Siang itu aku sengaja datang ke restoran Tante Aida untuk menemuinya. Besok aku dan Freya akan berangkat ke Bali, meski kami pergi untuk urusan kerja, tapi aku merasa perlu meminta izin dulu pada mamanya.
Bangunan restoran ini masih terlihat baru, bagus dan juga lebih luas dari yang dulu. Johan pernah mengajakku ke sini untuk menjemput bundanya, tapi itu sudah sekitar setahun yang lalu.
"Bisa saya bertemu dengan Tante Aida?"
Gadis muda ini menatapku lekat. Mungkin karena aku terlihat asing, jadi dia bersikap lebih hati hati.
"Anda siapa?"
"Ibra, temannya Johan." jawabku.
"Oh ... temennya Bang Jo, tunggu sebentar!"
Dia kemudian melangkah masuk, sedangkan aku masih terus mengamati tempat ini. Bagaimana kira kira reaksi Tante Aida, kalau sampai tahu ada campur tangan mantan anak tirinya itu atas kemajuan restoran dan kateringnya.
"Nak Ibra."
Aku menoleh saat mendengar namaku dipanggil. Tante Aida sudah berdiri di depanku, wajahnya tampak keheranan melihatku yang tiba tiba datang mencarinya.
"Maaf Tante, bisa saya minta waktu sebentar? Ada hal yang ingin saya bicarakan dengan Tante," ucapku.
"Tentu saja boleh. Ayo kita bicaranya di dalam saja, biar bisa lebih santai!" ajaknya.
Aku mengikuti langkah Tante Aida menuju ke ruangannya yang terletak di belakang, tak jauh dari dapur.
"Silahkan duduk! Maaf, tempatnya sempit."
"Tidak apa apa Tante," sahutku sambil duduk di kursi sofa berseberangan dengannya.
"Jadi ada perlu apa sampai Nak Ibra tiba tiba datang mencari Tante?"
Dengan Freya sejak aku memang sangat jarang bertegur sapa, tapi tidak dengan Tante Aida. Setiap kali bertemu di rumah Johan, aku selalu lebih dulu menyapanya. Mungkin aku memang irit bicara, tapi setidaknya aku masih mengerti cara bersopan santun dengan orang yang lebih tua.
"Besok saya akan membawa Freya ke Bali selama satu minggu, jadi saya pikir perlu meminta izin dulu sama Tante."
Tante Aida langsung tersenyum dan mengangguk mengerti, "jadi karena soal itu ya? Freya sudah bilang dan minta izin sama Tante sejak jauh hari. Lagi pula Tante mengerti kok, ini kan karena urusan pekerjaan."
"Tante ..."
Aku ingin sekali mengatakan maksud kedatanganku yang sebenarnya, tapi belum belum dadaku sudah berdebar kencang. Apa memang begini groginya mau meminta anak gadis orang secara langsung ke ibunya?
"Apa ada hal lain yang ingin kamu sampaikan ke Tante? Tidak apa apa kok, ngomong saja!" ucap Tante Aida yang sepertinya menyadari kegelisahanku.
Aku menghirup nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Menghadapi mama Freya rasanya lebih menegangkan daripada mau tawuran.
"Saya juga mau minta izin Tante untuk mendekati Freya."
"Maksud Nak Ibra apa?" tanya Tante Aida dengan kening mengernyit bingung.
"Saya suka sama anak Tante dan benar benar serius ingin mendekatinya."
Tante Aida tampak terkejut dengan apa yang baru saja aku sampaikan. Selama ini aku dan Freya memang tidak pernah terlihat akrab, jadi wajar saja kalau Tante Aida sempat terbengong bengong mendengar pengakuanku.
"Freya sudah tahu?"
"Belum, dia bahkan tidak tahu apa apa." jawabku jujur.
Tante Aida mengulum senyumnya, namun sepasang matanya menatapku lekat seakan sedang berusaha mencari kejujuran dari ucapanku.
"Jadi ini alasannya mengapa Nak Ibra memaksa Freya untuk menerima pemotretan di Bali itu?"
Skak mat! Aku hanya bisa meringis, lalu mengangguk pelan. Percuma saja bohong, nyatanya Tante Aida orangnya memang lebih cepat tanggap.
"Freya berkali kali mengeluh ke Tante, dia takut hasilnya nanti jelek dan akan berpengaruh pada branding hotel Nak Ibra," jelasnya.
"Kami sudah membicarakan soal ini, saya meminta Freya untuk mencobanya dulu. Kalau memang hasilnya kurang memuaskan, Freya akan meminta rekannya untuk pemotretan ulang."
"Tante menghargai keberanian dan juga niat baik kamu datang kesini untuk minta izin mendekati anak Tante. Kita jangan bahas dulu soal berhasil atau tidaknya, tapi Tante ingin bertanya terlebih dulu sama Nak Ibra. Boleh kan?" ucap Tante Aida dengan raut seriusnya.
"Boleh, Tante ingin tanya soal apa?"
"Nak Ibra pasti sudah tahu kan tentang Freya? Maksud Tante tentang statusnya yang lahir tanpa seorang ayah."
Aku mengangguk, "saya sudah tahu semua dan tidak mempermasalahkan tentang itu."
"Lalu bagaimana dengan orang tuamu? Tante tidak ingin kejadian beberapa bulan yang lalu akan terulang lagi."
Tante Aida menghela nafas berat, lalu terdiam untuk beberapa saat sebelum meneruskan perkataannya.
"Karena ingin Freya memutuskan hubungan dengan anaknya, mama Ega datang mencarinya ke Seven. Bukannya bicara baik baik, tapi malah mencaci maki dan merendahkan anak Tante di depan tamu dan pegawainya. Tidak hanya itu, dia juga mengancam akan menghancurkan semua usaha kami kalau Freya tetap bersikeras bersama Ega."
Tepat seperti dugaanku, mereka benar benar melakukan itu untuk memaksa Freya menyingkir dari kehidupan anaknya.
"Tante, saya memang belum membicarakan soal ini dengan orang tua saya. Tapi saya berani menjamin kedua orang tua saya tidak akan sepicik itu."
"Tante bukannya tidak percaya sama kamu, tapi perasaan Freya yang dipertaruhkan di sini. Bagaimana seandainya kejadian yang sama terulang lagi?"
Aku mengangguk mengerti, sudah sepantasnya Tante Aida berpikir sejauh itu. Status Freya yang lahir dari hubungan di luar nikah dan tanpa ayah, pasti sudah membuatnya banyak menerima perlakuan yang tidak semestinya selama ini.
"Apa perlu saya membawa orang tua saya menemui Tante dulu? Saya serius menginginkan Freya sebagai pendamping hidup, bukan sekedar untuk main main Tante." ucapku yakin.
Tante Aida tersenyum lega, sepasang matanya yang memerah tampak berkaca kaca menatapku.
"Datang lah lagi kalau kamu sudah mendapatkan restu dari orang tuamu. Tante tidak pernah melarang dengan siapa Freya menjalin hubungan. Selama anak Tante tidak merusak rumah tangga orang lain dan Freya bisa bahagia, Tante akan dengan senang hati memberi restu."
Lega, itulah yang aku rasakan sekarang. Paling tidak Tante Aida sudah membuka jalan untukku mendekati anak semata wayangnya.
"Saya mengerti maksud Tante. Secepatnya saya akan membicarakan masalah ini dengan orang tua saya."
"Tante tidak berharap banyak, tidak juga melihat kekayaan sebagai acuan menerima laki laki untuk jadi calon menantu. Asalkan dia benar benar mencintai Freya dan bisa menerima apa adanya, bagi Tante sudah lebih dari cukup."
Aku menegakkan punggungku, mencoba menyakinkan Tante Aida supaya tidak khawatir anaknya kesayangannya akan tersakiti lagi nantinya.
"Tante bisa pegang omongan saya. Kalau memang Freya mau menyambut perasaan saya, saya janji akan selalu berusaha membahagiakan Freya dan menjadikan dia satu satunya wanita di hidup saya." ucapku dengan sungguh sungguh.
Tante Aida mengangguk puas, air matanya yang sejak tadi menggenang mengalir turun. Aku tidak sekedar membual hanya untuk mendapatkan restunya, tapi karena aku sudah yakin menginginkan Freya.
"Terima kasih Nak Ibra, Tante adalah orang paling bahagia kalau kamu memang berjodoh dengan Freya. Mungkin kita memang tidak sedekat itu, tapi Tante tahu kamu laki laki yang baik dan bertanggung jawab."
Aku menghela nafas lega. Nanti sepulang dari Bali, aku tinggal menemui orang tuaku untuk membicarakan tentang ini.
Aku tidak bohong, kedua orang tuaku memang tidak mungkin punya pikiran sepicik itu. Seperti yang Naresh bilang, mungkin mama akan sujud syukur kalau tahu aku meminta restu untuk memperistri Freya.
"Kalau begitu saya pulang dulu. Tante jangan khawatir, saya akan memastikan Freya baik baik saja selama seminggu di Bali."
"Tante percaya kamu bisa menjaga Freya dengan baik. Semoga saja hasil pemotretannya nanti bisa memuaskan, jadi tidak perlu mengulanginya lagi," ucap mama Freya.
"Sepulang dari Bali nanti, saya akan secepatnya membicarakan masalah ini dengan orang tua saya."
"Freya beruntung kalau bisa menjadi pendamping hidupmu. Semoga saja orang tuamu mau berbesar hati menerima Freya apa adanya."
Aku mengangguk dan beranjak dari duduk untuk berpamitan. Masih ada sisa pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum aku tinggal ke Bali selama seminggu nanti.
Tante Aida mengantarku keluar, tapi sebelum mencapai pintu, gadis yang tadi aku temui itu datang menghampiri kami.
"Ma, tadi Kak Freya telpon mencari Mama."
Mama?! Bukannya Freya anak tunggal, lalu siapa gadis ini? Kenapa dia memanggil Tante Aida mama?
"Terus dia bilang apa?" tanya Tante Aida.
"Kak Frey bilang mau ke sini, paling sebentar lagi juga sampai." ucapnya.
"Oh iya, kenalkan Nak Ibra, dia ini Manda sepupunya Freya."
Aku menyambut uluran tangannya, gadis di depanku ini masih saja menatapku penasaran.
"Bang Ibra ..."
Kami bertiga menoleh. Freya yang baru saja tiba, melangkah masuk dengan Miko dan Ella di belakangnya.
"Bang Ibra kok bisa di sini?" tanya Freya heran.
"Ada urusan sedikit dengan mamamu," jawabku.
"Tumben, urusan apa?"
"Bawel!"
Freya mendecak keras saat aku mengacak rambutnya. Jari jarinya bergerak luwes membenahi rambutnya yang sedikit berantakan.
"Bang Ibra sudah dari tadi?"
"Sudah."
"Terus sekarang mau pulang?"
"Iya."
"Numpang boleh? Biar Miko sama Ella tidak usah repot mengantarku pulang, rumah mereka beda arah dengan Seven."
"Boleh."
Aku tersenyum kikuk saat menyadari mereka semua sedang memperhatikan kami berdua. Freya menarik tanganku untuk kembali masuk dan duduk di salah satu kursi kosong di sana.
"Tunggu sebentar, aku ngomong dulu ke Miko sama Ella!"
Tanpa menunggu jawaban dariku, Freya pergi menghampiri kedua sahabatnya yang masih mengobrol dengan mamanya. Mereka tampak bicara sebentar, Miko dan Ella bergegas pergi setelah sebelumnya melambaikan tangannya padaku.
Pandanganku kini fokus pada sosok Freya. Wanita cantik dan pendiam, yang entah sejak kapan berhasil menjungkir balikkan kehidupanku yang selama ini selalu tenang. Satu hal yang sekarang membuatku penasaran, ada apa antara Freya dan Reza? Sebenarnya Reza yang jatuh cinta pada Freya atau ada hal yang sengaja mereka berdua tutupi?
"Ayo pulang!"
Sial! Aku tersentak saat Freya tiba tiba saja sudah berdiri di sampingku.
"Bang Ibra lagi mikir apa, serius banget?" tanyanya sambil mengulum senyum setelah baru saja mengagetkanku.
"Mikir kamu," sahutku yang justru membuatnya mencibir.
"Ck, jauh jauh dari Bang Raka! Bang Ibra sudah mau ketularan genitnya."
Aku tertawa terkekeh. Sudah aku bilang kan, mudah sekali bagiku untuk tersenyum saat bersama Freya.
"Kamu tadi dari mana?" tanyaku.
"Makan siang sama Miko dan Ella.Tempatnya tidak jauh dari sini, jadi sekalian mampir sebentar ketemu mama. Ayo pulang! Aku belum menyiapkan barang barangku buat besok," ajaknya.
Aku berdiri dari duduk dan mengikuti langkahnya menghampiri Tante Aida. Freya berpamitan sambil memeluk dan menciumi pipi mamanya. Pantas saja Freya lebih memilih meninggalkan anak bungsu Mahesa, hubungannya dengan mamanya memang sedekat itu. Dia bahkan masih bersikap seperti gadis kecil yang manja di depan mamanya, lucu sekali.
Setelah berpamitan, kami berjalan ke luar restoran menuju tempat mobilku terparkir. Wajahnya tampak lelah, beberapa hari ini dia ngebut menyelesaikan semua jatah pemotretan yang seharusnya dilakukan seminggu ke depan.
"Kamu tidur saja dulu, nanti sampai Seven aku bangunkan." ucapku setelah mobilku mulai melaju meninggalkan halaman restoran Tante Aida.
"Tidak usah. Nanti aku tidur lebih awal saja, biar besok bangun sudah segar lagi." tolaknya.
"Kamu cukup bawa kameramu, asisten dan peralatan yang lain nanti sudah mereka siapkan di sana."
"Aku belum tentu perlu asisten."
"Tidak apa apa, biar kamu tidak capek mondar mandir membawa peralatan sendiri."
Freya akhirnya mengangguk setuju, tapi kemudian dia mulai dengan rasa penasarannya lagi.
"Bang Ibra ada perlu apa sama mama? Tumben banget sampai datang ke Ai Lin," tanya Freya.
"Melamar kamu," jawabku jujur.
Plak. Aku meringis, Freya memukul lenganku dengan wajah yang cemberut kesal.
"Nggak lucu!" ucanya ketus.
"Kalau aku lamar beneran, memangnya kamu mau?"
"Bang ...." teriaknya semakin kesal.
"Apa?"
"Bercandanya jangan kelewatan!"
Aku menghentikan laju mobilku saat lampu lalu lintas menyala merah. Tawaku tak terbendung lagi melihat Freya yang melirik jengkel ke arahku.
"Jodoh siapa yang tahu, iya kan? Aku mana mungkin menolak kalau diberi istri secantik kamu."
"Habis kejedot ya Bang? Ngomongnya kok makin ngelantur begitu," cibirnya.
Aku mengulum senyum sambil kembali menjalankan mobilku. Freya tidak tahu saja kalau aku benar benar baru melamarnya tadi. Untuk beberapa saat kami hanya terdiam, dia tampak sibuk mengotak atik ponselnya. Suara nada dering yang terdengar pelan dari ponselnya membuat Freya mendengus tak suka.
"Bang Ibra …" panggilnya dengan sedikit ragu.
"Hm …"
"Tolong bantu aku angkat ya?"
"Dari siapa? Kenapa tidak kamu sendiri yang angkat?"
Belum sempat Freya menjawab pertanyaanku, ponselnya sudah lebih dulu berhenti berdering. Dia menghela nafas lega, tapi sebentar kemudian ponselnya berdering lagi.
"Bantu angkat ya Bang? Ega terus terusan telpon meski tidak pernah aku angkat. Sumpah! Bikin pusing kepalaku saja!"
Aku menepikan mobilku di pinggir jalan, lalu menerima uluran ponsel dari Freya. Suara laki laki itu langsung terdengar begitu aku menggeser tombol hijaunya dan mengaktifkan loudspeakernya.
"Freya, akhirnya kamu mau juga mengangkat telponku. Aku kangen banget sama kamu, Frey."
Aku mendengus sebal, Freya yang mendengar suara mantan kekasihnya dari loudspeaker ponselnya tampak meringis malu menatapku.
"Frey, kamu masih marah padaku?"
Terdengar helaan nafas laki laki itu, sedang aku masih diam menunggu kata kata menjijikkan apa lagi yang akan dia katakan pada Freya.
"Jangan hanya diam, Frey. Kalau sekarang kamu berubah pikiran, aku akan membatalkan pertunanganku dengan Hana minggu depan."
Freya menggeleng dan tersenyum masam. Saat tatapan mata kami bertemu, dia lebih memilih membuang mukanya ke arah luar jendela.
"Freya …"
"Aku bukan Freya. Mulai sekarang jangan menghubungi dia lagi!" ucapku ketus.
"Siapa kamu? Kenapa ponselnya kamu yang angkat? Mana Freya?" cacarnya mulai panik.
"Aku calon suaminya."
Sontak Freya menoleh terkejut dan melotot padaku. Aku segera menangkap tangannya yang sudah siap ingin menyiksaku lagi, lalu menggenggamnya erat.
"Aku tidak percaya, mana Freya? Aku ingin bicara dengannya."
Aku mendekatkan ponsel itu ke arah Freya, daguku mengedik memintanya untuk bicara. Meski dengan wajah memerah menahan marah, dia akhirnya mau buka mulut juga.
"Ega …"
"Siapa laki laki itu? Kenapa dia bilang calon suamimu?"
Aku menatap tajam ke arah Freya, kali ini dia yang harus mendengarkan keinginanku. Aku tidak akan membiarkan anak bungsu Mahesa itu terus berkeliaran di hidup Freya lagi.
"Dia calon suamiku, jadi tolong mulai sekarang jangan menghubungiku ataupun mendatangi tempatku lagi. Kita sudah selesai, Ga. Aku sudah tidak ingin berhubungan lagi dengan keluarga Mahesa."
"Kamu bohong kan Frey? Mana mungkin secepat itu ...."
"Sekali lagi aku peringatkan, jauhi calon istriku! Aku tidak akan tinggal diam kalau lain kali kamu masih mencoba mengusiknya!"
Aku memutuskan sambungan telepon, Freya menggeram marah saat aku mengembalikan ponsel itu di tangannya.
"Bang Ibra apa apaan ngomong begitu ke Ega!" ucapnya ketus.
"Tadi bukannya kamu sendiri yang memintaku mengangkat teleponnya, kenapa malah marah?"
"Tapi kenapa harus bohong? Sejak kapan Bang Ibra jadi calon suamiku?" balasnya masih sambil merengut.
"Sejak sekarang."
"Bang …" teriaknya semakin kesal, tapi imut.
"Ya …"
"Kalau sampai ada yang dengar, orang lain bisa salah paham."
Freya terus meronta, aku tersenyum puas melihatnya kewalahan melepaskan tangannya dari genggamanku.
"Kalau begitu nanti sepulang dari Bali, aku akan membawa orang tuaku melamarmu. Mau ya?" godaku.
"Fix, Abang benar benar sudah gila." dengusnya pasrah.
Aku melepaskan tangan Freya dan tertawa terbahak. Dia hanya tidak tahu saja, aku benar benar hampir gila karena begitu ingin memilikinya.
Seminggu bersama Freya di Bali, aku harap hubungan kami bisa jadi lebih dekat lagi setelahnya. Calon suami?! Sebentar lagi aku akan membuatnya menjadi nyata.