Bab.1 Yang Datang Dan Pergi
"Aku dijodohkan Frey," gumamnya lirih hampir tak sampai ke telingaku. Sepertinya dia ragu mengatakan itu padaku.
"Aku tahu."
Dia tampak terperanjat. Aku meletakkan garpu di tanganku, beef steak itu masih utuh di piringku, tapi aku sudah terlanjur tidak berselera lagi untuk menikmatinya.
"Bagaimana kamu bisa tahu?" tanyanya bingung.
"Kemarin mamamu datang ke Seven mencariku."
"Mamaku?" ulangnya seakan takut salah dengar. Wajahnya seketika berubah pias begitu melihatku mengangguk.
"Kenapa kamu tidak bilang?!"
Aku tersenyum masam. Sebenarnya aku sudah menduga dia mengajakku ke sini untuk memberitahuku soal perjodohan itu. Pura pura tidak tahu karena aku sengaja menunggu kesempatan ini untuk bicara dengannya.
"Untuk apa?" tanyaku malas.
"Kamu tidak marah aku dijodohkan dengan orang lain?" ucapnya dengan tatapan bingung melihat datarnya tanggapanku.
"Tentu saja aku marah, apalagi mamamu datang dengan segala caci makinya. Dia sepertinya memang sengaja ingin mempermalukan aku di depan tamu dan pegawaiku."
"Maaf."
Hanya itu yang keluar dari bibirnya, memangnya apalagi yang aku harapkan. Dia tidak akan bisa berbuat banyak menghadapi orang tuanya, karena itulah aku juga tidak mengatakan apapun tentang kedatangan mamanya kemarin.
Dia adalah Ega Mahesa, laki laki yang sudah setahun lebih berstatus sebagai kekasihku. Seorang arsitek tampan, putra bungsu keluarga Mahesa yang digadang gadang akan menggantikan posisi ayahnya di perusahaan kontraktor mereka.
"Kamu mau aku bagaimana, Ga? Dari awal kita sama sama tahu, tidak akan mudah membuat keluargamu menerimaku."
Ega mengusap wajahnya frustasi. Aku tidak pernah meragukan perasaannya padaku, namun hubungan kami tersandung restu orang tuanya.
"Kita bisa mencobanya dulu Frey, tapi kenapa sepertinya kamu lebih memilih menyerah."
"Karena orang tuamu sangat tahu cara untuk menyakitiku dan itu sangat menakutkan. Wanita yang dijodohkan denganmu itu Hana, iya kan?"
Aku tersenyum getir begitu melihatnya mengangguk. Lelucon macam apalagi ini? Kenapa harus Hana orangnya?
"Om Yoga yang mengusulkan perjodohan ini. Aku benar benar tidak menyangka masalahnya akan seperti ini," gumamnya lirih.
"Lalu apa jawabanmu?"
"Tentu saja aku menolaknya, tapi kamu tahu sendiri bagaimana orang tuaku. Apa yang sudah mereka putuskan, akan jadi hal mutlak yang harus kami terima."
Aku tertawa terkekeh, lalu untuk apa dia bicara panjang lebar kalau sudah tahu jawabannya.
"Sepertinya ini akan jadi pertemuan kita yang terakhir. Jangan mengajakku memperjuangkan hal yang sudah pasti akan sia sia hasilnya."
Ega mendongak kaget. Dia menatapku panik dan berusaha meraih tanganku.
"Aku cinta kamu, Freya. Tidak apa kalau memang aku harus pergi dari rumah itu," ucapnya dengan sungguh sungguh.
"Dan orang tuamu akan semakin membenciku. Kalaupun mereka terpaksa menerimaku, selamanya aku akan jadi sasaran kemarahan mereka. Aku tidak mau!" tolakku tegas.
Genggaman tangannya terlepas, raut kecewa terlihat jelas di wajah tampannya. Tapi aku bisa apa? Sedang orang tua Ega sudah tidak memberiku sedikitpun celah untuk bisa bersama anaknya lagi.
"Dari awal kamu memang tidak pernah benar benar mencintaiku, iya kan?!"
Itu bukan pertanyaan, tapi aku mendengarnya sebagai tuduhan. Sama seperti mamanya yang menganggapku hanya mengincar harta keluarga mereka.
"Kalau memang menurutmu aku seperti itu, lalu buat apa kamu masih memintaku terus di sampingmu?" tanyaku kesal.
"Bukan itu maksudku, Frey! Aku hanya ingin kita berjuang bersama, tapi nyatanya kamu malah menyerah begitu saja."
Aku bungkam, menghela nafas dalam untuk mengenyahkan rasa sakit yang sejak kemarin merajamku tanpa ampun. Setiap kata yang diucapkan wanita itu, seperti tamparan yang memaksaku bangun dari mimpiku yang dia bilang terlalu menggelikan.
"Belajarlah dari kisah hidup kakakmu, Ga! Karier dan rumah tangganya hancur karena memaksa menentang orang tua kalian. Memangnya kamu sudah siap kalau nasib kita berakhir sama seperti mereka?" tanyaku.
Ega menggeram marah, orang tuanya memang sediktaktor itu. Hidup ketiga anaknya, mereka semua lah yang menentukan, termasuk jodoh.
Kakak sulung Ega pernah memutuskan pergi dari rumah demi menikahi gadis pilihannya. Tebak apa yang terjadi kemudian? Orang tuanya tega menghancurkan karier anaknya dan memaksa gadis yang bahkan belum lama dinikahi anak sulungnya itu untuk bercerai.
Setega itu mereka, hanya untuk memaksa anaknya pulang dan kembali menurut apa kata mereka. Dan sekarang Ega mengajakku untuk mengulang kembali kisah itu.
"Jujur aku tidak pernah berharap banyak dari hubungan kita ini Ga, karena aku sangat tahu mustahil akan berhasil. Itulah kenapa dulu aku selalu menolakmu."
"Jadi kamu benar benar menyerah? Sedikitpun kamu tidak ingin memberiku kesempatan untuk memperjuangkanmu? Apa setahun lebih kebersamaan kita tidak ada artinya sama sekali buatmu?" cecarnya padaku.
"Aku hanya sadar diri, mamamu bilang sampai matipun tidak akan sudi menerima anak haram sepertiku menjadi menantu keluarga Mahesa," sahutku.
Tangan Ega mengepal kuat. Sebenarnya bukan hanya ini yang jadi alasan orang tuanya menolakku, tapi juga juga status sosial kami yang jelas jauh berbeda.
"Yang penting aku menerimamu apa adanya," ucapnya lelah.
"Tapi orang tuamu tidak. Mereka yang selalu menjunjung tinggi kehormatan dan nama baiknya, mana mungkin mau punya menantu sepertiku."
Ega menatapku gamang, gurat kecewa semakin jelas di wajahnya. Namun keputusanku tetap sama, aku tidak akan mengikuti ajakannya untuk melawan arus. Terlalu banyak hal berharga yang harus aku pertaruhkan.
Hidupku sudah sulit, aku belum siap kalau seandainya orang tuanya benar benar akan menghancurkan apa yang baru saja aku mulai. Lebih tepatnya bukan hanya aku, tapi juga mamaku.
"Pada akhirnya kamu lebih memilih melepasku. Begitu tidak berharganya aku buatmu. Padahal demi bisa hidup bersamamu, aku rela melepaskan semua yang ada di genggamanku."
"Tolong cobalah mengerti sedikit posisiku, Ga."
Tidak, aku tidak akan goyah oleh tatapan terlukanya itu. Mama sudah mengorbankan semua yang dia miliki demi mewujudkan impianku. Mana mungkin sekarang aku bisa bertindak seegois itu.
"Kamu tahu sendiri kehidupan seperti apa yang sudah kami lalui dulu. Jangan memaksaku memilih antara kamu dan mamaku, itu sama sekali tidak adil buatku."
"Lalu apa bedanya dengan kamu yang juga memaksaku berhenti, padahal aku sudah memilihmu daripada keluargaku," ucapnya dengan senyuman sinisnya.
Aku benar benar sudah lelah berusaha membuatnya mengerti. Ega terus saja menolak paham keadaanku yang sekarang tidak punya lagi pilihan selain mundur.
"Aku selalu menempatkan mamaku melebihi hidupku sendiri, karena mama juga selalu mendahulukan kebahagiaanku daripada kebahagian hidupnya. Kamu juga sudah tahu semuanya bukan?"
Dia menggeleng, masih bertahan dengan keras kepalanya.
"Jadi kita benar benar berakhir sekarang?" tanyanya.
Sepasang matanya masih terus menatapku penuh harap dan itu benar benar menyiksaku. Susah payah aku menelan ludah, terlalu sulit untuk mengatakan iya, padahal hatiku juga tidak tega.
"Maaf, aku tidak seberharga itu sampai kamu harus mengorbankan hidupmu, Ga."
"Cih, apapun yang kamu katakan sekarang hanyalah pembelaan sepihak dari keegoisanmu, Frey. Kamu terlalu takut gagal, bahkan sebelum kita memulainya." cibirnya.
Lagi lagi aku tersenyum getir. Sejak lahir hidupku sudah bergelimang dengan kemalangan. Penghinaan dari mamanya Ega juga bukan yang pertama aku terima. Bagiku tidak apa, toh aku juga sudah terbiasa. Tapi lain halnya jika itu menyangkut tentang mamaku.
"Aku memang terlalu pengecut dan memilih kalah sebelum mencoba. Tapi kalau dengan begitu akan membuat hidup mamaku tetap baik baik saja, kenapa tidak?!" ucapku.
"Termasuk mengorbankan perasaanku?!" sahutnya cepat seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Iya, aku memang seegois itu. Jadi jangan sia siakan hidupmu untuk wanita sepertiku," jawabku berharap bisa membuatnya berhenti mendebatku.
Ega menggeram, umpatan terdengar pelan keluar dari bibirnya. Selama kami berteman sejak SMA hingga sekarang, baru kali ini aku melihatnya semarah itu.
"Baiklah, kamu ingin aku menerima perjodohan itu kan?" tanyanya sambil menyandarkan punggungnya ke belakang. Sepasang matanya menatapku menantang.
"Kalau begitu aku akan menerimanya. Mempunyai istri secantik mantan saudara tirimu itu sepertinya menyenangkan juga. Setidaknya dia benar benar tulus mencintaiku dan tidak akan menyia nyiakan hatiku."
Setelah mengatakan itu Ega langsung pergi begitu saja, meninggalkan aku yang masih duduk terpaku menatap sosoknya yang kian menjauh.
Iya, Hana yang dijodohkan dengan Ega adalah mantan saudara tiriku. Mama menikah dengan ayah Hana saat aku masih SMA. Hubungan kami tidak pernah baik, karena sejak awal dia memang tidak pernah menyukai kehadiran kami di sana. Terlebih saat tahu Ega yang disukainya justru jatuh cinta padaku.
Sudah berakhir, hubunganku dengan Ega selesai sampai di sini. Tapi dibanding patah hati, aku lebih merasa bersalah karena sudah mendorongnya menjauh. Kadang aku merasa hidup begitu tidak adil padaku. Siapa orangnya yang mau lahir tanpa ayah, dicap sebagai anak haram dan selalu dijadikan bahan cibiran.
Aku segera beranjak dari sana, percuma menyesali sesuatu yang memang tidak mungkin aku miliki. Ketika hampir sampai di pintu keluar, ponselku berdering pelan. Dengan setengah menunduk aku berusaha menemukan benda pipih itu di dalam tasku.
Mungkin karena terlalu fokus mencari ponsel, sampai kemudian aku menabrak seseorang di depanku. Hampir saja aku jatuh terjengkang seandainya dia tidak dengan cepat merangkul pinggangku.
"Maaf," ucapku sambil mengangguk pelan.
"Freya ..."
Suara itu! Aku mendongak, sontak menepis rangkulan tangannya dari pinggangku dan beranjak mundur. Demi Tuhan, apa masih kurang sial lagi nasibku hari ini?! Bertahun tahun aku berusaha menghindarinya, kenapa justru sekarang bisa bertemu di sini.
Tanpa menoleh lagi, aku bergegas melangkah pergi. Apapun yang menyangkut keluarga Aditama harus aku hindari, terutama laki laki itu.
Dengan tangan gemetar aku membuka pintu mobilku, tapi secepat itu juga dia menarik tanganku. Tatapan kami bertemu, jantungku berdetak kencang saat melihat lagi seringai menakutkan di bibirnya itu.
"Sampai kapan kamu akan terus berlari dariku? Bertahun tahun aku melepasmu, bukan berarti selamanya kamu bisa pergi dariku. Sudah saatnya kamu kembali padaku, Frey."
"Lepas! Aku bilang lepas!" desisku dengan suara hampir tercekik.
Aku meringis, semakin kuat aku meronta, semakin erat dia mencengkram pergelangan tanganku.
"Kamu habis menangis?" tanyanya saat bisa menatap lebih jelas wajahku.
"Bukan urusanmu?!" sahutku.
"Apa karena anak bungsu Mahesa itu? Apa dia mencampakkanmu karena menerima perjodohannya dengan Hana?"
"Tutup mulutmu! Tidak semua laki laki b******k sepertimu," umpatku marah.
Tiba tiba dia mendorongku hingga tubuhku merapat mobil, perlahan dia mulai mendekat, wangi parfum yang menguar dari tubuhnya membuatku seketika mual dan ingin muntah. Keringat dinginku mulai keluar mendapati seringaian yang terpampang tepat di depan wajahku.
"Kamu tahu? Aku selalu merasa bahagia setiap kali mendengar panggilan b******k dari bibirmu. Karena itu selalu mengingatkanku, akulah yang memiliki ciuman pertamamu," bisiknya dengan suara yang menjijikkan.
"Diam dan pergi! Atau aku akan berteriak sekeras mungkin."
Bukannya menjauh, dia justru semakin mendekatkan wajahnya. Sepasang matanya berkilat tajam menatapku penuh minat.
"Kamu menghindariku karena masih mencintaiku, iya kan?"
"Jangan mimpi kamu!" umpatku geram sambil mendorongnya menjauh.
Dia tertawa terbahak melihat wajahku yang sudah pasti merah padam menahan marah. Segera aku membuka pintu mobilku dan masuk secepatnya. Namun lagi lagi dia berhasil menahan pintu mobilku yang belum sempat tertutup sempurna.
"Mulai sekarang jangan harap bisa berlari lagi dariku! Kamu milikku Frey, ingat itu!"
Tubuhku seperti membeku saat deru nafasnya menyapu wajahku. Suaranya yang berat terdengar begitu menakutkan. Aku terjengkit kaget ketika laki laki itu tiba tiba mencium ujung bibirku.
"b******n kamu Reza!" teriakku emosi, tanganku sudah gemetar ingin menampar mulut kurang ajarnya.
Dia tertawa senang melihatku mengumpat kasar. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera menutup pintu mobilku dan pergi dari sana. Air mataku mengalir deras. Bertahun tahun aku dan mama berusaha menjauh dari kehidupan mereka, tapi kenapa takdir justru membawaku kembali bertemu dengannya.
Dia adalah Reza Aditama, kakak dari Hana sekaligus mantan kakak tiriku. Ada kisah diantara kami yang tersimpan rapat, bahkan mama juga tidak tahu apapun tentang rahasia yang sudah berusaha aku kubur sejak bertahun tahun lalu itu.
***
Freya Lin Handaru, itu namaku. Hanya saja orang lebih mengenalku sebagai Freya Lin. Menjadi fotografer sebenarnya bukan cita citaku. Semua berawal saat aku masih duduk di bangku SMA, ketika Tante Ana memintaku untuk menjadi model dari gaun gaun hasil rancangannya.
Tadinya aku juga hanya iseng mengiyakan permintaan sahabat mamaku itu, tapi lama kelamaan jadi keterusan. Aku pikir kalau bisa mencari uang untuk mencukupi kebutuhan hidupku sendiri kenapa tidak. Setidaknya aku tidak perlu merepotkan mama lagi.
Entah keberuntungan dari mana, salah seorang pelanggan butik Tante Ana justru menawariku untuk jadi iklan kosmetiknya. Begitulah, kemudian semua mengalir begitu saja.
Tapi dengan seringnya aku berhadapan dengan kamera, ternyata malah membuatku jadi lebih tertarik menjadi fotografer. Aku selalu memanfaatkan waktu break untuk bertanya banyak hal pada fotografernya. Dari situlah aku kemudian memutuskan mulai belajar lebih banyak tentang fotografi secara otodidak.
Sayangnya kisah hidupku tak seindah foto hasil jepretanku. Aku adalah anak yang lahir dari kesalahan masa lalu orang tuaku. Karena beda keyakinan, mama memilih pergi dalam keadaan hamil dan membesarkanku seorang diri.
Untuk beberapa saat lamanya aku tetap duduk termangu di dalam mobil yang telah terparkir di depan studio milikku. Masih dengan mata yang memburam menatap bangunan tiga lantai yang berdiri megah di depan sana.
Dibangun di atas tanah peninggalan kakekku, mama memberikan semua yang dia punya untuk membangun tempat ini. Tidak, bahkan kami sempat berhutang banyak pada keluarga Tante Ana yang untungnya sekarang sudah bisa terlunasi.
Mama memiliki restoran yang juga menyediakan jasa katering. Tentu saja dulu usahanya tidak sebesar sekarang. Berbekal hobi memasak, dia benar benar memulai semua dari nol.
Lihatlah! Mama sudah bersusah payah membantu mewujudkan impianku untuk memiliki studio sendiri. Bagaimana mungkin sekarang aku tega mempertaruhkan semua demi bisa tetap bersama Ega. Tidak, aku tidak seegois itu. Sangat mudah bagi keluarga Mahesa untuk menghancurkan semua yang aku miliki, termasuk mamaku.
Suara ketukan di kaca samping seakan menarik kembali pikiranku yang menjelajah entah kemana. Seorang wanita bertubuh mungil tersenyum sambil melambaikan tangannya. Setelah menghela nafas panjang, aku membuka pintu dan turun dari sana.
"Aku dan Miko sudah dari tadi menunggumu di sini, kenapa malah bengong di mobil?" tanyanya dengan mata menyipit menatapku.
"Sorry. Ayo masuk!" ajakku.
"Freya ..."
Aku berhenti melangkah dan menoleh ke arah Ella, sahabatku.
"Butuh pelukkan?" ucapnya sambil merentangkan kedua tangannya.
Aku melangkah mendekat, air mataku kembali mengalir saat Ella memelukku erat.
"Tidak apa apa, semua akan baik baik saja Frey," hiburnya.
"Aku sudah menyakiti Ega, El"
"Kamu juga terpaksa melakukannya, kami sangat tahu itu."
"Curhatnya nanti dulu, aku sudah mau mati kehabisan darah gara gara jadi santapan nyamuk dari tadi."
Aku menoleh, Miko mengangkat dua botol wine di tangannya.
"Ayo kita rayakan kembalinya status jomblomu!" ucapnya tanpa sedikitpun rasa bersalah.
Ela hanya tertawa melihatku menggeleng pergi membuka pintu. Lantai paling atas memang sengaja aku jadikan sebagai tempat tinggal. Begitu sampai aku langsung melemparkan tubuhku ke sofa. Jantungku kembali berdetak kencang saat teringat seringaian menakutkan laki laki itu.
"Frey," panggil Ella.
"Hm …"
Aku hanya bergumam pelan dengan tubuh menyandar dan kedua matanya terpejam, rasanya benar benar melelahkan.
"Apa putus dari Ega membuatmu sefrustasi itu?" tanya Ella.
"Aku bertemu Reza," ucapku lirih.
"Kapan? Dimana?"
Begitu membuka mata, aku mendapati Ella yang sedang menatapku penasaran.
"Aku tak sengaja menabraknya di depan pintu restoran tempatku bertemu dengan Ega tadi," jawabku.
"Lalu?"
Sahut Miko yang menyusul duduk dengan membawa tiga gelas kosong. Mereka berdua tampak cemas sekarang. Jelas saja, karena mereka sangat tahu siapa Reza dan betapa berbahayanya laki laki itu.
"Dia lebih gila dari Reza yang dulu. Hanya dengan melihat seringaian di wajahnya saja sudah membuatku gemetar ketakutan."
"Mau apalagi dia?"
Miko membuka tutup botol red wine yang sengaja dia bawa tadi dan menuangkan ke dalam tiga gelas kosong di atas meja.
"Dia bilang akan menyeretku kembali padanya."
"Sinting!" maki Ella kesal.
Aku meraih gelas berisi anggur yang diulurkan Miko padaku, lalu meminumnya beberapa teguk. Kedua temanku itu masih saja menatapku khawatir.
"Aku harus bagaimana sekarang? Ada apa sebenarnya dengan para orang kaya itu? Mengapa mereka senang sekali mengusikku?" keluhku hampir putus asa.
"Masalahmu dengan Ega sudah benar benar selesai kan?" tanya Miko.
"Sudah. Dia bilang akan menerima perjodohannya dengan Hana."
"Baguslah, jadi orang tuanya tidak akan mengusikmu lagi." Sahut Miko yang masih saja jengkel dengan kelakuan mama Ega kemarin.
"Tapi bagaimana dengan Reza? Dia tidak pernah main main dengan ucapannya."
Mataku menatap lepas gelap di luar sana. Aku sudah tidak punya cara lagi untuk bisa menghindar dari laki laki itu.
"Hadapi, kamu sudah tidak bisa lari lagi dari dia kali ini."
Aku kembali meneguk sisa minuman di gelasku sampai tandas.
"Andai saja semudah itu Mik, kalian tahu sendiri siapa keluarga Aditama. Kalau tidak mana mungkin orang tua Ega langsung menerima tawaran perjodohan dari ayah Hana."
"Sampai sekarang aku masih tidak habis pikir, kenapa Tante Aida dulu bersedia dinikahi laki laki seperti Yoga Aditama. Ayah dan anak sama saja brengseknya," umpat Ella kesal.
"Lupakan dulu soal Reza, setidaknya masalahmu dengan keluarga Mahesa sudah terselesaikan."
Miko kembali mengisi gelasku yang sudah kosong. Selain Bang Johan dan Lovia, sejak dulu aku hanya berteman dengan Ega, Miko dan Ella. Namun hari aku sudah kehilangan Ega. Jangankan menganggap teman, untuk sekedar menyapaku pun Ega pasti tidak akan sudi lagi.
"Sejahat jahatnya Reza, dia tidak mungkin akan melukaimu. Caranya mencintaimu itulah yang salah."
"Iya, dia memang tidak melukai fisikku, tapi melukai mentalku. Itu jauh lebih menakutkan, El. Kamu tahu pasti kenapa selama bertahun tahun aku mati matian menghindarinya?"
"Kamu tidak bodoh, Frey. Mana mungkin selama ini dia tidak tahu keberadaanmu. Terlalu mudah bagi seorang Reza untuk menyeretmu kembali, kalau memang dia mau."
Aku pikir pergi dari Ega akan menyelesaikan semua, tapi ternyata ada saja masalah yang menghadangku. Reza, dia adalah mimpi burukku yang kini datang lagi.