Freya.
Pintu terbuka lebar, Freya mendengus karena laki laki itu masuk begitu saja tanpa memperdulikan protesnya.
"Masuk! Mulutmu tidak capek ya dari tadi ngomel terus?"
Mau tidak mau Freya terpaksa melangkah masuk dengan wajah masam. Satu Reza yang gila saja sudah cukup membuatnya pusing, sekarang harus ditambah lagi dengan Ibra yang arogannya juga tidak ketulungan.
Sial sekali nasibnya.