Bab 3. Terjepit Situasi

1120 Words
“Maafkan aku, Grace. Tapi aku tidak bisa merekomendasikan siapa pun jika itu masalahnya. Mana mungkin salah satu anak buahku menjadi suami bayaran untukmu? Jika Paduka Putri Margaretha tahu apa yang terjadi, aku akan kehilangan kepalaku,” ujar Rob Stein, manajer klub malam, Louvre’s Dream di salah satu sudut di Brooklyn. Grace mencebik kesal sekaligus bingung. Ia harus segera mencari pengganti Russel untuk pura-pura menjadi suami sekaligus ayah dari calon bayinya. Grace memegang kepalanya seraya melepaskan napas panjang. Mata menoleh beberapa kali ke lantai dansa melihat kesenangan dunia yang terpampang begitu jelas. Sedangkan, Grace sekarang malah tidak bisa menikmati hidupnya. “Aku harus segera mencari pengganti Russel, Rob. Besok malam aku harus memperkenalkan calon suamiku. Jika tidak, warisan ibuku akan jatuh ke tangan Carl-Johan!” jawab Grace dengan nada cemas sekaligus marah. Rob hanya bisa mengedikkan bahunya lalu menarik napas berat. “Kenapa kamu tidak mencari pacar baru saja? Kurasa banyak yang mau menjadi kekasihmu.” Grace malah menggelengkan kepalanya tanda tak setuju. “Bagaimana caranya aku bisa mendapatkan pacar instan dalam beberapa jam seperti ini?” sahut Grace masih kesal. “Entahlah, kamu kan bekerja di rumah sakit. Mungkin ada dokter yang bisa kamu bayar. Tidak masalah jika dia sedikit tua ....” Grace mendelik lalu menggeleng menolak ide tersebut. “Aku bahkan belum diangkat resmi menjadi Chief of Medicine. Jika aku malah mengajak kencan salah satu dokter, bisa-bisa aku dipecat sebelum duduk di posisi itu. Aku tidak boleh membuat kesalahan, Rob,” ujar Grace menjelaskan. Rob pun hanya bisa menggeleng dan kembali minum. Ia tidak bisa membantu Grace sama sekali. Untuk urusan yang sangat berisiko seperti yang ingin dilakukan oleh Grace, sebaiknya memang dihindari. Keluarga wangsa Liechtenstein dari kerajaan Luxembourg, bukanlah keluarga biasa. Grace bisa dikeluarkan dan dicabut gelar kebangsawanannya jika ketahuan dan orang-orang yang membantunya bisa disingkirkan. Tinggallah Grace dengan segala kebingungannya. Ia pulang dari klub malam itu tanpa solusi atau pun teman kencan. Mata-mata Paduka Putri Margaretha terus mengikuti Grace untuk memantau seluruh kegiatannya. Sedangkan Grace hanya bisa pasrah menghadapi esok yang akan jauh lebih berat. Pagi-pagi sebelum sarapan, pintu apartemen mewah Grace Reitberg diketuk oleh seseorang. Dua pelayan dan satu butler datang membawakan gaun cantik untuk makan malam nanti. Grace sampai terperangah, ia mengira jika makan malam hanya akan seperti biasanya. “Untuk apa gaun ini? Bukankah ini hanya akan menjadi makan malam biasa di antara aku dan Grandma?” tanya Grace pada butler (kepala pelayan) yang mengantarkannya gaun indah nan mewah. Lester Phillips tersenyum dan menjawab Grace dengan sopan dan baik seperti biasa. “Lady Grace, Paduka Putri Margareth akan memerintahkan makan malam ini akan menjadi malam pertunanganmu. Jadi dia mengantarkan gaun ini untukmu.” Grace terperangah tak percaya. Kali ini benar-benar sudah kiamat bagi Grace. Bukannya makan malam perkenalan melainkan langsung pertunangan. “Tunggu dulu, tapi ... Grandma tidak mengatakan seperti itu! Dia bilang jika aku hanya akan membawa calon suamiku untuk makan malam bersamanya!” tukas Grace dengan nada suara mulai tinggi. “Memang benar, Lady Grace. Perkenalan akan dimulai pada seluruh anggota keluarga lalu dilanjutkan dengan pertunangan. Bukankah kamu sedang mengandung, Lady Grace?” tanya kepala pelayan itu lagi. Grace meringis miris dan kebingungan mendengar itu semua. Semua bencana terjadi padanya bertubi-tubi setelah ia diputuskan sepihak oleh mantan tunangannya Russel. Grace mati-matian menyembunyikan masalah yang terjadi dan sekarang ia harus memperkenalkan pria baru yang sudah ia akui telah menghamilinya. “Tapi aku belum mengatakan pada ... calon suamiku jika, kami akan bertunangan,” ujar Grace membalas dengan suara rendah. Lester hanya bisa tersenyum saja. Sesungguhnya ia tidak menyadari jika Grace sedang panik setengah mati. “Lady Grace, tolong jangan terlambat datang nanti malam. Acara perkenalan dimulai pukul enam lalu dilanjutkan dengan makan malam.” Lester kembali mengingatkan dan mengulang perintah. Grace tidak mengangguk atau menanggapi. Ia hanya memandang lesu para pelayan yang kemudian pergi meninggalkannya. Grace akhirnya terduduk lemas di sofa. “Habislah aku. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” gumam Grace menopang dagu dengan kedua tangannya. Rasanya kepalanya begitu berat dan tak sanggup ditopang lagi. Warisan ibunya, Putri Charlotte akan melayang sia-sia jika ia tidak berhasil menikah. Padahal tinggal sedikit lagi dan Grace akan hamil. Bunyi ponsel menyentakkan Grace yang sedang melamun. Ia menghela napas panjang dan bangun untuk mengambil panggilan tersebut. Rasanya makin berat. “Halo?” “Grace, bagaimana? Apa kamu sudah siap untuk prosedur besok? Jika kamu sudah datang, mampir ke kantorku dulu untuk menandatangani beberapa dokumen untuk prosedur besok,” ujar dokter Justin Anderson yang menghubungi Grace. Grace mengurut keningnya lagi lalu memejamkan matanya. Sekarang ia bingung apa harus meneruskan program inseminasi tersebut. “Entahlah, Justin. Aku belum tahu.” “Maksudmu? Apa kamu ragu?” Grace berbalik melihat ke seluruh ruang tengah yang mewah seraya berpikir. “Bagaimana jika pendonornya meminta donornya kembali?” tanya Grace tiba-tiba teringat pada ancaman Jason. “Dia tidak bisa melakukannya, kecuali kamu yang melakukannya. Donor itu telah menjadi milikmu.” Grace tertegun sesaat. Ia sedang mendengarkan Justin bicara tapi juga berpikir tentang suatu hal. Grace hanya punya 11 jam lagi sebelum makan malam. “Tahan donornya. Aku akan memberitahukanmu keputusanku untuk besok,” ujar Grace membuat keputusan seperti baru saja mendapatkan ilham. “Aku tidak mengerti ....” “Nanti aku akan menghubungimu lagi!” Grace langsung menutup panggilan tanpa mendengar perkataan dari Justin Anderson lagi. Ia berjalan cepat ke kamar untuk segera berganti pakaian dan akan pergi ke rumah sakit. “Aku tidak akan membiarkan warisanku jatuh ke tangan orang lain!” ujar Grace di depan cermin dengan tekad kuat. Selesai ia berdandan dan menenteng tas mahal, Grace langsung keluar apartemennya menuju mobil mewahnya di basemen parkir pribadi. Sesampainya ia di gerbang rumah sakit, seorang pengendara motor Triumph melintas dan nyaris menyerempetnya. Grace paling tidak suka dengan pengendara motor besar. Ia selalu menganggapnya mereka preman tak beretika atau penjahat jalanan. Setelah memarkirkan kendaraannya, Grace langsung datang menghampiri pengendara motor besar itu hendak memarahinya. “Parkiran ini hanya khusus untuk Dokter!” hardik Grace tanpa basa-basi. Pria pengendara motor itu membuka helm dan berbalik. Grace melotot tak percaya. Pengendara motor besar itu ternyata adalah Jason Thorn. Ia bahkan bersandar dengan santai di jok motornya. “Hei, Bos! Kebetulan kita bertemu. Bagaimana? Apa kamu sudah menarik donornya?” ujar Jason tak menyapa dan langsung ke inti masalah. Grace celingukan kanan dan kiri melihat agar tidak ada yang memperhatikan. Ia mendelik keras pada Jason dan memberikan kode padanya agar mengikutinya. “Ikut aku, cepat!” “Kenapa memangnya?” sahut Jason tak mau berdiri. Grace makin kesal. Ia menarik tangan Jason ke salah satu sudut dekat taman parkir di samping sayap timur bangunan. Jason dengan malas mengikutinya. “Aku punya penawaran untukmu. Aku akan mengabulkan semua permintaanmu jika kamu mau berpura-pura menjadi calon Suami dan Ayah dari calon bayiku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD